Skip to content


Feel Asli Milik Musisi Tradisi

CalonarangErwin Gutawa juga melakukannya dalam sejumlah kegiatan, antara lain bersama Aminoto Kosin – yang ini project officernya 2 Warna di RCTI (sayang kini raib) sedang Erwin berkarya lewat album Chrisye, termasuk album Badai Pasti Berlalu. Di situ Erwin memakai alat musik tradisi, antara lain saluang dari Padang yang juga dimainkan oleh pemain Padang asli, didukung gendang Bali-nya Kompiang Raka di pergelaran Chrisye di JHCC awal tahun ini. “Saya menganggap penggalian musik etnik Indonesia itu penting, karena rasanya agak mustahil kita memainkan musik diatonis sebaik musisi penemunya, dalam hal ini orang Barat. Itu pula sebabnya, sewaktu Karimata mau berangkat ke North Sea Jazz Festival tahun 1987, Karimata perlu mempersiapkan diri melatih lagu fusion komposisi sendiri yang merupakan eksplorasi musik Barat dan etnik Indonesia, tapi memakai instrumen konvensional macam keyboards, bas, gitar, drum dan saxophone. Eksplorasi itu kami rekam lewat album Jezz Karimata. Artinya, Karimata Etnik, “ penjelasan Erwin Gutawa, bassist Karimata, sebuah band wakil ke North Sea Jazz tahun 1987. Karimata akhirnya merekam repertoar eksperimennya itu pada tahun 1988-1989, dengan bintang tamu musisi jazz dari GRP ( Amerika ), antara lain Lee Ritenour, Bob James, Dave Grusin, Phil Perry dan sejumlah nama tenar lainnya. “Terus terang, waktu itu eksperimen Karimata masih mentah, karena merupakan bagian dari persiapan ke North Sea saja. Tapi kami malah surprise, karena direspons positif oleh musisi dan gitaris Amerika sekaliber Lee. Dia mainin komposisi saya yang berbasis musik Dayak, “ tambah Erwin. Arranger ini lantas berpendapat, idealnya melakukan eksplorasi memadukan musik Barat – Timur tak hanya lewat alat musik daerah aslinya, tapi juga bisa dimainkan lewat alat musik Barat, tapi ‘soulnya’ tetap dapat, “Hal ini bisa didengar lewat album Yani, atau Kitaro. Mudah-mudahan hal yang sama juga terdengar waktu orang menikmati album Jezz Karimata untuk lagu Sing Ken-ken, Take Off to Padang atau yang bernuansa Sunda, Pady Field, “ tambah Erwin Gutawa lagi. 

Tentang kekayaan budaya Nusantara ini, NewsMusik mencatat banyaknya musisi luar mulai memperhatikan bahkan mempelajari-nya dengan cermat. Hal tersebut suatu ketika pernah juga diakui oleh salah satu dosen tamu di IKJ, perkusionis, Ron Reeves dari Australia. Buat Ron Reeves, faktanya memang musik tradisi kita begitu kaya, mungkin malah salah satu yang terkaya. Hal senada diakui pula oleh Brian Batie, bassist asal Amerika yang biasa bergaul dengan kelompok Elfa Secioria. Bagi Ron Reeves yang belakangan digandeng Sawung Jabo membangun Genggong, tradisi yang begitu kaya adalah aset yang tiada terhingga nilainya. Tapi biar bagaimana pun dipelajari, tetap butuh waktu sangat panjang. Menurut Oppie Andaresta, Ron Reeves pernah berucap, “Kalau butuh pemain kendang Sunda, jangan pakai saya. Meski pun saya juga belajar musik Sunda.” Kenapa? “Karena feel-nya nggak dapat. Feel-nya asli milik musisi tradisi setempat,” ucap Oppie menirukan pernyataan Ron Reeves.

Begitulah, untuk musisi Barat, gamelan, gendang, rebab dan sejenisnya, bisa saja dipelajari sekian waktu. Tapi ada satu hal yang sulit dipelajari dan dikuasai dengan seketika, ya urusan feel atau soul (jiwa) tadi. Harus bergaul di dalam masyarakat, berbicara dengan bahasa mereka, makan bersama kalau perlu, bahkan sampai pada urusan tinggal bersama. Dan itu harus dalam jangka waktu panjang. Soal itu diakui dan disetujui pula oleh Baron dan Gilang Ramadhan, dua nama yang berkolaborasi menghasilkan sebuah album rekaman pop, dengan nuansa etnik (perkusi) cukup kental.

Suatu ketika bahkan majalah sebesar Newsweek, pernah mengetengahkan kekayaan musik tradisi kita. Dan merekapun mengakui, lewat omongan dengan para profesor etnomusikolog di Eropa dan Amerika, bahwa ada perkara soul dan feel yang tidak mudah disentuh ‘orang-orang Barat’. Perkara balutan serba mistis atau spiritual Jawa misalnya, mengenai memandikan gamelan atau upacara-upacara ritual sebelum tari-tarian atau musik tradisional tertentu. Hal tersebut tetap menjadi misteri bagi para praktisi musik Barat. Misteri yang pada akhirnya, sampai sekarang, menjadi sebuah eksotika yang sangat unik. Unik dan tentu sangat berbeda dengan apa yang terjadi di musik-musik industri buatan barat. Karena adanya misteri yang tak tertangkap itulah, akhirnya Eberhard Schoener dari Jerman memutuskan berkolaborasi dengan Agung Raka waktu membuat album Bali Agung yang beredar tahun 1975, hampir setahun mendahului eksperimen musik Guruh Gipsy. Tapi menurut pendapat Kompiang Raka, sebenarnya ‘roh’ eksperimen Guruh Gipsy lebih bagus dibanding Bali Agung, “Karena Eberhard Schoener tak menguasai budaya Balinya, seperti Guruh dan kebetulan saya bantu, “ ujar Kompiang, yang kini Wakil Direktur Gedung Kesenian Jakarta, dan diajak Ian Antono membuat musik eksperimen Gong 2000 untuk penampilan Gong di BASF Award 1995 di GKJ dilanjutkan dengan rekaman Gong 2000 menghasilkan album Barat Timur, dengan memakai format pemain gamelan 18 orang untuk live performance dan 32 orang untuk setting orkestra gamelan besar.

Posted in Literatur karawitan, Materi Pengetahuan multimedia, Pengetahuan Karawitan.

Tagged with .