SENI PEWAYANGAN BALI

index    Dunia pewayangan dan pedalangan Bali mengandung beberapa dimensi. Dimensi itu antara lain pewayanngan itu merupakan media pendidikan moral yang efektif, hiburan bahkan digunakan sebagai media untuk penyampaian pesan tertentu, di samping memiliki unsure cerita yang dapat di bangun oleh dalang berupa plot atau struktur dramatic tertentu. Selain itu, tidak dapat dikesampingkan bahwa pewayangan juga mengandung unsure magis religious. Pada abad XI, kecuali dalam penggunaan yang bersifat religius, Wayang merupakan bentuk seni drama yang mengesankan, yang dapat menggetarkan kalbu sehingga penonton dan pendengar ikut hanyut dan terharu karenanya. Bahwa pada zaman jawa kuno pagelaran wayang dapat menghanyutkan perasaan penonton sehingga penonton dapat bertahan hingga pargelaran itu berakhir. Pertanyaan kemudin muncul, factor apakah yang menyebabkan penonton tersedot perhatiannya selama menyaksikan pargelaran wayang tersebut? Mungkin banyak hal yang dapat dikemukakan untuk enjawab pertanyaan ini, namun suatu hal tidak dapat dilupakan dan memegang peranan yang paling besar dan penting adalah kemampuan sang dalang dalam menata cerita, melukiskan karakter dan prilaku tokoh, dan sisipan humor dan kesedihan dalam membangun suasana yang menyentuh perasaan penonton. Pertanyaan demikian tentu saja masih dapat dilanjutkan , yakni apakah membuat sang dalang memiliki dan menguasai “kemampuan” semacam itu? Disamping bakat, tentu saja dalang harus menguasai seluk-beluk pedalangan yang dalam teks ini disebut penititala pewayangan.
Begitu pentingkah seorang dalang memahami dan menguasai penititala pewayangan ? Memang, pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan tegas dan perkataan ya saja, namun untuk menyatakan bahwa hal ini penting seyogianya dilihat dari kecendrungan sekularisasi pewayangan, yang bermuara pada pergeseran struktur dramatic pewayangan (change of dramatic content) oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Pergeseran ini dapat dilihat pada struktur dramatic lakon dan struktur pertunjukan kesenian, yang menjadi tampak berbeda dengan apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kecendrungan ini terjadi menyusul perubahan yang terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Harus dikatakan kembali, belakangan banyak seniman dalang dan mungkin seniman seni pertunjukan lainnya, secara sadar dan perlahan melakukan perubahan dalam karya pewayangan atau seni pertunjukan. Adegan-adegan yang sesungguhnya serius namun dianggap berkepanjangan lalu dipenggal sedemikian saja hanya untuk memenuhi rasa humor penonton karena disangkanya bahwa penonton hanya tertarik pada adegan-adegan dan ungkapan-ungkapan yang lucu dan kocak. Penyajian adegan yang kocak dan seringkali berlarut-larut tanpa keinginan untuk kembali kestruktur dramatic yang telah dirancang sehingga pargelaran itu kehilangan esensinya dan kehilangan landasan literer (sastra) yang seharusnya menjadi dasaratau pijakan. Kecendrungan demikian mungkin saja dianggap wajar mengingat suatu pertunjukan kesenian memang mengandung elemen efficacy dan entertainment. Sementara itu muatan artistiknya , nilai pendidikannya , kritik social dan pesan-pesanya masih tetap ada, namu tidak dapat di seni pewayangan ke titik itu hanya akan menyebabkan seni pewayngan menjadi seni hiburan semata. Tidak heran jika para seniman tua melontarkan komentarnya bahwa seni tidak serius (balih-balihan matelek) semakin langka tergantikan seni hiburan.
Hal-hal apakah yang mendorong pergeseran-pergeseran itu? Salah satu diantaranya adalah belum adanya model pembelajaran pedalangan yang konseptual dan sistematik. Apa lagi tradisi pendidikan pedalangan umumnya dilakukan secara oral dan turun temurun, dengan demikian cara yang umum dilakukan hanyalah meniru;sekarang model ini tentu saja tidak dapat lagi dipertahankan dengan alas an kurang relevan. Tradisi ini mengacu pada tiga model, yakni dharma pewayangan, pakem dan buku-buku umum tentang pedalangan. Oleh karena itu perlulah disusun suatu model pemblajaran pedalangan yang sistematin dan relevan serta komprehensif. Dalam upaya inilah dipilih teks Purwa-Wasana karya Ida Bagus Gede Purwa (alm) dari gria Gunung Rata Kesiman Denpasar. Teks ini mengungkapkan metodologi pemblajaran pedalangan Bali. Karena itu teks ini dapat dikategorikan sebagai sebuah Penititala Pedalangan, yaitu sebuah kesutraan baru dengan kandungan teks pemblajaran pedalangan dari awal (purwa) sampai akhir (wasana). Sastra tersebut merupakan penititala tempat berkiprahnya dalang dalam mencurahkan apresiasi kreatifnya, ekspresi jiwanya sertta inspirasi pikirannya kedalam berbagai bentuk karya seni termasuk wayang kulit.
Selain itu sangat jelas bahwa konsep pembelajaran yang diinginkan oleh teks Purwa-Wasana adalah pembelajaran yang sistematis, tertib dan berurut, serta komprehensif, yaitu pembelajaran pedalangan yang di mulai dari awal “purwa” sampai akhir atau selesai “wasana”. Dengan demikian teks Purwa-wasana dapat dianggap sebagai penititala atau standarisasi pembelajaran pedalangan dalam proses ngajar mengajar. Implikasi teks ini adalah ada seni pedalangan, dimna eksitensi kesenian ini didukung oleh seniman dalang dan seni pertunjukan. Kegiatan tersebut dilakukan melalui proses pembelajaran baik formal maupun non formal dengan materi-materi seperti Pakem, Dharma pewayangan, dan linteratur-linteratur baik ilmiah maupun tradisi. Selanjutnya representasi pembelajaran yang dikaji bedasarkan teks Purwa-Wasana dengan tetap berpedoman pada paradigm kajian budaya (bentuk, fungsi dan makna).
Dengan demikian akan terjadi hubungan timbale balik antara pembelajaran yang ada dimasyarakat dengan teks Purwa-Wasana. Selanjutnya seniman dalang dapat menggunakan teks ini sebagai rambu-rambu baik dalam tataran teori atau konsep dan juga dalam tataran praktik dan pertunjukannya. Namun disisi lain kreatifitas seniman dalang yang ber “pakem” juga dapat memberikan konstribusi pada teks ini. Sehingga terjadi hubungan sui generis progresif sesuai dengan kebutuhan zaman. Selain teks Purwa Wasana, teks lain mengenai pedalangan. Namun teks-teks ini tidak selengkap dan sekomprensifp teks Purwa-Wasana. Teks I Gusti Bagus Sugriwa (Ilmu Pewayanagn dan Pedalangan), misalnya memang mengulas secara sangat sederhana mengenai beberapa ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pewayangan/pedalangan. Di antaranya yang relevan dengan tema tulisan ini tentang penjelasan “ilmu pewayangan dan pedalangan, bentuk cirri-ciri kias wayang” Menurut Sugriwa, bagai seorang dalang unggul, cerdik dan pandai, dapat menguasai jiwa dan rasa panca indra para penontonnya dipulut tautan dalam tiap-tiap tokoh adegan wayang yang dipertunjukan selain itu seorang dalang harus hendaknya, mengetahui bentuk dan cirri-ciri kias wayang, seperti wayang kiri dan wayang kanan dan wayang atas.