Skip to content


Limbak

Karawitan sebagai sajian budaya merupakan ekspresi jati diri bangsa, sumber kreativitas dan sekaligus merupakan kebudayaan yang harus dilestarikan agar tidak terkikis oleh modernitas. Kesadaran akan kekuatan jati diri sebagai dasar yang kokoh akan membawa eksplorasi dan ekspresi imajinatif menuju sajian kekaryaan yang memiliki tafsir makna yang terbarukan.

Sejak dahulu karawitan telah terbentuk sebagai seni ritual apalagi di Bali yang masyarakatnya melakoni kehidupan agama khususnya Hindu itu dengan budaya pertunjukan, tidak hanya berhenti di sana, kini karawitan telah memberikan ruang-ruang kreatif bagi setiap generasi yang ingin mengembangkannya menuju pada sebuah pertahanan budaya dan membentuk jati diri. Karawitan ibarat ‘mutiara’ yang hendak diambil, dipikirkan, diberdayakan untuk diolah sehingga mampu dinikmati dan jauh dari itu mampu membentuk budi masyarakat yang lebih kuat untuk menghadapi keterkikisan idenitas karena pengaruh global.

Terbukanya peluang kreativitas dalam karawitan, oleh komposer muda diungkapkan lewat kekaryaan, ke dalam bentuk karya, struktur karya, konsep musikal, dan lain sebagainya, yang diaplikasikan lewat instrument sebagai media ungkapan kreativitas. Menurut Sukerta dalam Gong Kebyar Buleleng; kreativitas merupakan peluang bagi seniman untuk meningkatkan kemampuannya. Dalam konteks ini sang komposer meningkatkan kemampuanya guna pencapaian sebuah jati diri yang tercermin lewat kekaryaan. Kreativitas dipahami sebagai suatu bentuk kegiatan dari tidak ada menjadi ada. Menjadikan sesuatu lebih berguna dan berdaya guna. Kreativitas memang menuntut setiap pelaku untuk menciptakan sesuatu yang tidak saja harus menoton secara tradisi, namun kreativitas juga menuntut kemampuan yang lebih.

Persoalan karawitan tradisi seperti gamelan Bali dan keberadaan seorang komposer tidak saja berada diantara memainkan alat, namun jauh dari itu menuntut adanya suatu perenungan yang terkadang cepat sekali untuk merubah. Perubahan itu sendiri datang karena terlalu banyaknya ide-ide liar yang berseliweran menuntut diterjemahkan ke dalam sebuah karya.

Posted in Lainnya.


Pidato Kang Dedi Bagian ka Opat

Ketika berkata: kulihat mata mu yang bening itu terjatuh ia bodo itumah sastrawan, tapi lamun kalimatna berulang-ulang teu daekeun wae, kosong euweuh khodaman eta, moal jadi nanaon, engke eta jadi penulis teu laku, jadi pembaca puisi euweuh nu manggil pan rugi, sawah geus dijual pikeun biaya kuliah di UNPAD teu jadi nanaon, kan ini harus dilakukan kenapa? karena perguruan tinggi harus mengajak orang-orang yang memiliki kesaktian. Kesaktian itu ialah kemampuan kita mewujudkan seluruh ide dan gagasan itu, maka menurut saya perlu dirombak tata pikir itu. Tidak usah lagi kumpulan kalimat, ulah aya profesor doktor internis kena struk, kan aneh gitu loh, kan aneh Profesor Dokter jurusan Internis kedokteranana, tapi setruk kan aneh boroning mikiran batur, mikiran dirina ge geus teu mampu.

Heu heu heu heu… kadieunakeun teh loba profesor pohoan. Mangkat weh ka kampus sapatu sabeulah sendal sabeulah. Poho  heu heu.. kan bahaya menurut saya, nah artinya Bahwa gelar-gelar perguruan tinggi jangan membuat orang menjadi pikun, tetapi harus membuat orang semakin mengingat sesuatu dengan baik kemudian memikirkan sesuatu yang baik, kemudian berucap dengan penuh makna, sehingga seluruh ucapannya menjadi perubahan dan menjadi peradaban. Sehingga sejarah kita ini mengalami kesalahan, kesalahannya apa? Ketika menemukan tesis-tesis gitu loh coba engkema bu Nina ganti atuh da tulisan tesisteh geus gaya ulah disebut mantra, coba tesis-tesis yang ditulis oleh tokoh-tokoh sejarah dulu apakah itu raja atau apapun, maka yang ada dalam pikiran kita adalah untuk meneliti seluruh kata-kata itu, sehingga saya mengajak pada fakultas sastra, kemudian fakultas sejarah, dan fakultas yang disini barangkali  memahami tentang nilai-nilai identitas, tolong itu ucapan-ucapan debus itu anda teliti dengan baik kunaon eta jampe debus beut bisa teu teurak dikadek? Itu diteliti, ada makna apa? kalimat itu memiliki isi apa di dalamnya? Dan itu tidak boleh di mistikfikasi harus diakademisasi ketika diakademisasi maka itu akan menjadi sumbangan peradaban sebagaimana Cina melakukan itu.

Karena itulah kita memiliki riwayat saya katakan, karena memiliki riwayat maka seluruh keilmuan itu harus berdasarkan riwayat yang kita miliki. Karena tuhan menciptakan kita dengan alamnya, dengan riwayat alamnya, maka mereka yang menghuni mahluk pertama di alam ini adalah mereka yang paham betul tentang cita-cita dan sejarah peradaban kemanusiaannya. Maka bekajar identitas pembangunan tidak boleh berlari dari yang lain. Kita harus belajar dari sejarah peradaban kita sendiri. Karena kita tidak mungkin membangun peradaban diri kita dengan peradaban orang lain. Nah karena empat hal ini saya katakan nilai kebudayaan sesunguhnya adalah nilai agama sebenarnya ageuman, karena itu bersifat ageuman maka membentuk karakter dirinya, maka orang terbentuk pada wilayah identitas-identitasnya, maka disitulah orang memiliki ketuhanannya masing-masing itu baru secara komunal belum secara individual. Karena itulah yang harus dilakukan hari ini adalah sinergitas bihari  yaitu masa lalu, kiwari masa kini dan masa depan, ketiga-tiganya tidak boleh terpisah. Kerena ketiga-tiganya tidak boleh terpisah, maka para pemikir para cendikiawan, profesor, doktor, dan sejenisnya, itu harus mencoba mengkolaborasikan, mengasimilasikan, mengartikulasikan seluruh nilai ini yang pada akhirnya menjadikan kebijakan-kebijakan strategis, ini yang harus dilakukan. Kalau tidak, maka kita akan masuk pada sebuah wilayah kehidupan dimana kita sudah tidak bisa hidup lagi pada alamnya. Inilah prinsip-prinsip berpikir tentang kebudayaan yang saya miliki karena saya tidak mungkin ngomong tentang teori kebudayaan di depan para budayawan. Jadi kalau tadi apalah bu Nina menyebut saya, saya jelema gele sebenarna. Jadi saya memimpin dengan gaya gila dan semua yang saya lakukan itu tanpa sebuah konsep yang dimiliki, yang ada hanya aliran air yang masuk ke pikiran saya, nah sehingga saya mencoba, ini sebenarnya masih tesis juga, seluruh tesis itu saya tulis lagi dengan judul lagu itu ada identitas ketuhanan, identitas nilai-nilai universitalitas, yang orang menyebutnya Islam, sebagai nilai penyerahan diri, dalam wujud lagu namanya simpena peuting.

Sistem nilai tanah, air, dan udara,  yang terinternalisasi dalam diri manusia dan bersenyawa maka melahirkan perilaku dan budaya. Perilaku budaya itu melahirkan kekuatan komunitas. Kekuatan komunitas inilah yang semestinya terjaga dalam sepanjang masa melahirkan berbagai kebijakan strategis negara. Jadi dalam pemahaman saya adalah kalau sebuah wilayah ini beragama, sebuah lingkungan alamnya, bagi saya beragama Islam itu adalah sikap mental yang tidak boleh melawan kepada kehendak alam, ini pemahaman yang saya miliki. Penyerahan diri pada Allah yang disebut dengan kalimat syawal tentang penyerahan diri orang pada tuhan pada Allah, dalam pemahaman saya adalah penyerahan diri pada qodlo dan qodar. Ketika penyerahan diri pada qodlo dan qodar, maka dia sesungguhnya melakukan penyerahan diri pada sistem kausalitas, ketika menyerahkan diri pada kausalitas, maka kita menyerahkan diri pada ukuran dan takaran, pada ukuran dan takaran itu adalah pada kehendak alam raya tanpa batas ini. Sehingga kalimat, kalau orang menyebutnya fiqih, kalau fikih itukan disebutnya hukum maka ahli sejarah kemudian nanti ahli geografi, itu harus memberikan hukum pada nilai kebudayaan. Hukum bagi wilayah ini rumahnya seperti apa? Tingginya seperti apa? Menghadapnya kemana? Guncangan gempanya berapa? Itulah yang harus menjadi rumusan membangun manusia yang beradab. Makanan yang harus dikonsumsi makanan apa? Sehingga  setiap wilayah terjadi perbedaan hukum. Hukum tentang makanan, kalau dalam kalimat kaidah Islam disebutnya haram, maka bisa jadi di Jawa Barat di Indonesia itu ada yang makanan haram di satu tempat, halal di tempat lain kenapa? Karena faktor udara, faktor matahari, faktor air yang membentuk karakter manusia yang mana yang memberikan daya tahan tubuhnya pada penyakit maka mana yang melemahkan diri. Saya berikan contoh, saya di Purwakarta ini, ada wilayah namanya kecamatan Wanayasa, Bojong, Darangdan, Kiara Pedes, itu kecamatan yang udaranya bersih dan dinginnya luar biasa, kemudian airnya mengalir dengan jernih, tata nilai masyarakatnya relatif tenang, tetapi kenapa angka tekanan darah tinggi sangat luar biasa? Struk itu sangat banyak sekali? Tetapi kenapa? setelah saya amati memang kebiasaan masyarakat setempat makannya dengan ikan asin secara terus menerus karena ikan asin pakai sambel kejona gede ngeunah tibra hees leuh karena udaranya dingin maka dia punya kebiasaan habis makan itu diharudung sarung  hees. Iyakan makan, sambel tibra gitu loh ini heu heu heu ini kebiasaan. Rupanya ini termasuk orang yang garap saya. Sama setruk juga, ari sia nyatuna naon? Asin ceunah, rombak sia teh, kunaon eta haram?ceuk saha? Ceuk hukum Sunda. Kenapa? Karena konsumsi ikan asin itu semestinya di daerah yang panas, bukan di daerah yang dingin. Sedangkan Allah sudah menciptakan disitu, aya serowot, aya mujaer, fakultas sastra nyahoeun teu serowot? Aya ondol, ondol teh geleng dage, ternyata di daerah yang dingin itu, ikan itu tidak bisa tumbuh dengan besar, ya ikannya kecil-kecil dan lincah, rupanya memang alam sudah mengtakdirkan, mengqodlokan dan mengqodharkan itu dan kemudian tumbuh daun-daunnan dengan subur, buah-buahan dengan subur, lalab-lalaban dengan subur semestinya yang menjadi makanan yang disunahkannya adalah itu.

Ini membentuk karakter dan kemudian melahirkan karakter rata-rata orang pegungungan itu cantik-cantik. Aduuuuh abdi ti laut cantik. Tapi kenapa? Karena memang rupanya memang alam lingkungan karakter makanan membentuk karakter tubuhnya melahirkan genetika yang memadai ditambah memang romantis. Mangkanya karya sastra itu banyak lahir dari gunung. Ditambah romantis. Saya perhatikan, saya punya ayam pelung,  nggak tahu fakultas sastra meneliti nggak sama sejarah, biasana lamun hayam nu sejen mah lamun ngabogohan bikangna teh sok kitu heula mepetkeun heula mun model urang mah susuitan, gupay, sms atau apalah anu kararitu, medsos etamah, nah lagi usum medsos dan sekarang lagi banyak kecewa pada medsos, nah kemudian ternyata hayam pelung tidak melakukan itu, hayam pelung itu ternyata cukup “kongkorongok”, nyampeurkeun bikangna teh. Berarti saya bilang ayam itu bersastra dengan baik dengan karya sastranya weuleuh hebat. Jadi kecantikan anda, ketampanan anda itu bukan dengan gaya pakaian, gaya menyerang, gaya apapun, bukan ternyata, ayam pelung yang memiliki karya sastra tinggi untuk dunia ayam, itu ternyata cukup kongkorongok bisa memikat ribuan bikang untuk menghampirinya. Artinya bahwa kecerdasan, ini ngomong kecerdasan, kecerdasan seorang fakultas sastra itu bukan make up bukan shedow, bukan rambutnya dimacam-macam, ada pada untaian katanya yang penuh makna yang disitu tertrantendensi, tersublimasi nilai-nilai ketuhanan sehingga mampu menggetarkan pikiran dan perasaan siapapun sebenarnya kekuatannya ada disitu. Jadi saya memberikan saran yang di fakultas sastra jangan membuat skripsi. Ya cukup saja selembar  karya sastranya bisa mendunia apa tidak tumpukan skripsi tidak berarti kalau tidak punya karya sastra yang baik. Nah inilah yang menjadi fenomena  menarik, fenomena menariknya adalah ini agak melantur sedikit, banyak orang yang jurusan seni, itu yang D O. D. O itulah yang hebat. Yang tamat sampai S1 teu payu, kan ini aneh gitu loh inikan fenomena menarik dalam dunia perguruan tinggi. Yang D.O itu banyak yang hebat, ini D.O tapi hebat. Tapi yang tamat-tamat eta hese ngan tinu ngajar wungkulmeunang duit nateh. Heu heu heu heu … artinya pormalisme keilmuan, melahirkan keberhalaan menurut saya. Saya katakan disini, formalisme keilmuan melahirkan pemberhalaan. Jangan sampai juga bahwa kita melakukan pemberhalaan terhadap tumpukan kalimat, pemberhalaan terhadap sistematika perguruan tinggi itu yang tidak melahirkan orang unggulan sebenarnya karena apa? orang unggulannya untuk menuju keunggulannya, terhalang oleh berbagai bentuk formalisme birokrasi yang membuat dia terkerangkeng identitas-identitasnya, pikiran dan kebudayaannya.

Posted in Kasundaan.


Pidato Kang Dedi bagian Katilu

Bagaimana sintesa peradaban, maka sintesa peradabannya adalah membangun kesetaraan. Bagaimana membangun kesetaraan? Maka kita kembali kepada identitas kita sebagai pemilik otoritas wilayah. Dan saya sebagai bentuk mengingatkan, saya tadi nulis yang pertama itu judulnya “dina pangumbaraan”. Itu kita berceritera tentang kegagalan kita merumuskan identitas-identitas kebudayaan. Kesalahan Orang Sunda Itu dari dulu nulisnya kurang. Karena nulisnya kurang maka, seluruh identitas-udentitasnya tidak bisa terkodifikasi kalau dalam bahasa hukumnya itu dengan baik sehingga tidak menjadi terwariskan. Tetapi lebih pada cerita mitos. Ketika menjadi ceritera mitos, maka terjadilah mistifikasi, ketika terjadi mistifikasi maka hanya dipahami oleh kaum mistik saja. Tidak dipahami oleh kaum rasio, maka menurut saya, sudah sebaiknya sekarang mistikfikasi dirubah menjadi akademisisasi, sehingga literatur perguruan tinggi tidak hanya mesti harus belajar pada literatur luar negeri terus. Maka belajarlah pada literatur pengalaman sejarah kita, maka kalau orang sunda menjadi pemimpin ditanah ini maka belajarlah pada sejarah peradabannya. Apa yang dituliskan oleh raja-raja dulu, apa pesan-pesan orang-orang tua kita dulu yang pertama menghuni tempat ini sehingga seluruh pesannya menjadi pesan pesan berikutnya, inilah yang harus dilakukan sehingga kita tidak kehilangan masa lalunya, antara bihari, kiwari jeung poe isuk.
Prilaku budaya, diletakan pada empat hal. Yang pertama adalah entitas tanah, yang kedua entitas air, yang ketiga entitas udara, yang keempat adalah entitas matahari. Keempat hal inilah melahirkan sistem nilai. Yang orang sunda menyebutnya papat kalima pancer atau papat kalima tunggal dimana manusia kalau sudah bisa mensenyawakan dirinya dengan cikal bakal penciptaannya, maka dia akan bersenyawa dengan Tuhan yang menciptakannya. Kalau manusia sudah mensenyawakan dengan tanahnya, mensenyawakan diri dengan airnya, mensenyawakan diri dengan mahatarinya, mensenyawakan diri dengan udaranya, dimana dia secara material berdasarkan keempat material tersebut, maka dia tidak akan kehilangan seluruh nilai-nilai kemanusiaannya. Karena dia tidak kehilangan nilai kemanusiaannya maka dia tidak akan jauh dari nilai ketuhanannya dimana dia berangkat dan dia kembali. Berangkat dari situ maka lahir sebuah pemahaman ideologi yang bersifat lokalitas. Ideologi lokalitas itu semestinya berkembang pada wilayah lokal-lokalnya. Karena hanya dengan ideologi lokalnya manusia bisa membantu peradaban lokalitasnya. Dan peradaban yang dimaksud adalah peradaban yang tidak meletakan eksploitasi sebagai standardisasi untuk mencapai kemakmuran. Karena eksploitasi sebagai standarisasi untuk mencapai kemakmuran maka hanya kemakmuran materialah yang bisa didapat tetapi kemakmuran spiritualitas akan semakin jauh dari identitas-identitas itu. Sedangkan orang yang berhasil, mensenyawakan dirinya dengan alam dan lingkungannya, bisa jadi yang ada dalam dirinya hanya kecukupan material tetapi juga memiliki kecukuan spiritualitas.
Nah ketika berbicara spiritualitas menurut saya itu tidak hanya pada aspek-aspek yang bersifat doktrin teknis spiritual agama tetapi spiritualitas itu tata nilai yang memberikan energi pada matanya, energi pada hidungnya, energi pada lidahnya, sehingga orang sunda menyebutnya panon ku awasna, ceuli ku danguna, irung ku angseuna, letah ku ucapna, hate ku kaweningan galihna, sehingga orang yang memiliki nilai-nilai spiritualitas itu adalah orang yang weruh ka semuna, apal ka basana, rancingas rasana, rancage hatena, maka dia terbangun dua identitas yang satu identitas ketuhanan yang bersenyawa dengan identitas kemanusiaan yang dalam undang-undang dasar kita meletakan yang disebut manusia Indonesia seutuhnya. Ketika manusia Indonesia seutuhnya berarti ciamis seutuhnya, banjar seutuhnya, ponorogo seutuhnya, jombang seutuhnya, maka hamparan inilah manusia-manusia yang utuh yang seluruh identitas kebudayannya. Karena ini yang dimaksud tidak mungkin kita masuk pada penyakit yang seperti hari ini.
Bahwa manusia berasal dari air, banyak orang kena cacar air ini kan aneh? Manusia berasal kemudian dari angin sebagai sumber inspirasi penciptaannya di Indonesia ada jamu tolak angin. Dan jamu tolak angin ini satu-satunya yang saya lihat di dunia ini cuman ada di Indonesia yang suka mengusir anginnya. Orang kampus mengusir anginnya, sedangkan di kampung saya kalau panen kemudian dia ssssssss cuit cuit suruh datang anginnya. Yang satu mengusir yang satu suruh datang seningga angin menjadi bingung. Akhirnya kita membeli angin dari Jepang dan bukan hanya buatan Jepang saja AC namanya. Nah kenapa itu terjadi? Artinya ada penelitian yang harus mengatakan ada problem di situ. Ada problem ritual, ada problem spiritual, problemnya apa? Manusia tidak mengenal angin sehingga dia harus masuk angin. Nah kalau itu problom berarti masuk angin itu penyakit. Dan saya lihat masuk angin itu menerpa orang-orang yang mengalami depresi, orang mengalami stres, yang berawal dari perutnya yang mengalami gangguan, dan gangguan perut itu disebabkan oleh gangguan pikiran sebenarnya. Jadi yang masuk angin itu adalah orang yang rata-rata depresi, tapi bagi saya orang yang depresi itu baik, karena manusia yang baik itu adalah manusia yang sering mengalami depresi. Mau pemilihan rektor depresi, berarti baik. Mau pemilihan dekan depresi, bararti baik. Mau kenaikan tingkat depresi, berarti baik. Mau ujian depresi, berarti baik. Ibu Nina mau penelitian depresi, berarti itu baik. Kalau kampus teriaknya selalu uangnya nggak ada. Kalau pemerintah daerah rata-rata uangnya banyak tapi uangnya dibelanjakan apa nggak kepikiran. Sehingga sudah selayaknya orang kampus itu masuk kepemerintahan, sehingga biar dibantu mikir pegawai pemdanya. Tetapi ada yang diingatkan juga kita orang kampus masuk kepemerintahan, identitas dan ideologi kampusnya harus tetap ada. Kalau hilang poho ka kampusna, nu aya ukur batina itu bahaya. Nah kenapa? karena menurut saya itu baik, karena bagi saya orang yang tidak depresi itu adalah orang gila. Jadi di kita itu ada kebiasaan bahwa jelema gelo teh jelema setres padahal tidak, bahwa orang gila itu adalah orang yang sudah terbebas dari stres. Silahkan pikirkanlah.
Menurut saya, sayakan punya teori sendiri. Saya tidak pernah menutip dari orang lain. Karena cirikhas orang pinter Indonesia itu mudah, gampang nyirikeun urang pinter Indonesia mah, ngomongnya loba menurut. Ari menurut teh ceuk urang Sundamah euceuk. Jadi orang pinter itu gampang, lamun ngomongna menurut aristoteles, ceuk Socrates, ceuk Plato, ceuk Kuntowijoyo, ceuk bu Nina Lubis, ku aing ditanya, ari ceuk sia naon? Mangkanya perguruan tinggi jangan banyak melahirkan orang, desertasi, tesis yang euceuk, sabab ceuk urang Sunda lamun melakna euceuk, tangkalna sugan, engke buahna duka teuing. Jadi pantesan ngalahirkeun sarjana nukadituna dukateuing jadi naon. Da sihoreng perguruan tinggi euceuk jeung ceunah. Coba membangun itu, kalau saya selalu mempunyai pemikiran mahasiswa itu tidak usah membikin tesis 500 halaman, desertasi 1200 halaman, kitu misalnya, skripsi 500 halaman, karena yang ada adalah penghamburan-penghamburan identitas, kalimat-kalimat yang tidak bermakna, kalimat tidak bermakna ceuk urang Sunda mah teu saciduh metu sa ucap nyata artina teu sakti sarjana teh. Kenapa teu sakti sarjananya? Karena ketika membuat karya tulis yang dia pikirkan bukan esensi dari karya tulisnya, yang dia pikirkan adalah halamannya yang harus diatur dengan tepat. Kunaon nu keprokna loba ieu teh? Oo berarti aya masalah yeuh. Oo betul? Yah buat apa itukan setan temannya. Mohon maaf, kalimat kosong itu kalimat tanpa Tuhan. Hayo ngahuleng siah. Kalimat kosong itu kalimat tanpa Tuhan. Kalimat tanpa makna, kalau ada kalimat tanpa tuhan tanpa makna, anda menjadi atheis dalam menulis skripsi. Seluruh kalimat harus berisi ada maknanya, ada aspek filologinya, weuleuh gaya, ada terminologinya, ada efistemologinya, alah pokokna anu hi hi terus weh, ada aspek itunya, ceuk urang Sunda sa ciduh metu sa ucap nyata sa eutik mahi loba nyesa, itu yang harus dilakukan. Nah kalau sudah seperti itu maka perguruan tinggi harus merombak tata berpikirnya. Tidak boleh banyak tumpukan kalimat, tidak boleh ada tumpukan kertas, hanya menguntungkan percetakan dan pabrik kertas, yang ada adalah untaian kata yang bermakna, itu yang harus dilakukan. Begitu menguji mahasiswa cukup satu kalimat we cing caringcing pageuh kancing, sing saringset pageuh iket, buktikeun siah kasaktian eta kalimat ku diri maneh, eta. Harus berguru pada guru-guru kita dulu. Guru kita dulu ketika membuat peradaban yang disebut dengan paguron, kemudian gurunya disebut wiku, ketika kemudian muridnya ketika harus turun dari pertapaan, kan muridnya dicoba dulu, di tes dulu, dia bisa nggak melewati tes-tes itu? Sehingga bisa masuk ke alam bebas. Pertanyaannya adalah kumaha tah ieu ngetesna jurusan sejarah? Jurusan bahasa, naha sastrana teh sastra? Apakah sastranya bisa menyembuhkan orang sakit atau tidak? Ingat loh kalimat sastra itu kalimat kesaktian, orang yang rajin ilmu hikmah disebutna kudu aya khodhamna. Ari jurusan sastra kalimat kudu aya khodamna.

Posted in Kasundaan.


Pidato Dedi Mulyadi ka Dua

Nah karena berangkat dari sini maka neuleuman. ketika kalimat neuleuman, orang Sunda memilih sebagai air, sebagai sarana bentuk menyucian dirinya, maka orang Sunda menyebutnya ka cai jadi saleuwi, kalau kacai jadi sa leuwi maka dia tenggelam dengan air itu, ketika tenggelam dengan air itu maka air menjadi sumber inspirasi kebenaran dan pembentukan nilai. Maka ketika berbicara pada alam, alam Sunda adalah alam air. Alam air adalah alam pohon, alam pohon adalah alam nilai dimana disitu ada kerukunan dan keadilan, maka diletakanlah simbolisasinya dengan bentuk harimau yang dia memiliki identitas untuk menjaga seluruh piranti kekayannya, hanya dengan harimau orang Sunda bisa dijaga kehormatan dirinya, karena harimau adalah merupakan perwujudan sosok seorang raja yang merajai seluruh hutannya agar orang tidak bisa menyentuh bagian pinggir-pinggir hutannya sekalipun. Maka identitasnya diletakan pada itu, karena identitasnya diletakan pada itu, maka mahkotanya adalah gunung, karena mahkotanya diletakan pada gunung maka kehormatan orang sunda terletak pada gunungnya selama gunung masih ada dan berdiri dengan kokoh maka orang Sunda pasti terjaga kehormatannya. Ketika gunung sudah tiada maka Sunda kehilangan seluruh kehormatannya dan martabat hidup.
Maka masuk pada sebuah wilayah; heug urang teundeun di handeuleum hieum geusan sampeureun, cag urang tunda di hanjuang hiang geusan alaeun, paranti cokot bawaeun, dituruban ku mandeupeun, diwadahan cupu manik astagina, dibuka kuna ngaliwat anu weruh ku semuna anu apal ka basana nu rancage hatena, putra putu tigan ewu begawan sawidak lima nu hayang dilalakonkeun. Apa yang sesungguhnya kesan yang ada disini? sesungguhnya identitas Sunda berasal dari gunung. Identitas Sunda adalah aliran air, identitas Sunda adalah aliran sungai, identitas Sunda adalah seluruh kasta-kasta peradaban yang dibangun dengan peradaban hutan, peradaban sungai, peradaban aliran-aliran airnya, peradaban air sampai dengan peradaban laut, maka disitulah seluruh identitas peradaban itu, dan seluruh identitas peradaban itu adalah identitas kebudayaan, dan seluruh identitas kebudayaan adalah identitas ketuhanan, maka tuhan manusia dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang utuh bukan terpisah, agama adalah kebudayaan, kebudayaan adalah agama, bohong kalau orang mengatakan bahwa agama bukan kebudayaan. Saya katakan kebudayaan adalah agama, orang Sunda berketuhanan secara sempurna kalau dimana kalau ia ingin memahami lingkungannya di Sunda wiwitan, lepas dari Sunda wiwitan dia tidak akan mengenal lagi tuhan yang sebenarnya. Karena di situ tidak pergi ke sana karena disana adalah identitasnya. Disinilah letak diri dan ketuhanannya, ketika dia terpisah dari letak diri dan ketuhanannya, dia terpisah dengan tuhannya, kenapa karena kita dilahirkan disini. ketika kita dilahirkan disini, maka tuhan sudah menempatkan diri kita agar memahami tuhannya disini, bukan di tempat lain.
Man aroka masahu faqot warobbahu, siapa yang memahami dirinya akan mengenal tuhannya, kalau kita memahami diri dengan identitas pembentukan karakternya, genetikanya, dari mana dia dilahirkan, dimana tempat dia berasal maka kalimatnya innalillahi wainaillaihi rajiun. Dimana kau berasal maka kesana kau akan kembali. Orang Sunda menjawabnya lembur matuh dayeuh manuh, banjar karang pamidangan, disitu tak bisa kita mencari agama ditempat lain sebenarnya.
Kenapa hari ini kita tersesat? Karena kita mencari agama ditempat lain dan menganggap tempat lain sembogo tempat kesucian diri kita, tidak bisa, kita suci ya disini. kita suci dan mensucikan ya disini, yang mensucikan air kita sendiri bukan airnya orang lain. Jangan terbalik air kita kita kotori air kita kita cemari, air orang lain kita sucikan. Kita tidak akan bisa membangun dengan peradaban yang ada adalah import air. Inilah diri kita karena itulah dalam rangka pembentukan kemanusiaan, kita berasal dari sebuah habitat, karena sebuah habitat membentuk karakter, karakter melahirkan identitas, identitas melahirkan kebiasaan, kebiasaan disebutnya kebudayaan, maka kebiasaan identitas adalah kesatuan nilai, karena kesatuan nilai itulah agama, nah inilah yang dibangun.
Apa yang menjadi kesalahan kita? Yang menjadi kesalahan kita adalah rumusan kebijakan negara, itulah langsung pada rumusan kebijakan negara. Bukan rumusan kebijakan daerah. Bahkan rumusan kebijakan wilayah, sehingga negara tidak jelas identitasnya. Saya tanya indonesia identitasnya itu apa? Karena identitas idonesia itu adalah Sunda, Jawa, ketika bicara Sunda dan Jawa, Bali, makasar dan segala macam, maka kita bicara pada wilayah Sundanya mana? Ciamis, Tasik, Garut, Purwakarta, Subang, Karawang, Majalengka, Bekasi, Cirebon, Bogor, Ciamis, Kuningan, Sukabumi, inilah identitas. Itu nanti akan membangun identitas-identitas ini, dan identitas inilah yang quran katakan aku ciptakan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa kecuali kamu untuk saling kenal mengenal. Ketika katakan saling kenal-mengenal, maka lahirlah produk kebudayaan, produk kebudayaan itu dalam teologinya orang Baduy mengatakan harus dibangun dengan kesetaraan. Karena harus dibangun dengan kesetaraan maka yang ada adalah tradisi barter, tukar menukar. Karena tradisi tukar menukar maka tidak boleh ada hegemoni. Yang satu dihargakan lebih murah, yang satu dihargakan lebih mahal. Inilah biangkeroknya terjadi liberalisasi neoliberalisasi dan penjajahan dunia yang sampai saat ini kenapa? karena yang satu dianggap peradabannya rendah maka direndahkan martabatnya. Yang satu peradabannya lebih tinggi maka ditinggikan martabatnya maka disinilah terjadi hegemoni, yang satu menjadi daerah jajahan yang satu menjadi daerah yang menjajah. Inilah mulai menjadi cikal-bakal pertikaian manusia. Dan itulah yang terjadi pada sejarah Pajajaran itulah yang terjadi ketika yang satu wilayah merasa lebih tinggi derajatnya, dia ingin menguasai seluruh wilayah. Dan meletakan dirinya lebih tinggi dan lebih besar dari yang lain, tidak menghormati rasa hormat orang lain, tidak ada sebagai penghormatan sebagai kemanusiaan bukan sebagai bentuk penyerahan, inilah yang melahirkan berbagai peristiwa dunia, bukan persoalan bubat, tetapi berbagai daerah, berbagai belahan dunia terjadi ekspansi seperti ini. Selama ideologi ini masih dikembangkan maka pertikaian peradaban masih akan terus berlangsung.

Posted in Kasundaan.


Pidato Dedi Mulyadi Bagian Kahiji

Pidato 1Bismillahirohmanirohim,

Sampurasun

Saudara-saudara yang saya hormati para akademisi di fakultas ilmu budaya universitas pajajaran sebuah kebanggaan bagi masyarakat sunda masih memiliki sebuah lembaga yang di dalamnya membangun entitas dan identitas bagi pembentukan masyarakat pajajaran. masyarakat yang terbuka egaliter dan demokratis yang sejarahnya menghamparkan sebuah pola hidup yang mengembangkan nilai-nilai universalitas agama, dalam sistem sosial yang sangat kuat dengan prinsip silih asah silih asih silih asuh sebuah etitas yang sesungguhnya harus menjadi kebanggaan bagi masyarakat sunda. tanpa nabi orang sunda sudah bisa mengidentifikasi ketuhanan secara sempurna.orang arab dengan nabi tidak bisa mengidentifikasi itu sampai hari ini.

Kebanggaan itulah yang harus ada dalam diri kita bukan tumbuh menjadi imperior bagi sebuah agama dan kebudayaan dunia tapi justru kita harus jadi superior dari sisi spirit untuk membangun keadilan rasa nyaman kedamaian dan kesetaraan manusia tanpa kasta dan tanpa batas. yang saya hormati yang mewakili rektor universitas padjadjaran penggemar novelis sejarah yang barangkali ini tantangan dari fakultas sastra unpad untuk membuat novel cerita tentang prabu siliwangi dengan berbagai entitas nama tentang bubat tentang berbagai hal yang membuat romantisme kita terhadap masa lalu karena bangsa yang memiliki masa depan adalah bangsa yang mengetahui masa lalu nya.

Yang saya hormati dekan fakultas ilmu budaya, yang saya hormati segenap guru dan guru besar yang hadir, tokoh tokoh sunda dari galuh sebenarnya kebingungan bagi diri saya kalau dijuluki sebagai budayawan karena saya orang yang tidak memiliki latar belakang sama sekali tentang seluruh pendidikan ini saya tidak penah baca buku sejarah sebenarnya, saya tidak pernah baca buku sastra saya tidak pernah baca berbagai literatur yang berkembang hari ini.

Saya lebih memilih hidup ini untuk melihat hujan ketika jatuh, melihat gunung, melihat ular ketika lewat, itu yang saya pilih, mudah-mudahan itu menjadi buku saya dalam setiap saat. Ada sebuah kegalauan cara berpikir kita ketika memandang silang budaya, budaya dipahami menjadi sistem materi, budaya terpisah dari agama, padahal ketika alam raya ini tercipta, siapapun yang menciptakannya, apakah itu orang menyebut Allah, apakah orang menyebut Gusti Nu Maha Suci, apakah orang menyebut Sang Hyang Widi Wasa, apakah orang menyebut Tuhan yang Maha Esa, ataupun menyebut Dzat sekalipun, ayau silahkan menyebut apapun bagi diri saya, yang jelas ketika alami ini tercipta, dua dimensi yang tersimpan disitu, yang pertama dimensi kebenaran, yaitu dimensi universal, yang kebenarnya bersifat esensial, karena esensial tidak bisa terpisah dari material, sehingga kerangka berpikir agamapun tidak akan bisa menyentuh nilai-nilai ketuhanan.

Bohong besar itu orang belajar teologi akan mengetuk ketuhanan. Tidak bisa teologi apapun dimuka bumi ini tidak akan bisa menyentuh ketuhanan, karena ketuhanan bukan nilai-nilai teologi, tapi ketuhanan adalah nilai-nilai asasi. Karena nilai-nilai asasi maka ketuhanan menyentuh spirit, maka ketika belajar ini, orang sunda meletakan Allah, meletakan Sang Hyang Widi Wasa, bukan lewat sembah, karena sembah dipahami hanya ruku dan sujud, itu hanya simbolisasi, siapapun bisa melakukan itu, ketika orang Sunda meletakan itu dengan kalimat teuleuman karena kalimat teuleuman maka tenggelamlah anda, tenggelamlah pada samudra ketuhanan yang tanpa batas, siapa yang bisa tenggelam anu wening ka atina, anu rancingas rasana, nu rancage hatena, caang bulan opat belas, jalan gede sasapuan, maka ketika ini masuk kepada entitas ketuhanan, maka persyaratan yang harus dibangun adalah kebeningan, bukan perdebatan. Karena hanya kebeninganlah yang menyentuh ketuhanan, sedangkan logika hanya melahirkan perdebatan, perdebatan hanya melahirkan paham, paham hanya melahirkan sekte, sekte hanya melahirkan semakin jauh dari ketuhanan, semakin banyak sekte maka tuhan semakin tidak ada sebenarnya.

Posted in Kasundaan, Lainnya.

Tagged with .


Kesaksian Prapanca Tentang Hayam Wuruk Yang Gemar Blusukan

Hayam WurukHayam Wuruk pada masa jayanya kerajaan Majapahit, juga senang blusukan seperti tersirat dalam kitab Nagarakertagama. Hayam Wuruk pasti sangat mengenal negerinya dengan baik karena blusukan itu. Berikut saya sampaikan beberapa pupuh yang menyangkut blusukannya raja Hayam Wuruk dari pupuh 29 sampai dengan 31 kitab Nagara kertagama.

Kesaksian Prapanca blusukannya Hayam Wuruk pada Pupuh 29. Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama. Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertajaya. Teman bersuka ria, teman karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke Desa Keta. Melewati Tal tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dari Bungatan. Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.

Tanpa perlu di uyak-uyak, rakyat datang sendiri menghadap menghaturkan hidangan dan tentunya dibalas oleh Hayam Wuruk yang menimbulkan kegirangan rakyatnya, seperti dalam pupuh 30 Tersebutlah perjalanan Sri Narapati kea rah barat. Segera sampai Keta dan tinggal disana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain hingga puas. Atas perintah sang arya semua menteri menghadap. Wiraprana bagai kepala, upapati Siwa-Budha. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan.

Hayam Wuruk tidak mengenal lelah dalam blusikan terlihat dalam pupuh 31 seperti berikut. Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring makin bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gerbang, Krebilan. Sampai di Kalayu Baginda berhenti ingin menyekar. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi makam sanak kadang Baginda raja. Penyekaran di makam dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat Sigi” nama upacara penyekaran itu. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak. Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, menuju Kambangrawi, bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Budha menjulang tinggi, sangat elok bentuknya. Perjamuan Tumenggung Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Baginda Nala bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, B’rurang. Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.

Posted in Lainnya.

Tagged with .


Hayam Wuruk Mengenal Wilayahnya Melalui Blusukan

Hayam WurukBlusukan bukan saja disenangi oleh Jokowi. Hayam Wuruk pada masa jayanya kerajaan Majapahit, juga senang blusukan seperti tersirat dalam kitab Nagarakertagama. Hayam Wuruk pasti sangat mengenal negerinya dengan baik karena blusukan itu. Berikut saya sampaikan beberapa pupuh yang menyangkut blusukannya raja Hayam Wuruk dari pupuh 22 sampai dengan 28 kitab Nagara kertagama.

Pada pupuh 22 diterangkan sebagai berikut: Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda bercengkrama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pesisir darat, lembut limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama. Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat setelah surya laut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hutan. Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahatlah di Renes seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta – Wanagriya.

Pada Pupuh 23 di ceritakan sebagai berikut. Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang.

Pupuh 24 menjelaskan: Terlalu lancar lari kereta melintasi Palayangan dan Bengkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintasi Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.

Pupuh 25 menjelaskan: Panjang lamun dikisahkan kelakuan para menteri dan abdi. Beramai-ramai Baginda telah sampai di Desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep. Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata. Semua menteri mancanagara hadir di Pakuwuan. Juga Jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji siwa dan Panji budha, faham hukum dan putus sastra.

Bagaimana rakyat senang dengan blusukan Hayam wuruk tercantum dalam pupuh 26 Nagarakertagama sebagai berikut. Sang Adipati Suradikara memimpin upacara sambutan. Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain. Girang rakyat girang raja, Pakuwuan berlimpah kegirangan.

Sedang pada pupuh 27 2 penduduk bergembira ria dan Hayam wuruk selalu berupaya untuk membuat penduduk gembiraatau bisa dikatakan sebagai pelayan bagi penduduk, seperti sebagai berikut. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.

Pada pupuh 28 disebutkan pula tentang membuat gembira rakyatseperti berikut. Selama kunjungan di Desa Patukangan. Para menteri dari Bali dan Madura. Dari Balumbung, kepercayaan Baginda. Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul. Persembahan bulu bekti bertumpah limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang. Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Baginda keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta, membuat gembira rakyat.

Posted in Literatur karawitan.

Tagged with .


Hayam Wuruk Juga Senang Blusukan

Hayam WurukBlusukan bukan saja disenangi oleh Jokowi. Hayam Wuruk pada masa jayanya kerajaan Majapahit, juga senang blusukan seperti tersirat dalam kitab Nagarakertagama. Hayam Wuruk pasti sangat mengenal negerinya dengan baik karena blusukan itu. Berikut saya sampaikan beberapa pupuh yang menyangkut blusukannya raja Hayam Wuruk dari pupuh 17 sampai dengan 21 kitab Nagara kertagama.

Pada pupuh 17, diceritakan bahwa pada Tahun Aksatisura (1275), Hayam wuruk melakukan perjalanan ke Pajang dengan membawa banyak pengiring. Tahun Saka angga-naga-aryama (1276), ke Lasem. Tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279) menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu, dan Sideman.Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281), beliau pesiar keliling seluruh Negara menuju Kota Lumajang naik kereta diiringi semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta. Selanjutnya Japan dengan asrama dan candi-candi ruk rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Duluwang, Bebala di dekat Kanci, Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkala memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan. Habis berkunjung pada candi makam Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya, bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai.

Bagaimana antusias penduduk melihat Hayam Wuruk, diceritakan dalam pupuh 18 nagarakertagama, seperti berikut. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impitan. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda. Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap menteri lain lambangnya. Rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang kerajaan keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma emas mengkilat.

Pada pupuh 19 perjalanan dilanjutkan Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, Menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikuti jalan pasir lemak – lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari. Tersebut dukuh Kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gadjah Mada, teratur indah. Disitulah Baginda menempati pasanggrahan yang terhias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandibakti.

Pupuh 20 masih menceritakan blusukannya Hayam wuruk sebagai berikut. Sampai di desa Kasogatan, Baginda dijamu makan minum Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar We Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap. Begitu pula Desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa kasogatan yang ber-akuwu Sejak dahulu, delapan saja yang menghasilkan bahan makanan.

Pupuh 21 juga masih menyampaikan bagaimana Hayam Wuruk melihat negaranya dari dekat Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan. Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah Kota Rembang. Sampai di kemirahan yang letakknya di pantai lautan.

Posted in Sejarah Karawitan.

Tagged with .


Musik Tradisi Keliling Jagat

Arik wirawanIni memang soal perbedaan selera. Kebanyakan orang kita selalu menganggap apa yang dibuat oleh musisi Barat – orang terlanjur menyebutnya bule – selalu lebih eksklusif, lebih prestisius. Padahal kebalikannya, sebagian besar bule yang bosan dengan nada diatonis, mulai mencari dan ‘menemukan’ nilai-nilai musik baru dari berbagai pelosok dunia. “Jadi, tidak perlu heran, musik etnik milik salah satu suku di Irian Jaya yang tidak pernah kita dengar, malah sudah muncul dalam bentuk rekam CD di Amerika, Jepang dan Perancis,” ungkap Sapto Raharjo, pemusik kontemporer yang gemar menelusup ke dunia musik etnik. Karya-karya musik Sapto juga lebih terkenal di Perancis, ketimbang di negeri kelahirannya sendiri. Begitu juga dengan Yusi Ananda, penyanyi pop yang sudah merilis tiga album. Selain asyik berkarya di musik pop, putra Kalimantan ini diam-diam sangat agresif mengembangkan musik etnik dari daerahnya. Oktober ini Yusi akan melepas album Dayak yang direkam di home studio-nya di Samarinda, lewat indie label di Belanda.

Dan satu hal yang mencengangkan adalah, ada seorang seniman tradisional Aceh bernama Marzuki, yang suaranya sengaja direkam Michael Jackson. Bahkan lain waktu, Pak Marzuki ini pun sempat membuat Peter Gabriel terkagum-kagum. Ini cerita Gilang Ramadhan, yang mengajak Pak Marzuki mendukung rekaman album world music miliknya dan kata Gilang, “Saking lugu atau mungkin ia memang tidak terlalu peduli, Marzuki bercerita tentang pengalaman itu dengan muka biasa saja, tanpa ekspresi sombong atau bagaimana gitu!

Hal yang sama pernah terjadi pada rombongan Agung Raka dari desa Teges Bali, yang harus promo tour untuk album Bali Agung bersama rombongan gong dan tarinya di Jerman, eh ia ‘keleleran’, karena tak paham soal kontrak sebagai musisi profesional. Padahal album Bali Agung garapan Agung Raka – Eberhard Schoener (Jerman) itu termasuk ‘monumental’.

Posted in Lainnya, Literatur karawitan, Materi Pengetahuan multimedia, Pengetahuan Karawitan.

Tagged with .


Tunjangan Bisa Dihentikan

tehGuru Besar yang Tak Selesaikan Kewajiban

SOLO – Tunjangan profesi dan kehormatan yang diberikan pemerintah pada guru besar bisa dicabut, jika tidak menyelesaikan kewajibannya dalam durasi waktu yang telah ditentukan.
Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah M Chamdi Rochmat. Chamdi mengatakan, ada tiga kewajiban yang harus ditunaikan oleh pendidik di universitas yang berstatus guru besar, yakni menulis buku sesuai dengan bidangnya, melakukan pengabdian pada masyarakat, dan menulis jurnal. Tiga hal tersbut mutlak dilakukan dalam jangka waktu maksimal tiga tahun. “Salah satu dari kewajiban itu tidak dilaksanakan, atau belum selesai dalam tiga tahun maka tunjangan bisa gugur,” jelas Chamdi, saat ditemui seusai memberikan sambutan pada acara wisuda mahasiswa STIE Atma Bhakti Surakarta di gedung Graha Sabha Buana, Sabtu (23/1).
Dia mengungkapkan, saat ini peran kaum intelektual dalam peningkatan dan pengembangan ilmu di tanah air masih sangat kurang. Hal itu bisa dilihat dari sedikitnya jurnal yang ditulis oleh mereka, baik berskala nasional maupun internsional. Padahal, sumbangsih ilmu pengetahuan sudah selayaknya diwujudkan dalam bentuk nyata. Sebagaimana tujuan diberikannya tunjangan untuk meningkatkan profesionalisme dan menularkannya pada masyarakat.
Tidak Terserap Besarnya tunjangan profesi dan kehormatan adalah satu kali gaji yang sudah disetarakan dengan gaji PNS. Namun untuk tunjangan kehormatan, guru besar mendapatkan dua kali lipat tunjuangan gaji. “Tunjangan ini tidak main-main. Guru besar mendapatkan tunjangan tiga kali lipat dari gaji. Besarnya bisa mencapai Rp 12 juta,” ungkapnya.
Tunjangan tak hanya diberikan pada guru besar. Dosen tetap di semua PTS dan PTN juga ikut mencicipi. Namun, mereka hanya diberikan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji, tanpa ada kekhawatiran pemotongan tunjangan. Dikarenakan tak ada kewajiban sebagaimana yang diharuskan pada guru besar.
Dia juga menyayangkan banyaknya dana beasiswa S2 dan S3 yang tidak terserap oleh dosen. Padahal semua dosen, baik di PTN, PTS maupun sekolah yayasan diberikan kesempatan sama.
Ia menuturkan, hal itu dikarenakan tidak sinkronnya waktu penyeleksian dari pihak universitas pelaksana dan pengucuran anggaran dari DIKTI. “Beasiswa di luar negeri juga banyak yang belum dimanfaatkan. Faktor utamanya kendala bahasa,” ungkapnya. (han-75)

Sumber: http://suaramerdeka.com

Posted in Lainnya.