SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DAN INTERAKSI ANTAR BUDAYA DI LOMBOK

SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI MEDIA

KOMUNIKASI DAN INTERAKSI ANTAR BUDAYA

DI LOMBOK[1]

 

Oleh:

I Gede Yudarta, SSKar., M.Si.[2]

  1. Pendahuluan

Pulau Lombok merupakan salah satu pulau bagian dari wilayah Nusantara yang memiliki potensi budaya yang unik dan beragam. Keunikan budaya Lombok terletak landasan nilai-nilai budaya Sasak yang demikian mengakar dalam wujud dari hasil kebudayaan yang hidup dan berkembang pada masyarakat Sasak yang tidak terdapat di wilayah lain di Indonesia. Sedangkan keragaman yang dimiliki secara fisik dapat diamati bahwa selain budaya Sasak juga terdapat budaya etnik yang lain seperti Bali, Jawa, Tionghoa, Arab yang hidup dan berkembang secara berdampingan bersama dengan budaya Sasak. Keberadaan dari beragam budaya etnik tersebut menjadikan Lombok kaya dengan ragam budaya, dan kekayaan tersebut memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.

Dari berbagai ragam budaya sebagaimana telah diuraikan di atas, salah satu yang paling menonjol diantaranya adalah kebudayaan etnik Bali. Peran budaya Bali di Lombok dapat dikatakan cukup strategis dan memberikan warna tersendiri dalam kehidupan budaya masyarakat di Lombok. Beberapa pengkaji budaya Sasak mengamini bahwa kebudayaan Bali merupakan salah satu kebudayaan yang memberikan kontribusi dan pengaruh yang cukup besar terhadap kebudayaan yang ada di Lombok. Hal yang paling nyata dapat diamati dalam beberapa bentuk seni pertunjukannya. Keberadaan beberapa alat musik tradisional (gamelan), tari-tarian tradisional serta seni teater tradisionalnya diperkirakan mendapat pengaruh yang kuat dari kesenian Bali sehingga kesenian tersebut memiliki kemiripan dengan Bali. Kacamata awam sering mengalami kesulitan dalam membedakan antara kesenian Lombok dengan Bali. Seni pertunjukan di Lombok seringkali dilihat dan dianggap sebagai kesenian Bali, padahal kalau ditelusuri secara lebih mendalam terdapat nilai dan makna yang membedakan diantara keduanya. Adanya kesamaan/kemiripan bentuk kesenian ini membuktikan betapa dekatnya antara Lombok dengan Bali apabila di lihat dari perspektif budaya. Proses akulturasi, difusi, komunikasi dan interaksi budaya yang sangat intens antara dua budaya akhirnya menghasilkan wujud budaya yang hampir sama.

  1. Komunikasi dan Interaksi Budaya Lombok dan Bali

Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). [i] Budaya Sasak dan budaya Bali tentunya merupakan dua budaya yang berbeda wujudnya. Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai yang menjadi akar budaya yang melandasinya. Budaya Sasak yang dilandasi oleh nilai-nilai tradisi kebudayaan Sasak, sedangkan budaya Bali adalah kebudayaan yang dilandasi oleh nilai-nilai tradisi budaya Bali. Terdapatnya unsur-unsur budaya sama antara Bali dengan Lombok, hal ini karena terjalinnya komunikasi antara orang-orang Bali dan orang-orang Sasak dalam kurun waktu yang cukup lama.

Anak Agung Ketut Agung (1991) dalam bukunya Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950) banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Sebagaimana diuraikan, gelombang kedatangan orang-orang Bali di Lombok di mulai pada abad ke 12, pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali, dimana pada saat itu pulau Lombok dapat ditaklukan oleh Bali. Selanjutnya pada tahun 1530 M, sebagaimana terdapat dalam Babad Sangupati, diungkapkan kedatangan Dang Hyang Nirartha (Pangeran Sangupati) yang merupakan utusan dari kerajaan Gelgel dalam perjalanan suci di wilayah tersebut. Gelombang ke tiga terjadi pada masa pemerintahan Raja Karangasem Tri Tunggal I (I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem) tahun 1692. Selama tiga periode kedatangan orang-orang Bali di Lombok terjadi komunikasi yang intens antara orang-orang Bali dengan orang-orang Sasak dan unsur-unsur budaya Bali mulai mempengaruhi budaya masyarakat Lombok. Salah satu sub unsur budaya yang terkena dampak yang sangat kuat adalah di bidang seni pertunjukannya.

Beberapa jenis kesenian seperti Barong Tengkoq, Tawaq-Tawaq, Gamelan Pesasakan, Tari Gandrung, Drama Cupak-Grantang adalah kesenian yang kalau dilihat oleh orang awam dianggap kesenian Bali yang ada di Lombok. Padahal kesenian-kesenian tersebut sama sekali tidak ada di Bali. Kuatnya pengaruh budaya Bali pada penampilan fisik baik dari instrumentasi, kostum maupun teknik penyajiannya hal ini sering menimbulkan kesan “Bali” pada kesenian tersebut. Dalam hal ini tampak jelas adanya komunikasi antar budaya yang menyatu dalam sebuah wujud seni pertunjukan.

Komunikasi yang lebih intens lagi dapat dirasakan dalam hal penyajian berbagai jenis seni pertunjukan. Para seniman yang ada di Lombok baik seniman Bali maupun seniman Sasak tidak merasa canggung dalam penyajian yang bersifat silang budaya dan apa yang disajikan seakan-akan sudah menyatu dengan jiwa mereka. Faktanya dapat disimak dalam penyajian tari Gandrung yaitu tarian mascot daerah NTB. Tarian ini merupakan salah satu tarian popular diantara tari-tarian yang berkembang di daerah NTB. Sebagai salah satu yang popular tarian ini sering disajikan dalam berbagai event. Dalam beberapa kesempatan terlihat tarian ini disajikan oleh penari-penari yang nota bene orang Bali dan diiringi dengan gamelan Gong Kebyar, salah satu ikon karawitan dan gamelan popular di Bali. Demikian pula sebaliknya, beberapa sanggar seni Sasak seperti Sanggar Mekar Jaya yang terdapat di Montor dan sanggar Mekar Budaya dari Bongor, Lombok Barat serta sanggar-sanggar lainnya sangat trampil memainkan komposisi karawitan Bali.

Memperhatikan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan di atas, seni pertunjukan merupakan salah satu symbol budaya dan media yang sangat strategis dalam menciptakan suasana interaktif dalam masyarakat yang hetrogen. Melalui seni pertunjukan terjalin sebuah komunikasi sehingga muncul keakraban antara masyarakat Bali dan Lombok (Sasak).

  1. Munculnya Budaya Hibryd

Terdapatnya berbagai suku bangsa/etnik masyarakat yang mendiami Pulau Lombok saat ini, karateristik masyarakat Lombok dapat dikatakan sebagai kelompok masyarakat multikultur. Masing-masing etnis hidup bersama dengan tradisi dan budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam kebersamaan tersebut sering terjadi interaksi yang mana interaksi tersebut tidak hanya dalam bentuk komunikasi antar individu, namun lebih jauh juga terjadi interaksi budaya dimana simbol-simbol budaya masyarakat pendatang berinteraksi dengan simbol-simbol budaya lokal. Interaksi simbol-simbol budaya antara dua masyarakat yang berbeda secara positif menghasilkan sebuah akulturasi budaya sehingga membentuk sebuah budaya baru. Akulturasi budaya sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat (1990:91) adalah suatu proses sosial yang terjadi apabila manusia dalam suatu masyarakat, dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing terintegrasikan ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaan setempat. Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan hubungan antar dua kebudayaan, keduanya saling mempengaruhi memberi dan menerima. Interaksi budaya dalam masyarakat multikultur sangat memungkinkan munculnya budaya hibrid yaitu budaya baru yang merupakan hasil perpaduan antara dua atau lebih budaya yang berinteraksi secara intens.

Terjadinya interaksi mutualistik saling memberi dan menerima di antara budaya Bali dengan Sasak muncul tradisi budaya baru yang tentunya mencerminkan diantara kedua budaya tersebut. Seperti dua warna primer dicampurkan maka muncul warna sekunder yang merupakan hasil dari percampuran tersebut. Apabila warna yang tercampur memiliki intensitas yang sama maka tidak ada warna yang dominan dan warna baru (sekunder) tersebut tampak harmonis dan seimbang, akan tetapi apabila intensitas warna yang dicampur berbeda, maka warna sekunder yang muncul akan didominasi oleh warna yang dominan.

Salah satu wujud nyata budaya hibrid dari perpaduan dua budaya tersebut terdapat pada tradisi Perang Topat yaitu tradisi ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam Waktu Telu bersama-sama dengan masyarakat Hindu setempat setahun sekali pada saat puja wali purnamaning sasih ke enem di Pura Lingsar. Upacara ritual ini dilaksanakan dengan menggunakan topat (ketupat) sebagai media utamanya dan sekaligus sebagai senjata yang dipakai untuk saling melempar (Suandewi, 2001:viii). Tradisi ini melahirkan sebuah kesenian yaitu dengan tari Batek Baris. Tarian ini merupakan tarian upacara yang ditarikan oleh laki-laki dan perempuan dengan mempergunakan senjata bedil (senapan). Sebagai salah satu bentuk tarian upacara, tari Batek Baris dipentaskan pada saat prosesi mendak pesaji dan ngaturang pesaji sebelum puncak upacara Perang Topat.

Di bidang seni pertunjukan, dalam proses penciptaan tari dan musik tradisional di Lombok, keterlibatan seniman-seniman Bali yang telah mendiami Pulau Lombok dalam kurun waktu yang lama seperti Ida Wayan Pasha, I Komang Kantun, I Ketut Astika, I Wayan Balik, Ida Wayan Astha, Jro Astini dan beberapa seniman lainnya berhasil menciptakan tari-tarian dan musik tradisional yang merupakan perpaduan antara budaya Sasak dan Bali. Keberhasilan para seniman-seniman tersebut dalam menciptakan karya-karya seperti tari Barong Girang, tari Prisean, serta merekonstruksi wayang orang Sasak pada tahun 2009 dilandasi dalamnya pemahaman nilai-nilai budaya Sasak diantara tokoh-tokoh tersebut.

  1. Analogi Secangkir Kopi

Mungkin akan terlalu sempit apabila sebuah kebudayaan dianalogikan dengan secangkir kopi yang diseduh dan disajikan setiap pagi, setiap kita bertandang ke kerabat dan sahabat. Tapi demikianlah bayangan yang muncul setiap menginjakkan kaki di Bumi Sasak. Multikulturalisme budaya masyarakat di Lombok kami andaikan sebagai secangkir kopi. Pulau Lombok sebagai wadahnya (cangkir/gelas) dan unsur kopi, gula dan air diibaratkan sebagai unsur-unsur budaya etnik yang bersenyawa sehingga menjadikannya hidangan budaya sebagai penghangat di waktu pagi dan sebagai jamuan persahabatan.

Kebudayaan masyarakat di Lombok yang multikultur merupakan persenyawaan dari berbagai unsur budaya etnik. Dari berbagai etnik yang ada di Lombok, terdapat tiga budaya etnik yang dominan yakni, Jawa, Bali dan Sasak sebagai budaya aslinya. Bersenyawanya berbagai unsur budaya di atas pada akhirnya membentuk dan menghasilkan sebuah budaya baru yang disebut sebagai budaya Sasak. Lintasan budaya dari Jawa menuju ke Bali dan akhirnya bermuara di Lombok, meninggalkan jejak-jejak budaya salah satunya adalah budaya sastra, dimana terdapat kesamaan huruf dan tulisan yang sama yang di Jawa disebut dengan aksara hanacaraka, di Bali juga disebut dengan aksara hanacaraka dan di Lombok disebut dengan aksara jejawen. yang hingga saat ini sebagai salah satu budaya sastra dalam masyarakat Sasak.

Menikmati pertunjukan Wayang Sasak oleh Dalang Kondang Haji Lalu Nasib pada suatu malam di lapangan Sangkareang seolah-olah kita suguhan tiga budaya. Bentuk wayangnya seperti wayang Jawa, bahasanya Bahasa Sasak, iringannya mirip dengan gamelan Gambuh (Bali). Serbuk kopi dan gula telah terseduh dengan air panas bercampur bersenyawa manjadi satu dan sulit untuk diurai lagi, tinggal kita nikmati. Silahkan….

  1. Penutup

Memperhatikan ulasan di atas, sebagai penutup dari peper ini dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan sebagai salah satu wujud kebudayaan memiliki peranan yang sangat penting sebagai media dalam terjalinnya komunikasi dan interaksi antar budaya. Terjadinya komunikasi dan interaksi budaya telah mampu menghasilkan budaya hybrid yang merupakan salah satu budaya unggulan serta salah satu modal budaya yang dapat dimanfaatkan secara lebih luas di dalam membangun masyarakat yang maju dan berbudaya.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Anak Agung Ketut. 1992. Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950). Upada Sastra.

 

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi., Penerbit Universitas, Jakarta.

Liliweri, M.S., Dr. Allo. 2002. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

———————–. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LkiS.

 

Suandewi, I Gusti Ayu Ketut.2001. Tesis. ”Tari Batek Baris Dalam Upacara Perang Topat di Pura Lingsar, Lombok Barat”. Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Ujan, Andre Ata. Dkk. 2007. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT Indeks.

Widyarto, Rinto. 2009. “Dokumentasi dan Inventarisasi Seni Pertunjukan Tari Nusa Tenggara Barat”. Laporan Penelitian. Dibiayai oleh Program Hibah Kompetisi Unggulan Bidang Seni (PHK B-Seni) Batch IV ISI Denpasar Tahun Anggaran 2009. Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.

Yudarta, I Gede., Ni Wayan Ardini. 2010. “Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang Industri Pariwisata di Lombok Barat”. Laporan Hasil Penelitian. Di danai dengan Dana DIPA Institut Seni Indonesia Denpasar. Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar.

[1] Disampaikan Dalam Seminar di STAH Gde Puja Mataram, 23 Agustus 2012

[2] Dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Mahasiswa Program Pascasarjana S3, Universitas Udayana

[i] http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya