Etnomusikologi dan Kontribusinya

Tentang Etnomusikologi

Disiplin ilmu etnomusikologi ini telah lama ada dan berkembang di Indonesia. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bentuk kajian musik etnis dalam konteks budaya atau pengamatan musik dan konteks kebudayaannya (Yampolsky:1994), perkembanganya hingga kini masih terbatas di dalam wilayah akademis dan lembaga-lembaga kesenian tertentu. Pada dasarnya etnomusikologi adalah bidang interdisipliner yang menggunakan perangkat dan pendekatan utama antropologi budaya atau etnologi dan musikologi. Orang dapat berangkat dari antropologi ataupun musikologi untuk menjadi ahli etnomusikologi. Cara pendekatannya pun dapat bergeser dari etnologi ke musikologi atau sebaliknya.

Apabila diasumsikan etnomusikologi sebagai studi lapangan, musik sebagai bagian dari budaya, dan masyarakat adalah sasarannya, maka metode dan teknik lapangan yang dipergunakannya berasal dari antropologi budaya. Meski hal ini belum banyak diakui para etnomusikolog, namun kenyataannya teori-teori yang dipergunakannnya berasal dari ilmu-ilmu sosial pada umumnya, dan teknik lapangan yang dipinjam dari antropologi.

Dalam perkembangannya, etnomusikologi sendiri tidak saja membatasi diri pada pendekatan etnologis dan atau musikologis terhadap fenomena musikal kultural, tetapi juga sering menggunakan pendekatan linguistik, semantik, psikologis, filsafat, historis, serta ilmu-ilmu humaniora yang lain, bahkan juga fisika, akustika, tekhnologi multimedia, dan lain-lain.

Pada awal perkembangannya, etnomusikologi merupakan disiplin ilmu yang muncul di Eropa pada awal abad ke-20. Ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke seluruh dunia telah mengejutkan perhatian mereka bahwa ternyata bangsa-bangsa yang dianggapnya sebagai bangsa primitif di luar Eropa itu berkebudayaan pula. Namun dengan sempitnya persepsi dan sikap superiornya, mereka memandang kebudayaan di luar diri mereka dikategorikan sebagai bangsa-bangsa budaya non-Eropa, yang hanya menarik untuk dipelajari dari sudut pandang antropologi, sosiologi, etnologi, dan sebagainya, tidak menarik untuk diakui pada tingkat kebudayaan dan ilmunya. Lantas ilmu baru ini semula diberikan dengan berbagai sebutan, misalnya antropologi musik, etnologi musik, dan musik folklor atau bahkan folklor saja.

Tahun 1768 JJ. Rousseau menulis Dictionaire de musique, yang memuat eksotis-eksotis musik bangsa-bangsa Asia-Afrika. Tahun 1784, William Jones menulis On the Musical Modes of the Hindoos. Karya yang cukup lumayan dan komplit adalah tulisan F.J. Fetis Histoire generale de la musique (1869). Penulis-penulis di atas umumnya memiliki kajian yang sama. Mereka mencoba memahami volkermusik tadi dengan kacamata dan sudut pandang potret musik mereka sendiri, yaitu musik Eropa. Mereka jatuh pada pemahaman tentang sistem interval dan nada-nada atau suara, struktur melodi, variabel-variabel yang konotatif dengan aspek budaya, religi, adat istiadat, dan sebagainya.

Sampai beberapa tahun terakhir, perkembangan kajian etnomusikologi didominasi oleh Eropa dan Amerika. Pernah terbentuk semacam citra umum tentang karakter etnomusikologi Eropa yang dianggap lebih antropologis dan/atau fungsional teoritis, sedangkan di Amerika lebih cenderung praktis. Namun demikian, prinsip tentang terminologi etnomusikologi sendiri tidak berubah. Hal ini nampak nyata dari kesepahaman pemakaian terminologi etnomusikologi yang dipakai kurang lebih sejak tahun 1940, tetap menunjukkan pada pengetahuan tentang musik-musik di luar bangsa Eropa.

Etnomusikologi di Indonesia

Di Indonesia sendiri, kajian etnomusikologi dilakukan lebih belakangan. Studi serius tentang musik Indonesia baru dimulai menjelang pertengahan abad ke-20. Dipelopori oleh peneliti-peneliti asing; Belanda, Amerika, Kanada, Jerman Australia, kemudian menyusul dari negara lain seperti Jepang, Perancis, Inggris, dan sebagainya, kemudian orang-orang lokal. Beberapa nama dapat disebutkan antara lain; Jaap Kunst, Colin McPhee, Ernst Heins, Mantle Hood, Philip Yampolsky, Dieter Mack, Margaret J, Kartomi, Wim Van Janten, Fumiko Tamura, dan masih banyak lagi.

Sedangkan untuk ahli etnomusikologi pribumi Indonesia, jumlahnya masih belum banyak. Dari jumlahnya yang sedikit tersebut, tak lebih dari separuhnya yang benar-benar aktif beretnomusikologi, selebihnya adalah ahli etnomusikologi sambilan. Sebagian terbesar dari mereka adalah birokrat (pimpinan perguruan tinggi, pembina kesenian), produser, seniman, guru, pengusaha, atau berprofesi yang lain.

Dalam sejarahnya di Jawa Barat, etnomusikologi telah lama diperkenalkan para ahli etnomusikologi. Terutama yang pernah dilakukan seorang ahli etnomusikologi Jaap Kunst. Istilah etnomusikologi sendiri pernah digulirkan Jaap Kunst yang digunakan sebagai subtitel dalam bukunya yang berjudul Musicologia: a Study of the Natural of Ethno-musicology, its Problems, Methods, anda Representative Personalities (Amsterdam, 1950).

Selain itu, Jaap Kunst pun menulis buku tentang musik Jawa secara lengkap dan melakukan banyak penelitian di seluruh pelosok Indonesia. Kemudian Walter Spies orang Jerman, Collin Mcphee dari Amerika, Wim Van Janten, dan Mantle Hood. Mereka banyak meneliti dan menulis buku-buku tentang musik etnis Indonesia.

Di Jawa Barat sendiri, terdapat ahli karawitan yang mencoba merumuskan pemikiran tentang karawitan Sunda ke dalam bentuk buku. Hingga muncul buku Pangawikan Rineggaswara ( 1940) dan Seni Raras (1969) yang diciptakan Raden Machyar Angga Koesoemadinata, yang membahas tentang teori-teori karawitan Sunda, terutama sistem laras yang dilengkapi dengan perbandingan frekuensi dan interval pada masing-masing laras. Dalam teorinya, Machyar menciptakan penamaan nada-nada yang terdapat pada laras karawitan Sunda dengan nada Da, Mi, Na, Ti, La, yang banyak dipergunakan di lingkungan pendidikan hingga saat ini.

Meski hingga saat ini teori yang dilahirkan Machyar masih menjadi polemik diantara para seniman dan para ahli etnomusikologi, namun telah menjadi bukti bahwa di Jawa Barat terdapat ahli etnomusikologi yang dapat melahirkan karya-karya penelitiannya.

Kontribusi dan Harapan

Dalam proses maupun tujuan pencapaian hasil penelitiannya, etnomusikologi lebih sarat dengan prasaran sosiologis, adat istiadat, agama, antropologi, dan sebagainya. Bahkan juga aspek-aspek politik, ekonomi, dan lain-lain. Tidak jarang etnomusikologi juga terlempar dari ilmunya sendiri yakni musikologi. Di sisi lain, etnomusikologi juga sering terjebak pada pendekatan-pendekatan yang kovensional dan normatif sifatnya. Ada pendapat bahwa etnomusikologi hanyalah ilmu teoritis yang mencoba menelaah etnosentrisme musik suatu kebudayaan masyarakat tertentu dalam pengertian yang secara substansial sangat terbatas. Etnomusikologi nampaknya seolah-olah ketinggalan satu langkah dari ilmu pengetahuan lainnya. Begitu pula hasil-hasil penelitian ilmiahnya lebih sering berkutat dan berhenti di perpustakaan atau arsip kampus, sebagai terminal akhir. Tidak jarang timbul sinisme, bahwa etnomusikologi berhenti ketika etnomusikolog telah mendapat gelar kesarjanaannya di suatu jenjang pendidikannya.

Kontroversi klasik etnomusikologi nampak dalam praktik lapangan melalui bentuk-bentuk metodologi, konsepsi-konsepsi, perangkat operasional, tatacara, rekayasa, dan terutama tujuan-tujuannya. Sayangnya, justru dalam keadaan “de facto ilmiah” inilah para ahli etnomusikolog kita bernaung dan bekerja di dalamnya. R. Supanggah menyebutkan (1997), sulitnya mengembangkan disiplin ilmu ini adalah pada sumber daya manusianya. Seperti sebagian besar tenaga pengajar dan pengelola perguruan tinggi seni adalah seniman dan/atau mereka yang berlatar belakang pendidikan S-1 kesenimanan. Sehingga kendala utama yang dihadapi adalah kurang tepatnya klasifikasi bidang serta jenjang pendidikan pengajarnya.

Untuk penyelenggaraan pendidikan dan kajian keilmuan diperlukan pengajar dan peneliti dengan kualifikasi kesarjanaan, sedangkan untuk menghasilkan lulusan S-1, diperlukan pengajar dengan jenjang pendidikan di atas S-1. Semuanya sulit didapatkan di Indonesia. Tidak banyak perguruan tinggi yang secara langsung mengelola pendidikan di bidang dan program etnomusikologi ini.

Di Indonesia seperti halnya Jawa Barat, memiliki banyak ragam jenis musik etnisnya. Hal ini menjadi bahan yang sangat kaya dan sekaligus menantang bagi dunia etnomusikologi. Sebagian besar dari mereka masih hidup, dan masih menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakatnya. Tetapi tidak jarang pula eksistensi mereka mulai terancam dengan perubahan dan perkembangan budaya akibat globalisasi, modernisasi, teknologi informasi, dan mobilitas manusia yang sangat luar biasa dalam waktu yang sangat cepat memacu perubahan musik-musik etnis.

Dalam situasi seperti ini, kiranya peranan etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji musik dalam konteks sosial budayanya bisa membantu dalam memberikan laporan seakurat-akuratnya tentang kehidupan suatu jenis musik. Seperti halnya mengidentifikasikan masalah yang dihadapi musik dan masyarakatnya dan diharapkan dapat memberikan alternatif pemecahannya.

Sejak dulu hal yang mendasar kebudayaan kita selalu bersifat etnosintrik. Artinya bahwa segala budi daya, akal, dan rekayasa bangsa selalu terjadi melalui penelitian empiris yang etnosentris sifatnya. Etnomusikologi dapat memberikan kontribusi pula bagi terciptanya karya-karya baru yang berbobot. Masyarakat pencipta yang kreatif masih banyak berada di kalangan luar kampus. Namun, pengetahuan yang menopangnya masih tertutup rapat dalam peti-peti pengetahuan kampus-kampus kita. Setidaknya dengan langkah kerja dan hasil proses etnomusikologi bisa memberikan kontribusi berharga bagi berlangsungnya aktivitas para kreator-kreator yang senantiasa dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan kesenian.

Demikian halnya dengan pendidikan apresiasi masyarakat, baik dalam kalangan sistem pendidikan formal dan informal kita. Etnomusikologi harus mampu dapat memberikan wawasan luas tentang berbagai khasanah musik etnis kita. Barangkali di sini perlu dibangun sebuah media alternatif dalam menyebarluaskan segala informasi khasanah-khasanah tersebut sebagai produk kajian etnomusikologi. Inilah kiranya etnomuikologi dapat menjadi jembatan antara masyarakat seni sebagai pelaku dan masyarakat penikmatnya.

Maka dari hal-hal tersebut yang terpenting adalah bagaimana etnomusikologi dapat dijadikan tolok ukur ke depan dalam mengembangkan seni pertunjukan (musik etnik) untuk lebih eksis di tengah-tengah masyarakatnya. Musik dan masyarakatnya tidak hanya menjadi objek penelitian semata, tetapi diharapkan menjadi bagian subjek yang aktif dalam turut serta berkembang menjadi sumber daya dalam masyarakat.
Diposkan oleh usman di 06:37

Sumber http://budayamusik.blogspot.com/2010/05/etnomusikologi-dan-kontribusinya.html

Comments are closed.