Review Lima Buku

July 13, 2010

Buku 1

Judul            :  GAMELAN TUNTUNAN MEMUKUL GAMELAN

Pengarang    :  Hadi Susanto

Penerbit        :  Effhar & Dahara Frize

Gamelan merupakan seperangkat alat musik khas Indonesia yang kelengkapan dapat disejajarkan dengan simfoni orkesta didunia barat. Sebagai alat musik pada umumnya, gamelan merupakan hasil olah budi manusia untuk mengungkapkan rasa estetika atau rasa mencurahkan keindahan. Gamelan di Indonesia dapat kita temukan di berbagai daerah terutama Bali, Jawa dan Sunda.

Gamelan jawa dapat dibagi menjadi dua bagian. Pembagian ini didasarkan pada perpaduan nada ( dalam bahasa jawa disebut laras ) yaitu gamelan laras selendro dan gamelan laras pelog.

Buku 2

Judul            :  INKULTURASI GAMELAN JAWA

Pengarang    :  Sukatmi Susantina

Penerbit        :  Medprint Offset

Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada beberapa kekawin jawa kuno. Pengertian gamelan dalam ensiklopedi Indonesia ( 1980 : 1065 ) adalah sejenis orkes alat musik tradisional dikenal dibeberapa daerah di Indonesia. Sebagian besar terdiri dari alat musik pukul antara lain : saron atau slenthem yang memainkan lagu teras : gong, kemong, kempul dan kempyang sebagai canang pukul yang memberikan aksentuasi, kendang sebagai alat musik yang menentukan irama, sedangkan boning, gender, gambang, celempung, rebab ( alat musik gesek) dan seruling dipakai untuk menentukan irama dan memperindah lagu

Buku 3

Judul            :  SENI PERTUNJUKAN DAN PARIWISATA

Pengarang    :  prof. Dr. R. M. Soedarsono

Penerbit        :  ISI Yogyakarta

Seni dalam kehadirannya didunia ini selalu dibutuhkan oleh manusia dimanapun mereka berada dan kapan saja. Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa perkembangan seni selalu seiring dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Pada masyarakat primitive, seni adalah segala-galanya. Setiap kegiatan manusia yang mengalami krisis dalam kehidupannya karena menginjak tahap hidup tertentu memerlukan seni karena system kemasyarakatan mereka komunal, seni merekapun berciri komunal, yang selalu dilakukan bersama-sama seluruh desa. Akibatnya gaya penampilan seni kelompok etnis primitive boleh dikatakan seragam. Kemudian ketika masyarakat mengalami perkembangan kehidupan yang lebih maju yang mengatur tata kehidupan politik mereka kebentuk kerajaan, seni merekapun larut mengikuti perkembangan politik mereka.

Buku 4

Judul            :  Interaksi Budaya Dan Perkembangan Musikal/ Gamelan Di Jawa

Pengarang    :  SUMARSAM

Penerbit        :  Pustaka Pelajar

Pada umumnya telah diasumsikan bahwa perkembangan kebudayaan jawa colonial pada abad ke – 19, khususnya di kraton, mencerminkan impotensi politik kraton. Akibatnya kesenian telah dikarakterkan sebagai sesuatu yang rusak ( involuted), terlalu halus atau Byzantine. Kebudayaan Kraton Jawa abad ke – 19 harus dipandang tidak hanya sebagai konsekuen dari “focus Kedalam” kegiatan Kraton, tetapi juga sebagai ekspresi keluar.

Buku 5

Judul            :  GAMELAN DIGUL

Pengarang    :  Margaret J. Kartomi

Penerbit        :  Hersri Setiawan

Bagi masyarakat di dunia barat, berangan-angan tentangansambel gamelan jawa tengah selalu terkait dengan ansambel-ansambel kraton yang dihiasi serba indah dan kaya dengan bunyi-bunyian yang merduserta nyaring. Dibarat, citra tentang dunia gamelan yang eksotik itu diliputi dengan visi tentang upacara-upacara yang Agung, serta pergelaran-pergelaran wayang sepanjang malam yang menurunkan kembali kisah-kisah kepahlawanan India kuno. Ansambel-ansambel gamelan yang sederhana dan norak dari para pemain miskin, yang mengamen berkeliling atau dari desa-desa terpencil. Pada umumnya tidak menarik perhatian atau menantik angan-angan romantis kita. Gamelan digul dengan intrumen-intrumen nya yang besi dan kotak-kotaknya yang terbuat dari potongan kayu kasar,jauh kurang mengesankan ketimbang ansambel desa yang paling sederhana manapun.

Seni Karawitan sebagaimana halnya kesenian Bali lainnya, juga meliputi dua gaya daerah : Bali utara dan Bali Selatan. Perbedaan antara kedua gaya ini tampak jelas dalam tempo, dinamika dan ornamentasi dari pada tabuh- tabuh dari masing-masing gaya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk tempo tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih cepat dari yang di Bali Selatan. Hal ini juga menyangkut masalah dinamika di mana tanjakan dan penurunan tempo musik Bali Utara lebih tajam daripada Bali Selatan. Namun demikian, ornamentasi tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih rumit daripada Bali Selatan. Akhir-akhir ini tabuh-tabuh gaya Bali Utara terasa semakin jarang kedengarannya, sebaliknya tabuh-tabuh Bali Selatan semakin keras gemanya. Semua yang sudah diuraikan di atas mengisyaratkan kemajuan karawitan Bali baik secara kuantitas maupun kwalitas. Ada kecendrungan bahwa di masa yang akan datang seni karawitan Bali, khususnya instrumental yang didominir oleh gamelan Gong Kebyar dan ekspresi “ngebyar” akan masuk ke jenis-jenis gamelan non-Kebyar. Sementara karawitan gaya Bali Utara dan Selatan akan berbaur menjadi satu (mengingat pemusik kedua daerah budaya ini sudah semakin luluh), gamelan klasik seperti Semar Pagulingan nampaknya akan bangkit kembali.

Di masa yang akan datang, bentuk-bentuk seni karawitan dan barungan gamelan Bali baru akan terus bermunculan. Adanya “kebiasaan” dikalangan seniman Bali untuk terus mencoba, mencari dan menggali ide-ide baru, baik dari dalam seni budaya tradisi mereka maupun dari unsur luar yang senafas, sangat memungkinkan akan terwujudnya perkembangan seni karawitan Bali yang lebih baik di masa yang akan datang.

Gong Kebyar adalah sebuah barungan baru. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini (Kebyar yang bermakna cepat, tiba-tiba dan keras) gamelan ini menghasilkan musik-musik keras dan dinamis. Gamelan ini dipakai untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuh-tabuhan instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dari Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Gebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkoknya yang berbilah 5 dirubah menjadi gangsa gantung berbilah 9 atau 10 . cengceng kopyak yang terdiri dari 4 sampai 6 pasang dirubah menjadi 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tangan.

Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang, Gong Gede dan Pelegongan. Rasa-rasa musikal maupun pola pukulan instrumen Gong Kebyar ada kalanya terasa gender wayang yang lincah, gong gede yang kokoh atau pelegongan yang melodis. Pola Gagineman gender wayang, pola Gegambangan dan pukulan Kaklenyongan gong gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar. Gamelan Gong Kebyar adalah produk kebudayaan Bali modern. Barungan ini diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915 (McPhee, 1966 : 328). Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (buleleng) yang juga memulai tradisi tari kebyar. Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (buleleng) Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari jauk yang bernama I Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.

Gong Kebyar berlaras pelog lima nada dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, karena konstruksi instrumennya yang lebih ringan jika dibandingkan dengan Gong Gede. Tabuh-tabuh Gong Kebyar lebih lincah dengan komposisi yang lebih bebas, hanya pada bagian-bagian tertentu saja hukum-hukum tabuh klasik masih dipergunakan, seperti Tabuh Pisan, Tabuh Dua, Tabuh Telu dan sebagainya.

PENERBIT; BUKU KARAWITAN BALI DINAS KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN TH 1985/1987

OLEH I NYOMAN REMBANG

Halo dunia!

March 23, 2010

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!