KESENIAN WAYANG WONG DI DESA TEJAKULA BULELENG

This post was written by hadimulyawan on Maret 29, 2018
Posted Under: Tulisan

               Wayang Wong kesenian asli asal Desa Tejakula, Kabupaten Buleleng ini merupakan tari sakral, dan bertahan karena dianggap mistis. Sebagai kesenian tradisional, Wayang Wong memiliki banyak hal sakral di dalamnya. Kesenian ini bertahan melalui warisan turun temurun. Sekalipun orang itu tak bisa menarikan Wayang Wong sebelumnya, namun jika sudah waktunya ia menari maka ia akan bisa menari. Bahkan tanpa proses belajar sekalipun. Jika ditelusuri dari sejarahnya, kesenian Wayang Wong ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-17. Konon, saat itu orang kepercayaan Ida Bhatara yang ber-stana di Pura Maksan Tejakula kerasukan, dan tanpa sadar terucap permintaan untuk melakukan kesenian Wayang Wong untuk dipentaskan di Pura Maksan serta pura-pura lainnya yang ada di Desa Adat Tejakula.
 Pasca muncul petuah itu, para tokoh seni di Desa Adat Tejakula berkumpul dan sepakat membuat sebuah kesenian Wayang Wong. Di dalam kumpulan tokoh seni itu ada I Gusti Ngurah Jelantik – seniman yang datang ke Tejakula pada abad ke-16, serta I Dewa Batan –seniman yang datang ke Tejakula pada abad ke-15. Kedua seniman ini diperkirakan memiliki peran besar dalam kemunculan seni Wayang Wong di Tejakula. Kedua seniman ini lalu membuat topeng-topeng berbahan dasar kayu yang menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Total ada 175 buah topeng yang dibuat pada masa tersebut. Topeng–topeng yang dibuat terbagi dalam beberapa kelompok. Seperti kelompok Sugriwa, Rama, Laksamana, Wibisana, Punakawan, Rahwana, Kumbakarna, hingga kelompok raksasa. Saat ini seluruh topeng yang diperkirakan berusia 3,5 abad tersebut masih dijaga kesakralannya dan di-stana-kan di Pura Maksan Tejakula. Topeng-topeng Wayang Wong hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saja oleh anggota Sekaa Wayang Wong Tejakula. Sekaa yang beranggotakan 300 orang tersebut, menggelar pementasan Wayang Wong ketika diselenggarakan piodalan di pura-pura yang ada di Desa Adat Tejakula. Awalnya, Kesenian sakral ini tak bisa dipentaskan sembarangan. Misalnya hanya bisa dipentaskan saat piodalan ageng di Pura Kahyangan Tiga, ngenteg linggih, serta piodalan di Pura Danka. Sebelum dimainkan, topeng-topeng juga harus melalui proses upacara bakti pamungkah yang dilangsungkan di Pura Maksan. Kesenian Wayang Wong juga wajib dimainkan bersambung, tidak bisa dimainkan terpenggal atau dimulai pada bagian-bagian tertentu. Misalnya piodalan di Pura Desa Tejakula memainkan bagian pertama epos Ramayana, pada pementasan selanjutnya, harus memainkan bagian kedua. Begitu seterusnya. Jika sudah tamat, cerita dimulai lagi dari bagian pertama. Seiring semakin berkembangnya zaman, kesenian Wayang Wong terus berkembang. Kesenian ini juga mulai disukai wisatawan mancanegara, namun karena sakral dan tak bisa dimainkan sembarangan membuat kesenian tua ini begitu sulit untuk dijumpai. Baru sekitar era 1980-an, salah seorang seniman Wayang Wong di desa setempat bernama Nyoman Tusan mencetuskan ide untuk membuat topeng duplikat. Tujuannya agar kesenian Wayang Wong bisa dimainkan di sembarang tempat, dan bisa dinikmati wisatawan serta masyarakat luas.
Topeng-topeng duplikat ini kemudian dimainkan oleh Sekaa wayang wong guna murti, yang beranggotakan 40 orang. Hingga saat ini kesenian Wayang Wong terus lestari, dengan cara yang mistis. Selalu muncul generasi penerus Wayang Wong yang akan tetap menari. Bagi mereka menarikan wayang bukan hanya berbakti dan berkarya pada masyarakat dan adat, tapi juga sembah bakti mereka pada sang pencipta.

Comments are closed.