Skip to content


Tragedi Bom Bali I dan II, Pengaruhnya Terhadap Pariwisata

Pada saat bom Bali pada bulan Oktober tahun 2002 lalu di Legian, pariwisata Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya mengalami guncangan yang hebat. Eksodus turis mancanegara terjadi, tingkat hunian hotel menurun drastis. Bali yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai tulung punggung perekonomian menjadi goyah, mulai dari masyarakat tingkat atas, menengah  sampai  masyarakat tingkat bawah. Kalangan pelaku seni khususnya untuk pariwisata, mengeluh dengan kondisi seperti ini. Hal tersebut di atas jelas berpengaruh pada pendapatan hotel, biro perjalanan, dan akhirnya banyak kontrak pertunjukan di hotel-hotel tidak diperpanjang malahan di putus karena kurangnya tamu.

Dampak ekonomi terbesar secara langsung dialami Bali. Kegiatan pariwisata yang merupakan tulang punggung (sekitar 35%) perekonomian Bali mengalami guncangan. Pembatalan pesanan hotel oleh para wisatawan, kosongnya restoran dan toko sejak peristiwa pemboman, serta turunnya penghasilan pemilik perusahaan kecil yang usahanya bersandar pada sektor pariwisata telah terjadi secara dramatis. Masalah pokok yang dihadapi Bali dalam jangka pendek ini adalah penghasilan masyarakat yang menurun dan lapangan kerja yang menciut (http://www.hukmas.depkeu.go.id/HukmasNews/penmenkeu2810.htm).

Peristiwa Bali juga merupakan pukulan bagi sektor pariwisata di Indonesia yang menyumbang devisa lebih dari $ 5 milyar setiap tahun terhadap neraca pembayaran nasional. Tahun lalu lebih dari 5  juta turis asing mengunjungi Indonesia. Dalam jangka pendek diperkirakan kunjungan wisatawan asing akan berkurang, baik yang bertujuan ke Bali maupun tujuan wisata lain di Indonesia. Berapa besar penerimaan devisa yang hilang untuk tahun 2002 dan 2003 tergantung pada berapa banyak wisatawan yang tidak jadi datang ke Indonesia. Dari pengalaman lalu, baik yang terjadi di Indonesia maupun negara lain, perbaikan di bidang pariwisata terjadi sejalan dengan pulihnya kepercayaan dan keamanan. Ini menggarisbawahi pentingnya pengembalian rasa aman secepat  mungkin (http://www.hukmas.depkeu.go.id/HukmasNews /penmenkeu2810.htm).

Penurunan jumlah wisatawan mempengaruhi banyak kegiatan ekonomi lain. Survei BPS mengenai wisatawan mancanegara menunjukkan bahwa sektor yang dipengaruhi itu termasuk : akomodasi (perhotelan), angkutan udara, angkutan darat, makanan & minuman (restoran), hiburan, tour & sightseeing, souvenir (kerajinan), kesehatan dan kecantikan dan pelayanan (guide). Melalui sektor ini Bali terkait dengan daerah-daerah lain. Dampak peristiwa Bali tidak hanya terbatas di Bali (http://www.hukmas.depkeu.go.id/HukmasNews/penmenkeu2810.htm).

Dampak yang sangat penting tetapi sulit  dikuantifikasikan adalah terhadap kepercayaan pelaku-pelaku ekonomi  di dalam dan diluar negeri. Dampak dari kepercayaan para pelaku ini sangat luas karena menentukan sikap dan perilaku mereka di berbagai sektor. Perubahan tingkat kepercayaan akan mempengaruhi pengeluaran konsumsi, investasi, ekspor dan impor, kesemuanya adalah sumber-sumber utama pertumbuhan ekonomi. Setelah peristiwa Bali Country Risk Indonesia sangat meningkat seperti yang dicerminkan oleh risiko dan biaya transaksi dengan Indonesia (premi asuransi, biaya bunga pinjaman, dsb) yang makin mahal, para investor yang ragu-ragu dan para pembeli luar negeri yang bimbang membuka order. Normalisasi keadaan ini akan memakan waktu. Kepercayaan akan kembali, secara bertahap, apabila kita dapat menunjukkan langkah-langkah dan hasil-hasil kongkrit di bidang keamanan, reformasi hukum, fiskal dan moneter dan langkah-langkah lain yang memperbaiki iklim usaha.

Di bidang keamanan Pemerintah saat ini secara nyata menunjukkan komitmennya untuk menanggulangi  terorisme, yaitu dengan dikeluarkannya Perpu Anti Terorisme. Aparat keamanan   bekerja keras untuk mengungkap secara tuntas kasus ini dengan dukungan dari negara-negara sahabat. Langkah-langkah ini semua dimaksudkan untuk mengembalikan  suasana normal dan rasa aman di Bali dan tempat-tempat lain di Indonesia.

Dari berbagai indikator perkembangan pariwisata, sangatlah sulit menyepakati, tahun berapa sesungguhnya yang disebut ”tahun normal”. Meskipun angka-angka statistik sudah menunjukkan kurve naik, kalangan swasta masih saja akan mengatakan bahwa saat ini situasi belum normal. Kalau disimak lebih ke belakang, sesungguhnya ketidaknormalan situasi sekarang bukan semata-mata terjadi karena sisi permintaan atau kurangnya ”produksi” hasil panen. Yang justru sangat mendasar adalah sisi ”pembagi” yang terlalu banyak.

Ada berbagai indikator yang dapat digunakan di dalam menentukan tingkat perekembangan pariwisata di suatu daerah tujuan wisata, baik kuantitatif maupun kualitatif. Indikator kuantitatif yang umum digunakan adalah tingkat kunjungan, tingkat hunian kamar, lama tinggal wisatawan, tingkat pengeluaran wisatawan, dan tingkat penukaran valuta asing. Sedangkan aspek kualitatif yang dapat dijadikan indikator adalah tingkat kegairahan masyarakat lokal.

Indikator yang paling mudah didapatkan, dan oleh karenanya paling sering diacu untuk menentukan tingkat perkembangan pariwisata, adalah angka kunjungan. Karena kesulitan dalam metodologi, maka untuk konteks Bali, yang dapat dijadikan representasi dalam hal ini adalah jumlah kunjungan wisman secara langsung (foreign direct arrival).

Situasi kunjungan wisman secara langsung ke Bali pascatragedi Kuta sesungguhnya sudah menunjukkan angka kenaikan yang signifikan, sebagaimana dapat dilihat dari data dalam tiga bulan terakhir tahun 2004. Data dari Dinas Pariwisata Propinsi Bali menunjukkan bahwa pada bulan Januari 2003 (3 bulan setelah tragedi Kuta), jumlah kunjungan hanya 60.836 orang, sedangkan Januari 2004 sudah mencapai 104.062 orang, atau peningkatan sebesar 71%. Pada bulan Februari dan Maret 2003, jumlah kunjungan wisman masing-masing sebanyak 67.469 dan 72.263 orang, sedangkan pada bulan yang sama tahun ini sudah mencapai 84.374 dan 99.826 orang, atau kenaikan sebesar 25% pada bulan Februari dan 39% pada bulan Maret (IG Pitana, Sudah Pulihkah Pariwisata Bali? Bali Post).

Pada bulan April tahun ini, sampai minggu ketiga, rerata kunjungan per hari sudah mencapai 3.900 orang, sedangkan bulan April tahun 2003 hanya sekitar 2.400 orang. Angka-angka yang dikutip di atas, sudah lebih tinggi daripada angka-angka tahun 1997 ataupun 1998, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan angka-angka tahun 2000 dan 2001.

Meskipun angka kunjungan sudah cukup menggembirakan, namun lama tinggal wisatawan mengalami penurunan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelum adanya tragedi Kuta. Pada tahun 2000 dan 2001, rerata lama tinggal wisatawan mancanegara masing-masing mencapai 10,97 dan 9,48 hari. Sedangkan lama tinggal wisman yang tahun 2003 hanya sekitar 6 hari. Hal ini terjadi karena pergeseran komposisi wisman yang berkunjung ke Bali. Sebelum Tragedi Kuta (lebih tepatnya sebelum tragedi WTC di Amerika), persentase wisman dengan lama tinggal yang panjang (Amerika, Jerman, Italia, Belanda, dsb) cukup tinggi. Sedangkan sekarang dominasi wisman dengan lama tinggal yang singkat semakin tinggi (Taiwan, Jepang, Korea).

Singkatnya lama tinggal ini menyebakan jumlah room-night yang secara real digunakan juga menjadi jauh lebih rendah, sehingga pada akhirnya bermuara pada rendahnya rerata tingkat hunian kamar hotel. Pada bulan Januari, Februari, dan Maret tahun 2000, rerata tingkat hunian kamar di Bali mencapai 46,33%. Angka ini anjlok pada tahun 2003, menjadi 31,87%. Bulan Januari tahun 2004, angka tingkat hunian kamar masih merangkak pada angka 31,41%.

Pengeluaran per wisatawan per hari, juga bisa menggambarkan tingkat kepulihan pariwisata Bali. Pada tahun 2001, setiap wisman rerata mengeluarkan uang sebesar US$ 74,38 per hari, bahkan sempat mencapai US$ 134,66 pada tahun 1994. Pada tahun 2003, pengelaran wisman per orang per hari hanya mencapai Rp. 548.592 (US$ 60,95). Angka ini tampaknya belum membaik sampai tiga bulan pertama tahun 2004 ini. Fenomena ini juga berasosiasi dengan pergeseran komposisi pasar. Di samping itu, kedatangan wisman ke Bali yang didorong oleh berbagai paket-paket khusus (harga promosi dengan diskon yang menggairahkan), berhubungan juga dengan menurunnya tingkat pengeluaran wisatawan di atas.

Dibandingkan dengan situasi beberapa bulan pasca tragedi Kuta, aspek psikologis masyarakat Bali, khususnya yang kehidupannya tergantung pada pariwisata, sudah menunjukkan kegairahan yang nyata. Rasa keterpurukan tidak lagi separah tahun lalu, ketika pariwisata tiba-tiba jatuh. Secara sosiologis, hal ini dapat dijadikan salah satu indikator kepulihan pariwisata, paling tidak secara perseptif.

Masalah kedua yang sangat mendasar dalam sebuah metodologi penelitian pariwisata adalah mencari ”angka dasar” sebagai pembanding. Tanpa kesepakatan mengenai angka dasar, maka perdebatan tidak akan pernah mengerucut, karena masing-masing akan bicara menurut versi sendiri-sendiri. Apalagi kemudian diwarnai oleh perbedaan agenda dan kepentingan, maka perbedaan pendapat akan mengarah kepada debat kusir. Dalam menjawab pertanyaan “apakah pariwisata Bali sudah normal”, atau berapa persen tingkat kepulihan yang sudah didapatkan, maka mutlak diperlukan kesepakatan, kapan pariwisata Bali dianggap ”normal”.

Dari berbagai indikator perkembangan pariwisata yang diuraikan di atas, sangatlah sulit menyepakati, tahun berapa sesungguhnya yang disebut ”tahun normal”. Tahun-tahun terakhir, memang pariwisata Bali selalu diwarnai oleh situasi ”tidak normal”. Tahun 1997/1998, terjadi krisis moneter di Indonesia dan sebagian besar Negara pasar, sehingga mempengaruhi perkembangan pariwisata. Tahun 1998 dan 1999, terjadi kerusuhan demi kerusuhan di Indonesia, termasuk Bali, yang pengaruhnya juga sangat besar terhadap pariwisata Bali. Tahun 2000, sempat tenang sejenak, tetapi tahun 2001 kembali terjadi Tragedi WTC di Amerika, dan tahun 2002 terjadi Tragedi Kuta. Tahun 2003, wabah SARS dan Perang Irak kembali meluluhlantakkan dunia kepariwisataan.

Berbagai peristiwa mondial ini menyebabkan kondisi pariwisata Bali juga menjadi sangat fluktuatif. Dari jumlah kedatangan langsung, misalnya, tahun 1998 Bali menerima wisman 1.187.153, atau turun 3,51% dibandingkan tahun sebelumnya.

Tahun 1999, angka kembali naik secara nyata (14,21%), dan tahun 2000 kembali mengalami kenaikan, walau kecil (4,2%), menjadi 1.412.839 orang, yang merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai Bali. Tahun 2001, kembali melorot sebesar 3,97% (menjadi 1.356.774 orang); tahun 2002 turun lagi sebesar 5,23% (menjadi 1.285.844); dan akhirnya tahun 2003 kembali mengalami penurunan sebesar 22,77% (menjadi 993.029 orang). Dengan fluktuasi seperti ini, kembali kepada pertanyaan awal, tahun berapa yang harus dianggap sebagai ”tahun normal”?

Banyak orang berpendapat bahwa tahun-tahun normal adalah pada decade 1980-an. Para insan pariwisata mengatakan bahwa pada decade tersebut pariwisata Bali mengalami booming, dan kalangan swasta sedang romantisnya menikmati manfaat ekonomi yang baik. Apakah tahun-tahun tersebut dapat dijadikan patokan sebagai tahun dasar atau tahun pembanding di dalam menentukan tingkat kepulihan pariwisata Bali? Kalau jawabnya ”ya”, maka sesungguhnya, dari sisi permintaan, kondisi pariwisata Bali saat ini sudah jauh melewati ”angka normal”. Paling tidak kalau dilihat dari jumlah kedatangan langsung. Sebagai contoh, tahun yang disebut sebagai tahun ”puncak kejayaan”, yaitu tahun 1988 dan 1989, jumlah kunjungan langsung masing-masing hanya mencapai 360.415 dan 436.458 orang, jauh lebih rendah daripada angka pencapaian tahun 2003.

Tahun berapa pun yang diambil sebagai ”tahun dasar” atau tahun pembanding, kita akan dihadapkan pada situasi yang ”tidak normal”, sehingga tidak bisa merepresentasikan ”situasi normal”. Meskipun angka-angka statistik sudah menunjukkan kurve naik, kalangan swasta masih saja akan mengatakan bahwa saat ini situasi belum normal.

Kalau disimak lebih ke belakang, sesungguhnya ketidaknormalan situasi sekarang bukan semata-mata terjadi karena sisi permintaan atau kurangnya ”produksi” hasil panen. Yang justru sangat mendasar adalah sisi ”pembagi” yang terlalu banyak. Pada masa-masa ”romantis” (dekade 1980-an), jumlah pembagi ini masih sedikit. Ambil contoh tahun 1988 misalnya. Jumlah wisman yang datang adalah 360.415 orang, hanya dibagi oleh 625 hotel atau 12.155 kamar (bintang dan nonbintang); ditangani oleh hanya 68 BPW; makan pada 426 restoran/rumah makan; serta dipandu oleh 753 orang pramuwisata.

Sekarang, meskipun jumlah kedatangan sudah berkisar pada angka jutaan, jumlah pembaginya sudah jauh berlipat-lipat, yaitu 1.198 hotel (35.212 kamar), 440 BPW, 840 restoran/rumah makan, dan 6.781 orang pramuwisata (data 2003). Singkat cerita, permasalahan bukan hanya terletak pada sisi permintaan, melainkan pada sisi penawaran. Kondisinya sudah benar-benar oversupply. Inilah masalah yang mungkin justru lebih parah, yang memerlukan perenungan arif dari insan pariwisata, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat secara umum.

Dengan pemahaman secara lebih komprehensif, serta permenungan secara lebih arif, mungkin debat kusir mengenai tingkat kepulihan pariwisata Bali dapat lebih mengerucut. Apapun yang didiskusikan, bisa berbasis pada pengertian yang sama. Meskipun dalam ilmu sosial dikenal idiom what you see depends on where you stand (apa yang kita lihat tergantung dari mana kita berada), semestinya dalam membahas kepulihan pariwisata Bali kita mempunyai dasar pijak yang sama. Ini sangat penting dan lebih produktif sebagai ancangan di dalam menyusun agenda aksi yang lebih efektif untuk masa yang akan datang.

Posted in Tulisan.