Tari Legong

April 28th, 2014

Tari legong

legong

Sebagai pola dasar yang harus feminin, legong adalah tarian Bali yang paling bagus. Para ahli membicarakan keunggulan yang diperbandingan dari beraneka ragam legong seintensif kami membicarakan para penari kami, dan aku mendengar argumen yang khidmat diantara para pangeran dalam halo apakah kelompok tersebut berasal dari Bedulu lebih baik dibandingkan yang dari saba, atau apakah aliran Sukawati lebih unggul dari aliran Badung. Legong dipentaskan pada perayaan-perayaan yang pada umumnya pada ujung senja ketika panasnya hari sudah berkurang. Pada desas-desus pertama bahwa akan ada legong di alun-alun pusat, atau kalau hal itu pada perayaan pribadi, di tengah jalan, kerumunan orang mulai terbentuk. Perempuan dan anak-anak datang duluan untuk mendapatkan tempat terbaik, bergerombol sepanjang ruang segi empat persegi panjang, yang disisakan untuk tempat penari. Ruang untuk menari sering dihiasi dengan atap daun kelapa atau diteduhi  oleh tenda rumah kain berwarna hitam, merah dan putih, ekor dari layang-layang raksasa. Pada satu ujung dari “pentas” orkes menghibur kerumunan orang yang makin bertambah secara bertahap dengan lagu-lagu pendahuluan sampai waktunya bagi pertunjukan untuk mulai.

Tiga orang penari cilik, dengan raut muka ketejuman yang tak terbatas, duduk diatas tikar di depan orkes. Mereka didandani dari kepala sampai ke kaki dengan lapisan sutera dengan daun-daun emas yang berkilau dan pada kepala mereka mengenakan helm besar dengan hiasan emas yang dihiasi dengan sederet bunga kamboja segar yang sedang mekar. Subang besar terbuat dari emas yang bergaris tengah satu inci, menembus daun telinganya yang ditindik secara prematur. Wajah mungil mereka yang pilu dibedaki dengan tebal, dan mereka mengenakan sebuah titik putih (priasan), tanda kecantikan didalam penari, dipoleskan diantara alis, yang diukur dan dibentuk kembali dengan cat hitam. Kostum yang kaya dari dua orang penari utama, para legong, terdiri atas kain bawah, rompi yang berlengan ketat, dari ergantung sebuah celemek panjang dan sempit, dan beberapa yard kain  kuat yang dipotong dalam potongan sempit panjang  yang membungkus torso mereka dengann tanpa belas kasihan dari dada sampai pinggul. Selanjutnya ini diselimuti selendang kain berhias emas. Ikata ketat seperti korset memberi garis-garis tubuh para penari dan mendukung punggung mereka. Kostum tersebut dilengkapi dengan sebuah rompi pendek dan ketat dari kulit yang mengkilat yang dikenakan melingkari bahu, sebuah kerah yang dihiasi dengan batu-batu berwarna dan cermin-cermin kecil, sebuah ikat pinggang perak serta seledang hiasan kulit yang tergantung dari masing-masing pinggul. Gadis yang duduk diantara legong, para condong yang merupakan pelayannya, berpakaian lebih sederhana.

Ketika kerumunan orang sudah berkumpul, orkes memulai musik tarian dan para condong bediri dengan malasnya dan berdiri di tengah-tengah ruang penari. Tiba-tiba, dengan tekanan dari gamelan, seolah ditusuk oleh sebuah aliran listrik, dia melakukan pose yang bersemangat dengan kaki telanjang datar di tanah, lutunya luntur, dia memulai sebuah tarian yang hidup, bergerak dengan cepat, berputar ke dalam dan ke luar dari sebuah lingkaran, dengan lengan terentang dengana kaku, jari-jemari tegang gemetar, dan matanya manatap langit. Pada setiap hentakan musik seluruh tubuh condong tersentak, dia menghentakkan kakinya yang bergetar lebih cepat, dan getarannya tersebar ke paha dan ke atas pada pinggulnya sampai seluruh tubuhnya bergetar demikian hebatnya sampai bunga-bunga dihiasan kepalanya beterbangan ke segala arah. Pesona yang secara pelahan tumbuh tiba-tiba putus dan gadis itu mengelincir dengan langkah kesamping yang tangkas, pertama ke kanan yang kemudian ke kiri, berayun dari pinggangnya yang luntur sementara lengannya pecah kedalam pola-pola tajam pada pinggang dan lutut. Tanpa berhenti dia mengambil dua buah kipas yang terletak diatas tikar dan meneruskan tariannya dengan memegang kipas pada masing-masing tangannya di dalam langkah melingkar yang anggun. Dengan isyarat dari musik (gamelan), kedua gadis yang lain tegak dan mulai menari dengan tangan, leher, dan matanya, masih berlutut diatas tikar. Kemudian mereka bangkit dan menari bersama condong, membentuk pola yang berbelit-belit dengan lengan dan tiga puluh jemari sampai tema musiknya berhenti. Kemudian condong mengulurkan kipas pada masing-masing legong dan keluar ke latar belakang.

Orkes memainkan melody yang lebih penuh semangat dan legong menari kembali dengan kipas terkembang yang bergetar pada sebuah kecepatan sehingga bentuknya lenyap seperti sayap-sayap burung yang berdengung, terbang melayang di angkasa. Kedua penari terlihat sebagai gambaran ganda yang demikian mirib gerakan-gerakannya, leher mereka patah-patah dari sisi ke sisi di dalam persetujuan sempurna, disinkronkan pada waktu ganda dengan kerdipan mata. Disiplin yang paling mutlak mengontrol gerakan-gerakan mereka yang tajam dan tepat. Masing-masing gerakan mengikuti gerakan sebelumnya di dalam uruan ritmis yang sempurna, kesempurnaan teknis diubah bentuknya ke dalam keindahan dan gaya. Pada saat-saat tertentu musiknya menjadi lincah dan rumit, kedua gadis itu muncul bersama, membawa wajah-wajah mereka saling berdekatan dan dengan lembutnya saling “menggosokkan hidung” (ngaras), mengikuti ini gerakan bahu, suatu getaran kesenangan. Ini merepresentasikan sebuah adegan bercintaan, sebuah ciuman yang dilakukan terhadap tema musikal yang khusus (pengipuk)

Setelah jeda orkes memainkan tema lasem, dan sandiwara sesungguhnya dimulai. Ceritanya berdasarkan pada sebuah episode dari malat kisah Seribu Satu Malam Bali dengan Puteri Rangkesari menolak cumbuan-cumbuan lasem bahkan setelah dia berjanji akan berhenti berperang bilamana gadis itu menerimanya. Lasem mengancam membunuh ayahnya tetapi gadis itu tetap tidak mau menyerah. Dengan marah, raja melaksanakan ancamannya, tetapi selama pertempuran terjadi, seekor burung hitam terbang di depannya, yang merupakan pertanda buruk, dan lasem terbunuh. Para penari menegakkan beraneka ragam dari cerita tersebut yang sudah diketahui oleh para penonton. Akting legong addalah sebuah pantonim abstrak dengan aksi yang demikian distilir dan ekonomi gerakan semata-mata penafsiran dalam bentuk tarian dari teks sastrawi, yang dikisahkan oleh pendongeng, yang melantunkan episode dan dialog sementara tarian sedang berlangsung.

Penari yang memerankan lasem masuk diikui oleh Rangkesari (dua legong). Lasem, dengan menarik kain gadis itu, berupaya untuk memaksa sang putri, tetapi dia memukul lelaki itu dengan kipasnya. Hal ini diulang-ulang sampai lasem menjadi tidak sabardan setelah suatu perjuangan, pergi dengan marah. Sang putri ditinggalkkan sendirian, menghapus air matanya dengan ujung celemeknya dan memukul pahanya dengan kipas, sebuah gerakan yang menunjukkan kesedihan. Begitu si gadis berlutut, lasem muncul kembali, marah dan menentang, dalam perjalanan untuk melanjutkan perang melawan ayah Rangkesari, kipas yang tertutup menjadi sebilah keris yang dia acungkan dengan mengancam pada musuh imajinernya. Di dalam episode berikutnya condong sang pembantu, memasang pada lengannya sepasang sayap emas yang terbuat dari kulit, untuk memotret gagak yang tidak beruntung, dia menari sambil duduk di tanah, mengibas-kibaskan sayapnya dengan kecepatan kilat, maju pada lututnya dengan lompatan mirib burung, dan memukul tanah dengan sayapnya. Lasem ragu sejenak ketika melihat burung yang tak menyenangkan, tetapi tetap melangkah dengan keris terhunus, burung itu berlari ke arahnya, menghalangi jalannya dan mengahalanginya didalam pertempuran. Drama berakhir dan episodenya dibiarkan pada khayalan, dan ketiga gadis kecil mengakhiri penampilannya sebuah tarian perpisahan yang santai. Pementasan telah berakhir dengan baik dan gadis-gadis itu tampak sangat tenang, tidak kelelahan setelah tariannya yang berat.

Sumber : Buku Pulau Bali

Comments are closed.