Sekelumit Tentang Gamelan Jegog

Sekelumit Tentang Gamelan Jegog

 Oleh: I Gede Yudarta

 Gamelan Jegog merupakan salah satu jenis gamelan yang menjadi ciri khas kabupaten Jembrana  (Sukerna, 2003:1). Berbeda dengan jenis gamelan sebelum yang diungkap dalam buku ini, gamelan Jegog terbuat dari bahan dasar Bambu. Sebagimana diuraikan oleh Sukerna (2003:2-3), gamelan ini awalnya merupakan gamelan bilah dimana bilah tersebut terbuat dari kayu Bayur/Panggal Buaya dengan resonator bambu yang terdapat dan tumbuh subur disebagian besar wilayah Jembrana. Namun karena langkanya bahan baku kayu tersebut, pada perkembangan selanjutnya bilah tersebut digantikan dengan hanya memakai bambu saja. Terjadinya perubahan ini ternyata secara musikal menghasilkan kualitas suara yang lebih nyaring dan menghasilkan suara yang menggema.

Secara aklamasi masyarakat Jembrana khususnya di kalangan seniman menunjuk bahwa yang menciptakan gamelan ini adalah I Wayan Geliguh atau Kiyang Geliduh (1872) pada tahun 1912. Ia adalah seorang seniman yang berasal dari Banjar Sebual, Desa Dangin Tukad Aya, Kecamatan Negara, Jembrana. Sebagai produk budaya asli masyarakat Jembrana, gamelan ini memiliki fungsi yang sangat beragam. Awalnya gamelan ini dipergunakan sebagai media komunikasi untuk memanggil warga masyarakat desa agar berkumpul guna melakukan kegiatan nyucuk yakni kerja bakti membuat atap rumah dari ijuk. Pada perkembangan berikutnya, gamelan ini dipergunakan untuk mengiringi tari pencak silat, suatu atraksi yang diadakan pada waktu istirahat atau setelah selesai nyucuk. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa gamelan ini memiliki fungsi sosial yang kemudian berkembang berfungsi sebagai hiburan atau seni tontonan. Sebagai salah satu tontonan yang sangat menarik gamelan Jegog sering dikompetisikan dengan dihadap-hadapkan (mebarung) antara satu sekaa dengan sekaa yang lainnya yang mana event ini disebut dengan ”Jegog Mebarung”.

Instrumen dan Teknik Instrumentasi

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, secara fisik keseluruhan instrumen yang terdapat pada gamelan ini terbuat dari bambu. Dibandingkan dengan jenis gamelan bamboo lainnya, gamelan Jegong memiliki ukuran yang paling besar dan nada suara yang dihasilkannya sangat keras. Dilihat dari sistem larasnya, gamelan ini memiliki rangkaian nada-nada yang berlaras selendro dimana dalam satu oktafnya terdiri dari 4 (empat) nada. Adapun nada-nada tersebut diantaranya: ndong (4), ndeng (5), ndung (7) dan nding (3). Dari jenis dan jumlah instrumennya semula terdapat beberapa nama jenis instrument dalam barungan gamelan Jegog diantaranya: Jegogan yang memiliki ukuran terbesar 1 tungguh, Undir 2 tungguh, Celuluk/Kuntung 2 tungguh, Barangan 3 tungguh, Kancilan 3 tungguh dan Suwir yang merupakan instrumen terkecil 3 tungguh.

Dalam perkembangan selanjutnya, berkembangnya gamelan ini sebagai pengiring tari-tarian terjadi penambahan jenis instrument dengan masuknya instrumen kendang, ceng-ceng dan suling. Dari berbagai jenis instrumen di atas, dilihat dari teknik permainannya, gamelan ini dapat dikelompokkan ke dalam kelas idiophone dimana masing-masing instrumen tersebut dimainkan dengan cara dipukul dengan mempergunakan dua buah panggul yang dimainkan dengan dua tangan. Teknik permainan pada beberapa jenis instrumen dalam gamelan Jegog juga mempergunakan teknik polos sangsih dan lengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Jegogan

Dalam seperangkat gamelan Jegog terdapat 1 tungguh instrumen jegogan dengan 2 (dua) oktaf nada gumbang dan ngisep. Instrumen ini dimainkan oleh 2 orang yang masing-masing memakai panggul yang terbuat dari getah karet mentah. Kedua pemain ini memainkan nada yang sama namun imbal dengan waktu memukul yang berbeda. Seorang pemain memainkan pukulan polos dan seorang lagi bermain sangsih.

 

2. Undir

Dari dua instrumen yang terdapat di dalamnya, terdapat instrumen pengumbang dan pengisep. Setiap instrumen dimainkan oleh seorang pemain dengan mepergunakan sepasang panggul yang terbuat dari karet (ban luar mobil). Instrumen undir bertugas sebagai ”pemanis” dengan memainkan bagian pokok lagu.

3. Celuluk/Kuntung

Sebagaimana instrumen undir, celuluk /kuntung juga terdiri dari dua tungguh dengan nada pengumbang dan pengisep yang dimainkan oleh dua orang penabuh dengan mempergunakan panggul yang terbuat dari kayu. Instrumen ini juga berfungsi sebagai ”pemanis” dimana penabuhnya memainkan melodi pokoknya saja.

4. Barangan

Terdapat 3 (tiga) instrumen barangan dalam barungan gamelan Jegog yang masing-masing dimainkan oleh seorang penabuh. Instrumen tersebut diletakkan secara sejajar dimana yang ditengah disebut dengan patus sedang yang di samping kiri dan kanan disebut dengan pengapit. Pemain patus berfungsi sebagai pengugal (pemimpin) dan memberi aba-aba pada saat memainkan dinamika atau keras lirihnya lagu. Walaupun instrumen ini bukan yang paling kecil ukurannya, namun karena melihat fungsinya yang sangat penting sebagai pemegang kendali, instrumen ini diposisikan pada tempat paling depan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah koordinasi dalam menyajikan sebuah komposisi.

5. Kancil(an)/ Kantil

Sama halnya dengan instrumen barangan, kancil juga terdiri dari 3 (tiga) tungguh, satu berfungsi sebagai patus yang diletakkan di tengah-tengah sedang yang lain sebagai pengapit yang letaknya pada sisi kiri dan kanan.

6. Suwir

Sebagai instrumen terkecil ukurannya, nada-nada yang terdapat didalamnya juga merupakan nada-nada paling tinggi dibanding dengan instrumen lainnya. Sebagaimana dua instrumen di atas, terdapat 3 (tiga) instrumen suwir yang terdiri dari patus dan pengapit yang diletakkan secara sejajar.

Bentuk dan Struktur Komposisi Tetabuhan Jegog

Berbeda dengan bentuk dan struktur komposisi karawitan klasik pada umumnya yang memiliki struktur pengawit, pengawak pengecet dan pekaad, susunan gending-gending dalam gamelan Jegong disebut dengan palet yang artinya bagian (Sukerna, 2004:97). Sedangkan bentuk gending dalam gamelan Jegog pada tiap paletnya terdiri dari tiga motif tetabuhan. Sajian gending diawali dengan motif kekebyaran yang dimainkan dengan tempo yang cepat, selanjutnya pada bagian yang kedua, melodi yang sama masih dimainkan namun tempo permainan diperlambat, sedangkan pada bagian ketiga motif dan tempo permainan kembali seperti motif yang pertama. Dari struktur lagu seperti itu dapat dikatakan bahwa sebagian besar komposisi Jegog ini memiliki pola A-B-A.

 

SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DAN INTERAKSI ANTAR BUDAYA DI LOMBOK

SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI MEDIA

KOMUNIKASI DAN INTERAKSI ANTAR BUDAYA

DI LOMBOK[1]

 

Oleh:

I Gede Yudarta, SSKar., M.Si.[2]

  1. Pendahuluan

Pulau Lombok merupakan salah satu pulau bagian dari wilayah Nusantara yang memiliki potensi budaya yang unik dan beragam. Keunikan budaya Lombok terletak landasan nilai-nilai budaya Sasak yang demikian mengakar dalam wujud dari hasil kebudayaan yang hidup dan berkembang pada masyarakat Sasak yang tidak terdapat di wilayah lain di Indonesia. Sedangkan keragaman yang dimiliki secara fisik dapat diamati bahwa selain budaya Sasak juga terdapat budaya etnik yang lain seperti Bali, Jawa, Tionghoa, Arab yang hidup dan berkembang secara berdampingan bersama dengan budaya Sasak. Keberadaan dari beragam budaya etnik tersebut menjadikan Lombok kaya dengan ragam budaya, dan kekayaan tersebut memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.

Dari berbagai ragam budaya sebagaimana telah diuraikan di atas, salah satu yang paling menonjol diantaranya adalah kebudayaan etnik Bali. Peran budaya Bali di Lombok dapat dikatakan cukup strategis dan memberikan warna tersendiri dalam kehidupan budaya masyarakat di Lombok. Beberapa pengkaji budaya Sasak mengamini bahwa kebudayaan Bali merupakan salah satu kebudayaan yang memberikan kontribusi dan pengaruh yang cukup besar terhadap kebudayaan yang ada di Lombok. Hal yang paling nyata dapat diamati dalam beberapa bentuk seni pertunjukannya. Keberadaan beberapa alat musik tradisional (gamelan), tari-tarian tradisional serta seni teater tradisionalnya diperkirakan mendapat pengaruh yang kuat dari kesenian Bali sehingga kesenian tersebut memiliki kemiripan dengan Bali. Kacamata awam sering mengalami kesulitan dalam membedakan antara kesenian Lombok dengan Bali. Seni pertunjukan di Lombok seringkali dilihat dan dianggap sebagai kesenian Bali, padahal kalau ditelusuri secara lebih mendalam terdapat nilai dan makna yang membedakan diantara keduanya. Adanya kesamaan/kemiripan bentuk kesenian ini membuktikan betapa dekatnya antara Lombok dengan Bali apabila di lihat dari perspektif budaya. Proses akulturasi, difusi, komunikasi dan interaksi budaya yang sangat intens antara dua budaya akhirnya menghasilkan wujud budaya yang hampir sama.

  1. Komunikasi dan Interaksi Budaya Lombok dan Bali

Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). [i] Budaya Sasak dan budaya Bali tentunya merupakan dua budaya yang berbeda wujudnya. Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai yang menjadi akar budaya yang melandasinya. Budaya Sasak yang dilandasi oleh nilai-nilai tradisi kebudayaan Sasak, sedangkan budaya Bali adalah kebudayaan yang dilandasi oleh nilai-nilai tradisi budaya Bali. Terdapatnya unsur-unsur budaya sama antara Bali dengan Lombok, hal ini karena terjalinnya komunikasi antara orang-orang Bali dan orang-orang Sasak dalam kurun waktu yang cukup lama.

Anak Agung Ketut Agung (1991) dalam bukunya Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950) banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Sebagaimana diuraikan, gelombang kedatangan orang-orang Bali di Lombok di mulai pada abad ke 12, pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali, dimana pada saat itu pulau Lombok dapat ditaklukan oleh Bali. Selanjutnya pada tahun 1530 M, sebagaimana terdapat dalam Babad Sangupati, diungkapkan kedatangan Dang Hyang Nirartha (Pangeran Sangupati) yang merupakan utusan dari kerajaan Gelgel dalam perjalanan suci di wilayah tersebut. Gelombang ke tiga terjadi pada masa pemerintahan Raja Karangasem Tri Tunggal I (I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem) tahun 1692. Selama tiga periode kedatangan orang-orang Bali di Lombok terjadi komunikasi yang intens antara orang-orang Bali dengan orang-orang Sasak dan unsur-unsur budaya Bali mulai mempengaruhi budaya masyarakat Lombok. Salah satu sub unsur budaya yang terkena dampak yang sangat kuat adalah di bidang seni pertunjukannya.

Beberapa jenis kesenian seperti Barong Tengkoq, Tawaq-Tawaq, Gamelan Pesasakan, Tari Gandrung, Drama Cupak-Grantang adalah kesenian yang kalau dilihat oleh orang awam dianggap kesenian Bali yang ada di Lombok. Padahal kesenian-kesenian tersebut sama sekali tidak ada di Bali. Kuatnya pengaruh budaya Bali pada penampilan fisik baik dari instrumentasi, kostum maupun teknik penyajiannya hal ini sering menimbulkan kesan “Bali” pada kesenian tersebut. Dalam hal ini tampak jelas adanya komunikasi antar budaya yang menyatu dalam sebuah wujud seni pertunjukan.

Komunikasi yang lebih intens lagi dapat dirasakan dalam hal penyajian berbagai jenis seni pertunjukan. Para seniman yang ada di Lombok baik seniman Bali maupun seniman Sasak tidak merasa canggung dalam penyajian yang bersifat silang budaya dan apa yang disajikan seakan-akan sudah menyatu dengan jiwa mereka. Faktanya dapat disimak dalam penyajian tari Gandrung yaitu tarian mascot daerah NTB. Tarian ini merupakan salah satu tarian popular diantara tari-tarian yang berkembang di daerah NTB. Sebagai salah satu yang popular tarian ini sering disajikan dalam berbagai event. Dalam beberapa kesempatan terlihat tarian ini disajikan oleh penari-penari yang nota bene orang Bali dan diiringi dengan gamelan Gong Kebyar, salah satu ikon karawitan dan gamelan popular di Bali. Demikian pula sebaliknya, beberapa sanggar seni Sasak seperti Sanggar Mekar Jaya yang terdapat di Montor dan sanggar Mekar Budaya dari Bongor, Lombok Barat serta sanggar-sanggar lainnya sangat trampil memainkan komposisi karawitan Bali.

Memperhatikan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan di atas, seni pertunjukan merupakan salah satu symbol budaya dan media yang sangat strategis dalam menciptakan suasana interaktif dalam masyarakat yang hetrogen. Melalui seni pertunjukan terjalin sebuah komunikasi sehingga muncul keakraban antara masyarakat Bali dan Lombok (Sasak).

  1. Munculnya Budaya Hibryd

Terdapatnya berbagai suku bangsa/etnik masyarakat yang mendiami Pulau Lombok saat ini, karateristik masyarakat Lombok dapat dikatakan sebagai kelompok masyarakat multikultur. Masing-masing etnis hidup bersama dengan tradisi dan budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam kebersamaan tersebut sering terjadi interaksi yang mana interaksi tersebut tidak hanya dalam bentuk komunikasi antar individu, namun lebih jauh juga terjadi interaksi budaya dimana simbol-simbol budaya masyarakat pendatang berinteraksi dengan simbol-simbol budaya lokal. Interaksi simbol-simbol budaya antara dua masyarakat yang berbeda secara positif menghasilkan sebuah akulturasi budaya sehingga membentuk sebuah budaya baru. Akulturasi budaya sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat (1990:91) adalah suatu proses sosial yang terjadi apabila manusia dalam suatu masyarakat, dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing terintegrasikan ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaan setempat. Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan hubungan antar dua kebudayaan, keduanya saling mempengaruhi memberi dan menerima. Interaksi budaya dalam masyarakat multikultur sangat memungkinkan munculnya budaya hibrid yaitu budaya baru yang merupakan hasil perpaduan antara dua atau lebih budaya yang berinteraksi secara intens.

Terjadinya interaksi mutualistik saling memberi dan menerima di antara budaya Bali dengan Sasak muncul tradisi budaya baru yang tentunya mencerminkan diantara kedua budaya tersebut. Seperti dua warna primer dicampurkan maka muncul warna sekunder yang merupakan hasil dari percampuran tersebut. Apabila warna yang tercampur memiliki intensitas yang sama maka tidak ada warna yang dominan dan warna baru (sekunder) tersebut tampak harmonis dan seimbang, akan tetapi apabila intensitas warna yang dicampur berbeda, maka warna sekunder yang muncul akan didominasi oleh warna yang dominan.

Salah satu wujud nyata budaya hibrid dari perpaduan dua budaya tersebut terdapat pada tradisi Perang Topat yaitu tradisi ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam Waktu Telu bersama-sama dengan masyarakat Hindu setempat setahun sekali pada saat puja wali purnamaning sasih ke enem di Pura Lingsar. Upacara ritual ini dilaksanakan dengan menggunakan topat (ketupat) sebagai media utamanya dan sekaligus sebagai senjata yang dipakai untuk saling melempar (Suandewi, 2001:viii). Tradisi ini melahirkan sebuah kesenian yaitu dengan tari Batek Baris. Tarian ini merupakan tarian upacara yang ditarikan oleh laki-laki dan perempuan dengan mempergunakan senjata bedil (senapan). Sebagai salah satu bentuk tarian upacara, tari Batek Baris dipentaskan pada saat prosesi mendak pesaji dan ngaturang pesaji sebelum puncak upacara Perang Topat.

Di bidang seni pertunjukan, dalam proses penciptaan tari dan musik tradisional di Lombok, keterlibatan seniman-seniman Bali yang telah mendiami Pulau Lombok dalam kurun waktu yang lama seperti Ida Wayan Pasha, I Komang Kantun, I Ketut Astika, I Wayan Balik, Ida Wayan Astha, Jro Astini dan beberapa seniman lainnya berhasil menciptakan tari-tarian dan musik tradisional yang merupakan perpaduan antara budaya Sasak dan Bali. Keberhasilan para seniman-seniman tersebut dalam menciptakan karya-karya seperti tari Barong Girang, tari Prisean, serta merekonstruksi wayang orang Sasak pada tahun 2009 dilandasi dalamnya pemahaman nilai-nilai budaya Sasak diantara tokoh-tokoh tersebut.

  1. Analogi Secangkir Kopi

Mungkin akan terlalu sempit apabila sebuah kebudayaan dianalogikan dengan secangkir kopi yang diseduh dan disajikan setiap pagi, setiap kita bertandang ke kerabat dan sahabat. Tapi demikianlah bayangan yang muncul setiap menginjakkan kaki di Bumi Sasak. Multikulturalisme budaya masyarakat di Lombok kami andaikan sebagai secangkir kopi. Pulau Lombok sebagai wadahnya (cangkir/gelas) dan unsur kopi, gula dan air diibaratkan sebagai unsur-unsur budaya etnik yang bersenyawa sehingga menjadikannya hidangan budaya sebagai penghangat di waktu pagi dan sebagai jamuan persahabatan.

Kebudayaan masyarakat di Lombok yang multikultur merupakan persenyawaan dari berbagai unsur budaya etnik. Dari berbagai etnik yang ada di Lombok, terdapat tiga budaya etnik yang dominan yakni, Jawa, Bali dan Sasak sebagai budaya aslinya. Bersenyawanya berbagai unsur budaya di atas pada akhirnya membentuk dan menghasilkan sebuah budaya baru yang disebut sebagai budaya Sasak. Lintasan budaya dari Jawa menuju ke Bali dan akhirnya bermuara di Lombok, meninggalkan jejak-jejak budaya salah satunya adalah budaya sastra, dimana terdapat kesamaan huruf dan tulisan yang sama yang di Jawa disebut dengan aksara hanacaraka, di Bali juga disebut dengan aksara hanacaraka dan di Lombok disebut dengan aksara jejawen. yang hingga saat ini sebagai salah satu budaya sastra dalam masyarakat Sasak.

Menikmati pertunjukan Wayang Sasak oleh Dalang Kondang Haji Lalu Nasib pada suatu malam di lapangan Sangkareang seolah-olah kita suguhan tiga budaya. Bentuk wayangnya seperti wayang Jawa, bahasanya Bahasa Sasak, iringannya mirip dengan gamelan Gambuh (Bali). Serbuk kopi dan gula telah terseduh dengan air panas bercampur bersenyawa manjadi satu dan sulit untuk diurai lagi, tinggal kita nikmati. Silahkan….

  1. Penutup

Memperhatikan ulasan di atas, sebagai penutup dari peper ini dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan sebagai salah satu wujud kebudayaan memiliki peranan yang sangat penting sebagai media dalam terjalinnya komunikasi dan interaksi antar budaya. Terjadinya komunikasi dan interaksi budaya telah mampu menghasilkan budaya hybrid yang merupakan salah satu budaya unggulan serta salah satu modal budaya yang dapat dimanfaatkan secara lebih luas di dalam membangun masyarakat yang maju dan berbudaya.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Anak Agung Ketut. 1992. Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950). Upada Sastra.

 

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi., Penerbit Universitas, Jakarta.

Liliweri, M.S., Dr. Allo. 2002. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

———————–. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LkiS.

 

Suandewi, I Gusti Ayu Ketut.2001. Tesis. ”Tari Batek Baris Dalam Upacara Perang Topat di Pura Lingsar, Lombok Barat”. Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Ujan, Andre Ata. Dkk. 2007. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT Indeks.

Widyarto, Rinto. 2009. “Dokumentasi dan Inventarisasi Seni Pertunjukan Tari Nusa Tenggara Barat”. Laporan Penelitian. Dibiayai oleh Program Hibah Kompetisi Unggulan Bidang Seni (PHK B-Seni) Batch IV ISI Denpasar Tahun Anggaran 2009. Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.

Yudarta, I Gede., Ni Wayan Ardini. 2010. “Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang Industri Pariwisata di Lombok Barat”. Laporan Hasil Penelitian. Di danai dengan Dana DIPA Institut Seni Indonesia Denpasar. Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar.

[1] Disampaikan Dalam Seminar di STAH Gde Puja Mataram, 23 Agustus 2012

[2] Dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Mahasiswa Program Pascasarjana S3, Universitas Udayana

[i] http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya

I Wayan Sudhama “Sang Seniman Pelopor”

I Wayan Sudhama “Sang Seniman Pelopor”

Oleh: G. Yudarta

I.     Pendahuluan

Saat ini mungkin tidak banyak kalangan seniman yang mengetahui siapa tokoh yang satu ini, itu karena Dia mulai dilupakan dan dianggap bukan siapa-siapa. Memang, Dia hanyalah seorang seniman otodidak yang dilahirkan dan dibesarkan di “Kampung -Yang Dulunya- Seniman” tepatnya di Banjar Belaluan Sadmerta. Namun demikian bagi seniman yang terlibat secara langsung di era tahun 1970-1980-an dia adalah sosok seniman yang memiliki nama besar di Kabupaten Badung bahkan di Bali.

I Wayan Sudhama lahir pada tahun 1948 adalah anak sulung dari Empu Karawitan Bali, I Wayan Berata dari hasil perkawinannya dengan Ni Nyoman Sukri, dan merupakan cucu dari I Made Regog si pencipta Tabuh Kebyar “Ding Sempati”. Lahir dan hidup dilingkungan seniman besar, Sudhama mulai bermain gamelan pada usia 5 tahun di bawah bimbingan Kakek dan Ayahnya. Pada masa kanak-kanaknya Sudhama merupakan pribadi yang paling menonjol di bidang seni di lingkungan Banjar Belaluan Samerta dan diusianya itu sudah mahir memainkan instrument kendang. Di lingkungan sekolahnya di SD 1 Tonja, Dia dikenal sebagai pemain kendang dan sudah biasa mengiringi tarian Janger dan tari-tari kekebyaran lainnya. Dari bimbingan dua Mpu Seni, pada usia remajanya (12 th) dia sudah ikut secara aktif sebagai anggota sekaa Gong Sadmerta salah satu sekaa Gong yang memiliki nama besar di Bali. Puncak kariernya sebagai seorang pengerawit di usia remaja adalah keikutsertaannya sebagai pemain kendang sebagai pasangan dari ayahnya I Wayan Berata dalam Merdangga Uttsawa (Festival Gong Kebyar) pada tahun 1968 dimana pada saat itu Sekaa Gong Sadmerta tampil sebagai yang terbaik (juara I) di Bali dan mendapat hadiah bendera emas.

II.  Kehidupan Berkesenian

Kesuksesannya meraih prestasi dibidang seni seakan terus menanjak menapak tangga-tangga yang semakin tinggi. Tidak saja semakin piawai memainkan kendang, Sudhama juga mulai mengikuti jejak pendahulunya turun ke desa-desa sebagai pembina di beberapa desa di Kabupaten Badung. Kuatnya charisma yang dimiliki I Wayan Sudhama muncul sebagai seorang pembina yang sangat disegani oleh sekaa-sekaa yang dibinanya, dan pengagum Bung Karno ini pun muncul sebagai seorang seniman muda yang paling berpengaruh dalam perkembangan seni karawitan di Kabupaten Badung.

Kelugasannya dalam pergaulan memberikan dampak positif dan secara mudah masuk ke lingkungan pemerintahan (Pemda Tk. II Badung) bahkan Sudhama mampu mendekatkan dirinya dengan para petinggi di pemerintahan. Atas kedekatannya itu Sudhama mulai menyampaikan ide-idenya untuk meningkatkan perkembangan kesenian di Kabupaten Badung dan akhirnya atas restu Bupati Badung saat itu I Dewa Gede Oka, pada tahun 1978 ide-ide tersebut mulai terealisasikan dengan terbentuknya Himpunan Seniman Remaja (HSR) Kabupaten Badung dan Sudama sendiri menjabat sebagai Ketuanya. Dalam menjalankan organisasi ini Sudhama di bantu oleh para seniman muda seperti I Nyoman Catra, I Komang Astita, I Ketut Gde Asnawa, Ida Bagus Karang Arnawa, I Gde Sukraka dan beberapa seniman lainnya yang sekarang merupakan tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan di Bali. Dalam kepemimpinannya HSR muncul sebagai wadah bagi para seniman yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kesenian di Bali, dan keberadaannya mendapat sambutan yang positif Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra (alm).

HSR di samping sebagai wadah pembinaan bagi seniman-seniman muda di Kabupaten Badung, juga merupakan lembaga yang secara aktif memberikan pembinaan kepada sekaa-sekaa yang ada di luar Kabupaten Badung. Dalam memberikan pembinaan tersebut beberapa orang seniman yang tergabung dalam HSR dilibatkan sebagai pembina baik di bidang tabuh maupun di bidang tari. Kuatnya jiwa kesenimanannya tidak jarang Sudhama ikut terjun secara langsung membina sekaa-sekaa tersebut.

III.   Kiprah di Bidang Politik

Besarnya kiprah dan pengabdiannya terhadap perkembangan kesenian di Kabupaten Badung menjadikan Sudhama seorang tokoh yang sangat penting dalam bidang kesenian di samping sebagai ketua HSR Sudhama juga menjabat sebagai Ketua ISTATA (Ikatan Seniman Tabuh dan Tari) Daerah Bali. Atas jasa-jasanya tersebut pada tahun 1982 akhirnya dia menapakkan kakinya di kancah politik menjadi salah seorang anggota dewan yang terhormat yaitu DPRD Kabupaten Badung hingga periode 1987. Dialah satu-satunya seniman yang pernah terpilih sebagai anggota parlemen dengan mewakili kelompok seniman se-kabupaten Badung.

IV.   Munculnya Pekan Seni Remaja dan Festival Balaganjur

Dalam posisinya sebagai anggota parlemen, hal ini lebih memudahkan langkahnya untuk lebih mengembangkan kesenian di Kabupaten Badung. Berbagai ide-ide kembali dilontarkan dan senantiasa mendapat respon positif dari barbagai kalangan baik pemerintah, seniman dan masyarakat. Pada tahun 1984 tercetus ide untuk menyelenggarakan Pekan Seni Remaja (PSR) sebagai wadah pembinaan bagi generasi muda. Ide ini disambut dengan antusias oleh berbagai kalangan masyarakat dan sekolah-sekolah untuk berperan aktif dalam event ini. Penulis sangat merasakan sekali dampaknya karena melalui event inilah akhirnya penulis terjerumus berkiprah di bidang seni. Demikian semaraknya penyelenggaraan PSR pada periode tahun 1984-1989 sehingga muncul sebagai salah satu ajang bergengsi bagi sekolah-sekolah dan kalangan generasi muda di Kota Denpasar. Dari berbagai mata acara yang di lombakan, salah satu lomba yang paling bergengsi adalah festival Gong Kebyar antar SMA dan Karang Taruna yang ada di lingkungan Kotif Denpasar (sekarang Kota Denpasar).

Kuatnya jiwa dan keinginannya untuk lebih mengembangkan kesenian Bali, pada tahun 1986 kembali memunculkan sebuah ide yang brilliant yaitu dengan mengangkat gamelan Balaganjur ke dalam ajang festival. Gamelan yang pada mulanya terkesan Dug-Ceng-Dug-Ceng Duen akhirnya muncul sebagai gamelan yang paling atraktif, dinamis dan diminati oleh kalangan generasi muda hingga saat ini. Berbagai kreativitas mampu disajikan oleh para seniman melalui gamelan Balaganjur dan saat ini gamelan ini menjadi salah satu gamelan yang paling popular di Bali.

V.      Penutup

Tingginya semangat dalam mengembangkan kesenian Bali seakan tidak ada yang mampu menghentikan kiprahnya di jagad seni, sama halnya dengan saat tulisan ini dibuat. Banyak hal yang ingin diungkapkan terkait dengan segala kiprahnya di bidang seni. Namun janjinya dengan kehidupan harus menutup segalanya, terhenti dan I Wayan Sudhama kembali ke kehidupan yang lebih abadi, menyatu dengan paramaatman pada usia yang masih sangat muda 42 tahun meninggalkan istri dan 3 orang anak serta kita semua.

Namun walaupun demikian raga boleh berpulang kembali ke panca mahabuta namun ide-ide brilliant nya telah kita warisi dan nikmati hingga saat ini, sewajarnyalah kita sebagai generasi penerusnya untuk melanjutkan berbagai langkah-langkah yang telah dipelopori demi kemajuan dan keabadian seni budaya Bali. Sebagai seniman yang berprestasi Sudhama pernah mengikuti berberapa misi kesenian ke luar negeri seperti Jepang, Kamboja, Philipina, dan beberapa Negara di Eropa seperti Itali, Belanda, Prancis dll. Atas jasa-jasanya di bidang seni pada tahun 1996 I Wayan Sudhama diberikan Tanda Penghargaan oleh Pemerintah Kabupaten Badung dan cuma itu yang didapatkannya…………

Sumber:

Koleksi pribadi I Wayan Sudhama, kliping pemberitaan dari berbagai media cetak di Bali.

SEKAA GONG SADMERTA EKSISTENSI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN SENI KEKEBYARAN DI BALI

Oleh: I Gede Yudarta

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sekaa Gong Sadmerta adalah salah satu sekaa gong kebyar yang terkemuka di Bali. Keberadaan Sekaa gong ini dimulai dari sejak tahun 1918 dimana pada waktu itu masih atas nama Gong Belaluan. Sebagaimana diketahui bahwa Gong Kebyar adalah salah satu gamelan yang pertama kali muncul di Bali Utara (Singaraja). Dalam perkembangannya gamelan ini  sampai di Belaluan pada tahun 1918 dimana pada waktu itu keberadaan gamelan gong kebyar masih mempergunakan bilah 9 buah dan menjadi 10 bilah pada tahun 1930.

Keberadaan gong Belaluan sebagai salah satu Sekaa terkemuka di Bali, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama adalah adanya hubungan yang baik antar seniman. Sesuai dengan  apa yang diungkapkan oleh Senen, adanya hubungan yang erat antara Sekaa Gong Belaluan dengan  Sekaa Gong Ringdikit (Buleleng) mengakibatkan gong Belaluan menjadi lebih maju dalam penguasaan repertoar-repertoar gending Kebyar.(Senen, 2002)[1]. Dalam sejarah perkembangan gong Belaluan terdapat beberapa seniman Belaluan yang mengadakan kontak langsung dengan seniman yang ada di Buleleng. Diantara yang paling erat hubungannya adalah antara I Wayan Berata dengan  I Gede Manik.

Selajutnya dikatakan pula bahwa dalam hal ini Belaluan banyak mendapatkan masukan dari Ringdikit terutama menyangkut dinamika, dan karakterisasi gending-gending Kebyar Bali utara yang serba keras, cepat, dan sejenisnya.[2] Kedua adalah kemampuan para seniman yang ada di Belaluan seperti Regog dan Berata dalam menyerap pola Kebyar Bali Utara serta memadukannya dengan  nafas Pelegongan dan Pegambuhan yang melandasi seniman-seniman tersebut yang selanjutnya di olah sehingga terjadi suatu perpaduan yang sangat menarik antara “keras dan lembut” yang menghasilkan gaya sebagai gaya Belaluan selanjutnya gaya Bali Selatan.

Kepopuleran Gong Belaluan sebagai salah satu gong terkemuka tidak saja diketahui oleh masyarakat Bali namun juga dimata orang asing yang tertarik dengan  kesenian Bali. Dapat  disimak dalam tulisan Miguel Covarrubias seorang warganegara Amerika yang pertama kali datang ke Bali pada tahun 1930 dalam  bukunya Island of Bali yang banyak menulis tentang kebudayaan Bali dimana dalam tulisannya itu ada kalimatnya menyebutkan

“…The Gong Kebiar, to which the orchestra of Belaluan belong, is the large modern concert orchestra par excellence, where the art of ensemble playing, the colorful orchestration, and the vitality of the music show to best advantage. Music played by kebiar consist for the most…” (Covarrubias, hal. 210)[3]

Dari  buku yang ditulis oleh Dr. R. Goris yaitu Bali, Atlas Kebudayaan, Cult and Custom, cultuurgeschiedenis in Beel disebutkan “ … for some five year the beautiful gamelan of Belaluan and the dancing of Maria created a feast of sound, form and colour…” ( …tidak lebih lama dari pada hanya lima tahun saja Maria mempertunjukkan tarianya yang diiringi oleh orkes gamelan Belaluan yang amat indah itu, dan senantiasa pula pertunjukkannya itu merupakan pesta yang menakjubkan tentang bunyi, warna, irama dan gerak…) (Goris,-:151, 157)[4]

Fakta di atas dicatat berdasarkan  pada suatu fakta kira-kira 10 tahun setelah munculnya gong kebyar dan menyebar ke daerah Bali Selatan (Belaluan). Disamping dari tulisan-tulisan data-data informasi juga diperoleh dari adanya rekaman yang dilakukan oleh para peneliti asing yaitu oleh Walter Spies pada tahun 1925 dan pada tahun 1928 oleh Odeon dan Beka. Hasil rekaman tersebut hingga saat ini masih tersimpan dengan  baik dan pernah dijadikan sebagai mata pelajaran music ethnic di UCLA (Amerika Serikat).

2. Periodisasi Sejarah Perkembangan

Di dalam kronologis perkembangan Gong Belaluan ini, disamping beberapa uraian di atas, ada berbagai momen penting yang dialami yang mana hal itu sangat mempengaruhi perkembangannya di kemudian hari. Secara rinci kronologis tersebut akan disampaikan dalam bentuk periodisasi.

2.1. Periode Tahun 1918 – 1940

Periode ini adalah merupakan periode awal dari keberadaan Gong Sadmerta dimana pada-masa-masa ini boleh dikatakan sebagai masa pembelajaran yaitu mempelajari pola-pola kekebyaran yang lahir di Bali Utara. Keberadaan Gong Kebyar di Belaluan pada awalnya adalah merupakan seperangkat gong kebyar duwe Jro Dangin yang disumbangkan kepada para seniman di Belaluan untuk dimainkan. Tercatat dalam disertasi Pande Sukerta bahwa Gong Belaluan pada saat itu masih mempergunakan sistem gangsa 9 bilah.  Pada tahun 1930-an terjadi perubahan dalam bilah gangsa yang dipergunakan yaitu dari sembilan bilah menjadi 10 bilah. Karena gamelan yang dari Jro Dangin diminta kembali.

Walaupun merupakan fase awal dari perkembangan gong Belaluai namun keberadaanya semakin mantap dengan  terdapatnya seniman-seniman berbakat di daerah ini seperti I Made Regog, yang menggubah Komposisi Kebyar Ding Surapati yang direkam oleh Walter Spies pada tahun 1925, serta beberapa karya yang lainnya yang direkam kembali oleh Odeon dan Beka pada tahun 1928. aktivitas lainnya yang dapat dikatakan berskala nasional yang pernah diikuti pada periode ini adalah mengikuti Festival Pasar Gambir di Batavia (Jakarta) pada tahun 1929 dan memperoleh penghargaan ke dua  (Tweede Prijs) dengan  menampilkan legong dan tari kebyar yang pada waktu itu diperkuat oleh I Nyoman Maria (Mario). Sebagai salah satu Sekaa gong terkemuka di Bali Selatan, pada tahun 1933 berhasil memenangkan hadiah panggul emas dalam bebarungan (festival) yang mempertemukan Sekaa-sekaa gong terkemuka yang ada di Bali yang dilaksanakan di Wantilan Banjar Meregan, Klungkung.

Menutup periode ini adalah memperoleh peringkat ke II dalam bebarungan yang diadakan  pada tahun 1939 di lapangan Puputan Badung  dalam rangka hari Ulang Tahun Ratu Belanda. Sedangkan peringkat pertama diraih oleh Sekaa Gong Pangkung.

2.2. Periode Tahun 1940 – 1960

Di awal tahun 40-an tidak ada aktivitas yang menonjol yang dilakukan oleh Gong Belaluan karena dipengaruhi oleh situasi konfrontasi dan dipengaruhi oleh adanya penjajahan Jepang yang sangat ketat melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan masyarakat. Namun demikian keseharian keberadaan Sekaa ini tetap berjalan hanya terbatas pada aktivitas sosial kemasyarakatan dan baru pada tahun 1951 di bawah kepemimpinan I Wayan Berata kembali mengadakan bebarungan yang sifatnya eksebisi dengan  tampil bersama  Gong Gladag pada acara Pasar Malam di Lapangan Puputan Badung.

Pada tahun 1955 Sekaa Gong ini mendapat undangan secara khusus dari Kodam VII/Wirabhuana, Makasar untuk tampil pada upacara Hari Ulang Tahunnya. Dan pada Tahun ini pula kembali mengadakan kegiatan mebarung dengan  Sekaa Gong Peliatan  yang disaksikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr. Moh. Yamin di Wantilan Pengrebongan desa Kesiman.

Undangan pertama untuk tampil diluar negeri akhirnya diperoleh pada tahun 1956 yaitu dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Republik Rakyat Tiongkok yang Ke-7 di Tiongkok (RRC). Sekaa Gong Belaluan bergabung dengan  Sekaa Gong Sawan medapat undangan ini mengadakan lawatan lebih kurang 3 bulan lamanya dengan  membawakan berbagai bentuk kesenian dari tari-tarian kebyar, legong sampai kesenian Janger.

Pada tahun 1957 karena adanya konflik internal di Belaluan, terjadi pembekuan sarana gamelan yang mengakibatkan terjadinya perpecahan. Perpecahan itu akhirnya berimplikasi terbentuknya Sekaa Gong Sadmerta yang dibentuk oleh warga masyarakat yang sangat mencintai keberadaan keseniannya.   Dengan  adanya pembekuan sarana kesenian yang dimiliki maka pada tahun ini pula warga kembali membuat seperangkat Gamelan dengan  bantuan berbagai pihak terutama Puri Denpasar dan Puri Belaluan yang banyak memberikan bantuan moral dan material. Dalam waktu yang tidak terlalu lama terbentuklah Gong Sadmerta yang mana keberadaannya dapat dikatakan kelanjutan dari Gong Belaluan karena sebagian besar anggota-anggotanya adalah mantan anggota Sekaa Gong Belaluan.

Aktivitas Gong yang kini bernama Gong Sadmerta kembali berlanjut yaitu dengan  adanya undangan untuk memeriahkan pembukaan Konference Colombo (Colombo Plan) di Gedung Agung Jogyakarta pada tahun 1959.

2.3. Periode Tahun 1960 – 1980

Periode ini dapat dikatakan masa “emas” dari Gong Sadmerta, dimana berbagai prestasi dan penghargaan diraih terkait dengan  keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan baik yang bersifat local, nasional maupun internasional. Diawali dengan  kegiatan sebagai penabuh istana (kenegaraan) yang tampil pada saat dilaksanakannya upacara-upacara kenegaraan baik dalam rangka hari kemerdekaan (Proklamasi) maupun menyambut kunjungan tamu-tamu kenegaran baik yang dilaksanakan di Jakarta maupun di istana Tampaksiring.

Kegiatan yang lainnya adalah, pada tahun 1962 mengiringi tari Pendet yang di sajikan secara kolosal dalam rangka upacara pembukaan ASIAN GAMES IV (Pesta Olah Raga Negara-Negara Se – ASIA) di Stadion Utama Senayan Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1963 ada tiga lawatan ke luar negeri yang dilakukan adalah Misi Nasional ke Thailand, Philipina dan Rusia. Pada tahun 1964 Gong Sadmerta kembali ditunjuk sebagai duta seni untuk tampil pada acara New York Fair (Amerika Serikat) dalam lawatannya itu Sekaa gong Sadmerta berada di Amerika selama 7 Bulan dan setelah berakhir dilanjutkan dengan  lawatan ke beberapa negara di Eropa seperti Belanda, Perancis sampai akhirnya kembali ke Indonesia. Keberadaan Sekaa gong Sadmerta dalam misi kesenian ini dapat dikatakan sebagai prestasi yang sangat tinggi sebagai sesuatu kesempatan yang tidak akan datang untuk ke dua kalinya. Namun begitu sebagai puncak kejayaannya justru terjadi pada tahun 1968 yaitu dengan  tampilnya Sekaa Gong Sedmerta sebagai  Juara I dalam Merdangga Uttsava (Festival Gong Kebyar) se Bali. Dikatakan puncaknya karena kegiatan ini merupakan sebuah aktivitas formal (resmi) pertama yang dilakukan oleh pemerintah setelah jaman kemerdekaan dengan  mempertemukan Sekaa-sekaa Gong terkemuka yang ada di seluruh Bali. Sebagai wakil Badung Sekaa gong Sadmerta berhasil mengungguli Sekaa-sekaa gong lainnya dari Buleleng, Gianyar, Tabanan,  Karangasem yang memiliki nama-nama besar di daerahnya. Pada saat itu disamping merebut Juara Umum untuk keseluruhan materi yang difestivalkan, Sekaa gong Sadmerta juga memperoleh Kejuaraan dalam Tabuh Lelambatan sebagai Juara I, Juara I Tari Teruna Jaya, Juara I tari Legong Keraton, Juara III Tari Topeng Arsa Wijaya, Juara III Kekawin dan Juara Umum Tabuh Pengiring. Di samping meraih puncaknya, pada tahun itu kembali ditunjuk untuk mengisi rombongan kesenian ke Kerajaan Iran Teheran dan Shiraz.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya terhadap perkembangan seni kekebyaran di Bali, pada tahun 1976 Sekaa gong Sadmerta medapatkan penganugrahan Medali Penghargaan Pengabdian dari Pemerintah Daerah Propinsi Bali  bersama dengan  Sekaa Gong Peliatan, Gianyar dan Sekaa Gong Jagaraga, Buleleng. Setelah disibukkan dengan  berbagai agenda misi kesenian ke luar negeri pada akhir periode ini sekaa gong Sadmerta lebih banyak melakukan aktivitas kesenian secara local yaitu mengadakan pertunjukan di hotel-hotel, dengan  mempertunjukan kesenian seperti sendratari Ramayana, Rajapala dan beberapa tari-tarian lepas yang dipergunakan untuk menghibur para tamu yang berkunjung di Bali.

2.4. Periode Tahun 1980 – 2000

Di tahun 1980 –an Sekaa Gong Sadmerta mengalami sedikit kemunduran yang mana hal ini terkait dengan berbagai kesibukan yang mulai mewarnai anggota-anggotanya sehingga perhatian terhadap keberadaan Gong ini menjadi sedikit terpecah. Di samping itu lambatnya regenerasi yang dilakukan menyebabkan terjadi suatu kesenjangan dalam keanggotaannya. Namun demikian sebuah prestasi kembali dicapai yaitu sebagai juara I pada Festival atau Lomba Balaganjur yang diadakan pertama kali dalam rangka memperingati Hari Puputan Badung  yang ke 80 pada tahun 1986 di lapangan Puputan Badung.

2.5. Periode Tahun 2000 –

Pada akhir tahun 2001 dengan  sisa-sisa kekuatannya Sekaa Gong Sadmerta dipercaya kembali untuk mengadakan bebarungan dengan  Sekaa Gong Sidakarya yang bersifat eksebisi dalam rangka perayaan akhir tahun dan tahun baru 2002. selanjutnya sebagai sebuah legenda dalam perkembangan karawitan Bali Sekaa Gong Sadmerta kembali tampil pada arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2003 pada pagelaran yang bertajuk “Sekaa Gong Legendaris” dengan  menampilkan beberapa materi yang memang menjadi ciri khas dari Gong Sadmerta diantaranya Tabuh Pisan Gegancangan, Tari Kupu-kupu, Tari Kebyar Terompong, Tabuh Kreasi Palguna Warsa dan Tari Kebyar Legong.

3. Beberapa Orang Seniman Dan Pengaruhnya

Seniman adalah orang yang mempunyai bobot dan berhasil menciptakan serta memperdalam karya seni. Keberadaan seorang seniman dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dimana dengan bobot kesenimannya seorang seniman diharapkan mampu mengangkat nilai-nilai budaya dan warisan spiritual dalam aspek kehidupan dan pengembangan identitas. Adakalanya seorang seniman dianggap sebagai pelopor yang mampu menggerakkan masyarakat dan memberikan rangsangan dalam berkesenian sehingga nantinya mampu menciptakan suasana harmonis, komunikatif, menumbuhkan rasa solidaritas, dan berpengaruh dalam memberikan suatu arah perubahan yang positif.

Keberhasilan Sekaa Gong Sadmerta (Belaluan) dalam meraih puncak-puncak prestasi dalam masa kejayaannya tidak terlepas dari peranan seniman-seniman yang memang lahir di Belaluan, Sadmerta. Bila dikaitkan dengan periodisasi di atas, terdapat beberapa orang seniman yang memang berpengaruh pada tiap-tiap periode tersebut.

3.1. Periode 1918 – 1940

Pada periode ini muncul nama-nama seperti I Made Regog (1900-1982) yang pada saat itu berperan sebagai pembina, pelatih di dalam Sekaa Gong Belaluan. Seperti yang dikutip oleh Senen dari tulisan Mulyono, dikatakan bahwa, dalam perkembangannya Ia berhasil menjadi seorang seniman panyaji karawitan (pemain kendang), pelatih Gending (juru uruk), pelaras gamelan (tukang panggur gong), sekaligus pencipta lagu yang sangat terkenal di Bali Selatan.[5] Pengaruhnya terhadap Sekaa ini dibuktikan dengan  keahliannya menciptakan beberapa buah komposisi seperti Kebyar Ding Surapati, Curik Ngaras, yang sempat direkam oleh Walter Spies pada tahun 1925 dan oleh Odeon dan Beka pada tahun 1928. Di samping berpengaruh bagi Gong Belaluan, keberadaanya juga sempat melakukan pembinaan di beberapa daerah di Bali seperti di Tabanan, Gianyar, Karangasem, Kelungkung, Jembrana dan beberapa daerah di Badung dengan menyebar luaskan tabuh-tabuh kekebyaran gaya Belaluan.

Terhadap tingginya peran dan pengaruhnya bagi Gong Belaluan dan Perkembangan seni Karawitan Bali, I Made Regog memperoleh beberapa tanda Penghargaan diantaranya : Piagam Kerti Budaya dari Pemerintah Kabupaten Tingkat II Badung Pada Tahun 1974, Piagam Penghargaan Dharma Kusuma dan Medali Emas dari Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, Medali dan Piagam  Anugrah Satya Lencana  dari Pemerintah Republik Indonesia pada Tahun 1979.

3.2. Periode 1940 – 1960, 1960 – 1980

Pada periode ini kendali Gong Belaluan mulai diambil alih oleh I Wayan Beratha yang tidak lain adalah merupakan putra dari I Made Regog. Beratha adalah sosok seniman yang mempunyai kemampuan ganda yaitu dibidang seni tari dan karawitan. Kemampuan ini diperolehnya dari guru-guru yang pernah membimbingnya seperti Ida bagus Boda, I Nyoman Kaler, I Made Grebag, I Wayan Lotring dan beberapa seniman lainnya yang berpengaruh di Bali Selatan pada saat itu.

Di awal-awal tahun kepemimpinannya  mengendalikan Sekaa ini, Beratha  mampu mengangkat prestise Gong Belaluan sehingga menjadikan Gong Belaluan sebagai salah satu Sekaa Gong terkemuka di Bali Selatan. Berbagai karya seni baik dalam bentuk tari maupun karawitan digarap bersama dengan Gong Sadmerta, Belaluan. Tabuh Kebyar Jaya Semara (1958), Tabuh Kebyar Swa Bhuana Paksa (1959) adalah merupakan karyanya di bidang Karawitan. Sedangkan Tari Tani dan tari Yudapati adalah karya seni tari yang di gubahnya pada tahun 1959.

Memasuki periode berikutnya yaitu 1960-1980, I Wayan Beratha semakin menunjukkan dirinya sebagai seorang seniman yang sangat produktif dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan seni Kekebyaran di Bali. Disamping itu melalui tugasnya sebagai seorang guru tetap di KOKAR (Konservatori Karawitan Indonesia) turut memberikan ruang gerak yang cukup luas karena didukung oleh atmosfir seni yang sangat kental sehingga semakin mendorong daya kreativitasnya. Karya-karyanya tercipta mengalir seiring dengan kematangan daya kreativitas yang dimilikinya dan sebagian besar karya-karya tersebut menjadi karya terkenal, membumi dan tersebar keseluruh Bali. Sendratari Jayaprana (1961), Ramayana (1965), Maya Denawa (1966), Rajapala (1967) adalah merupakan karya-karya kolosal yang diciptakan pada periode ini disamping beberapa karya lainnya seperti, tari Kupu-Kupu (1962), Tari Panyembrama, Tabuh Kreasi Pepanggulan Gesuri (1964), Tabuh Kreasi Palgunawarsa (Juara I, Merdangga Utsava tahun 1968), Tabuh Lelambatan Galang Kangin (Juara I, Merdangga Utsava tahun 1968) dan banyak lagi diantaranya adalah merupakan karya-karya yang sangat monumental. Dari karya-karyanya tersebut Beratha mampu menghasilkan atau menciptakan gaya atau style Belaluan/Sadmerta yang sangat dikenal oleh kalangan seniman seni pertunjukkan di Bali.

Konsistensinya dalam berkesenian baik sebagai komposer, pembina kesenian di Bali menghantarkannya memperoleh berbagai penghargaan seperti Piagam Anugrah Seni dari Pemerintah RI (1972), Piagam Kerti Bhudaya (1979), Piagam Dharma Kusuma (1981), Penghargaan Siwanata Raja (1992), dan berbagai penghargaan yang lainnya hingga pada saat terkhir pada tahun 2004 kembali memperoleh Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI yang diterimanya pada tanggal 21 Desember 2004.

3.3. Periode 1980 – 1990

Pada periode ini, kendali Sekaa Gong mulai diambil alih oleh I Wayan Sudhama (1949-1990) yang tidak lain adalah merupakan anak dari I Wayan Beratha.    Keterlibatan

I Wayan Sudhama dalam Sekaa ini sebenarnya sudah dimulai sejak ia berumur 10 tahun, dimana dengan bakat dan talenta yang dimilikinya dalam usia yang sangat muda ia telah mampu mengimbangi teknik yang dimiliki oleh ayahnya. Pada Merdangga Uttsava 1968 ia telah mampu mengimbangi ayahnya (I Wayan Berata) dengan bersama-sama memainkan kendang secara berpasangan. Keberadaannya dalam Sekaa ini mampu mempertahankan gaya atau style yang telah diwariskan oleh para pendahulunya yang kemudian dikembangkannya di beberapa tempat.

Walaupun tidak banyak karya seni yang dihasilkan namun sosok Sudhama muncul sebagai seorang tokoh yang banyak bergerak dibidang organisasi kesenimanan. Pada  tahun 1978 ia berhasil menghimpun seniman-seniman yang ada di Badung melalui HSR (Himpunan Seniman Remaja) ke dalam sebuah perhimpunan seniman yang pernah mengalami masa kejayaan dari tahun 1978-1989. Melalui organisasi ini Sudhama yang didukung oleh sebagian besar seniman-seniman terbaik yang ada di Badung banyak mengadakan pembinaan-pembinaan kesenian terutama kekebyaran tidak saja yang ada di kabupaten Badung namun sudah merambah keberbagai daerah seperti Singaraja  desa Kalisada pada tahun 1980. Disamping HSR Sudhama juga pernah tercatat sebagai ketua ISTATA (Ikatan Seniman Tabuh dan Tari) daerah Bali.

Dari keberadaannya sebagai seorang tokoh (seniman) yang memimpin organisasi-organisasi setrategis di bidang seni banyak hasil pemikirannya yang dituangkan dan dilaksanakannya di masyarakat. Salah satu hasil pemikirannya yang sangat cemerlang adalah festival atau lomba Balaganjur yang dirintisnya bersama dengan  HSR yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 1986 dalam rangka peringatan Puputan Badung ke –80. Inilah merupakan awal dari perkembangan gamelan Balaganjur yang saat ini menjadi salah satu gamelan yang sangat populer, atraktif dan digandrungi berbagai lapisan seniman baik yang anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua.

Disamping kesuksesannya mendirikan HSR, untuk lebih mengaktifkan generasi muda dalam berkesenian Sudhama juga berhasil menyelenggarakan PSR (Pekan Seni Remaja) yang di awali pada tahun 1984, sebagai sebuah kegiatan lomba kesenian yang difokuskan kepada para remaja baik yang ada di sekolah maupun organisasi-organisasi kepemudaan (Karang Taruna, Sekaa Teruna-teruni) yang ada di lingkungan Kotif (sekarang Kota) Denpasar. Kegiatan ini merupakan salah satu langkah strategis dalam meningkatkan peranan remaja dalam kesenian sehingga mampu meningkatkan apresiasi, kepedulian, terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Bali khususnya di bidang seni. Dilaksanakannya kegiatan ini sekaligus untuk meningkatkan ketahanan budaya di kalangan remaja serta menghindari dampak negatif modernisasi dan budaya global yang mulai mempengaruhi berbagai aspek dan sektor kehidupan.

II. Pengaruh Gong Belaluan / Sadmerta Terhadap Perkembangan Seni Kekebyaran di Bali

Hadirnya Gong Kebyar di Belaluan memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan Gong Kebyar di daerah Bali Selatan dan di Bali secara umum. Sebagaimana yang digambarkan oleh Pande Made Sukerta dalam disertasinya yang mengambil topik  Gong Kebyar, dalam peta penyebaran Gong Kebyar, Belaluan adalah merupakan daerah penyebaran pertama di wilayah Bali Selatan. Setelah itu baru kemudian diikuti oleh beberapa daerah lainnya seperti Sempidi pada tahun 1920 dan daerah-daerah lainnya.

Terkait dengan  pengaruh dari Gong Belaluan terhadap perkembangan Gong Kebyar, salah satu bentuknya adalah style atau gaya tetabuhan dimana gaya-gaya tetabuhan yang dihasilkan oleh seniman-seniman yang lahir di Belaluan / Sadmerta sangat digemari oleh masyarakat. Pada tahun 30-an keberadaan tabuh-tabuh yang terdapat pada Gong Belaluan diperkirakan merupakan hasil interaksi seniman-seniman yang ada di Belaluan dengan  beberapa orang seniman yang terdapat tempat lain seperti di Pangkung (Tabanan), Kebyar Jerbu yang terdapat di Belaluan mempunyai kemiripan dengan  kebyar yang terdapat di daerah Pangkung. Terjadinya kemiripan atau mungkin kesamaan sangat erat hubungannya dengan seringnya terjadi tukar-menukar tabuh maupun repertoar lainnya (saling belajar dan mengajar).

Demikian pula halnya di-era I Wayan Beratha, sebagai seorang seniman yang sangat terbuka, banyak melakukan interaksi dengan beberapa orang seniman salah satunya adalah dengan Gde Manik seorang tokoh kekebyaran dari desa Jagaraga, Singaraja Buleleng sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan kekebyaran di Belaluan adalah merupakan perpanjangan langsung dari pola kekebyaran yang ada di Singaraja.

Dari interaksi tersebut selanjutnya oleh Beratha disesuaikan lagi dengan warna local yang terdapat di Bali Selatan yang sangat kental dengan gaya Pelegongan dan Pegambuhan sehingga apa yang diserap dari Bali Utara tidak sepenuhnya diterima sehingga terjadi perpaduan antara pola kekebyaran yang sangat dinamis dengan kelembutan yang merupakan ciri khas Pelegongan dan Pegambuhan. Inilah kemudian muncul sebagai gaya dan style dari gong Belaluan. Salah satu contoh konkret adalah tari Teruna Jaya. Di daerah kelahirannya, di Buleleng tarian ini dibawakan dan diiringi dengan tempo permainan yang cepat, keras dan dinamis. Oleh Wayan Beratha, pada tahun 1968 terkait dengan  Merdangga Uttsava diadakan beberapa penyesuaian sehingga nampak lebih lembut yang mana hal itu dipengaruhi oleh gaya Pelegongan dan Pegambuhan. Hasilnya, apa yang ditampilkan oleh Gong Sadmerta mampu mengungguli Teruna Jaya yang di tampilkan oleh wakil Buleleng pada waktu itu (Menyali) dan meraih peringkat I.

Keberhasilan seniman-seniman yang lahir di Belaluan/ Sadmerta meraih prestasi di berbagai even mendapat respon yang baik dari berbagai kalangan masyarakat, sehingga seniman-seniman tersebut dipercaya untuk memberikan pelatihan di berbagai daerah. Dari pelaksanaan pelatihan inilah gaya atau style Belaluan/Sadmerta dikembangkan, disebarluaskan sehingga selanjutnya menjadi style sebagian besar Sekaa-sekaa gong yang ada di Bali.

Kegemaran masyarakat akan hasil karya cipta para seniman ini, selanjutnya menyebar keseluruh Bali seperti tari Panyembrama, Tari Tani, Tari Gabor, Sendratari Ramayana,  Raja Pala, tabuh-tabuh kreasi seperti Kebyar Ding Surapati, Kosalya Arini, Palguna Warsa, Tabuh lelambatan Galang Kangin, tabuh Gari dan yang lainnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap penyajian gong kebyar yang ada di Bali.

III Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan gong Belaluan Sadmerta memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan seni Kekebyaran di Bali.. Pengaruh tersebut tidak saja dalam hal style namun juga dari hasil pemikiran para seniman yang terdapat di Belaluan seperti Regog, Berata dan Sudhama yang hasil karya dan pemikirannya banyak dicurahkan dan mempengaruhi perkembangan seni kekebyaran di Bali.


[1] I Wayan Senen, Wayan Berata Pembaharu Gamelan Kebyar Bali, Terawang Press Yogyakarta, Indonesia, 2002: p. 30

[2] Ibid, hal. 30

[3] Miguel Covarrubias, Island of Bali, (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1972/1950, hal.210

[4]

[5] Muljono dalam Senen, Wayan Berata Pembaharu Gamelan Kebyar Bali, Terawang Press Yogyakarta, Indonesia, 2002: p. 2.

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Oleh: I Gede Yudarta, SSKar., M.Si

Mengamati perkembangan seni karawitan Bali khususnya seni karawitan kekebyaran dewasa ini, telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi beberapa instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar. Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut.

Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu (Banoe, 2003:). Secara fisik, suling yang terbuat terbuat dari bambu memiliki 6-7 lobang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrumen dalam barungan gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan (Suharta, 2005:16). Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi, baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh, Pe-Arjan, Pejangeran dan Gong Suling. Sedangkan pada beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga kedengarannya tidak terputus (Sukerta, 2001:215). Dalam fungsinya itu, suling hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak sama sekali.

Sebagai salah satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone) dimana dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu.

Terkait dengan fungsi suling dalam seni karawitan kekebyaran, hingga saat belum diketahui secara pasti kapan instrumen suling masuk sebagai bagian barungan gamelan tersebut. Munculnya gamelan gong kebyar sebagai salah satu bentuk ensambel baru dalam seni karawitan Bali pada abad XIX, tidak dijumpai adanya penggunaan suling dalam komposisi-komposisi kekebyaran yang diciptakan. Penyajian komposisi ”kebyar” yang dinamis, menghentak-hentak serta pola-pola melodi yang ritmis tidak memungkinkan bagi suling untuk dimainkan di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, dalam komposisi ”Kebyar Ding”, yang diciptakan pada tahun 1920-an tidak terdengar tiupan suling. Ini dapat dijadikan salah satu indikator bahwa pada awal munculnya gamelan gong kebyar, suling masih berfungsi sebagai instrumen sekunder dan belum menjadi bagian yang penting dalam sebuah komposisi.

Sebagai salah satu tonggak penting perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran, dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi Baru Kosalia Arini, yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Uttsawa tahun 1969, dimana dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainan suling tunggal. Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.

Sebagaimana terjadi dalam perkembangan komposisi tabuh kekebyaran saat ini, suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran dimana melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada, namun oleh para komposer sudah dikembangkan sebagai jembatan penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung, sunaren bahkan mampu memainkan nada-nada selendro. Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang tercipta pada dua dekade belakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.

Adanya pengembangan fungsi instrumen suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim dimana dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebaga alat primer dan vital, tanpa kehadiran instrumen tersebut sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan sebagaimana mestinya.