filsafat dari berbagai sisi

Filsafat

1. Pengertian filsafat

Manusia dalam perjalanan hidupnya sering menemukan sesuatu yang membuatnya kagum atau heran, heran terhadap lingkungan hidup dan dirinya sendiri. Rasa kagum dan heran (Wonder) kemudian mulai mempertanyakannya, merupakan titik awal dari timbulnya filsafat. Pertanyaan ke filsafatan ini berusaha mengetahui hakikat atau esensi yang ditanyakannya itu, dengan jawaban-jawaban yang lebih mengutamakan logika berpikir.

Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang sangat luas cakupannya. Istilah ‘filsafat’ dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata ‘falsafah’ (Arab), ‘philosophy’ (Inggris), ‘philosophia’ (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Pada dasarnya semua istilah yang digunakan dalam setiap bahasa tersebut bersumber pada istilah Yunani yaitu ‘philosophia’. Secara etimologi kata ‘philosophia’ asal katanya dapat dibagi menjadi dua, yaitu ‘philein’ yang artinya mencintai, dan ‘sophos’ berarti bijaksana, sehingga filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana. Sedangkan yang kedua, filsafat berasal dari kata ‘philos’ yang berarti teman, dan ‘sophia’ berarti kebijaksanaan, jadi filsafat berarti teman kebijaksanaan. Dalam sejarah, orang yang pertama kali menggunakan istilah philosophia adalah Pythagoras, dengan menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom).

Pengertian istilah filsafat secara etimologis tentunya belum cukup untuk mewakili pengertian filsafat, namun pemahaman secara etimologi merupakan pondasi dasar untuk memahami kata filsafat. Dalam proses perkembangannya, filsafat banyak mendapat isi dan sekaligus pengertian-pengertian baru, antara lain:

  • Filsafat sebagai suatu sikap: filsafat sebagai suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.
  • Filsafat sebagai suatu metode: filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti.
  • Filsafat sebagai kelompok persoalan: berarti banyak persoalan atau permasalahan-permasalahan abadi dan para filsuf berusaha untuk mencari jawabannya, antara lain: apakah kebenaran itu ?, mengapa manusia ada di dunia ? apa makna kehadiran manusia di dunia ?, apakah manusia mempunyai kehendak bebas untuk menentukan nasib di dunia, atau sudah ditentukan oleh Tuhan ?.
  • Filsafat sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran: sejarah filsafat ditandai dengan pemunculan teori-teori dan sistem-sistem pemikiran yang terlekat pada nama-nama filsuf besar.
  • Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah: kebanyakan para filsuf menggunakan analisis untuk menjelaskan suatu istilah dan pemakaian bahasa. Menganalisis berarti menetapkan arti secara tepat dan memahami saling hubungan diantara arti-arti tersebut.
  • Filsafat sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh: filsafat sebagai ilmu yang mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang konsisten.

Persoalan filsafat tentunya sangat berbeda dengan permasalahan non filsafat, perbedaan yang mendasar terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Adapun cirri-ciri permasalahan filsafat antara lain:

  1. Bersifat sangat umum: objek kefilsafatan tidak menyangkut objek-objek khusus, dalam artian masalah kefilsafatan berkaitan dengan idea-idea besar
  2. Bersifat spekulatif: persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah (empiris)
  3. Bersangkutan dengan nilai-nilai (values): persoalan kefilsafatan bertalian dengan keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama, dan sosial.
  4. Bersifat kritis: filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh ilmuwan tanpa pemeriksaan secara kritis.
  5. Bersifat sinoptik : pandangan sinoptik berarti meninjau hal-hal atau benda-benda secara menyeluruh.
  6. Bersifat implikatif : apabila persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut muncul permasalahan baru yang saling berhubungan.

 

2. Sad Darsana sebagai filsafat Hindu

Dalam tradisi intelektual India Darsana merupakan padanan yang paling mendekati istilah filsafat (barat), namun secara esensial ada perbedaan yang sangat mendasar, filsafat (barat) terlepas dari agama sedangkan darsana tetap mengakar pada agama Hindu. Kata darsana berasal dari urat kata ‘drs’ yang berarti melihat (ke dalam) atau mengalami, menjadi kata darsana yang artinya penglihatan atau pandangan tentang realitas. ‘Melihat’ dalam koteks ini bisa bermakna observasi perseptual atau pengalaman intuitif. Secara umum ‘darsan’ berarti eksposisi kritis, survei logis, atau sistem-sistem, yang lebih lanjut menurut Radhakrisnan kata ‘darsana’ menandakan sistem pemikiran yang diperoleh melalui pengalaman intuitif dan dipertahankan, diberlanjutkan melalui argumen logis. Kata darsana sendiri dalam pengertian filsafat pertama kali digunakan dalam Waisesika sutra karya Kanada.

Filsafat Hindu (darsana) merupakan proses rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian integral dari agama Hindu yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan aspek praktis ritual dan darsana memberikan aspek filsafat, metafisika, dan epistemology sehingga antara agama dan darsana sifatnya saling melengkapi. Darsana muncul dari usaha manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang menjadi titik awalnya adalah kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu lahir?, apa yang menjadi tujuan kelahiran manusia? dan apa yang hilang ketika manusia mati?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari darsana.

Filsafat Hindu sering kali dianggap Atman sentris, artinya semuanya dimulai dari Atman dan akhirnya berakhir pada Atman. Dalam proses pembelajarannya selalu mengarahkan pada tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa, semua proses pikiran dan perasaan selalu diarahkan menuju tujuan tersebut. Sehingga filsafat Hindu bukanlah proses pemikiran yang kering dan tanpa tujuan. Realisasi atman menjadi tujuan setiap darsana walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, Veda menyatakan “ Atma va’re drastavyah “ (Atman agar direalisasikan) atau kembalinya kedudukan asli atman sebagai pelayan abadi Tuhan. Atman merupakan asas inti dari setiap kehidupan sehingga harus dipahami keberadaannya.

Pada intinya secara esensial, dalam konteks agama maupun darsana, terdapat sebuah landasan bahwasannya didalam diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi dalam diri manusia, yaitu atman. Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas materi, atman sebagai entitas yang independent dan kekal selalu bersifat murni terbebas dari berbagai mala (kekotoran). Mengembalikan atman yang sifatnya abadi menuju sumber keabadian inilah yang menjadi tujuan bersama antara darsana dan agama. Atman didalam Bhagavad Gita digambarkan sebagai berikut :

  • Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.
  • Adahya artinya tidak dapat terbakar.
  • Akledya artinya tak terkeringkan.
  • Acesyah tak terbasahkan.
  • Nitya artinya abadi.
  • Sarwagatah artinya ada dimana mana.
  • Sthanu artinya tidak berpindah pindah
  • Acala artinya tidak bergerak.
  • Sanatama artinya selalu sama.
  • Awyakta artinya tidak terlahirkan.
  • Achintya artinya tidak terpikirkan.
  • Awikara artinya tidak berubah.

Karena sifat darsana sebagai pandangan yang merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat disadari bahwa ada beberapa pandangan (darsana) dalam tradisi intelektual India, secara umum filsafat India (Veda) dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :

  1. Pandangan yang orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran filsafat (Sad Darsana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri dari : Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwwa Mimamsa, Wedanta (Uttara Mimamsa).
  2. Pandangan yang heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha.

 

Enam aliran filsafat Hindu (sad darsana) merupakan konsep yang saling berhubungan satu sama lain : 1. Nyaya dan Waiseika, 2. Samkhya dan yoga, 3. Mimamsa dan Wedanta. Waisesika merupakan tambahan dari Nyaya, Yoga merupakan tambahan dari Samkhya, dan Wedanta merupakan satu perluasan dan penyelesaian dari Samkhya.

Wedanta (puncak ajaran Weda) sebagai filsafat yang muncul secara langsung dari teks-teks upanisad merupakan system filsafat yang dianggap paling memuaskan. Dari penafsiran-penafsiran filsafat Wedanta muncul berbagai aliran pemikiran antara lain : konsep adwaita dari Sankaracarya, konsep wisistadwaita dari Ramanujacarya, dan konsep dwaita dari Sri Madhwacarya, konsep Acintya bheda abheda tattva dari Sri Caitanya. Tiap-tiap pemikiran filsafat ini mebicarakan tiga masalah pokok yaitu : mengenai Brahman, Alam, dan atman (roh). Selain ketiga aliran pemikiran yang muncul dari filsafat Wedanta tersebut, masih terdapat beberapa aliran pemikiran lainnya namun sifatnya lebih pada penggabungan dari tiga konsep pemikiran tersebut.

 

3. Sekilas Filsafat Nastika

A. Carwaka

Filsafat carwaka didirikan oleh Brhaspati yang ajarannya tertuang dalam Brhaspati sutra. Sistem filsafat ini mengembangkan tradisi heterodok, atheisme dan materialisme. Sering disebut dengan lokayata yang berarti berjalan dijalan keduniawian. Kata carwaka sendiri berasal dari kata ‘caru’ yang berarti manis dan ‘vak’ yang berarti ujaran, jadi carwaka berarti kata-kata yang manis. Carwaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carwaka juga berarti seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya atman dan Tuhan, bentuk inilah yang menyebabkan ia sering dianggap sebagai hedonisme timur. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya. Alam hanya terbentuk oleh 4 bhuta, elemen zat, yaitu : udara, api, air, dan tanah. Tujuan tertinggi dari manusia rasional adalah mencapai kenikmatan yang sebenar-benarnya di dunia, dan menghindari penderitaan. Adapun inti ajaran carwaka adalah :

  1. Tanah, air, api, dan udara adalah elemen dari alam semesta.
  2. Tubuh, indra, dan objek-objek merupakan hasil kombinasi dari berbagai elemen alam.
  3. Kesadaran muncul dari material seperti sifat alkohol anggur yang muncul dari anggur yang dipermentasi.
  4. Tidak ada roh, yang ada adalah tubuh yang sadar
  5. Kepuasan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia.
  6. Kematian adalah pembebasan.

 

B. Jaina

Filsafat jaina merupakan sistem filsafat yang mengembangkan tradisi atheisme namun spiritual, kata jaina sendiri berarti ‘penakluk spiritual’. Pengikut jaina mempercayai 24 tirthangkara (pendiri keyakinan), tirthangkara pertama adalah Rsabhadeva dan yang terakhir adalah Mahavira. Sistem ini menekankan pada aspek etika yang ketat, yang terutama adalah ahimsa. Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi 2, yaitu :

  1. Aparoksa : pengetahuan langsung, terdiri dari avadhi (kemampuan melihat hal-hal yang tidak nampak oleh indra), manahparyaya (telepathi), dan kevala (kemahatahuan).
  2. Paroksa : pengetahuan antara, terdiri dari mati (mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial) dan sruta (pengetahuan yang diambil dari otoritas)

Jaina menerima tiga jenis pramana, yaitu pratyaksa (persepsi), anumana (inferensi), dan sruta (otoritas). Jaina meyakini tentang adanya pluralisme roh, terdapat roh-roh sesuai dengan banyaknya tubuh. Tidak hanya roh dalam manusia, binatang, dan tumbuhan, tapi meyakini hingga roh-roh yang ada dalam debu. Roh memiliki kualifikasi tinggi dan rendah, namun semuanya mengalami belenggu dalam pengetahuan yang terbatas. Belenggu dapat dihilangkan dengan :

  1. keyakinan yang sempurna terhadap ajaran guru-guru jaina.
  2. Pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut.
  3. Perilaku yang benar. Perilaku ini meliputi, tidak menyakiti dan melukai seluruh mahluk hidup, menghindari kesalahan mencuri, sensualitas, dan kemelekatan objek-objek indriya.

Dengan tiga hal tersebut maka perasaan akan dikendalikan, dan karma yang membelenggu roh akan hilang, hingga roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas. Jaina tidak mempercayai dengan adanya Tuhan, para tirthangkara menggantikan tempatNya. Jaina mengenal lima disiplin spiritual, yang terdiri dari :

  1. Ahimsa (non kekerasan)
  2. Satya (kebenaran)
  3. Asteya (tidak mencuri)
  4. Brahmacarya (berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
  5. Aparigraha (kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan)

 

C. Buddha

Filsafat Buddha lahir dari ajaran-ajaran Buddha Gautama pada abad 567 sm, ajarannya dapat dikatakan bersifat atheisme dan spiritual. Buddha menekankan pada etika, cinta kasih, persaudaraan, menolak sistem kasta (penympangan sistem Varna), dan menolak otoritas Weda dan pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia adalah nirwana, bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh melalui usaha diri sendiri. Pencerahan yang didapatkan oleh Sidharta Gautama meliputi empat kebenaran utama (catvari arya-satyani), yaitu :

  1. Kebenaran bahwa ada penderitaan.
  2. Kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan.
  3. Kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan.
  4. Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan.

Ajaran Buddha sering pula disebut dengan ‘jalan tengah’ (madhyama marga), ajaran-ajaran pokoknya dibukukan dalam tiga kitab suci (tripitaka yang berarti tiga keranjang pengetahuan), yang terdiri dari : Vinaya pitaka yang membahas tata laksana bagi masyarakat umum, Sutta pitaka yang membahas upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika, dan Abhidhamma pitaka yang berisi eksposisi teori-teori filsafat Buddha. Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan, terdiri dari 8 jalan utama, yaitu :

  1. Pandangan yang benar (samyagdrsti)
  2. Determinasi yang benar (samyaksamkalpa)
  3. Perkataan yang benar (samyalgwak)
  4. Perilaku yang benar (samyakkarmanta)
  5. Cara hidup yang benar (samyagajiva)
  6. Usaha yang benar (samyagvyayama)
  7. Sikap pikiran yang benar (samyaksmrti)
  8. Konsentrasi yang benar (samyaksamadhi)

Doktrin Buddha tidak mengakui eksistensi Atman dan Tuhan, namun mengadopsi bentuk keyakinan seperit hukum karma, reinkarnasi, dan pembebasan (nirwana)

 

4. Filsafat Astika ( Sad Darsana)

a. Nyaya Darśana

Nyaya darsana merupakan merupakan dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Astika yang dianut oleh umat Hindu dewasa ini. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau Dirghatapas. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering pula disebut sebagai Tarka vada atau diskusi tentang suatu darsana atau pandangan filsafat. Didalam Nyaya darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya) yang berarti bersifat analitik dan logis. Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan ilmiah dan realisme.

Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan penyimpulan yang tak terbantahkan, yang dilalui dengan pengujian dengan berbagai argumentasi dan melewati berbagai perbantahan sehingga membentuk suatu keyakinan yang penuh.  Menurut konsep Nyaya, pengetahuan menyatakan 4 kadaan, yaitu :

  1. Subyek atau si pengamat (pramata)
  2. Obyek (Prameya)
  3. Keadaan hasil dari pengamatan (Pramiti)
  4. Cara mengetahui (Pramana)

Obyek yang diamati (Prameya) berjumlah 12, yaitu :

  1. Roh (Atman)
  2. Badan (Sarira)
  3. Indriya
  4. Obyek Indriya (Artha)
  5. Kecerdasan (Buddhi)
  6. Pikiran (Manas)
  7. Kegiatan (Pravrrthi)
  8. Kesalahan (dosa)
  9. Perpindahan (Pretyabhava)
  10. Buah atau hasil (Phala)
  11. Penderitaan (Duhkha)
  12. Pembebasan (Apawarga)

Nyaya darsana yang bertindak pada garis ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada tahapan dimana materi-materi spiritual (adhyatmika) seperti: jiwa (roh pribadi), jagat (alam semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang disbut Apawarga oleh Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi, kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa atom-atom. Nyaya Darsana mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan 4 cara pengamatan (Catur Pramana) :

  • Pratyaksa pramana (pengamatan langsung).
  • Anumana pramana (melalui penyimpulan).
  • Upamana pramana (melalui perbandingan).
  • Sabda pramana (melalui penyaksian).

 

Pratyaksa pramana

Pratyaksa pramana atau pengamatan secara langsung melalui panca indriya dengan obyek yang diamati, sehingga memberi pengetahuan tentang obyek-obyek, sesuai dengan keadaannya. Pratyaksa pramana terdiri dari 2 tingkat pengamatan, yaitu :

  1. Nirwikalpa pratyaksa (pengamatan yang tidak menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek tanpa penilaian, tanpa asosiasi dengan suatu subyek,
  2. Savikalpa pratyaksa (pengamatan yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek dibarengi dengan pengenalan cirri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.

 

Anumana pramana

Anumana pramana merupakan hasil yang diperoleh dengan adanya suatu perantara diantara subyek dan obyek, dimana pengamatan langsung dengan indra tidak dapat menyimpulkan hasil dari pengamatan. Perantara merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan sifat dari obyek.

Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu :

  1. Pratijna : memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
  2. Hetu : alasan penyimpulan
  3. Udaharana : menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
  4. Upanaya : pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
  5. Nigamana : penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya.

 

Upamana pramana

Upamana pramana  merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang munkin terjadi atau terdapat dalam suatu obyek yang di amati dengan obyek yang sudah ada atau pernah diketahui.

 

Sabda pramana

Sabda pramana merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian dari orang-orang yang dipercaya kata-katanya, ataupun dari naskah-naskah yang diakui kebenarannya. Kesaksian terdiri dari 2 jenis :

  1. Laukika sabda : kesaksian yang didapat dari orang-orang terpercaya dan kesaksiannya dapat diterima akal sehat,
  2. Vaidika sabda : kesaksian yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda sruti.

 

Tuhan, Jiwa dan Alam Semesta

Dalam konsep Nyaya, seluruh perbuatan manusia di dunia menghasilkan buah dari perbuatan yaitu adrsta. Adrsta berada dibawah pengawasan langsung dari Tuhan, dan sekaligus berperan pada nasib setiap individu. Tuhan merupakan kepribadian yang terbebas dari pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (adharma), kelalaian (pramada). Beliau adalah esa memiliki pengetahuan abadi (nitya jnana), kehendak kegiatan (iccha kriya), beliau pula bersifat meresapi segala (wibhu).

Jiwa merupakan keberadaan nyata yang keseluruhan dan kesatuannya abadi. Sifat-sifat jiwa adalah keengganan, kemauan, kesenangan, derita, kecerdasan, dan intuisi. Obyek yang menyatakan ‘aku’ adalah jiwa, dan ia bersifat abadi walau badannya telah hancur.

Alam semesta merupakan gabungan atom-atom yang abadi (paramanu), yang terdiri dari unsur-unsur fisik, yaitu : tanah (prthiwi), air (apah), api (tejas), dan udara (vayu)

 

Keterikatan dan Pembebasan

Dunia tersusun atas kesalah pengertian (mithya jnana), kesalahan (dosa), kegiatan (prawrrti), kelahiran (janma), dan penderitaan (duhkha). Mithya jnana merupakan awal dari penderitaan yang menyebabkan kesalahan tentang suka dan tidak suka (raga-dwesa). Dari raga-dwesa muncullah perbuatan yang baik dan jahat, sehingga terus mengalami reinkarnasi, penghapusan raga-dwesa inilah yang menjadi pokok Nyaya darsana untuk mencapai pembebasan atau pelepasan (apawarga). Pelepasan (apawarga) dapat dicapai dengan mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya, melepaskan berbagai kesalahan yaitu : kasih sayang (raga), keengganan (dwesa) dan kebodohan (moha). Keengganan (dwesa) termasuk rasa kemarahan, kebencian, iri hati dan dendam. Kebodohan (moha) termasuk rasa curiga, kesombongan, kelalaian, dan pengertian salah. Pelepasan (apawarga) merupakan pembebasan mutlak dari penderitaan namun bukan penghilangan sang Diri, ia hanya bersifat penghancuran belenggu.

 

b. Waiśesika Darśana

Waisesika darsana didirikan oleh Rsi Kanada yang dikenal pula dengan nama Aulukya dan Kasyapa. Pada dasarnya waisesika merupakan pengembangan dari Nyaya darsana, prinsip-prinsip pokok mengenai hakekat sang diri dan teori alam semesta tetap sama. Waisesika mengambil nama ‘visesa’ yang berarti kekhususan yang merupakan pembeda ciri-ciri dari benda-benda. Vaisesika dimulai dengan pencarian atas kategori-kategori (padartha) yaitu penghitungan sifat-sifat tertentu yang dapat dikatakan tentang benda-benda yang ada. Sebuah padartha merupakan suatu obyek yang dipikirkan (artha) dan diberi nama (pada). Padartha dalam vaisesika darsana berjumlah 7 kategori, yaitu :

  1. Drawya : benda-benda atau substansi yang berjumlah 9 substansi, yaitu : tanah (prthivi), air (apah), api (tejah), udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala), ruang (dis), roh (jiwa), dan pikiran (manas). Empat drawya pertama dan drawya terakhir (pikiran) merupakan substansi abadi yang tidak meresapi segalanya  namun dalam persenyawaan sifatnya tidak abadi
  2. Guna : sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi, terdiri dari : rupa atau warna, rasa, bau (gandha), sentuhan (sparsa), jumlah (samkhya), ukuran (parimana), keanekaragaman (prthaktva), persekutuan (samyoga), keterpisahan (vibhaga), keterpencilan (paratva), kedekatan (aparatva), bobot (gurutva), keenceran (dravatva), kekentalan (sneha), suara (sabda), sifat pembiakan sendiri (samskara), budhi (pemahaman), sukha (kesenangan), penderitaan (duhkha), kehendak (iccha), kebencian (dvesa), usaha (prayatna), kebajikan (dharma), kekurangan/cacat (adharma).  8 guna yang terakhir merupakan sifat dari roh, sedangkan yang lain milik dari substansi material.
  3. Karma : kegiatan yang terkandung dalam gerakan, terdiri dari gerakan keatas (utksepana), gerakan kebawah (avaksepana), gerakan membengkok (A-kuncana), gerakan mengembang (prasarana), gerakan menjauh dan mendekat (gamana).
  4. Samanya : bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan :1) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, 2) jenis kelamin dan spesies.
  5. Visesa : kekhususan yang dimiliki oleh 9 substansi abadi (drawya)
  6. Samawaya : keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan anatara substansi dengan sifatnya.
  7. Abhava : ketidakadaan dan penyangkalan terdiri dari 4 jenis, yaitu : 1). Pragabhava : ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya, 2). Dhvasabhava : Penghentian keberadaan, 3). Atyantabhava : ketidak adaan timbal balik, 4). Anyonyabhava : ketiadaan mutlak.

Waisesika seperti halnya Nyaya darsana menyatakan bahwa penciptaan alam semesta didasarkan pada dua penyebab, yaitu nimita sebagai penyebab efisien dan upadana sebagai penyebab material. Isvara sebagai nimita karana menciptakan alam semesta dengan penggunaan upadana.

 

c. Sāmkhya Darśana

Sri Kapila Muni merupakan pendiri dari system filsafat samkhya, beliau sering pula disebut sebagai putra dari Brahma dan awatara dari Sri Visnu. Kata ‘Samkhya’ berarti jumlah, dan system dari filsafat samkhya memberikan prinsip dari alam semesta yang berjumlah 25 prinsip (tattwas). Istilah samkhya juga dipergunakan dalam pengertian ‘vicara’ yaitu perenungan filosofis. 25 prinsip (tattwas) yang diberikan oleh samkhya darsana apabila dibagankan adalah sebagai berikut :

 

 

Dalam samkhya darsana menggunakan 3 sistem pembuktian yang disebut dengan tri pramana, yaitu : 1). Pratyaksa pramana (pengamatan), 2). Anumana pramana (penyimpulan), 3). Apta wakya (benar, sesuai dengan weda dan guru yang mendapatkan wahyu).

Samkhya darsana bersifat dualistik dan pluralitas karena mengajarkan bahwasannya purusa sebagai asas roh yang jumlahnya banyak sekali. Prakrti dan purusa merupakan asas yang sifatnya tanpa awal (anadi), tanpa akhir dan tak terbatas (ananta). Ketidak berbedaan diantara purusa dan prakrti merupakan penyebab dari kelahiran dan kematian, dan pembedaan dari keduanya akan memberikan pembebasan (mukti). Purusa bersifat tidak terikat (asanga) dan merupakan kesadaran yang meresapi segalanya dan abadi, sedangkan Prakrti merupakan pelaku dan penikmat. Purusa bersifat abadi dan tidak berubah, purusa hanya menjadi saksi namun pernyataan kehadirannya seolah-olah terlibat dalam hukum reinkarnasi, hal ini tidak lain karena kemelekatannya dengan prakrti.

Prakrti berasal dari akar kata ‘pra’ (sebelum, ‘kr’ (membuat), jadi prakrti artinya ‘yang mula-mula’ prakrti sering pula disebut dengan pradhana (pokok) karena semua akibat ditemukan padanya dan merupakan sumber dari alam semesta. Prakrti merupakan ada yang tanpa penyebab, sedangkan hasil-hasilnya disebabkan dan bergantung padanya. Prakrti merupakan ketiadaan dari kecerdasan yang hanya bergantung pada unsur pokok gunanya sendiri, yang terdiri dari 3 guna yaitu : 1). Sattwa (kemurnian, sinar, selaras), 2). Rajas (nafsu, kegiatan, gerak), 3). Tamas (kegelapan, kemalasan, tanpa kegiatan). Kata guna sendiri berarti tali yang nantinya menjadi pembelenggu dari roh. Ketiga guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena sifatnya saling menunjang.

Pertemuan antara purusa dan prakrti membuat prakrti berkembang dibawah pengaruh purusa, pertemuan ini mulai mengguncang guna yang ada dalam prakrti sehingga membuatnya beraktifitas. Dari prakrti muncullah benih besar alam semesta yang maha luas (Mahat). Kesadaran roh membuatnya sebagai sesuatu yang sadar, sebagai kebangkitan alam dari kandungan kosmis, dari penampakan pikiran pertama ini pula disebut dengan intelek (buddhi). Produk yang kedua adalah ahamkara, sebagai rasa aku dan milikku (abhimana). Dari ahamkara melalui ekses elemen satwa muncullah pikiran (Manas), lima organ pengetahuan (panca budhindriya) yang terletak di telinga, kulit, mata, lidah, hidung  (srotendriya, twagindriya, cakswindriya, jihwendriya, ghranendriya), lima organ tindakan (panca karmendriya) yaitu : mulut, tangan, kaki, dubur dan kelamin (wagindriya, panindriya, padendriya, paywindriya, upasthendriya), dan lima elemen halus (panca tan matra) yang merupakan potensi dari suara, sentuhan, warna, rasa, bau. dari elemen halus (panca tan matra) muncul lima elemen kasar (panca maha bhuta) yaitu akasa, udara, api, air dan tanah. Akhirnya dari evolusi ini ada alam semesta beserta isinya.

Seluruh unsur dari pertemuan purusa dan prakrti akan selalu ada sepanjang zaman, walau dalam bentuknya yang berbeda-beda. Seperti halnya manusia ketika mati terurai kembali jasadnya menjadi mahabhuta. Hingga diyakini pada akhir zaman terjadi peleburan alam semesta maka dari pergerakan evolusi, bergerak secara terbalik dan berlawanan dan pada akhirnya semua masuk kembali kedalam prakrti, inilah yang disebut dengan proses penyusutan atau penguncupan.

Dalam konsep samkhya, manusia yang lahir di dunia, terikat oleh penderitaan (dukha) yang berjumlah tiga, yaitu : 1). Adhyatmika : penderitaan yang disebabkan oleh penyebab psiko-fisika intra organik yang mencakup semua penderitaan fisik dan mental, 2). Adhidaiwika : penderitaan yang disebabkan oleh penyebab super natural, 3). Adhibhautika : penderitaan yang disebabkan penyebab alam ekstra organik seperti manusia atau binatang. Oleh karenanyalah tujuan hidup manusia adalah terlepas dari penderitaan tersebut, sehingga mencapai moksa yaitu penghentian total dari semua jenis penderitaan. Jiwa yang bersifat abadi seolah-olah mengalami penderitaan karena pengaruh awidya (kegelapan), jadi belenggu dianggap fiksi belaka karena ego (ahamkara) yang menjadi milik dari prakrti. Maka dari pembedaan dari jiwa dan bukan jiwalah yang seharusnya dipahami, dengan pemahaman ini maka diharapkan jiva berhenti terpengaruh oleh suka dan duka. Pembebasan dapat diraih ketika manusia masih hidup (jivanmukti) atau setelah meninggal (vedeha mukti). Pembebasan tidak saja dapat dicapai oleh pemahaman atau pembedaan antara jiwa dan bukan jiwa, namun perlu pula menggunakan metode spiritual, inilah salah satu yang nantinya ditambahkan oleh filsafat Yoga.

 

d. Yoga Darśana

Maharsi Patanjali merupakan pendiri dari sistem filsafat Yoga yang merupakan tambahan dari filsafat samkhya, namun pendiri dari sistematika yoga adalah Hiranyagarbha. Kata yoga secara etimologi berasal dari kata ‘yuj’ yang berarti menghubungkan, jadi yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dalam rangka penyatuan roh individual dengan roh tertinggi. Dalam Yoga Sutra disebutkan “ Yogas Citta Wrtti Nirodah ” . Yoga adalah pengekangan atau pengendalian benih- benih pikiran ( citta ) dari pengambilan berbagai wujud ( perubahan : Wrtti ).

System filsafat yoga mengakui eksistensi Isvara, sehingga bersifat Sa-Isvara. Isvara (Tuhan) merupakan purusa istimewa yang tidak terpengaruh oleh penderitaan, beliau merupakan asas yang kemahatahuan, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan ruang, abadi, terbebas selamanya. Evolusi semesta dalam yoga tetap menerima 25 tattwas dari samkhya, namun menambahkan Isvara (Tuhan) sebagai saksi abadi.

 

 

 

‘Yoga Sutra’ yang ditulis oleh Maharsi terdiri dari 4 bagian terdiri dari 196 sutra ,yang secara garis besar isinya sebagai berikut :

  1. Bagian pertama disebut Samadhi-pada. Isinya menerangkan tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga. Pada bagian ini pula dijelaskan adanya     perubahan-perubahan pikiran dalam melakukan yoga.
  2. Bagian kedua disebut Sadhana-pada. Isinya menjelaskan tentang tahapan-tahapan pelaksanaan yoga, cara mencapai samadhin dan pahala yang akan didapat oleh mereka yang telah mencapai samadhi.
  3. Bagian ketiga disebut Wibhuti-pada. Isinya mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat batiniah, tentang kekuatan gaib yang didapat oleh mereka yang melakukan praktek yoga.
  4. Bagian keempat disebut Kaiwalya–pada. Isinya melukiskan tentang alam kelepasan dan keadaan jiwa yang telah dapat mengatasi keterkaitan duniawi dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Pada intinya ajaran yoga bertujuan untuk mengembalikan jiwa individu kepada kedudukan asalnya sebagai pelayan Tuhan yang abadi dengan jalan membersihkannya dari segala ikatan maya (Triguna). Sehingga ia sadar akan jati dirinya (Atman) ikatan yang diakibatkan oleh perubahan citta yang muncul dari rintangan-rintangan guna, menimbulkan kesusahan dan kesedihan di dalam hidup yang disebut klesa. Klesa ada lima bagian yaitu :

  • Awidya :Kebodohan.
  • Asmita : Keakuan.
  • Raga : Keterikatan.
  • Dwesa : Kebencian.
  • Abhiniwesa : Ketakutan dan kematian.

Kelima klesa ini dapat dilenyapkan dengan jalan melaksanakan kriya yoga sehingga  dalam proses yoga mampu membantu guna mencapai samadhi dengan jalan melaksanakan Kriya yoga. Adapun mengenai Kriya –Yoga di dalam Yoga Sutra ( II-1 ) disebutkan :

TAPAH SWADHYAYESWARA PRANIDHANANI KRIYA YOGAH

Artinya :

Kesederhanaan (tapah), mempelajari kitab suci (swadhyaya), dan penyerahan hasilnya (pengabdian ) kepada Tuhan, semuanya ini merupakan ‘ disiplin yoga yang disebut Kriya- Yoga.

Apabila kelima klesa tersebut belum dihilangkan, maka ia akan terus-menerus mengganggu citta atau pikiran dalam proses pencapaian samadhi, yang  diakibatkan oleh gerakan Tri Guna .Akibatnya didalam proses yoga ada lima  tingkatan keadaan mental yang dialami bagi yang melaksanakan yoga tersebut yaitu :

  • Ksipta :  pikiran tidak diam-diam dan selalu mengembara.
  • Mudha : pikiran itu malas.
  • Wiksipta : pikiran itu bingung.
  • Ekagra : pikiran itu terpusat pada satu objek.
  • Nirudha : pikiran itu tenang terkendali.

Yoga secara umum dipilah menjadi dua bagian yaitu Hatha Yoga (Gratastha Yoga ), dan Samadhi Yoga yang salah satu bentuknya adalah Raja Yoga. Hatha yoga secara spesifik menangani proses latihan fisik guna membentuk jasmani yang kokoh, nantinya menjadi dasar menuju tingkatan Raja Yoga, guna kemampuan untuk mengendalikan gerak pikiran, mengingat didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang bersih .

Maharsi patanjali memberikan tahap–tahapan dalam pelaksanaan yoga yang lebih dikenal dengan sebutan Astangga Yoga. Adapun pembagiannya diuraikan sebagai berikut :

YAMA NIYAMASANA PRANAYAMA PRATYAHARA DHARANA DHYANA SAMADHA YO’STAW.ANGGANI.

Artinya :

Pengekangan diri (Yama), kepatuhan yang mantap ( Niyama), sikap badan (Asana), pengaturan pernafasan (Pranayama), penyaluran (Pratyahara), pemusatan (konsentrasi: Dharana ), perenungan (Dhyana), penyerapan (Samadhi), semuanya ini adalah bagian (dari disiplin diri dari Yoga ).

1. YAMA.

AHIMSA SATYASTEYA BRAHMACARYAPARIGRAHA YAMAH.

Artinya :

Yama (pengekangan diri) terdiri dari tanpa kekerasan ( Ahimsa ) kebenaran  (Satya), tiada mencuri (Asteya), pembujangan (Brahmacari) dan ketiadaan keserakahan (aparigraha ).

Yama merupakan tahapan pengendalian diri ( Moralitas ) awal yang terdiri dari lima prinsip atau ketaatan wajib, yang merupakan kode etik universal (sarwabhauma    mahavrata) terdiri dari :

  • Ahimsa berarti tidak menyakiti atau membunuh mahluk hidup, baik melalui pikiran, perkataan dan perbuatan. Pengertian ahimsa ini hendaknya tidak diterjemahkan secara ekstrem, karena bagaimanapun juga manusia tunduk pada siklus kehidupan yang mengharuskan untuk mengorbankan mahluk guna mempertahankan hidupnya. Hendaknya Ahimsa dilaksanakan dengan landasan Wiweka.
  • Satya artinya berpegang teguh pada kebenaran baik dalam bentuk pikiran, perkataan dan perbuatan.
  • Asteya artinya tidak menginginkan dan merebut hak orang lain ( tidak mencuri  ).
  • Brahmacarya artinya menjunjung tinggi kesucian diri dan orang lain dengan tidak melakukan seks bebas.
  • Aparigraha artinya tidak berlebihan dalam menikmati benda kesenangan guna mempertahankan hidup /hidup puas dengan apa adanya.

2. NIYAMA

SAUCA SAMTOSA TAPAH SWADHYAYESWARA PRANIDHANANI NIYAMAH

Artinya :

Pemurnian internal dan eksternal ( sauca ), kepuasan ( kesejahteraan: Samtosa), kesederhanaan (tapah), belajar sendiri  ( swadyaya), dan penyerahan diri pada Tuhan (Iswara pranidhana) semuanya ini termasuk kepatuhan yang mantap (Niyama).

Niyama merupakan pengendalian diri tahap kedua yang terdiri atas :

  • Sauca artinya meningkatkan kesuciaan, kemurnian lahir batin.
  • Santosa artinya keadaan yang menyenangkan dan wajar tanpa tekanan dan kepura- puraan sehingga tercapainya keseimbangan mental.
  • Tapa artinya melakukan usaha yang sungguh- sungguh guna mencapai tujuan.
  • Svadhyaya artinya mempelajari kitab- kitab suci, sehingga mampu memahami setiap permasalahan spiritual.
  • Ishvara Pranidhana artinya penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Pelaksanaan Yama Niyama yang merupakan kode etik universal yang di peruntukkan untuk semua golongan, akan membentuk disiplin etika yang mempersiapkan siswa yoga, guna pelaksanaan yoga selanjutnya. Karena bagaimanapun juga moralitas merupakan dasar spiritual, namun perlu disadari bahwa moralitas bukanlah tujuan akhir dari perjalanan spiritual namun lebih merupakan pondasi yang kokoh guna pencapaian yoga yang baik. Dari kesepuluh pembagian Yama Niyama yang terpenting diantaranya adalah Brahmacarya dan Ishvarapranidhana, sedangkan delapan lainnya merupakan penunjang dari keduanya.

 

3. ASANA

STHIRA SUKHAM ASANAM

Artinya :

Sikap badan (hendaknya) mantap dan nyaman.

Asana artinya sikap tubuh, secara prinsip maharsi patanjali tidak mengharuskan para Yogi untuk menggunakan posisi tertentu. Apapun pilihan asana yang disukai, dipersilahkan asalkan mampu dipertahankan dan membangun kenyamanan guna penguasaan Citta dari pengaruh Guna. Secara umum terdapat  8.400.000 jenis asanas, sesuai dengan jumlah mahluk hidup yang ada di dunia ini, dari sekian banyaknya hanya 1.600 jenis yang terbaik, dan dari antaranya hanya 32 jenis yang sangat berguna bagi manusia, dua di antaranya sangat populer yaitu, Muktapadmasana dan Baddhapadmasana.

 

4. PRANAYAMA

TASMIN SATI SWASA PRASWASAYOR GATIWICCEDAH PRANAYAMAH.

Artinya :

Pengendalian gerakan nafas masuk dan nafas keluar mengikuti setelah ini

Pranayama merupakan ilmu tentang cara pengendalian nafas melalui pengaliran prana. Sehingga mampu membawa pikiran dalam keadaan tenang (laghawa) dan mudah untuk berkonsentrasi. Kondisi nafas dalam kehidupan secara normal yaitu puraka (nafas masuk), rechaka (nafas keluar) dan kumbhaka (penahanan nafas dia antara dua geraka di atas). Napas yang dipimpin oleh pikiran,  merupakan tenaga yang kuat dalam menghidupkan kembali sel-sel tubuh, yang digunakan untuk pengembangan diri sehingga mampu mengatasi berbagai penyakit dan dengan pranayama maka nadi-nadi akan menjadi bersih sehingga mampu membantu bangkitnya kundalini.

Olah nafas terdiri dari berbagai jenis,  yang lebih lanjut diterangkan dalam Yoga Kundalini sebagai contoh, salah satunya yaitu Sukh Purvak. Sukh Purvak merupakan pranayama ringan dan menyenangkan “ Duduk dengan Padmasana atau Siddhasana. Tutup lobang hidung kanan dengan jempol tangan kanan. Menghisap napas (Purvak) melalui lobang hidung kiri perlahan-lahan dengan menghitung 3 kali OM ( OM, OM, OM ). Pikirkan bahwa kamu lagi menghisap prana dengan memasukkan hawa. Lalu tutup lobang hidung kiri juga dengan jari manis dan kelingking kanan. Tahan nafasmu dengan menghitung 12 kali OM. Tengah menahan nafas, pikirkan bahwa kamu mengalirkan prana kebawah Muladhara Chakra. Bayangkan juga prana itu memukul Muladhara Chakra dan membangunkan kundalini. Lepaskan jempol kananmu dengan menghitung 6 kali OM “. begitulah hendaknya diulang terus-menerus.

 

5. PRATYAHARA

SWA WISAYASAMPRAYOGE CITTA SWARUPANUKARA IWENDRIYANAM PRATYAHARAH

Artinya :

Pratyahara atau penarikan organ indra, adalah peniruan indra-indra oleh pikiran dengan penarikannya sendiri dari obyek-obyeknya.

Pratyahara merupakan penarikan Indria dari obyek- obyek duniawi di bawah pengawasan pikiran, karena Indria cenderung untuk menikmati obyek- obyek yang disenangi, sehingga menggoyahkan pikiran sehingga perlu untuk mengendalikan dan menariknya dari obyek duniawi.

 

6. DHARANA

DESA BANDHAS CITTASYA DHARANA

Artinya :

Dharana merupakan pemusatan pikiran dalam satu wilayah mental yang dibatasi.

Dharana artinya pemusatan pikiran secara terfokus pada suatu obyek perwujudan Tuhan Yang Maha Esa baik dalam aspek Paramatman, Brahman maupun Bhagavan.

 

7. DHYANA

TATRA PRATYAIKATANATA DHYANAM

Artinya :

Aliran pengetahuan yang terus menerus pada obyek itu, adalah dhyanam

Dhyana artinya terpusatnya pikiran pada suatu obyek secara berkala dan terus-menerus tanpa tergoyahkan, melalui dhyana maka berkembanglah kualitas kesadaran murni.

 

8. SAMADHI

TAD EWARTHAMATRA NIRBHASAM SWARUPA SUNYAM IWA SAMADHIH

Artinya :

Kontemplasi yang sama bila terdapat hanya kesadaran terhadap objek meditasi itu sendiri dan bukan pikiran, adalah samadhi.

Samadhi merupakan keadaan supra sadar yang didapatkan melalui proses pemusatan pikiran yang sangat kuat dan mendalam, terbebas dari sangkalpa dan keterikatan duniawi sehingga mencapai mukti dan penyerahan diri sepenuhnya jiwa dengan Paramatma. Tujuan tertinggi dari keseluruhan sistem yoga adalah keterpisahan mutlak antara purusa dan prakrti, yaitu tercapainya kaiwalya atau kemerdekaan mutlak. Bebasnya purusa kedalam wujud yang sebenarnya (swarupa) tidak lagi bergantung pada apapun didunia ini.

 

e. Mīmāmsa Darśana

Filsafat mimamsa atau sering pula disebut purwa mimamsa didirikan oleh Sri Jaimini, yang merupakan penyelidikan ke dalam bagian kitab suci Weda.  Disebut pula purwa mimamsa karena dianggap lebih awal dari uttara mimamsa (Wedanta) dalam pengertian logika, namun bukan dalam pengertian kronologis. Kata ‘mimamsa’ berarti menganalisa dan mengerti seluruhnya, yang pada intinya memberikan landasan filsafat pada ritual-ritual dalam Weda. Ada dua dukungan yang diberikan oleh mimamsa, yaitu :

  1. memberikan sebuah metodelogi interpretasi agar ajaran-ajaran Weda yang rumit mengenai ritual-ritual bisa dipahami, diharmoniskan dan diikuti tanpa kesulitan.
  2. dengan menyediakan suatu justifikasi filsafat ritualisme.

Sri Jaimini menerima 3 pramana tentang pengamatan, yaitu : 1). Pengamatan (pratyaksa), 2). Penyimpulan (anumana), dan 3). Otoritas pembuktian atau Weda (Sabda). Menurut mimamsa, Weda merupakan apuruseya atau bukan karya manusia, oleh karenanya weda terbebas dari berbagai bentuk kesalahan yang di buat oleh manusia. Dalam sutra pertama mimamsa sutra disebutkan ‘athato dharmah jijnasa’ yang sekaligus menjadi kesimpulan dari tujuan filsafatnya, yaitu untuk mengetahui dharma dan kewajiban dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan dalam kitab suci Weda.

Kitab Weda yang termasuk sruti merupakan otoritas tertinggi dalam pelaksanaannya yang niscaya mengantarkan umat menuju kebahagiaan sejati. Dilanjutkan dengan smrti pada urutan kedua, yang apabila bertentangan dengan sruti, maka smrti dapat diabaikan. Hal ini sebenarnya telah ditegaskan pula di dalam kitab Manawa Dharmasastra II.6 mengenai garis otoritas yang patut dipedomani, yaitu :

Wedo’kilo dharma mulam

Smrti’sile ca tadwidam

Acara’scaiwa sadhunem

Atmanastustirewa

Artinya :

Seluruh weda merupakan sumber utama dari pelaksanaan dharma, kemudian barulah smrti disamping sila, kemudian acara (tradisi para orang suci), serta akhirnya atmanastuti (kepusan diri sendiri).

Dalam pandangan Rsi Jaimini, pelaksanaan korban suci (yajna) hendaknya dilakukan dengan mekanisme yang tepat. Dilandasi dengan keyakinan (sradha) dan kepatuhan (bhakti) sehingga bisa memberikan manfaat dalam mencapa kelepasan. Pada intinya korban suci merupakan pengorbanan kepentingan diri, keakuan dan raga dwesa (rasa suka dan benci). Dari sini pula umat diwajibkan melaksanakan nitya karma seperti sandhya dan naimitika karma selama ada kesempatan, ini merupakan kewajiban tanpa syarat.

Sang diri sejati menurut mimamsa berbeda dengan indriya dan intelek, ia merupakan penikmat sedangkan badan merupakan tempat untuk mengalami dan indriya sebagai peralatan untuk mengalami. Sang diri seolah merasakan karena menyatu dengan badan, ia sesungguhnya bukanlah indriya dan selalu abadi walau badan dan indriya telah hancur. Pelaksanaan korban akan mengantar manusia untuk mencapai sorga.

 

f. Wedānta Darśana

Wedanta (Vedanta) yang disebut juga Uttara Mimamsa merupakan sistem filsafat yang bersumber langsung pada Weda. Wedanta berarti “bagian akhir Weda“. Bagian akhir Weda disebut dengan istilah upanisad yang artinya “duduk dekat dengan guru” dalam rangka menerima ajaran-ajaran rahasia Tuhan melalui seorang guru. Sumber filsafat Vedanta dari kitab-kitab; Upanisad, Bhagavadgita dan Brahma-sutra, yang ketiganya disebut Prastana-traya.

Usaha pertama yang dilakukan untuk menyusun ajaran Upanisad secara sistematis dilakukan oleh Badarayana (Sri Wyasa) di dalam kitabnya yang disebut Wedanta-sutra atau Brahma-sutra (kira-kira 400 Sebelum Masehi). Wedanta-sutra yang terdiri dari 555 sutra dibagi menjadi empat bab, yaitu Bab I, menunjukkan bahwa Tuhan adalah realitas tertinggi. Bab II, membicarakan keberatan-keberatan yang diajukan oleh orang-orang yang tidak menyetujuainya serta menunjukkan bahwa ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Wedanta tidak dapat dipertahankan. Bab III, membicarakan tentang cara pencapaian Brahma widya. Bab IV, membicarakan tentang buah dari Brahma widya dan juga uraian tentang bagaimana roh pribadi dapat mencapai Brahman.

Filosofi kehidupan Vedanta merupakan pelengkapan dan penyempurnaan filsafat hidup Mimamsa. Kehidupan bagi mereka yang mengasingkan diri dari aktivitas dunia (sannyasin) termasuk dalam tahap terakhir dari Catur Asrama dan dipandang sebagai kulminasi kehidupan setiap orang.

Berikut adalah rumusan-rumusan dalam konsep Wedanta yang terkenal :

  • Ekam Ewa Adwityam : Realitas hanya satu, tiada yang ke dua.
  • Brahman Satyam Jagan Mithya, Jiwo Brahmaiwa Na Aparah : Sesungguhnya hanya keberadaan Brahman (Tuhan), dunia bersifat sementara, roh pribadi dan Brahman secara kualitas sama.
  • Sarwam Khalwidam Brahma : Sesungguhnya semua ini adalah bersumber dari Brahman.
  • Satya Jnanam Anantam Brahma : Brahman adalah pengetahuan dan tak terbatas
  • Brahmawid Brahmaiwa Bhawati : Yang mengetahui Brahman adalah Brahman
  • Santam Siwam Adwaitam : Brahman adalah kedamaian , keberuntungan dan tanpa dualitas
  • Ayam Atma Santah : Atman ini adalah keheningan
  • Asanggo Ayam Purusa : Purusa ini tak tersentuh
  • Santam, Ajaram, Amrtam, Abhayam, Param : Brahman ini adalah kedamaian, tanpa usia tua, abadi, tanpa kekuatan, dan tertinggi.

 

Tuhan dalam konsep Wedanta bersifat mutlak dengan memiliki tiga aspek yang tidak bisa dipisahkan, yaitu Bhagavan (Tuhan yang berwujud pribadi), Brahman (Tuhan impersonal) dan Paramatman (Tuhan yang meresap dalam segala sesuatu). Tuhan merupakan penyebab material dan instrumental dari alam semesta. Tuhan mengembangkan dirinya menjadi alam semesta guna lila dan kridaNya, namun beliau tetap utuh dan tidak berubah. Tuhan merupakan paramarthika satta (realitas mutlak), alam dunia adalah wyawaharika satta (realitas relatif), dan obyek-obyek dari mimpi adalah prathibasika satta (realitas yang nyata).

Maya merupakan karana sarira dari Tuhan, namun demikian maya merupakan sakti (kekuatan)  dari Tuhan.  Maya memiliki 2 kekuatan, yaitu daya menyelubungi (awarana sakti) dan daya pemantulan (wiksepa sakti). Inilah yang menyebabkan tersembunyinya yang nyata dan membuat yang tidak nampak menjadi nyata. Jiwa atau roh dalam diri manusia diselubungi oleh lima lapisan yang disebut Panca Kosha yaitu : anna maya, prana maya, mano maya, wijnana maya, dan ananta maya ( badan fisik ).

Anna maya kosa merupakan lapisan makanan yang terdiri dari unsur : tanah,air, api, yang berada pada cakra- cakra terbawah yaitu muladhara, swadisthana, dan manipur cakra. Lapisan kedua yaitu prana maya kosha merupakan lapisan nafas (prana) terletak pada anahata dan wisudha cakra. Lapisan berikutnya yaitu manomaya kosha dan wijnana maya kosha merupakan pembentuk jiwa antah karana yang terdiri dari empat kesatuan yaitu jiwa kecerdasan terdiri dari dua aspek yaitu budhi dan manas, kesadaran ego ( Ahamkara ) dan Chitta berada pada Ajna Chakra dan sedikit diatas cakra ini. Dan yang terakhir yaitu ananda maya kosha berada di tengah- tengah kepala ( Sahasram ) cakra yang merupakan tempat atma dari lapisan jiwa terakhir.

Demikianlah panca kosha sebagai selubung dari atma.”Di dalam lapisan pertama Iswara memanifestasikan diri menjadi keanekaragaman kesadaran terhadap wujud misalnya hitam atau putih, pendek atau tinggi, tua atau muda. Di dalam lapisan prana maya kosha, Dia merasa hidup merasa lapar dan haus, sakit dan sehat. Di dalam lapisan mental dia berfikir dan memahami. Dan di dalam lapisan anandam Dia berbahagia dan ingin tinggal di dalam kebahagiaan abadi.

 

ALIRAN FILSAFAT WEDANTA ( Filsafat Skolastik )

Brahma sutra atau Wedanta sutra karya Wyasa merupakan kitab yang paling populer dan banyak diulas oleh para maharsi setelahnya, ia bagaikan sumber air yang terus mengalir dari generasi ke generasi. Ulasan-ulasan terhadap Brahma sutra oleh para maharsi seperti Sri Sankaracarya, Sri Ramanujacarya, dan Sri Madhawacarya membentuk filsafat Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita. Wedanta darsana yang  tumbuh dari andasan kitab Upanisad, Brahma sutra, dan Bhagawad gita. Ketiga kitab tersebut sering pula disebut prasthana traya grantha (naskah suci yang dapat dipercaya). Ketiga aliran pemikiran yang mengalir dari Wedanta darsana tetap berpegang pada otoritas Weda dalam kerangka pembahasan yang berbicara tentang Tuhan, Alam, dan roh. Namun dalam konteks ajaran Hindu ketiganya tidaklah dianggap sebagai aliran pemikiran yang terpisah dan bertentangan, tetapi bagaikan tangga spiritual yang dimulai dari Adwaita, Wasistadwaita dan berakhir pada Dwaita.

1. Filsafat Adwaita

Sri Sankara merupakan yang melahirkan bentuk akhir dari filsafat adwaita, walaupun yang pertama mensistematis filsafat ini adalah parama guru dari Sankara, yaitu Rsi Gaudapada melalui karya beliau Mandukya Karika. Sri Sankara memberikan sentuhan akhir dan sempurna melalui ulasan beliau tentang Brahma Sutra yang dikenal dengan Sariraka Bhasya. Filsafat Adwaita dari Sankara merupakan filsafat yang menyatakan bahwa seluruhnya merupakan Brahman, dan perbedaan hanyalah khayalan. Hal ini tersimpul alam salah satu sloka, yaitu ‘ Brahma Satyam Jagan Mithya, Jivo Brahmaiva Na Aparah’ yang berarti Hanya Brahmanlah yang nyata, dunia ini tidak nyata, dan jiwa atau roh pribadi sama dengan Brahman.

Brahman  tertinggi adalah tak berpribadi, tanpa guna dan atribut (nirguna), tanpa wujud (Nirakara), tanpa ciri-ciritertentu (Nirwisesa), abadi dan bukan pelaku dan perantara (akrta). Beliau adalah subyek penyaksi dan tidak akan pernah menjadi obyek, Beliau adalah tuggal, tak dapat digambarkan, karena penggambaran akan membentuk perbedaan. Itu pula sebabnya dalam kitab Upanisad disebutkan : Neti, Neti (bukan ini dan bukan itu). Bentuk kalimat negatif dalam upanisad ini bukanlah menyatakan ketiadaan, tapi Beliau adalah kesemestaan, tidak terbatas, memenuhi segala, tak berubah, ada dengan sendirinya, pengetahuan dan kebahagiaan itu sendiri. Nirguna Brahman dari Sankara menjadi Saguna Brahman (berpribadi) hanya karena disebabkan penyauannya dengan maya. Saguna dan Nirguna Brahman bukanlah dua Brahman yang berbeda atau bertentangan, Beliau adalah satu dari dua titik pandang yang berbeda. Nirguna merupakan yang lebih tinggi dipandang dari sudut transedental (Paramarthika), sedangkan Saguna dari sudut pandang relatif (Vyavaharika).

Atman adalah sang diri yang nyata (Swatah siddha), Jiwa atau roh pribadi hanyalah kenyataan yang relatif dan kepribadiannya akan berakhir, apabila ia tidak lagi menjadi subyek upadhi yang tidak nyata atau kondisi terbatas yang disebabkan oleh awidya. Selama roh pribadi menyamakan diri dengan badan dan indriyanya, ia berpikir, berbuat, dan menikmati, itu berarti ia masih berada dalam kondisi avidya. Pada saat ia terlepas dari awidya, maka baru menyadari akan kesejatiannya yang tiada lain adalah Brahman yang mutlak, sepertihalnya ether dalam sebuah periuk yang pecah, maka ia menyatu dengan semesta.

Alam semesta pula bukanlah suatu hayalan, namun merupakan kenyataan yang relatif (Vyavaharika satta), yang merupakan hasil dari maya dan awidya. Brahman yang nyata tampak sebagai alam yang berubah melalui maya. Maya merupakan daya misterius dari Brahman  yang tak terbayangkan, menyembunyikan yang nyata.

Pembebasan atau kelepasan dari samsara atau proses tumimbal lahir merupakan penyatuan dari roh pribadi dalam Brahman, melalui pembebasan dari kesalah dugaan yang salah bahwa roh pribadi berbeda dengan Brahman. Karma dan bhakti merupakan proses menuju jnana. Sankara menganjurkan teori penampakan atau pelapisan (adhyasa), seperti halnya tali yang dibayangkan bagai ular pada saat senja.demikian pula alam dan badan ditumpangkan pada Brahman. Apabila manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang tali maka bayangan tentang ular akan lenyap, demikian pula apabila manusia memperoleh pengetahuan tentang Brahman, maka hayalan tentang alam dan badan akan hilang. Terlepasnya mithya jnana atau pengetahuan palsu akan mengantarkan manusia dalam kecemerlangan dan kemuliaan Ilahi yang murni.

2. Filsafat Wisistadwaita

Pendiri filsafat wisistadwaita adalah Rsi Ramanuja, disebut filsafat wisistadwaita karena penanaman pengertian adwaita atau kesatuan dengan Brahman, dengan wisesa atau atribut. Sehingga dianggap sebagai filsafat monisme terbatas. Hanya Brahman yang ada, sedangkan yang lainnya merupakan perwujudan atau atributnya, Beliau merupakan satu keseluruhan yang komplek walau kenyataannya satu. Apabila Sri Sankara menganggap bahwa segala bentuk perwujudan dianggap tidak nyata dan sementara, sifatnya hanyalah hasil dari awidya atau  kegelapan, maka menurut Sri Ramanuja atribut itu nyata dan tetap, namun bergantung pada pengendalian satu Brahman.

Filsafat Wisistadwaita merupakan Waisnawaisme yang mengakui kejamakan, Brahman atau Narayana hidup dalam kejamakan bentuk dari roh-roh (cit) dan materi (acit). Ramanuja mensistemasir filsafat dari waisnawaisme dan disebut sebagai Sri Waisnawaisme, karena Sri atau Dewi Laksmi dibuat memiliki fungsi penting dalam pembebasan roh. Ramanuja menyamakan Tuhan dengan Narayana yang bersemayam di Waikuntha dengan Saktinya yaitu Laksmi sebagai Dewi kemakmuran, yang merupakan Ibu Tuhan, dialah yang memohonkan pembebasan dari para pemuja.

Brahman adalah segalanya namun bukan pula bersifat serba sama, karena dalam dirinya tekandung kejamakan yang menyebabkan dirinya benar- benar mewujudkan diri dalam alam yang beraneka warna. Brahman dianggap berpribadi , mengatur segalanya, maha kuasa dari alam semesta, dihidupi dan diresapi oleh jiwaNya, sehingga tidak ada tempat untuk membedakan antara Saguna dan Nirguna.  Brahman meresapi segalanya dan merupakan intisari dari roh, yang merupakan antaryamin atau pengatur batin yang menjadi satu dengan roh. Ia merupakan hakekat dari kebenaran (Satya), kecerdasan , dan kebahagiaan (ananda), dimana materi dan roh bergantung kepadanya. Beliau adalah penopang alam semesta dan roh (adhara), serta penguasa dan pengendali (Niyanta). Jiwa atau roh merupakan yang dikendalikan (Niyama/sesa).

Alam dan berbagai perwujudan material keberadaan dan roh-roh pribadi, bukanlah maya yang tidak nyata tetapi bagian nyata dari hakekat Brahman dan merupakan badan dari Brahman. Materi adalah nyata yang merupakan substansi tanpa kesadaran yang mengalami evolusi (parimana), karenanya ia bersifat abadi namun bergantung dan dikendalikan oleh kehendak Tuhan. Ia membentuk obyek pengalaman bagi roh-roh. Prakrti memiliki 3 guna, yaitu sattwa, rajas, dan tamas, sedangkan suddha tattwa hanya memiliki sifat satwa, suddha tattwa merupakan substansi yang membentuk badan Tuhan dan disebut dengan Nitya WibhutiNya. Alam yang berwujud merupakan Lila WibhutiNya.

Roh merupakan prakara dari Tuhan yang lebih tinggi dari materi karena merupakan kesatuan sadar yang menjadi inti dari Tuhan. Roh berjumlah tiada batas, bersifat sadar dan tidak berubah, tidak terbagi. Roh benar-benar pribadi dan secara abadi berbeda dengan Tuhan, ia muncul dari Brahman dan tidak pernah di luar Brahman sepertihalnya percikan api dari sumber api. Roh menurut Ramanuja digolongkan menjadi 3, yaitu : Nitya (abadi), Mukta (bebas), dan Baddha (terbelenggu). Roh yang abadi, selamanya bebas dari belenggu hidup dengan Tuhan (Narayana) di Vaikuntha, roh yang terbebaskan sekali waktu mengalami samsara tetapi telah mencapai pembebasan, sedangkan roh terbelenggu terjerat samsara dan berjuang untuk mencapai pembebasan. Roh yang terbelenggu oleh samsara memperoleh badannya sesuai dengan karma masa lalu, yang berjalan dari kelahiran ke kelahiran berikutnya hingga mencapai pembebasan akhir atau moksa.

Moksa dalam konsep Wisistadwaita  berarti berlalunya belenggu dari kesulitan hidup duniawi menuju semacam surga (Waikuntha), disitu ia akan ada selamanya dalam kebahagiaan pribadi bersama Tuhan, namun tetap tidak pernah menjadi identik dengan Tuhan. Pembebasan akhir ini dicapai hanya dengan bhakti, karunia Tuhan datang melalui kepatuhan (prapatti) atau penyerahan diri secara mutlak. Pembebasan diri melalui bhakti, berkembang dua konsep, yaitu (markata nyaya) atau teori kera, bahwa seorang bhakta harus seperti anak kera yang harus mengusahakan dirinya tetap bergantung pada induknya (roh pribadi – Narayana), dan yang kedua adalah (marjara nyaya) atau teori anak kucing, penyerahan diri ketika dibawa induknya tanpa usaha bagi dirinya sendiri.

3. Filsafat Dwaita

Filsafat dwaita dikembangkan oleh Sri Madhwacarya yang bersumber dari kitab Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagawad Gita atau yang disebut dengan Prasthana Traya (tiga kitab). Filsafat dwaita merupakan dualis tak terbatas, waisnawaisme Sri Madhwacarya sering pula disebut dengan sad-waisnawaisme untuk membedakannya dengan Sri-Waisnawaisme dari Ramanujacarya. Filsafat dwaita membuat bembedaan yang mutlak antara Tuhan, obyek yang begerak dan obyek yang tidak bergerak, pembedaan mutlak merupakan prinsip dasar dari filsafat dwaita (Atyanta bheda darsana), disebut dengan Panca Bheda, yaitu :

  1. Perbedaan Tuhan dengan roh pribadi.
  2. Perbedaan antara Tuhan dengan materi.
  3. Perbedaan antara roh pribadi dengan materi.
  4. Perbedaan antara satu roh dengan yang lainnya.
  5. Perbedaan antara materi yang satu dengan lainnya.

Hari, Krishna atau Visnu sebagai Bhagavan, Aspek Tuhan Personal merupakan perwujudan yang tertinggi, alam adalah nyata dan perbedaan adalah kebenaran. Alam dan roh bergantung pada Visnu, roh mempunyai derajat keunggulan dan kerendahan. Bhakti atau kepatuhan tanpa kesalahan akan membawa manusia pada moksa atau pembebasan, yang merupakan kenikmatan roh pribadi terhadap kebahagiaan. Pemujaan Sri Krsna seperti yang diajarkan dalam Bhagavata Purana merupakan intisari dari ajaran Madhwacarya. Menurut Madhwacarya, realitas obyektif teriri dari dua, yaitu yang berdiri sendiri (sawatantra) dan yang bergantung (paratantra). Realitas yang berdiri sendiri hanyalah Tuhan, sebagai keberadaan tertinggi. Realitas yang bergantung terdiri dari 2, yaitu : roh-roh yang sadar (cetana) dan kesatuan yang tidak sadar (acetana) seperti materi dan waktu.

Madhwacarya menerima klasifikasi roh menurut Ramanuja yang digolongkan menjadi 3, yaitu : Nitya (abadi), Mukta (bebas), dan Baddha (terbelenggu). Roh yang abadi, selamanya bebas dari belenggu hidup dengan Tuhan (Narayana) di Vaikuntha, roh yang terbebaskan sekali waktu mengalami samsara tetapi telah mencapai pembebasan, sedangkan roh terbelenggu terjerat samsara dan berjuang untuk mencapai pembebasan. Roh yang terbelenggu oleh samsara memperoleh badannya sesuai dengan karma masa lalu, yang berjalan dari kelahiran ke kelahiran berikutnya hingga mencapai pembebasan akhir atau moksa. Roh yang terbelenggu juga dibagi menjadi 2, yaitu :

  1. Mereka yang layak untuk moksa (mukti yoga)
  2. Mereka yang tidak layak untuk pembebasan. Mereka yang tidak layak untuk pembebasan dapat digolongkan menjadi 2, yaitu : mereka yang selamanya terikat siklus samsara (nitya-samsarin), dan mereka yang karena karmanya akhirnya harus ada di neraka, wilayah kegelapan yang membutakan (tamo-yogya).

Sri Visnu, Krishna atau Narayana merupakan penyebab pertama yang berpribadi, penguasa atas kecerdasan alam semesta, Beliau tinggal di Alam Rohani yang disebut juga Vaikuntha bersama-sama dengan laksmi dan roh-roh yang telah mencapai pembebasan. Beliau mewujudkan diri melalui berbagai wyuha dan melalui Awatara. Visnu merupakan antaryamin (pengendali batin dari semua roh), menjadi pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta. Laksmi merupakan perwujudan dari daya enerji penciptaanNya.

Visnu adalah penyebab efisien, sumber alam material, tetapi sekaligus tidak bersentuhan langsung dengan alam material, karena prakrti merupakan penyebab material alam, semua obyek badan, organ roh dibuat oleh prakrti, dan Tuhan memberikan energi prakrti melalui Laksmi. Awidya menjadi energi prakrti yang mengaburkan daya-daya spiritual dan roh-roh pribadi, yang membentuk selubung yang menyembunyikan yang tertinggi. Mahat, ahamkara, budhi, sepuluh indriya, obyek indriya, dan lima unsur dasar merupakan modifikasi dari prakrti dalam wujud halus. Oleh karenanya perbedaan alam dengan Tuhan adalah mutlak, alam bukan khayalan dan perubahan bentuk dari Tuhan.

Bhakti merupakan cara untuk mencapai pembebasan, melalui karunia dari Sri Visnu dan pemujaan merupakan langkah awal dari karunia Visnu. Roh-roh pribadi diselamatkan dengan pengetahuan yang bergantung pada Tuhan, dan pengetahuan yang benar berasal dari mencintai Tuhan. Para sisya spiritual mempersiapkan diri dengan mempelajari Weda, mengendalikan indriya, dan penyerahan diri sepenuhnya. Penyangkalan, kepatuhan dan pengenalan langsung melalui meditasi membawa pada pencapaian kelepasan. Pemuja Visnu teridentifikasi dengan :

  1. Menandai badan dengan simbol-simbolnya (Ankana).
  2. Pemberian nama Tuhan pada anak-anak (Namakarana).
  3. Menyanyikan kemuliaannya (Bhajana).
  4. Mengingat- nama Tuhan secara terus-menerus (Smarana).

 

Comments are closed.