Skip to content


Perkembangan Pariwisata Bali

Kebudayaan Bali sebagai  sebuah budaya tradisional agraris telah berurat dan berakar dengan dilandasi budaya Hindu, dengan keanekaragaman ekspresi budayanya. Ekspresi yang paling nyata dari dunia tradisional agraris Bali adalah ratusan jenis ritual adat-agama yang masih dilakoni orang Bali, hampir di setiap waktu, dan kerap melibatkan seni pertunjukan baik sakral maupun sekuler (profan, hiburan).

Pada sisi yang lain, dunia modern peradaban Barat yang datang ke Bali sebagai konsekuensi dari eksplorasi dan eksploitasi (penjajahan) Dunia Barat (Belanda) pada abad ke 17 yang memperkenalkan Bali kepada perdagangan dunia, kapitalisme berikut konsumerismenya yang kian mengglobal. Kehadiran dunia modern dapat dilihat dari berubahnya desa-desa agraris menjadi kota-kota dan kawasan-kawasan wisata seperti Denpasar, Sanur, Kuta, Nusa Dua, Ubud dan terus merambah ke daerah-daerah lain; serta penduduk Bali yang kian gandrung dengan produk-produk modern seperti mobil, sepeda motor, barang-barang elektronik dan lainnya. Dunia tradisional agraris berusaha bertahan agar tidak tergerus sementara dunia modern berusaha merebut karena memang itulah sifat kapitalisme dan konsumerisme. Orang Bali hidup, bergulat di antara dua dunia ini dan berusaha mengkompromikan kedua dunia yang saling bertentangan ini (I Gusti Raka Panji Tisna ., “Sekilas Tentang Dinamika Seni Pertunjukan Tradisional Bali dalam Konteks Pariwisata Budaya” seperti yang terdapat dalam http://www.budpar.go.id/filedata).

Dunia tradisi Bali yang berjiwa Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para leluhur adalah hasil evolusi dan akulturasi dari beberapa budaya yang datang ke pulau ini: nenek moyang dari Cina Selatan sekitar 4000 tahun lalu dan budaya Hindu dan Budha baik langsung dari India maupun melalui Jawa melewat skenario perluasan wilayah kerajaan Hindu-Buda di Jawa ke Bali sejak awal abad ke 9. Sistim dan tatanan kehidupan inti seperti desa adat dengan banjar-nya yang direkat oleh konsep Tiga Pura, Khayangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan Pura Keluarga (Sanggah/Merajan) serta organisasi pertanian bernama subak yang diperkirakan mulai diterapkan di Bali sejak awal abad ke 11 hingga kini tetap kuat keberadaannya di kota sekalipun. Lembaga tradisional sosial religius seperti desa adat, banjar dan subak ini dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali. Dunia tradisi ini mengajarkan filsafat keseimbangan antara kebutuhan jasmani-rohani sebagai sumber kebahagiaan yang tercapai bila terjadi keseimbangan antara kebutuhan badan, kebutuhan sosial dan spiritual. Konsepsi ini secara umum dikenal dengan Tri Hita Karana (I Gde., 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali , Print Works, Denpasar-Bali, Indonesia. Seperti yang dikutip oleh I Gusti Raka Panji Tisna).

Dunia modern (Barat) masuk ke Bali sejak awal abad ke 17 dengan berkunjungnya penjelajah-penjelajah Eropa (baca Belanda) ke daerah Nusantara dengan motif komersial, mencari dan memperdagangkan rempah-rempah. Para pelaut dan saudagar itu juga menginjakkan kaki di Bali, kemudian melakukan perdagangan dengan raja-raja di Bali. Perburuan rempah-rempah yang berlanjut menjadi penjajahan Nusantara oleh Belanda. Awal tahun 1890-an Bali dengan keunikan kebudayaannya mulai dikemas oleh Belanda untuk dijual sebagai produk wisata. Pariwisata budaya yang awalnya hanya dilakoni segelintir elite Barat (Eropa, Amerika) untuk tujuan melihat dan menikmati pulau tropis nan indah dengan budayanya yang kaya dan unik (eksotis) kini menjadi pariwisata yang mendatangkan orang dari berbagai belahan bumi dalam jumlah melebihi satu juta setiap tahunnya. Mereka dipercaya datang ke Bali untuk tujuan yang sama, menikamati kebudayaan Bali, walau tidak sedikit juga yang datang sekedar untuk melepas kejenuhan rutinitas kehidupan mereka yang intens dan untuk kepentingan usaha meraup keuntungan dan malah menetap di Bali. Hasil beberapa penelitian dan survey memang menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan yang datang ke Bali termotivasi oleh keunikan budaya Bali (Ardika, I Wayan 2004).

Usaha-usaha Belanda untuk menguasai Bali memang selalu mendapat perlawanan sengit. Belanda hanya mampu menguasai Bali secara keseluruhan pada tahun 1908 melalui penaklukan kejam yang dikecam luas di Eropa. Untuk memperbaiki citra, Belanda bergegas membuat kebijakan–kebijakan untuk melindungi dan menjaga Bali agar tetap ”tradisional”. Bali dipelajari dan dituliskan secara rinci dan sistematik oleh sarjana-sarjana Belanda. Sebuah kebijakan yang menurut Adrian Vickers, sarjana Australia, dalam bukunya Bali: A Paradise Created hanya bermaksud untuk bisa menjual Bali sebagai produk pariwisata.

Tidak lama berselang, tahun 1914, Maskapai Pelayaran Belanda (KPM) sudah menerbitkan brosur wisata tentang Bali sebagai ”pulau yang mempesona”, ”pulau pura dan puri”, ”pulau dewata” dan ”tempat wanita bertelanjang dada”. Mulai tahun-tahun itu KPM secara kontinyu membawa segelintir turis elite ke Bali. Pada tahun 1925 KPM membangun Bali Hotel di Denpasar hotel pertama di Bali. Di antara turis-turis elite tersebut ada seniman, antropolog maupun penulis yang dengan tulisan dan interpretasi mereka mulai tahun 1930-an mengentalkan citra Bali di mata dunia sebagai pulau surga. Citra yang tetap melekat hingga sekarang.

Penulisan perhatikan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama dipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Bukankah intervensi orang asing sudah merupakan bagian dari sejarah Bali pada umumnya? Walter Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat dikenal di Bali. Ia datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepang di awal tahun 1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di Jaman itu. Pementasan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di berbagai desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran Belanda, KPM.

Beberapa sarjana berpendapat bahwa orang Bali mulai mendefinisikan kebudayaan mereka berdasarkan definisi yang digariskan oleh orang-orang luar tersebut. Orang Bali mematut-matut diri dan mengukuhkan diri untuk senantiasa tampil tradisional; melakukan simulacra atau sandiwara tradisionalisasi (Ni Made Ruastiti. Seni Pertunjukan Bali dalam Kemasan Pariwisata, Denpasar: Bali Mangsi Press). Dalam usaha menjaga agar tetap tradisional Pemerintah Daerah Bali pun, melalui Perda Nomor 3 tahun 1974 dan telah direvisi menjadi praturan daerah Nomor 3 tahun 1991 mencanangkan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah Pariwisata Budaya. Pariwisata yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai agama Hindu yang merupakan bagian dari Kebudayaan Nasional sebagai potensi dasar yang dominan.

Setelah jaman kemerdekaan Indonesia, usaha untuk secara maksimal mengembangkan Bali sebagai daerah tujuan wisata menjadi agenda penting pemerintahan Presiden Soekarno; terlebih-lebih pemerintahan Presiden Soeharto, dan berlanjut hingga sekarang. Pembangunan hotel mewah Bali Beach Hotel oleh Soekarno dan pengembangan kompleks pariwisata mewah Nusa Dua oleh Soeharto dengan Master Plan tahun 1971 oleh sebuah perusahaan perancis, SCETO, yang ditindak lanjuti dengan pembangunan 12 hotel mewah beserta sarana pendukung lainnya adalah contoh-contoh awal usaha-usaha tersebut(Rai, A.A. Gde (2003) Sustaining Culture Through Tourism: Fact or Fluff (from heritage to legacy), Presentasi pada PATA Annual Conference, Bali) Pemodal besar terus menanamkan modalnya menciptakan boom pariwisata tahun 1980-an; pariwisata budaya yang massal terus berlanjut hingga sekarang. Bom Bali 2002 sempat membuat pariwisata Bali kelimpungan namun perlahan-lahan pulih.

 

Posted in Tulisan.