Archive for the ‘Ringkasan’ Category

REVIEW 5 BUKU

Thursday, July 8th, 2010

BUKU 1

Judul               :     SEJARAH WAYANG, asal usul, jenis dan cirinya

Pengarang     :     Amir Merto Sedono SH

Penerbit         :     Dahara prize, Semarang

Wayang merupakan seni budaya bangsa Indonesia, lahir dan berkembang sejak jaman raja di jawa. Ajaran-ajaran didalam mencerminkan watak perilaku manusia, sehingga sangat efektif sebagai sarana penerangan, pendidikan dan hiburan.

Lakon dalam cerita wayang disesuaikan dengan cirri-ciri dan watak bangsa Indonesia yang social religious. Kesenian wayang mengalami kemajuan pesat, yakni pada jamannya sunan kalijaga di demak.

BUKU 2

Judul                    :  LAGU DOLANAN ANAK

Pengarang          :  Triyono Bramantyo

Penerbit              :  yayasan untuk Indonesia, Yogyakarta,Indonesia

Lagu-lagu permainan tradisional anak-anak jawa adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang di transmisikan dari generasi ke generasi secara oral. Tetapi saat ini kita sedang kehilangan identitas jatidiri  dan sudah sekian banyak kesenian tradisi kita telah punah. Hambatan utama dalam upaya merekonstruksi sekian banyak dari antara yang punah itu adalah tidak adanya dokumen tertulis yang bisa dilacak.

Musik anak telah menjadi musik industri tanpa kekuatan pengontrol. Anak-anakpun dijejali dengan selera musik pop yang mematikan daya imajinasi dan fantasi ditengah kebisingan komersialisasi, lagu dolanan anak menjadi inspirasi. Lagu dolanan anak tempoe doeloe terasa lebih bermakna secara budaya lantaran disana terungkap beragam nilai baik kebersamaan, kerukunan, maupun keguyuban.

BUKU 3

Judul             :  INKULTURASI GAMELAN JAWA

Pengarang   :  Sukatmi Susantina

Pencetak      :  medprint offset

Kebudayaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang tertutup, melainkan secara dinamis terbuka satu sama lain. Disamping selain pengaruh mempengaruhi dan juga terjadi interaksi, terdapat pula pembaharuan kebudayaan. Walaupun demikian, memang benar bahwa unsur-unsur dari satu kebudayaan itu tidak dapat dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah pembaharuan pada kebudayaan tersebut tetap bersifat dinamis. Tanpa ada kontak dengan kebudayaan luarpun seperti masuknya unsure-unsur kebudayaan lain kedalam kebudayaan tertentu, suatu kebudayaan akan berubah dengan berlakunya waktu.

BUKU 4

Judul             :  SENI PERTUNJUKAN & PARIWISATA

Pengarang   :  R. M. Soedarsono

Penerbit       :  BP ISI Yogyakarta

Seni dalam kehadirannya didunia ini selalu dibutuhkan oleh manusia dimanapun dan kapanpun. Disaat industri pariwisata mulai merebak di Indonesia, terjadilah pergulatan unsure-unsur budaya dalam menanggapinya. Terjadi berbagai transfarmasi sesuai dengan sifat dan bentuk unsure-unsur budaya tersebut. Dalam kancah seni, khususnya seni tari tradisi, perubahan bentuk penyajian jelas berubah sesuai dengan berbagai kebutuhan, khususnya bagi para wisatawan dan kepentingan biro pariwisatanya.

BUKU 5

Judul         :     GAMELAN PEGAMBUHAN “ TAMBANG EMAS “ KARAWITAN BALI

Pengarang :     IGede Arya Sugiartha, S.Skar, M.Hum

Penerbit     :     ISI Denpasar  dan Sari kahyangan

Sebagai titik pangkal dan poros melebarnya pengaruh gambelan pegambuhan terhadap gamelan lainnya dibali tidak dapat dilepaskan oleh dua faktor yaitu faktor external dan faktor internal. Faktor external termasuk diantaranya latar belakang historis,yaitu akar dan perjalanan budaya masyarakat pendukungnya yang panjang, serta sikap masyarakat yang selalu berorientasi kea rah kemajuan.

Sedangkan faktor internal dengan mengamati unsure fisik, musikalitas dan fungsi gamelan pegambuhan memiliki unsure-unsur estetis yang sangat tinggi.

Prakempa sebagai seni sastra

Tuesday, April 6th, 2010

Prakempa sebagai salah satu dari karya seni sastra yang menguraikan tentang gambelan bali tak dapat di pisahkan eksistensinya dari karya seni sastra yang lain. Dilihat dari segi bentuknya prakempa merupakan sebuah prosa yang menggunakan bahasa jawa kuna ( kawi ) dan ditulis dengan huruf bali yang bagus wujudnya. Sebelum menguraikan prakempa sebagai karya sastra yang bermutu tinggi, penting kiranya diuraikan karya seni sastra lainnya untuk memperoleh gambaran tentang kedudukan Prakempa di tengah-tengah seni sastra bali lain nya.

Seni sastra bali purba yang berkembang pada zaman Pra Hindu merupakan seni sastra rakyat yang bersifat tradisi lisan dan di pelajari turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Walaupun mengalami perubahan zaman, seni sastra ini tetap berkembang subur dikalangan masyarakat bali.

Hubungan erat antara bali dengan jawa yang dimulai sejak abad ke-8 menyebabkan seni sastra bali dipengaruhi oleh seni sastra hindu jawa. Pracasti Bebatin yang berangka tahun 896 Masehi merupakan karya seni sastra yang agung dan menyebutkan berjenis-jenis seni pertunjukan didalam nya seperti seni gambelan, seni tari dan nyanyian. Pracasti Bebatin sendiri dibuat atas nama Raja Ugrasena diBali (Goris, 1952:55)

Kedatangan orang-orang majapahit kebali pada awal abat ke-16 meningkatkan lagi hubungan antar jawa dan bali dalam bidang kesenian khususnya seni sastra dan seni pertunjukan. Kesenian bali mendapat pengaruh yang kuat dari kesenian jawa dan elemen-elemen itu nampak pada system laras gambelan, komposisi lagu, penggunaan busana dalam seni tari, bentuk tarian dan kesenian bali yang semula berfungsi sebagai seni sakral, kini menjadi seni yang bersifat sekuler dan penampilannya lebih mengutamakan persembahan yang artistic.

Dan selanjutnya sekitar pada abad ke-16 – 19 kesenian bali berkembang mencapai puncak keemasannya yaitu dengan terciptanya berjenis-jenis tarian seperti gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja, Legong Kraton dan seni sastra kalsik lainya. Ada juga seni sastra yang berkembang lain nya yaitu seni sastra Ithihasa yaitu seni sastra yang terdiri dari bermacam2 tembang. Pada zaman raja-raja bali Kekawin dan Kidung diperbanyak produksinya oleh para pujangga istana, termasuk terjadinya tranformasi sastra Kekawin dan Kidung menjadi Sekar Mecepat, suatu pengalihan sastra Kawi menjadi sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang).

Dewasa ini hampir seluruh seni sastra yang disebutkan di atas masih terpelihara dengan baik di Bali. Tersimpan dalam perpustakaan perseorangan, maupun dalam perpustakaan lontar yang terbesar di Bali yaitu Gedong Kirtya di Singaraja.

Sebagai karya seni sastra yang bermutu tinggi, Prakempa dimasukkan ke dalam golongan Wariga, disebabkan oleh isinya tentang gejolak dunia dan gejolak itu mempunya kaitan bunyi, nada dan suara yang ditimbulkan oleh gambelan Bali. Disamping itu lontar prakempa juga mengandung tutur dan secara eksplisit dikatakan bahwa Prakempa ini merupakan tutur (nasehat) dari Bhagawan Gottama kepada para muridnya. Ungkapan ini tercantum dalam epilog lontar ini.

di ringkas dari buku : Prakempa

Balaganjur Dalam Makna Religius

Tuesday, March 23rd, 2010

Kehidupan masyarakat Bali di masa silam sangat tergantung dengan alam. Perilaku mereka mencerminkan pemikiran magis dan sakral yang kuat seperti keyakinan adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib, serta relasi antara manusia dengan kekuatan spiritual. Persepsi yang relegius ini  menunjukan sudah adanya gejala-gejala tentang kepercayaan kepada kekuatan spiritual tertinggi atau Tuhan, yang dikondisikan oleh alam pikiran mereka memuja kekuatan alam dan alam gaib (Suartaya, 2001:130).

Di kalangan masyarakat Hindu di Bali kesenian persembahan kepada Tuhan dan alam niskala dapat dibedakan menjadi dua kelompok; kesenian  wali dan kesenian bebali. Kesenian wali mencakup berbagai bentuk kesenian yang tergolong tua dan oleh karena itu telah memiliki unsur-unsur keaslian (originalitas) dan kesucian. Dikalangan masyarakat Bali seni sakral merupakan salah satu aspek vital kehidupan spiritual masyarakat Hindu yang bermakna relegius yang merupakan bagian integral dari pelaksanaan upacara (Dibia, 2003:98).

Balaganjur dalam kaitannya dengan kegiatan ritual merupakan implementasi dari sosio-relegius yang sangat ketat dan kuat memberikan dukungan terhadap keberadaan Balaganjur. Dalam kontek religius, semua angota sekaa terlibat dalam penyajian Balaganjur sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, yang semuanya dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut ngayah.

Ketika terlibat dalam kegiatan ritual, para penabuh Balaganjur menyerahkan diri secara tulus demi suatu kepercayaan yang mereka yakini. Berpatisipasi megambel terutama bagi kaum pria yang me-rasa mampu, selain untuk mengekpresikan naluri berkesenian namun pada intinya merupakan yadnya bagi kehidupannya dibawah perlindungan dari kekuatan Yang Maha Kuasa.

Yadnya atau pengorbanan suci mencakup penyerahan diri sering kali melibatkan upacara-upacara ritual. Berpegang kepada keyakinan bahwa kesenian adalah ciptaan Tuhan, orang Hindu men-jadikan kesenian sebagai sebuah persembahan dan yadnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan yadnya dimaksudkan bahwa berkesenian itu tidak saja memuaskan serta memenuhi dorongan estetis pribadi atau masyarakat, tapi juga sebagai wahana bagi seniman untuk mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu, yaitu Tuhan.

Terkait dengan prinsip ritual seniman-seniwati di Bali yang berkesenian atas dasar ngayah, baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan selalu melibatkan unsur-unsur ritual dalam setiap aktivitas berkesenian untuk menjaga kesucian karya seni yang dihasilkan. Selain itu, upacara ritual dilaksanakan sebagai suatu cara untuk memohon lindungan Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya agar penyajian kesenian dapat berlangsung sebagaimana mestinya dan yang lebih penting lagi bisa memperoleh kekuatan sinar suci-Nya (Ibid., p. 101).

Balaganjur dalam fungsinya mengiringi prosesi ritual keagamaan memiliki makna relegius. Penabuh Balaganjur oleh puluhan partisipan mengikuti ritual dalam prosesi ritual keagamaan. Kendatipun para penabuh tidak disakralkan akan tetapi saat keterlibatan mereka ketika ngayah, baik sebelum memulai atau seusai menyajikan gending-gending Balaganjur, para penabuh mendapatkan percikan air suci, mendapatkan berkah atau pem-bersihan diri secara niskala.

Oleh : I Wayan Suharta