SEJARAH SINGKAT GAMBELAN PALEGONGAN DI BANJAR LEMINTANG

Gambelan Palegongan merupakan gambelan yang berlaraskan pelog panca nada, yang secara fungsional berfungsi untuk mengiringi tari berbentuk palegongan. Namun perkembangannya mengalami perubahan tanpa mengurangi pemaknaan secara signifikan. Gambelan Palegongan banyak ditemukan di wilayah Bali selatan, salah satunya di kawasan Banjar Lemintang yang keberadaannya telah mengalami perubahan baik dilihat dari struktur bentuk gambelan, maupun struktur tabuhnya.

Banjar Lemintang barlokasi di jalan A.yani selatan Desa Dauh Puri Kaja Kecamatan Denpasar Utara. Di Banjar Lemintang mamilikil barungan gambelan Palegongan yang umurnya hampir satu abad. Keberadaannya mengalami pasang surut, dikarenakan tidak adanya tokoh Karawitan yang mempunyai andil besar di bidang Palegongan. Namun Palegongan Banjar Lemintang sampai saat ini masi bertahan bahkan secara struktur barungannya mengalami perkembangan.

Di era tahun 30an terbentuk sekaa Palegongan di Prakarsai oleh Pekak Geledig dengan jumlah 12 qrang penabuh. Sekaa atau grup ini berasal dari prkumpulan atau sekaa Manyi. Hal tersebut sangat bertahan lama hingga sekaa Palegongan di beri nama sekaa Roras, karena jumlah anggota sekaanya Roras (12). Adanya lagu-lagu yang sering dimainkan seperti lagu:

  • Tebog
  • Liar samas
  • Solo
  • Krepet
  • Bintang siang
  • Pengerang erang agung
  • Slukat dll

Dengan jumlah instrument:

  • Gender Rambat 2
  • Gender Penyacah 2
  • Kajar krenteng
  • Kendang 2 buah
  • Penyacah ( pengrencang gantung 4 )
  • Calung 2 buah
  • Jegog 2 buah
  • Kenong
  • Gong

Gambelan  dan sekaa ini bertahan hingga era 70an.

Di era 70an sekaa Gambelan Banjar Lemintang yang disebut sekaa Roras mengalami perkembangan, dengan masuknya generasi-generasi muda di tahun 70an. Dengan memulai mencari tabuh-tabuh tari lepas seperti:

  • Tabuh Margapati
  • Tabuh Gabor
  • Tabuh Oleg Tamulilingan
  • Tabuh Wiranata dll.

Dengan demikian keberadaan barungan palegongan menjadi bertambah, dengan menggunakan gong dan kempur, di tambah kendang ceditan. Namun gending-gending Palegongan tahun 70an masih tetap bertahan

Era globalisasi memberikan nafas yang kurang bagus terhadap sekaa Palegongan Banjar Lemintang. Seperti diketahui globalisasi adalah proses terintegrasinya berbagai elemen kehidupan kedalam system tunggal yang berskala dunia. Sistem tunggal ini dimotori oleh perkembangan kapitalisme dan teknologi informasi yang mendorong munculnya imprealisme kapitalis. Hal ini membuat peremajaan sekaa khususnya di Banjar Lemintang tidak mendapatkan respon, bahkan sekaa tidak aktif hamper 10thn. Namun dengan semangat beberapa warga Banjar diantaranya, Bpk Made Sudama, Bpk Made Arta, Bpk wayan Maradana, Bpk Made swastika dan Bpk Ngurah Supartama, membina anak” dari tahun1997 untuk mencetak kaderisasi hingga sekarang. Keberadaan ini tentu banyak mendapatkan perhatianPro dan Kontra. Namun dengan rasa tulus dan bakti akhirnya peremajaan sekaa Palegongan Banjar Lemintang dapat terwujud hingga sekarang

Setelah generasi Palegongan thn1997 terbentuk, sekaa Palegongan banjar Lemintang mampu mewujudkan rasa bakti dengan konsep ngayah-ngayah di lingkungan Banjar bahkan di luar Banjar.

Mengingat keberadaan Gambelan Palegongan Br. Lemintang dalam kondisi yang kurang bagus, Berbagai cara di lakukan untuk mendapatkan dana renovasi Gambelan. Akhirnya thn 2009 Gambelan Palegongan Banjar Lemintang mampu di renovasi dengan menambahkan 4 ganggsa jongkok dan trompong pengenter

Komentar Video Salya Pralaya

Dalam suatu pementasan ada beberapa aspek-aspek yang berperan penting,di antaranya teknik pengambilan gambar, lighting dan sound system. Disini saya sedikit mengomentari pementasan baleganjur yang berjudul “ SALYA PRALAYA” yang di tata oleh I Ketut Adi Wirahasa S.Sn. SALYA PRALAYA merupakan pertunjukan fragmentari Baleganjur yang mengisahkan tentang kematian Prabu Salya.

Teknik pengambilan gambar

Dalam pengambilan gambar, pementasan kelihatan tidak menyeluruh karena letak kamera sejajar dengan penabuh dan cara pengambilan gambar dilakukan secara manual tidak memakai stand hanya menggunakan tangan, ini menyebabkan pementasan kurang jelas di tonton dan banyaknya para penonton yang terlihat di kamera. Disini seharusnya pengambilan gambar harus lebih tinggi dari pada panggung dan penabuh agar penabuh kelihatan secara keseluruhan.

Sound System

Disini saya mendengar kurangnya keseimbangan dalam pengaturan sound system, karena hanya ada 1 pengeras suara yang terletak di tengah-tengah pas di depan panggung,ini menyebabkan suara gambelan yang sangat keras terdengar hanya suara gambelan yang posisinya berada di depan saja, sedangkan gambelan yang berada di belakang suaranya tidak jelas. Tp saya tidak menyalahkan juga tidak adanya pengeras suara pada setiap-setiap instrument itu, karena pementasan ini melakukan demonstrasi dimana para penabuh melakukan berbagai gerakan yang berpindah-pindah tempat , jika adanya pengeras suara pada setiap-setiap instrument,para penabuh tidak akan leluasa dalam melakukan gerakan, mungkin akan terjadinya banyak benturan pada pengeras suara tersebut, dan suara benturan itu pasti akan menimbulkan suara berisik yang tidak enak didengar termasuk juga mengganggu suara-suara pada setiap instrument

 

 

Lighting

Dalam  pencahayaan,disini kelihatan sudah cukup menyeluruh,namun karena pengambilan gambarnya kurang tinggi maka penabuh yang berada di belakang kelihatan seperti tidak terkena cahaya

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!