Category Archives: Tak Berkategori

Fungsi Gamelan Bali

Gambelan Bali memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Fungsi gambelan Bali di rumuskan mengacu pada Hasil Seminar Seni Sakral dan Profan dalam bidang Tari tahun 1971 yang mengelompokan fungsi – fungsi itu sebagai seni Wali, bebali, dan bali – balihan seperti buku yang berjudul Gamelan Bali di atas panggung sejarah yang di Tulis oleh bapak I Made Bandem. Pada awalnya, menurut Usana Bali – Usaha Jawa, kesenian Bali muncul sebagi wewalen, seni upacara keagamaan semata. Berhubungan dengan perubahan zaman dan waktu, kesenian Bali bergeser pula fungsinya dari seni wali (sacral), menjadi seni bebali (semi sakral) dan seni balih – balihan (sekuler). Seni wali lahir di jeroan pura (utama mandala), seni bebali lahir di jaba tengah (mandya mandala), dan seni balih – balihan lahir di jaba pura ( nista mandala). Setiap kelompok seni memilki wujud, sifat (karakter), perlengkapan, dan upakara yang berbeda menurut adagium desa (tempat), kala (waktu) dan patra (kondisi). Gambelan Gong Kebyar yang lahir sebagai seni balih – balihan dapat dipentaskan dengan seni wali atau bebali dengan proses upakara dan konteks tempat dan waktu yansg sesuai dengan sifat utama atau madya mandala.

Selanjutnya untuk memahami fungsi – fungsi itu dengan perspektif yang lebih luas, berikut ini digunakan pengertian dan pemahaman kegunaan dan fungsi yang di rumuskan oleh Alan P. Merriam dalam bukunya yang berjudul The Anthrolopogy of Mosic. Kendatipun studi kasus yang digunakan oleh Merriam dalam kajian ini berdasarkan music Basonge di Afrika, namun sistem ini dapat pula digunakan untuk mengkaji kegunaan dan fungsi gambelan Bali.

  1. Pengiring Upacara Agama

Sebagai alat bunyi – bunyian, gambelan tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali, hampir tak ada suatu upacara keagamaan yang sempurna tanpa ikut serta gambelan. Dalam tradisi agama hindu terdapat terdapat berbagai upacara agama Hindu seperti dewa yadnya (upacara untuk dewa – dewi dan Tuhan Yang Maha Esa), Pitra Yadnya (pembakaran mayat atau kremasi) Manusa Yadnya ( ritus kehidupan dari lahir sampai mati), Bhuta Yadnya (upacara kurban kepada alam semesta, dan Rsi Yadnya  (upacara pengangkatan pendeta) yang memerlukan gambelan sebagai pengiring upacara. Berjenis – jenis gambelan juga difungsikan untuk upacara yang berbeda seperti upacara prosesi keagamaan diiringi dengan gambelan Blaganjur ( Kalanjur, Babonangan) upacara potong gigi diiringi oleh gambelan Gender Wayang, kremasi diiringi dengan gambelan Angklung, upacara persembahyangan diiringi gambelan Slonding dan lain sebagainya. Gambelan juga berfungsi untuk mengiringi tari, seperti tari Topeng, Gambuh, Wayang Wong dan lain sebagainya.

Selain dipentaskan untuk upacara Panca Yadnya, kini gambelan dipentaskan untuk hiburan dunia pariwisata bertempat di hotel – hotel,baik berupa pementasan rutin maupun kegiatan khusu. Dalam pemerintahan Bali modern, gambelan juga ditampilkan pada kegiatan berbagai festival, pameran – pameran seni, dan juga setiap berlangsung pasar malam sebagai bagian dari kegiatan Hari Ulang Tahun kantor – kantor  pemerintahan. Gambelan kini cukup populer dan selalu menjadi ikon duta kesenian Bali ke luar daerah ataupun ke luar negeri untuk tujuan pementasan yang bersifat nasional maupun internasional.

  1.  Memberi Rasa Keindahan

Sebagai cabang kesenian yang memiliki unsur – unsur keindahan seperti keutuhan, kerumitan, kesederhanaan, dan lain – lainnya gambelan dapat berfungsi untuk menggugah perasaan indah seseorang. Untaian melodi, ritme, dan harmoni tidak saja member pemahaman yang mendalam terhadap makna, dari suatu lagu, namun unsur keindahannya dapat menggugah perasaan dan member kepuasan pada jiwa seseorang.

  1. Sebagi Alat Komunikasi

Gamelan,  baik yang bentuknya masih sederhana maupun yang lebih rumit dapat digunakan sebagai media komunikasi. Berjenis-jenis bunyi instrument kulkul dalam masyarakat Bali memiliki signal tertentu dan masyarakat mengenal makna dari instrument tersebut. Bunyi itu member pertanda kepada masyarakat untuk dapat berkumpul, mengadakan pertemuan atau menjenguk orang yang sedang melakukan upacara perkawinan, kerja bakti, dan yang lainnya.

  1. Sebagai Hiburan

Di samping fungsi sebagai media komunikasi dalam masyarakat, gungsi gamelan yang tidak kalah pentingnya adalah sebagi hiburan. Lagu-lagu dolanan yang sering diiringi dengan alat-alat gamelan menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak remaja. Dalam fungsinya sebagai hiburan, gamelan juga digunakan sebagai pengiring pergelaran tari Wayang Kulit. Hampir tak ada tari atau teater tradisional Bali yang dipergelarkan tanpa diiringi oleg gamelan. Gamelan bertugas member ritme dan menggarisbawahi dramatisasi dalam tari, dramatari, maupun pedalangan.

  1. Persembahan simbolis

Gong kebar yang terdiri dari berbagai macam instrument dengan teknik permainan yang sangat beragam menjadi cermin ( simbol )  tentang kehidupan orang Bali yang Bhineka Tunggal Ika.

  1. Pengungkap Sejarah

Dari uraian di atas yang mengacu pada konsep Alan P. Merriam di atas, kini Nampak jelas bahwa gamelan memiliki peran sentral dalam berbagai peristiwa sejarah seperti pengangkatan seorang raja, pengukuhan daerah baru, dan upacara-upacara yang nterkait dengan penggunaan gamelan.

  1. Mengukuhkan Norma-norma Kehidupan Masyarakat

Menabuh gamelan dalam suatu upacara keagamaan di Bali berarti pula menguatkan dan mengukuhkan nor-norma kehidupan masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini gamelan berfungsi untuk meningkatkan integritas masyarakat. Dengan mengadakan latihan dan pementasan bersama secara rutin, anggota masyarakat memiliki media untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan.

  1. Makna Pendidikan

Gamelan sebagai bagian dari seni budaya tak dapat dipungkiri pasti mengandung nilai-nilai kehidupan dari satu masyarakat atau bangsa. Untuk bermain gamelan dibutuhkan seseorang yang terampil dan menguasai materi yang dimainkan. Keterampilan atau kemampuan pribadi mutalk diperlukan oleh seseorang dalam miniti kehidupan. Gamelan Bali memiliki juga nilai kebersamaan atau rasa komunalitas yang tinggi. Ada hubungan permainan satu instrument dengan instrument lainnya dalam satu ensambel. Hubungan itu terletak pada berbagai isyarat yang harus diteruskan oleh seorang pemain kepada pemain lainnya. Tanpa adanya koordinasi dan toleransi yang baik akan sulit memperoleh kesempurnaan dalam permaian dan kemampuan prbadi maupun rasa toleransi adalah satu nilai utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat modern yang berkembang sekarang, nilai kehidupan, nilai toleransi, dan nilai moral ( spiritual ) itu sangat dibutuhkan untuk bisa hidup bersama dalam perbedaan. Dengan kata lain gamelan sebagi bagian dari kesenian merupakan symbol dfari masyarakat.

Sumber : I Made Bandem “ Gamelan Bali di atas panggung sejarah “. Penerbit Stikom Bali.

 

 

 

Sejarah Gamelan Angklung 8 Nada di Desa Pupuan

Berawal dari kegiatan menyambut hari raya nyepi atau tahun baru saka bagi umat hindu Bali pada umumnya dan pupuan pada khususnya. Secara rutin di desa Pupuan hari Raya Nyepi disambut oleh masyarakat sesuai dengan adat budaya yang ada di Desa Pupuan. Sehari sebelum perayaan hari raya nyepi dilaksanakan ada sebuah acra pengerupukan yang disertai dengan kegiatan pawai ogoh-ogoh untuk menambah semarak dan meriahnya pawai tersebut, perlu ada semacam alat instrument yang dapat mengiringin ogoh-ogoh tersebut. Pada perayaan sebelumnya ogoh-ogoh hanya diiringi dengan alat instrument sederhana yang sangat tradisional yakni hanya menggunakan gamelan tek-tekan ( kulkul ), kemudian dari pengurus adat banjar merasa terketuk untuk mewujudkan seperangkat gamelan yang dimaksud, lewat obrolan kecil dengan segelintir anggota masyrakat ditempat pembuatan ogoh-ogoh sehingga terjadilah sebuah program yang disampaikan pada anggota masyarakat banjar Pupuan melali rapat banjar pada pertengahan bulan april tahun 1994. Dalam rapat banjar anggota masyarakat sangat mendukung dan menyetujui diwujudkannya alat dimaksud dengan ketentuan setiap anggota masyarakat sanggup untuk dikenakan biaya iuran sebesar Rp. 25.000;-/anggota ditambah dengan donatur-donatur dari anggota masyarakat yang meiliki penghasilan lebih dan kemudian atas kesepakatan bersama pengurus banjar langsung berbuat sehingga akhirnya pada awal bulan september tahun 1994 dapat terwujud hanya beberapa bagian gamelan saja yang di antaranya :
– Lajur reong orosan
– 2 tungguh gangse pemade
– 1 buah gong besar
– 1 buah kempur
– 1 buah tawa-tawa
– 4 takep ceng-ceng kopyak dan sepasang kendang dengan laras angklung kebyar yang bernadakan cirikhas Buleleng dengan jumlah daun gamelan sebanyak 7 buah dengan nada : Ndang, Nding, Ndong, Ndeng, Ndung, Ndang, Nding.
Kemudian dengan kesepakatan dari para seniman banjar pupuan, dari jumlah daun gamelan 7 nada ditambah menjadi 8 nada yakni : Ndung, Ndang, Nding, Ndong, Ndeng, Ndung, Ndang, Nding. Yang maksudnya untuk memudahkan cara memukul dalam memasukan sebuah tabuh dari jenis kreasi, kemudian dengan cepat atas dukungan dan motivasi para seniman diusulkan agar dilengkapi sehingga menjadi seperangkat gamelan angklung kebyar yang bertujuan agar dapat berfungsi untuk kegiatan keagamaan dan berbagai jenis. Kegiatan upacara adat dan agama, hal ini mendapat dukungan yang positif dari seluruh masyarakat banjar Pupuan dengan menambah iuran lagi sebanyak Rp. 20.000/anggota, sehingga terwujudlah seperangkat gamelan angklung kebyar dengan cirikhas Buleleng Singaraja.
Maksud Dan Tujuan
Sesuai dengan hasil rapat anggota banjar adat Pupuan setelah terbentuknya sebuah sekha angklung yang diberi nama “ Sekha Angklung Eka Dharma Buana “. Di mana seperangkat gamelan angklung kebyar tersebut adalah bertujuan untuk menunjang kegiatan suka-duka yang terjadi pada setiap anggota masyarakat banjar Pupuan dalam kegiatan panca yadnya diantaranya: Manusa yadnya, dewa yadnya, Bhuta yadnya, Pitra yadnya, dan Rsi yadnya dan tidak membatasi kegiatan sekhe dalam mengembang tumbuhkan kreasi lewat pentas dan komersial demi kemajuan dan meningkatnya angklung kebyar yang telah dibentuk sesuai dengan visi dan misi.

Visi : Ikut menjaga, memelihara dan melestarikan seni budaya demi ajegnya Bali
Misi : Menggali dan meningkatkan kreatifitas dan kecerdasan para seniman untuk mencapai kebahagian dan kesejahtraan lahir dan batin. Banjar adat Pupuan khususnya anggota masyrakat telah mampu dalam mewujudkan seperangkat alat gamelan atau instrument kesenian bali dibidang seni karawitan dengan bentuk angklung kebyar, itu semua berkat rancangan dan program serta motivasi dari para prajuru atau pengurus banjar adat sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan dari gamelan angklung tersebut sangat relevban dalam menunjang kegiatan-kegiatan keagamaan karena erat sekali hubungannya dengan rangkaian upacara-upacara Panca Yadnya, terlebih lagi Bali sejak dahulu dikenal dengan seni budayanya kesenian Bali sudah lumbrah dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat sampai kemancanegara, oleh karena kita sebagai orang Bali mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan melestarikan seni budaya Bali khususnya dibidang seni karawitan.
Keanggotaan Dan Kelanjutan Angklung Kebyar
Dalam pembentukan sebuah sekhe anggotanya adalah terdiri dari :
– Anggota luar biasa adalah semua anggota masyarakat wajib ikut dalam keanggotaan karena angklung milik banjar adat.
– Anggota tetap adalah anggota masyarakat yang tercantum dalam daftar setruktur sekha, dan kemudian tentang pemeliharaannya apabila ada kerusakan dan yang lainnya menjadi tanggung jawab anggota banjar Pupuan.
Kegiatan yang sering dilakukan oleh sekha angklung ini byasanya kegiatan dalam bentuk ngayah di pura. Jika ada kematian khususnya di banjar adat Pupuan, sekha angklung ini ikut serta turut berduka cita dan mengiringi ke setra menggunakan gamelan baleganjur angklung, dan pernah ikut pentas dalam pawai pembukaan Pesta Kesenian Bali ( PKB ) tahun 2009 yang pada waktu itu diadakan di Puputan Badung. Masyarakat banjar pupuan terutama kepada sekha angklung kebyar sangat bersemangat mengikuti pawai, itu terbukti dengan kesiapan mereka latihan-latihan di banjar untuk persiapan pawai pada waktu itu. Ketika pentas , para penonton begitu terhibur dan senang mendengar gending yang dimainkan, di mana suaranya begitu mencirikhaskan gamelan angklung 7 Nada stail gaya Buleleng ini. Karena di daerah bagian timur jarang atau tidak sama sekali ada gamelan angklung yang berlaraskan selendro 7 Nada. Dari sekian pengalaman dan kegiatan yang dilakukan oleh sekha angklung ini, tetap aktif mengikuti kegiatan baik di banjar, di desa maupun di luar desa adat pekraman Pupuan. Banjar pupuan juga memiliki sekha angklung wanita yang terbentuk pada tahun 2011 yang lalu yang diberi nama sekha angklung kebyar wanita ”Candra Praba Swari”. Dalam latihan ibu-ibu pkk sangat bersemangat mengikuti latihan, meskipun belum semua hafal betul memainkan instrument yang dipukul mereka mengikuti latihan dengan gembira dan pada saat latihan-latihan di banjar para seniman tua ikut turun serta guna untuk membina dan membingbing dalam latihan tersebut. Meskipun belum cukup lama , sekha angklung kebyar wanita ini sudah memberanikan diri ikut serta dalam kegiatan ngayah-ngayah di pura. Sejarah angklung kebyar ini dapat ditulis dan diceritakan lewat penuturan dari salah satu anggota masyarakat banjar pupuar yang ikut sebagai perintis dari angklung kebyar tersebut. Demikain disampaikan sejarah Angklung Kebyar 8 nada di Desa Pupuan, kurang lebihnya mohon disempurnakan. Terima kasih
Sumber : I Wayan Sukarata ( ketua sekha )

Sejarah Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan

Dulu sekitar abad XI di Desa Pupuan hanya terdiri dari 25 kepala keluarga. Desa Pupuan saat itu tidak seramai sekarang, di sekelilingnya hanya hutan belantara yang di tumbuhi pohon kayu yang besar dan tinggi, mereka bersepakat untuk menebang pohon kayu tersebut, yang mana tanahnya nanti akan dijadikan sawah dan ladang. Di dalam mereka menebang pohon kayu tersebut yang sangat besar dan tinggi, mereka mempergunakan tali atau ranting-ranting pohon untuk naik ke cabang pohon yang akan ditebang. Setelah selesai tanahnya diolah untuk di Tanami bermacam-macam tanaman seperti  padi, pohon kopi, dan buah-buahan yang hasilnya cukup mengembirakan.

Adapun rangkaian upacara sebelum piodalan di Pura Puseh Desa Bale Agung yaitu masyarakat desa mejejaitan, metanding banten upakara, mecaru, metelah-telah, mengelemeji, munggah bunga, mendak ngolemin ida betara diseluruh pura-pura di desa pupuan, mebiokaonan, kesucian /kebeji, katur sarining tetebasan, trisandya, rejang pulu,  nur ida betara, katur sarining soroan katuran Puseh Desa Bale Agung , mesandekan.

Pada hari ke-I, dilaksanakan Tari Rejang Penganyaran dudonane 3 kali, nganteb aturan karma banjar, mesandekan. Menunggu suara kentongan 3x karma desa kumpul di Jaba Pura Puseh Desa Bale Agung, untuk melaksanakan Peed. Para ibu membawa banten, sekaa truna truninya membawa pengawin dan pangkonan, untuk menyongsong Ida Betara (Pretima), diiringi dengan baleganjur dari masing-masing banjar, menuju ke pura Kayu Padi (Pura Duur Kauh), dilanjutkan upacara sampai dudonan upacara dan upakara di Pura Kayu Padi selesai

Tari Rejang Ramped ( Lanang )Hari ke-II, kembali upacara dilaksanakan di Pura Puseh Desa Bale Agung dilaksanakan Rejang Ramped sebanyak 9x putaran dilanjutkan Rejang  oleh truna truni (lanang lan istri),dilanjutkan

Camera 360Rejang Ayunan 2x putaran laki-laki dan perempuan , dilanjutkan 1 putaran lagi untuk laki-laki melakukan rejang ayunan, setelah selesai dilaksanakan Tari Rejang Ayunan dilanjutkan dengan mesandekan, lalu malam hari nya diadakan suatu hiburan dan balih-balihan (penyuung).

 

Hari ke-3 dilaksanakan upacara yang terakhir, lebar karya yang merupakan mengundang Ida Sesuhunan untuk menyaksikan upacara dan langsung memohon Wara Nugraha agar semua mendapatkan kekuatan dan kebahagiaan.

Fungsi dari Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan

Tari Rejang Ayunan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Bale Agung. Karena tanpa tarian ini upacara dianggap kurang sempurna. Di lihat dari segi fungsinya tari tarian dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

a)      Tari Wali (sacral, religious dance )

Seni yang dilakukan di pura-pura dan di tempat yang ada hubungannya dengan upakara dan upacara agama yang pada umumnya tidak memakai lakon/peran.

b)      Tari Bebaki ( ceremonial dance )

Segala seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara di pura-pura ataupun di luar pura, cerita pada umumnya memakai lakon.

c)      Tari Balih-balihan ( secular dance )

Segala seni tari yang mempunyai unsur dasar dan seni tari yang luhur yang tidak digolongkan tari wali dan bebali serta mempunyai fungsi sebagai hiburan.

Sesuai dengan ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa Tari Rejang Ayunan merupakan tari sakral yang tergolong tari wali. Disebabkan karena tari rejang ayunan tersebut tidak memakai lakon yang berfungsi sebagai sarana didalam pelaksanaan upacara serta tidak pernah dipentaskan diluar upacara dewa yadnya di Pura Puseh Desa Bale Agung di Desa Adat Pekraman Pupuan.

Melihat perkembangannya Tari Rejang Ayunan, yang paling menonjol adalah dari segi tata busananya. Menurut I Nyoman Raka selaku Bendesa adat Desa Pekraman Pupuan mengatakan : Jaman dahulu dilihat dari segi tata busana adalah penari rejang menggunakan pakaian yang berwarna-warni sesuai dengan kemampuan masing-masing penari. Sehingga terlihat jelas perbedaan antara kaya dan miskin. Atas prakarsa Bendesa adat yang terdahulu, maka pakaian penari rejang diseragamkan.

Sebagai informasi yang paling mampu memberi keterangan, bahwa Tari Rejang Ayunan belum pernah mengadakan perubahan, baik dari segi komposisi maupun dari segi perbendaharaan gerakannya. Dapat disimpulkan bahwa yang mengalami perkembangan pada Tari Rejang Ayunan hanya dari segi tata busanannya.

Tari Rejang Ayunan itu biasanya dipentaskan dengan bunyi kentongan yang mengalun pertanda para penari sudah siap di Pura Puseh Desa Bale Agung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yaitu pukul 13.30 WITA. Penari Rejang Ayunan sudah berias dari rumahnya masing-masing. Setelah diberi aba-aba oleh kelian adat para pemangku memerciki tirta atau air suci kepada penari dengan tujuan memohon keselamatan dan kebersihan.

Gamelan berkumanang dengan irama pelan pertanda para penari siap melaksanakan tugasnya masing-masing. Penari berbaris berderet kebelakang selanjutnya berjalan mengelilingi pelinggih yang ada di Jeroan Pura sebanyak 3 kali putaran. Setelah berkeliling para penari menuju jaba tengah sambil terus menari dengan irama gamelan yang merdu. Ketika akan menginjak putaran ke 3 kalinya tempo gambelan dipercepat.

Terakhir para penari menuju pohon cempaka yang ada di Jabaan Pura. Salah satu dari cabang pohon tersebut, sebelumnya telah diikat keatas tali tambang yang salah satu ujungnya menjulur ke bawah. Ujung tali diikatkan pada cabang pohon cempaka, digantungi antara lain satu ekor ayam panggang, satu juring pisang kayu, ketupat dan satu botol arak. Setelah semua penari mendapat gilirannya barulah semua penari berlomba-lomba untuk dapat naik ke cabang pohon melalui tali tersebut. Salah satu penari berhasil sampai di atas dan berhak atas santapan yang sebelumnya telah disiapkan di atas pohon. Penari lain kembali ke jeroan pura, bertanda bahwa pertunjukan telah selesai.

Tempat pertunjukan Tari Rejang Ayunan tidak dibuat secara khusus baik dari segi ukurannya maupun dari segi dekorasinya. Akan tetapi tari rejang ayunan ini bertempat :

  1. Jeroan pura : para penari mengelilingi pelinggih 3 kali putaran.
  2. Jaba tengah : para penari menari dari jeroan pura menuju jaba tengah dan keliling sebanyak 3 kali putaran.
  3. Jabaan pura : setelah berkeliling 3 kali putaran di jaba tengah para penari langsung menuju jabaan pura untuk bermain ayunan.

Sumber : Jero Mangku I Gede Wirana  sebagai Pemangku Pura Puseh Desa Bale Agung Desa Adat Pekraman . I Nyoman Santika Yasa sebagai Kepala Dusun, Br.Kubu , Desa Adat Pekraman Pupuan. Buku Ensiklopedi Tari Bali: Dr.I Made Bandem,buku Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali:  I Wayan Dibia, buku Kaja dan Kelod  Tarian Bali dalam Transisi: I Made Bandem dan Fredrik Eugene deBoer, Kamus Bahasa Indonesia: D.Wirah Aryoso SS,  buku Taksu Dalam Seni dan Kehidupan Bali: I Wayan Dibia, buku Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi: R.M Soedarsono dan buku Puspasari Seni Tari Bali: I Wayan Dibia.

Seni Tari Sebuah Fokus Kehidupan Orang Bali

Tarian Bali pada intinya adalah untuk pameran: menari untuk menghibur hadirin atau, untuk menunjukkan keterampilan, suatu tahan perkembangan yang dipunyai oleh peradaban maju, tetapi yang di Bali berjalan bersama-sama dengan tarian-tarian magis yang merupakan cirri dari primitih. Jadi bertahan hidupnya dari kaum primitive dari di dalam masyarakat maju, yang merupakan cirri apapun dari orang Bali, menunjukkan dirinya sendiri di dalam tarian dan juga di dalam moda umum dari kehidupan. Di dalam tarian-tarian keagamaan masyarakat menghibur dirinya sendiri pada waktu yang sama dia mencoba mengambil hati dewa-dewa dan mengusur roh jahat. Bahkan terdapat tarian mengorbankan diri yang ganas dimana penari dalam keadaan kesurupan menimulasikan penyiksaan diri dengan keris atau berjalan di atas api untuk memuaskan roh jahat yang haus darah dan untuk menunjukkan kekuatan gaibnya.

Orang Bali mempertalikan asal-usul kedewataan pada music dan tarian. Dikatakan bahwa Bntikannya, dewi sorga, untuk menari Batara Guru, Guru tertinggi, menemukan alat pertama, dan bahwa Indra, penguasa Langit, memulai tari-tarian ketika dia menciptakan dedari yang tak terbandingkan kecantikannya, dewi sorga, untuk menari bagi kesenangan para dewa. Di dalam Arjuna Wiwaha disebutkan bahwa tujuh edari utama dibuat dari batu permata yang dibelah menjadi tujuh. Sebelum menari di depan para Dewata yang berkympul, kata legenda, para bidadari berjalan tiga kali mengelilingi mereka dengan sikap hormat, dewa-dewa menjadi kasmaran, dan lantaran martabat mereka melarang mereka untuk menoleh, Indra mengeluarkan banyak mata, dan Brahma mengembangkan empat wajah.

Sebagaimana seni music, seni tari telah berkembang samapai sebuah standar kesempurnaan teknis yang membuatnya sebagai ilmu pengetahuan yang sulit, memerlukan waktu bertahun-tahun latihan fisik dan praktik. Walaupun aturan-aturan kerasa diikuti dan struktur tarian disusun dari sepenuhnya gerakan-gerakan tradisional yang tidak meninggalkan ruang bagi improvisasi atau gaya pribadi, terdapat batas-batas kebebasan tertentu yag diperkenankan bagi sang penari. Bunyi dan gerak menjadi satu, gerakan-gerakan yang pasti diatur oleh disiplin yang keras. Mutu yang baik dari penampil tidak tergantung pada hanya keterampilan, tetai juga pada kepribadiannya, intensitas eosionalnya, dan pengungkapan cirri-cirinya.hanya badut-badut (bebanyolan)tidak mempunyai teknik khusus dan tanpa program. Kepribadian dan semangat mengejutkan dari mereka.

Jelaslah terdapat pengaruh Jawa yang dapat dilihat di dalam aliran seni tari Bali, tetapi aliran-aliran ini menyimpang jauh di dalam semangat dan di dalam fungsi social yang hari ini keduanya hanya mempunyai sedikit kemiripan. Di Bali seni tari merupakan seni popular yang masih hidup, sementara di Jawa, seni tari dari tatana yang lebih tinggi seang sekarat sampai diselamatkan akhir-akhir ini oleh para sultan, pada masa kini satu-satunya istana para pangeran Jawa tarian yang bagus dapat ditonton. Di Jawa seorang penari yang baik adalah seorang spesialis dikaitkan dengan istana, sering sering sang pangeran sendiri; di Bali tersebut hanyalah orang desa yang kebanyakan dengan bakat yag tampil untuk harga diri masyarakat dan untuk menghibur para tetangganya. Di Bali seperti hal di Jawa, ini adalah bagian pendidikan angeran untuk menari, berekting dan memainkan alat music, tetapi di Bali seorang pangeran yang mengatur kelompok teater yang berbaur dengan orang kebanyakan dan tampil untuk hiburan mereka. Saan menyenangkan mendengar seorang Jawa dan seorang Bali saling mencemoohkan teater mereka: orang Bali berfikir bahwa tari-tarian Jawa tak bermakna,membosankan dan mati, tetapi orang Jawa terperanjat mendengarkan music Bali “rebut” dan memandang tari-tarian mereka sebagai hasil dari para petani yang kasar dan primitive.

Orang Bali secara ajeg telah telah menyuntikkan kehidupan baru ke dalam teater mereka, berlawanan dengan orang Jawa, yang barangkali lantaran pengaruh Islam, telah membiarkan seni sampai pada keadaan madeg sehingga aktingnya menunjukkan peniruan dari gerakan-gerakan dari wayang kulit (wayang purwa). Actor Jawa tidak mampu mengungkapkan perasaan kecuali dengan gerakan-gerakan konvensional dan wajahnya teta kaku bagaikan mengenakan topeng. Orang Bali berakting dengan cara yang sama sekali berlawanan. Mereka periang, sangat gembira dan menyukai gerakan-gerakan komedi kasar. Topeng-topeng Jawa distilir, dengan hidung panjang tajam dan mata sipit yang menyingkirkan semua realism yang tidak disukai oleh islamnisme. Orang Bali membut topeng yang berupa penyataan perasaan yang menabjubkan, sering tokh yang yang realities, studi mengenai jenis-jenis baku.

Sebuah kelompok teater diatur oleh penduduk desake dalam sebuah masyarakat sepamjang garis-garis yang sama denga kelompok musical. Sumbangan-sumbangan berupa uang dilakukan, peralatan didapatkan, dan para musisi dilatih.  Calon penari dipilih dari anak-anak lelaki dan perempuan dari masyarakat. Dengan memperhatikan penampilan pribadi yang  menyenangkan, kemampuan fisiknya, dan kemampuan bakat  untuk taian tertentu. Untuk tari-tarian Bali yang paling khusus, legong misalnya, gadis-gadis kecil yang terpilih harus berusia antara lima sampai delapan tahun, dan kalau mereka dapat diketemukan mirip satu sama lain, maka dapat dianggap mereka akan merupaka legong yang sangat baik.

Ketika para penari dikumpulkan, seorang guru dipanggil untuk melatih mereka. Guru tersebut biasanya dulunya seorang penari ulung atau seorang pimpinan orkes yang mengetahui tarian tersebut sampai bagian-bagian terkecilnya. Rutin yang paling mendasar diajarkan pertama, dan diulang- ulang sampai tarian tersebut telah merasuk ke dalam diri murid-muridnya.

Pelatihan fisik memainkan bagian penting di dalam pendidikan sang penari; sementara murid mempelajari rangkaian mendasar dari tarian tersebut, langkah-langkah dasar dan gerakan-gerakan umum dari lengan, dia berlatih secara tetap untuk memperoleh kelemah-lembutan setiap otot dan mengontrol tiap angautanya sampai tubuhnya menjadi secara praktis sendi-sendinya lentur dan tangan dapat di gerakkan ke segala arah.

Ukuran gerombolan manusia adalah tanda satu-satunya mengenai apakah sebuah pementasan berasil atau tidak. Orang Bali tidak bertepuk tangan atau menunjukkan penggharhaan mereka bagi seorang penampil dengan cara lain. Yang tampaknya kurang member semangat tiding mempengaruhi kegairahan terhadap seni, dan menurut kesan yang kuperoleh, tarian teater masa kini bahkan lebh maju dibandingkan di masa lalu. Berdasarkan laporan-laporan kuno, tampaknya terdapat lebih banyak pementasan, pertunjukan lebih rumit dan beragam, dan yang dilestarikan dengan rasa iri. Hamper tidak ada desa yang tidak mempunyai semacam perkumpulan penari, bahkan pernyataan bahwa kebiasaan lama membebaskan actor dan musisi dari membayar pajak telah dihapuskan oleh pemerintah tidak menyurutkan minat dalam seni tari dan berakting. Bahkan tidak ada perangsang dalam keuntungan komersil bagi pribadi; jumlah uang yang kecil yang diterima pada perayaan-perayaan pribadi masuk pada dana masyarakat untuk membeli kostum baru, peralatan baru dan perayaan komunal.

Sumber :        Mignel Covarrubias “ PULAU BALI : Teman yang menakjubkan. Udanaya University Preas. “ De leak op Bali.” Tijd B.G., Jilid LX,h 1 dan 2 dan TYRA DE KLEEN : Mundras auf Bali, Handhaltungen der Priester. Hagen di westfalen. Bawangkara. Majalah bulanan diperuntukan etnologi Bali dan kesusastraan.

Sekelumit Tentang Banjar Pupuan

Berbicara tentang Banjar Pupuan pertama kita harus mengetahui tentang sejarah Desa Pupuan. Desa Pupuan adalah sebuah desa kecil yang terletak di kaki Gunung Batukaru.  berikut dapat diurai secara singkat sejarah Desa Pupuan sebagai pendahuluan, terlebih dahulu saya mencoba untuk mengutarakan PUPUAN dari segi asal kata yaitu : PUPUAN berasal dari kata PUPU yang artinya : PAHA, kemudian diberi imbuhan AN, maka menjadi PUPUAN.Pengertian PAHA ini sesuai letak / Denah  Desa Pupuan ini adalah merupakan Paha dari Gunung batukaru.Kemudian ada juga yang menyebutkan nama Desa Pupuan, ini berasal dari kata PLUPUHAN yang berarti KUBANGAN .dilihat dari topografinya tepatlah bahwa Desa Pupuan itu berasal dari Kata Plupuhan, atau dengan kata lain Desa Pupuan dikelilingi oleh dataran tinggi.

Pupuan yang terletak didataran tinggi dengan luas wilayah 5,25 Ha yang terdiri dari 5 Banjar Dinas dan 5 banjar Adat serta 1 Bendesa Adat  yang merupakan Desa Tua yang masih melaksanakan tata kehidupan dan upacara – upacara adat yang unik misalnya : setiap Purnamaning Kapat di Pura Kahyangan Puseh melaksanakan Upacara Piodalan dengan menampilkan tarian Rejang Deha Teruna.

Batas Batas wilayah Desa Pupuan meliputi :

Sebelah Utara    :  Desa Bantiran

Sebelah Selatan :  Desa Sai.

Sebelah Timur   : Desa Pujungan.

Sebelah Barat    : Bantiran

Jumlah penduduk Desa Pupuan per-bulan Desember 2010 adalah  830 KK   dengan 1592 penduduk Laki laki dan 1612 Penduduk Perempuan.

Kemudian sebagai kami sebutkan diatas maka hal tersebut terdapat dalam isi tulisan Prasasti bantiran yang terbuat dari Tembaga Wasa, yang saat ini disimpan / disungsung di Pura Puseh Desa Sading Kabupaten Badung.

Dalam Prasati tersebut dituliskan pada abad II ( Tahun caka 923 / tahun 1072 M dengan bahasa zaman Peralihan Bali Kuna, ke Jawa Kuno bahwa Desa Pupuan itu sudah ada

Sedang Banjar Pupuan adalah sebuah Banjar yang pertama terjadi atau terbentuk beberapa ratus tahun yang lalu yang semula jumlah penduduknya hanya mencapai ratusan KK dan sampai pada saat ini sudah berjumlah dua ratus lebih. Kalau dilihat dari segi perekonomiannya Banjar Pupuan tergolong sedang-sedang saja. Karena penduduknya mayoritas beragama Hindu dan sebagai mata pencaharian sebagian besar petani hanya sebagian kecil ada yang wirasuasta dan buruh.

Dilingkungan Banjar Pupuan juga terdapat beberapa tempat Suci sebagai bukti bahwa Banjar Pupuan adalah banjar yang pertama terberntuk yakni, ada Pura Dalem, Pura Tegal Penangsaran yang sampai saat ini menjadi sebuah kegiatan unutk melaksanakan keyakinan sebagai umat beragama. Dalam menunjang kegiatan-kegiatan tersebut juga terdapat kesenian/alat Seni Tabuh yaitu Gamelan Gong Kebyar, Angklung Kebyar. dan Kesenian sacral Mandolin yang pertama kali ada khusus di banjar Pupuan. Sampai saat kesenian Mandolin masih tetap aktif mengikuti kegiatan dalam acara Hut Kota Tabanan dan Pawai Pembukaan Pesta Kesnian Bali ( PKB ). Sedangkan dari kegiatan Sekhe Duka utamanya tentang kematian berjalan sebagaimana mestinya dan dari segi keamanan Banjar Pupuan sementara ini tergolong tentram,aman,damai. Tolenrasi dan komunikasi antar warga terjalin dengan baik, ini terbukti dengan setiap kegiatan keagamaan dan kegiatan lainnya masyarakat/wagra dapat hadir dengan serenta

Demikian pula di masing masing rumah tangga, perumahannya berpedoman kepada Tri mandala. Dipelemahan Hulu yaitu Tempat Sanggah, masih menunjukkan keasliannya yaitu membuat sanggah kemulan dari pohon dapdap sakti beratapkan ijuk. Palemahan perumahan situasinya sempit dan ngomplek dan palemahan teben tempat wewalungan . kesemuannya memang demikianlah diwariskan oleh para leluhur Desa Pupuan

Setelah sekian abad Keadaan Desa Pupuan, maka tibalah saaatnya sekarang setelah Baginda Raja mengumpulkan kembali Masyarakat Desa Pupuan dengan dibuka awig awig oleh Raja, karena hampir musnah , kehilangan penduduknya yang selalu suka berpindah pindah . maka ternyata Pupuan ini adalah daerah subur udaranya sejuk  dengan tanaman Kopi, Cengkeh, Panili ,Padi  dll. Yang merupakan Penghasilan utama Penduduk Desa Pupuan.

Adapun kesenian sacral yang ada di Desa Pupuan yaitu Tarian sakral Rejang Ayunan dan Baris Jajar.

Tarian ini di pentaskan sekali dalam setahun hal ini bekaitan dengan upacara piodalan di Pura Puseh  ( Purnamaning Kapat ) kira kira bulan Oktober.Para penarinya adalah Sekaa Teruna –Teruni di wilayah Desa pekraman Pupuan dengan pakaian adat Bali (Metoros ) lengkap dengan membawa pusaka berupa Keris.Tarian ini dilaksanakan  selama 2 hari,  pada hari pertama dilaksanakan selama 3 kali  putaran, kemudaian hari kedua selama 6 kali putaran  yang kemudian ditutup dengan  kegiatan berayunan yaitu  para Deha Teruna bergiliran bergelantungan  dibawah pohon cepaka [Yang berada di jaba Pura puseh  yang samapai saat ini usia pohon tersebut tidak ada yang tahu  karena setiap para tetua yang ada di desa di tanyakan soal Pohon iu menyatakan pohon itu sudah ada sejak dulu.]sambil menari diiringi dengan tetabuhan dan sorak sorai Daha Teruni…. Terahir salah seorang Deha Teruna memanjat Tali tersebut sampai keatas dimana dipohon tersebut telah tergantung Ketupat 1 Kelan [ 6 Biji ] dengan Ayam Bekaka serta  Sebotol Arak setelah didapat kemudian makanan tersebut diambil dan dilempar ke bawah dan menjadi rebutan Daha Teruna –teruni  yang lain.Tarian rejang Ayunan ini merupakan perlambang dari kegembiraan Penduduk  menyambut panen serta rasa syukur atas segala limpahan berkah dari Ida sang Hyang Widhi Wasa ( berupa Pala Gantung, dan Pala Bungkah/ buah buahan dan umbi-umbian)

Baris Jajar.

Tarian Baris jajar ini di pentaskan  sekali dalam setahu yaitu setiap Purnama kapat pioadalan di Pura Duur Kauh Kayu Padi. Tarian ini ditarikan oleh  Deha Taruna berjumlah 7 orang penari khusus  dengan kelengkapan penari berupa senjata Tombak. Tarian ini diyakini sebagai para prajurit Ida Bethara yang bertugas menjaga  wilayah Desa pupuan dari hal-hal yang bersifat kurang baik secara niskala.