Filsafat Seni dari Tari Legong Raja Cina
Tari yang diperkirakan ada pada tahun 1930-an ini merupakan tarian yang terinspirasi dari cerita Dalem Balingkang. Menurut Semadi: 2018, cerita tersebut tiada lain merupakan kisah pernikahan Raja Jaya Pangus dengan Putri Cina yang bernama Kang Cing Wi. Disana diceritakan bahwa pernikahan mereka yang telah lama berjalan, tak kunjung dikaruniai seorang putra. Akhirnya Raja Jaya Pangus memutuskan untuk bertapa di Gunung Batur. Setelah sekian lama bertapa, Jaya Pangus belum juga kunjung pulang, yang membuat Kang Cing Wi menyusulnya ke tempat pertapaan. Pada akhirnya setelah ia sampai dipertapaan, diketahuilah oleh Kang Cing Wi, bahwa Jaya Pangus telah menikah dengan Dewi Danu.
Setelah mereka bertemu, dilihatlah oleh Dewi Danu yang akhirnya membuat amarah beliau memuncak sehingga dibakarlah Jaya Pangus dengan Kang Cing Wi. Setelah mereka tiada, datanglah rakyat mereka meminta Dewi Danu untuk menghidupkan mereka kembali. Tetapi Dewi Danu menolaknya, sehingga rakyat tersebut membuat sebuah personifikasi Raja Jaya Pangus dengan Kang Cing Wi dengan sebutan Barong Landung. Barong landung yang berwujud Jero Wayan dan Jero Luh tersebut tiada lain merupakan simbol perpaduan budaya Bali dengan Cina.
Hal tersebut digambarkan dalam gerak tari pada bagian pengecet dalam karya ini. Yaitu dengan adanya peniruan atas gerak-gerak dalam tarian Cina. Selain itu dipadukan pula gerakan tersebut dengan gerakan-gerakan tari legong seperti yang terdapat pada tari legong pada umumnya beserta peniruan gerak-gerak dari barong landung. Sehingga dalam hal ini tergambar adanya perpaduan atau akulturasi budaya Bali dan Cina.
Jadi, makna yang terkandung dalam Tari Legong Raja Cina adalah terkait dengan adanya akulturasi budaya Bali dengan Cina. Jadi untuk mengingat hubungan Bali dengan Cina, maka dibuatlah kesenian pertunjukan Legong yang diberi nama Legong Raja Cina. (Semadi: 2018)