IRINGAN OGOH-OGOH

This post was written by gunawisnawa on Juli 11, 2014
Posted Under: Tak Berkategori

                                       Iringan Ogoh-ogoh.

Dalam penampilannya, ogoh-ogoh selalu identik dengan Baleganjur dan Tektekan, dalam bagian ini akan dibahas mengenai historis mengenai Baleganjur itu dan Tektekan dalam ranahnya sebagai seni pertinjukan. Secara universal barungan gamelan di Bali dapat diklasifikasikan menjadi gamelan Barungan Alit, Barungan Madya (menengah), dan Barungan Agung (besar). Pengklasifikasiannya didasarkan atas banyaknya personil yang terlibat dan dilibatkan dalam gamelan tersebut. Jika gamelan barungan Alit itu mempergunakan 4-10 orang penabuh, gamelan barungan madya antara 11-25 orang, sedangkan gamelan barungan golongan madya itu diatas 25 penabuh (Gede Mawan dalam Mudra, 2009:19).

Gamelan Baleganjur adalah satu dari sedikitnya sepuluh golongan kuno yang hingga sekarang masih tetap eksis di Bali (Dibia, 1999:112). Hingga kini ada dua pengertian berbeda melekat dengan gamelan prosesi ini. Yang pertama adalah musik pengusir Bhuta Kala sehingga disebut Kalaganjur. Yang kedua adalah sebagai musik pembangkit semangat sehingga disebut Balaganjur. Namun, secara historis Baleganjur itu berasal dari Bebonangan, yaitu sebuah perangkat gamelan kuno yang lahir pada masa pemerintahan raja-raja di Bali (I Made Bandem, 2013:266).

Tektekan, instrument ini sejenis “slit drum” atau kentongan yang dibuat dari batangan bambu dengan berbagai ukuran pula. Tektekan dimainkan dengan alat pemukul bambu atau kayu yang dapat menimbulkan bunyi semarak terutama dimainkan sehari menjelang Hari Raya Nyepi dan fungsinya untuk menghalau Bhuta Kala agar tidak mengganggu kenyamanan tahun baru Bali (I Made Bandem, 2013:127). Munculnya tektekan sebagai barungan gamelan adalah gabungan dari beberapa instrument. Yang mana instrument utamanya adalah kentongan (I Gede Mawan dalam Mudra, 2009:20). Seiring perkembangannya, ogoh-ogoh sampai ada yang menyerupai artis, dan tokoh-tokoh dunia yang dinilai memberikan pengaruh besar terhadap dunia ini. Mengenai fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai perwujudan Bhuta Kala dibuat menjelang hari raya Nyepi dan diarak keliling desa pada senja hari Pengerupukan. Menurut para tokoh dan praktisi Hindu Dharma, hal ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Namun, secara filoshofis, lambing ogoh-ogoh melambangkan sifat keraksasaan yang harus dihilangkan oleh umat manusia. Untuk itulah ogoh-ogoh sehabis diarak langsung dibakar.

Fungsi yang kedua adalah seiring perkembangan zaman ogoh-ogoh telah mengalami sekulerisasi, sehingga ogoh-ogoh itu merupakan sebuah hiburan dengan seringnya diadakan lomba, ataupun pawai ogoh-ogoh\

Seni pertunjukan di Bali memang sangat fleksibelitas, hal ini terbukti dimasukanya tektekan untuk mengiringi ogoh-ogoh. Kendatipun tidak semua daerah di Bali menggunakannya sebagai pengiring ogoh-ogoh.

index

 

Ogoh-ogoh memiliki berbagai macam varian dan bentuk. Bentuk muka dan jenis ogoh-ogoh itu akan mempengaruhi rasa musikal pementasanya. Hal ini tidak jauh berbada dengan pemilihan warna pada topeng. Sepereti Tari Jauk Manis yang melukiskan tentang kebijaksanaan seorang raja dalam memerintah kerajaanya. Untuk itu topengnya menggunakan warna putih yang amat berwibawa. Tidak hanya itu hal ini berdampak pada rasa musikal tabuhnya yang manis dan merdu sehingga enak didengar. Begitu pula dengan ogoh-ogoh, bentuk ogoh-ogoh yang mengambil wujud Bhuta Kala pasti dominan menggunakan warna gelap seperti Hitam ataupun warna Merah dengan tampilan muka yang menakutkan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap rasa musikal pementasanya. Biasnya ogoh-ogoh dengan wujud Bhuta Kala cenderung rasa musikalitas iringannya itu adalah dengan tempo yang cepat, penuh ornamentasi, aksentuasi, dinamisme, sebagaimana sifat raksasa itu sendiri.

Pementasan Ogoh-ogoh tidak perlu menggunakan lighting (pencahayaan), sebab karakter ogoh-ogoh itu akan muncul pada gending, dan tampilan muka ogoh-ogoh itu sendiri. Apalagi pementasan ogoh-ogoh itu adalah menjelang malam hari, hal ini ajan menambah kesan angker dan agung dalam ogoh-ogoh itu sendiri. Jadi relasi yang paling terlihat adalah jalinan musikalitas dengan bentuk ogoh-ogoh itu sendiri. Hal ini adalah patut dijadikan acuan untuk menggarap sebuah tabuh Baleganjur. Sebab jika menginginkan kesempurnaan dalam menggarap untuk iringan ogoh-ogoh, itu harus ada suatu keseimbangan antara bentuk dan penciptaan musikalitas itu sendiri. Karena dengan sebuah keseimbanganlah akan terjadi suatu keharmonisan hubungan antara pemain Baleganjur, dan tukang tegen ogoh-ogoh. Terlebih lagi sekarang ini ogoh-ogoh sering dijadikan sebagai ajang perlombaan, mau tak mau para senimannya harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan, apakah itu tentang tema pementasan ataupun yang lainya. Perlu diketahui tema pementasan dalam lomba adalah faktor utama penentu rasa pembuatan ogoh-ogoh dan rasa musikalitasnya.

 

 

Comments are closed.

Previose Post: