KESENIAN SAKRAL BARONG LANDUNG

Juni 30, 2014 by: Eka Widiadi

Di Banjar Lantang Bejuh, Desa Pekraman Sesetan

Denpasar Selatan.

Di bali yang masyarakatnya notabennya memeluk agama Hindu tentu sudah lekat dengan kehidupan berkesenian. Kesenian merupakan salah satu bentuk wujud syukur dan pemujaan atau persembahan yang tulus ikhlas kepada Tuhan. Kehidupan berkesenian memiliki hubungan yang sangat erat dengan pengamalan agama, karena dengan berlandaskan agama dapat memunculkan berbagai macam bentuk kesenian. Kesenian – kesenian yang muncul dapat dibagi menjadi kesenian sakral dan kesenian tidak sakral (profan). Kesenian sakral adalah kesenian yang diperuntukan sebagai sarana persembahan yang dipercaya memiliki aura magis dan mistis serta biasanya dipentaskan pada saat upacara dan berhubungan langsung dengan Tuhan. Kesenian profan adalah kesenian yang diperuntukan sebagai hiburan dengan tidak mengedepankan unsure ketuhanan. Kesenian sakral telah banyak bermunculan di Bali yang kaitannya dengan proses upacara dan system kepercayaan masing-masing daerah. Seperti contoh kesenian Sanghyang, Barong, Topeng Wali, Barong Landung dan lain-lain. Sudah tentu setiap kesenian sakral tersebut sudah melalui prosesi upacara “pensakralan” atau pasupati dengan memberikan kekuatan Tuhan kepada kesenian tersebut sehingga dapat dipercaya dan menambah aura magis dan mistis yang dimiliki. Salah satu kesenian sakral yang ingin saya bahas adalah kesenian Barong Landung. Karena menurut pendapat saya kesenian Barong Landung mempunyai nilai historis yang sangat kental dan mempunyai nilai estetika yang khas yang dapat menjadi bahan di dalam pembuatan tugas ini. Berikut ini saya jelaskan mengenai kesenian sakral Barong Landung. Barong Landung merupakan salah satu kesenian yang ada di bali. kesenian Barong Landung diwujudkan ke dalam bentuk barong laki-laki dan perempuan yang diberi nama Barong Landung(Jero Gede) dan Jero Luh. Barong Landung ditarikan dengan cara memikul barong tersebut disertai dengan gerakan menggoyang-goyangkan barong. Biasanya disertai dengan nyanyian atau geguritan bila dipentaskan dalam lakon pengarjaan. Di beberapa daerah Barong Landung dipercaya sebagai sarana untuk penolak bala dengan mementaskannya atau menarikanya mengelilingi desa, biasa disebut sebagai Ngelawang. Kesenian Barong landung ini sangat jarang keberadaannya. Itu terkait dengan cerita atau kepercayaan masing-masing daerah yang mempunyai kesenian Barong landung tersebut. Tidak setiap daerah memiliki kesenian ini, karena seiring berjalannya waktu kesenian Barong Landung ini sudah menjadi bagian dari salah satu kesenian sakral yang ada di Bali. Dijadikannya kesenian ini sebagai salah satu kesenian sakral terkait dengan system kepercayaan setempat, konsep religius dan tujuan upacaranya.

   Seperti kesenian Barong Landung yang ada di Banjar Lantang Bejuh, Desa Pekraman Sesetan, Kecamatan Denpasar selatan. Disini saya akan menjelaskan kesenian Sakral Barong Landung dari segi filosofis, etika, dan estetika.

FILOSOFIS

     Kesenian Barong Landung sudah ada sejak zaman Dalem Balingkang. Kesenian ini bermula dari cerita Sri Jaya Pangus dengan Kang Cie Wie. Dikatakan Sri Jaya Pangus mempunyai rasa istimewa (cinta) kepada Kang Cie Wie, yaitu seorang putri Cina. Karena mereka berdua berbeda keyakinan dan budaya, maka kisah cinta mereka berdua tidak direstui. Berdasarkan hal tersebut, mereka kemudian “dipastu” (dikutuk) menjadi Barong Landung dan Jero Luh. Kisah ini kemudian dijadikan sebuah kesenian oleh masyarakat Bali. Kesenian ini merupakan perpaduan dari budaya Bali dengan budaya Cina. Hal itu dapat dilihat dari perwujudan Barong landung yang mempunyai ciri khas Budaya Bali yaitu tapel menyerupai raksasa (aeng) dengan mempergunakan kampuh poleng, sedangkan perwujudan Jero Luh mempunyai ciri khas Cina yaitu pada tapel dibuat menyerupai wanita cina dengan ciri mata sipit dan berkulit putih ( manis). Kedua perbedaan tersebut dikatakan sebagai symbol rwa bhineda. Konsep rwa bhineda di Bali tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan beragama dan berkesenian masyarakatnya, karena konsep ini menjadi acuan atau symbol bahwa di dalam menjalani suatu kehidupan dengan berbagai aktivitasnya tidak akan bisa terlepas dari baik dan buruknya hal tersebut. Hal tersebut pula yang yang menyebabkan dua kebudayaan yang berbeda ini dapat bersatu. Itu pula yang terjadi pada kesenian Barong Landung yang ada di Banjar Lantang Bejuh, Sesetan. Di Banjar ini kesenian Barong landung sangat di sakralkan oleh masyarakat dengan “menyungsung” atau memujanya sebagai manifestasi dari Tuhan. Barong Landung ini menurut para penglingsir sudah ada setelah Indonesia merdeka atau sekitar tahun 1947-an. Pada mulanya Barong Landung ini berada di daerah Sanur. Kemudian dipinjam oleh warga Banjar Lantang Bejuh yang akan dipergunakan sebagai sarana untuk ngelawang di sekitar wilayah Banjar. Setelah sekian lama, akhirnya Barong tersebut diminta kembali oleh pemiliknya. Pada saat pemugaran pura yang berada di Banjar, salah satu warga mengalami kerasukan, dan mengatakan Barong Landung yang biasa dipergunakan untuk ngelawang ternyata sudah ada yang menempati atau “malinggih”. Pada saat itu warga Banjar meminta kembali Barong tersebut dengan tujuan untuk dijadikan “petapakan” atau “sungsungan”, namun Barong yang diminta sudah di bongkar oleh pemiliknya. Maka dari itu, prajuru Banjar bersama warga sepakat untuk membuat Barong Landung yang lengkap. Setelah hal tersebut disepakati, maka dibuatlah satu set Barong Landung yang terdiri dari 1 Barong Landung (Jero Gede), 1 Barong Jero Luh, 3 Barong kecil (Dewa Pragina) dan 1 Rangda. Setelah diadakan prosesi pasupati, Barong tersebut di stanakan di Pura Dalem Gunung Sari yang berada di Banjar Lantang Bejuh sendiri sampai sekarang. Barong tersebut sangat di sakralkan dan dikeramatkan oleh warga. Hal tersebut dilakukan karena warga percaya bahwa manifestasi Tuhan dalam perwujudan Barong Landung tersebut memberikan berkah, keamanan, dan penyatuan rasa dalam diri warga. Hal itu pula yang menyebabkan Barong ini mempunyai nilai magis dan mistis karena tidak boleh sembarangan dipentaskan. Hanya pada saat upacara tertentu dan pada saat ada yang “ Naur Sesangi” yang biasa disebut dengan “ Mepajar”. Di dalam konteks keagamaan Barong Landung mempunyai arti dan nilai penting bagi warga yang mempercayainya. Itu disebabkan karena keberadaan Barong Landung ini membuat warga merasa lebih dekat kepada Sang Pencipta dan dengan perwujudan Barong Landung ini adalah sebagai sarana bagi warga banjar untuk dapat memuja dan menghaturkan rasa bhakti yang tulus ikhlas. Dilihat dari konteks seninya, keberadaan Barong Landung ini memunculkan kebudayaan baru dan dapat digunakan sebagai sarana atau instrument kesenian. Di Banjar Lantang Bejuh, biasanya kesenian Barong Landung ini akan dipentaskan pada saat “Mepajar”. Pementasan yang ditampilkan adalah berupa cerita pengarjaan. Pengarjaan disini adalah sebuah pementasan seni dimana para pragina akan menarikan Barong Landung sambil melantunkan tembang atau pupuh. Biasanya cerita yang di pentaskan adalah cerita Dharma Putra, Mpu Bahula, dan lain-lain. Pementasan Barong Landung ini juga diiringi oleh seperangkat gamelan geguntangan. Ini merupakan sebuah kesenian yang adiluhung dan bisa dikatakan langka karena di daerah-daerah jarang ada yang memiliki kesenian ini. Kesenian seperti ini harus dilestarikan dengan jalan disakralkan sehingga tidak sembarang dipergunakan dan menjadi sebuah sugesti atau kepercayaan bagi warganya untuk terus melestarikan kesenian ini sebagai bagian dari warisan leluhur.

ETIKA

   Di dalam berkesenian sangat diperlukan suatu aturan atau tatanan yang mengatur bagaimana cara di dalam melakoni kesenian tersebut. Hal tersebut sangatlah penting di dalam berkesenian supaya para pelaku seni tidak sembarangan dalam bertindak dan melatih sikap disiplin. Aturan atau tatanan ini menjadi batas-batas atau acuan kita dalam bertindak. Aturan ini harus disepakati bersama menurut adat masing-masing wilayah dan aturan ini dibuat menurut kesadaran logika     (masuk akal). Di dalam aturan ini terkandung juga nilai-nilai yang menunjang proses penguatan dan pelaksanaannya di masyarakat. Begitu pula yang terjadi pada tindakan kita terhadap sebuah kesenian sakral. Seperti kesenian Barong Landung yang berada di Banjar Lantang Bejuh, Sesetan yang telah di bahas di atas. Aturan atau tatanan warganya sudah diatur dan disepakati bersama dalam menjalankan sebuah kesenian. Aturan yang diberlakukan tentu berbeda saat kesenian tersebut belum disakralkan dan setelah disakralkan. Tentu itu menurut pemahaman dan logika tentang hal apa saja yang boleh atau patut dilakukan dan hal apa saja yang tidak boleh atau menjadi pantangan untuk dilakukan. Aturan yang diberlakukan pada saat kesenian tersebut belum disakralkan, misalnya seperti siapa saja boleh menarikan Barong Landung tersebut, seperti digunakan pada saat latihan. Itu semisal aturan yang diberlakukan pada saat kesenian tersebut belum disakralkan. Akan tetapi, walaupun belum disakralkan kita juga tidak boleh sembarangan menggunakannya. Karena disana terdapat norma atau nilai kesopanan, kedisiplinan, dan rasa memiliki kita terhadap kesenian tesebut. Walaupun aturan sudah dibuat sedemikian rupa dan disepakati, namun kita sebagai manusia memiliki rasa atau kepekaan dalam menjalankan atau menggeluti kesenian tersebut. Itu berpengaruh terhadap pola pikir di dalam menjalankan aturan tersebut. Aturan yang diberlakukan pada saat kesenian tersebut sudah disakralkan, misalnya seperti pada saat akan menarikan atau mementaskan Barong Landung, yang boleh hanyalah orang-orang yang sudah melalui proses upacara pembersihan dan memang ditunjuk untuk menarikan atau disebut “pragina”. Disini aturan yang diberlakukan mengacu pada nilai sakral dan magisnya kesenian tersebut. Karena jika sudah disakralkan itu berarti kesenian ini berhubungan dengan kepercayaan dan Tuhan. Disana juga terdapat sebuah system kepercayaan, religius, dan upacara yang mendukung diberlakukanya aturan-aturan tersebut. Jika sebuah kesenian sudah dianggap sakral oleh warganya, maka harus dapat menerima berbagai keadaan dan konsekuensi atas apa yang sudah menjadi kepercayaan, kesepakatan dan menjalankan kesenian tersebut dengan tulus ikhlas karena hal tersebut berhubungan langsung dengan Tuhan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, etika atau aturan sangatlah penting di dalam berkesenian. Baik dalam seni sakral maupun seni yang lainya. Itu berkaitan dengan tata krama dan norma serta nilai-nilai yang berlaku. Norma yang dimaksudkan seperti norma kesopanan, kepatutan dan kebiasaan. Nilai – nilai yang terkandung seperti nilai social yang kaitanya dengan seni sakral ini adalah sebagai sarana untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan paham dari warga setempat. Jadi sebuah kesenian baik sakral maupun tidak, kita sebagai pelaku seni harus mempunyai etika atau aturan di dalam melakoni kesenian tersebut. Itu supaya kita tidak sembarangan dalam bertindak dan tidak menyalahi adat yang berlaku. Hal tersebut juga salah satu upaya agar kesenian yang kita miliki tetap terjaga. Yang artinya jika di dalam berkesenian diberlakukan sebuah aturan, maka hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan yang dapat merusak kesenian tersebut.

ESTETIKA

     Di dalam berkesenian sudah tentu hal yang ingin dicapai adalah kepuasan batin. Kepuasan batin ini dapat dicapai dari berbagai hal, salah satunya melalui keindahan. Keindahan di bidang seni sering disebut sebagai estetika. Estetika adalah cabang ilmu dari filsafat yang membahas tentang berbagai hal dalam keindahan termasuk keindahan dalam bidang seni. Jika keindahan dikaitkan ke dalam bidang seni, tentu hal ini berhubungan dengan nilai yang terkandung dan pendapat seseorang tentang apa yang menjadi unsure atau yang membuat sebuah seni tersebut menjadi dikatakan indah. Sudah tentu tingkat penilaian masing-masing individu terhadap keindahan suatu karya seni relative, hal tersebut terkait dengan tingkat pemahaman, wawasan, dan olah rasa dari masing-masing individu yang menilai. Keindahan di dalam sebuah karya seni tidak dapat dipaksakan adanya, namun keindahan tersebut sudah dapat dipastikan selalu hadir di dalam setiap karya seni yang diciptakan. Para seniman yang menciptakan atau mewujudkan sebuah karya seni tentu tujuannya adalah ingin menyampaikan rasa “indah“ yang dirasakan kepada masyarakat. Tentu indah yang dimaksud tidak selalu berwujud bagus, halus, rapi, tetapi nilai keindahan terdapat juga pada karya seni yang berantakan, menantang arus, tidak biasa (out of the box) dan lainnya. Hal tersebut kembali lagi pada sejauh mana para penikmat dapat menangkap unsure keindahan yang ingin disampaikan sang seniman. Itu pula dapat dilihat pada kesenian Barong Landung. Di atas sudah dijelaskan bahwa kesenian Barong Landung merupakan symbol dari konsep rwa bhineda. Itu merupakan satu poin keindahan, karena dua hal yang berbeda dapat disatukan menjadi satu dalam bentuk karya seni. Keindahan lain yang dapat dilihat adalah dari segi bentuk atau perwujudan Barong. Berbeda dengan karya seni Barong yang ada seperti Barong Ket, Barong Macan dan lainnya, yang memilki bentuk memanjang dan ditarikan oleh dua orang, Barong Landung memiliki bentuk tinggi besar, menyerupai raksasa, berbulu biasanya dari bulu kuda dan ditarikan oleh satu orang. Begitu juga dengan bentuk Barong Jero Luh, Barong Dewa Pragina (Mantri, Galuh, Limbur perwujudan dalam cerita pengarjaan) yang berwujud tinggi dan ditarikan oleh satu orang. Disini dapat dilihat kesan indah dari segi konsep busana yang dikenakan disesuaikan dengan karakter, dari segi perawakan atau “ jejaeg” dan dari pepayasan. Seperti Barong Landung di Banjar Lantang Bejuh, yang memiliki wujud yang sederhana namun memiliki kesan indah tersendiri. Itu dilihat dari “jejaeg” atau perawakan barong yang sudah sesuai. Bentuk tapel yang memiliki aura magis tersendiri dan warna yang digunakan semakin menambah kesan sakral dari Barong tersebut. Dari segi busana dan pepayasan ditata secara sederhana namun tidak mengurangi karakter yang ingin ditampilkan. Kesan itulah yang saya rasakan sehingga dapat menuliskannya ke dalam tugas ini. Pada intinya suatu keindahan sifatnya relative tergantung individu yang menilainya. Di dalam menilai suatu keindahan yang terdapat dalam karya seni diperlukan kepekaan rasa dan olah intelektualitas. Hal ini sangat penting karena berhubungan dengan hasil penilaian dan pertanggung jawaban. Di dalam menilai suatu keindahan tidak hanya dilihat dari hasil akhir karya tersebut, tetapi dilihat juga dari proses mewujudkan karya seni tersebut. Adanya proses ini sangatlah penting, karena di dalam proses tersebut terdapat suatu usaha yang dilakukan untuk mewujudkan, menyampaikan dan menampilkan kesan indah yang dirasakan seniman kepada para penikmat. Di dalam mewujudkan suatu karya seni tentu ada sebuah proses yang terjadi dan semua unsure terlibat disana. Baik unsure yang positif maupun negative. Akan tetapi dari semua unsure tersebut dapat ditemukan kesan indah asalkan kita menilainya dengan kepekaan rasa. Jadi bagaimanapun hasil akhir yang ditampilkan terkesan indah, itu tidak terlepas dari adanya sebuah proses dengan usaha untuk mewujudkan dan menampilkan kesan indah yang ingin dicapai. Maka hendaknya kita sebagai penikmat seni jangan hanya menilai sebuah karya tersebut dari hasil akhirnya, namun perlu diberikan penghargaan atas proses yang dilalui serta usaha yang dilakukan dalam menampilkan karya yang terbaik.

     Sebuah kesenian dapat dikatakan sakral apabila kesenian tersebut telah melalui proses upacara penyucian dan dipercaya oleh masyarakatnya memiliki unsure magis dan mistis serta dipercaya mewakili kekuatan Tuhan dalam manifestasinya yang diwujudkan melalui kesenian tersebut. Hal yang tidak kalah penting adalah sikap kita terhadap kesenian sakral tersebut. Jika sebuah kesenian telah disakralkan, maka tidak diperbolehkan sembarangan dalam bertindak atau ada sebuah etika yang mengatur sikap kita terhadap kesenian tersebut. Tentunya hal ini telah disepakati bersama menurut adat istiadat daerah setempat. Etika atau sikap ini juga dapat bermanfaat di dalam menjaga kelestarian dan unsure keindahan atau estetika yang terdapat dalam kesenian tersebut. Tentunya dengan adanya sebuah aturan maka hal- hal yang sifatnya merusak tidak akan dapat menyentuh kesenian yang telah disakalkan tersebut. Jadi kita sebagai umat beragama dan pelaku seni yang baik tentunya harus dapat menjaga kelestarian kesenian kita baik yang bersifat sakral maupun tidak. Karena pada hakekatnya perbedaan yang terdapat disana hanya karena “ rasa” atau kepekaan masing- masing individu.

SUMBER : BUKU SENI SAKRAL, PENERBIT PARAMITA SURABAYA, TAHUN 2010, YUDHA BAKTI.

Filed under: Tak Berkategori

Comments are closed.