Sejarah Gamelan Terompong Beruk

This post was written by ekaadisaputra on November 6, 2012
Posted Under: Tak Berkategori

Terompong Beruk merupakan alat musik tradisional yang sangat sederhana. Gamelan langka dan unik itu menggunakan bilah-bilah kayu, berbeda dengan terompong pada gamelan gong yang menggunakan perunggu. Ciri khas Terompong Beruk terletak pada alat resonansi suaranya yang menggunakan beruk (batok kelapa). Besar kecil beruk diatur dan disesuaikan dengan nada bilah-bilah kayu di atasnya untuk memunculkan nada suara yang berbeda-beda. Karena menggunakan sumber gema dari beruk (batok kelapa) itulah gamelan ini dinamai Terompong Beruk. Hal ini berbeda dengan terompong perunggu pada gamelan gong kebyar yang umumnya berbentuk bulat dan terdapat benjolan di tengah-tengahnya.

Bentuk bilahnya sama dengan rindik dan dibuat dari kayu pohon enau (dibali disebut uyung ) / dari kayu pohon aren ( di bali disebut jaka ).Sedangkan sebagai resonatornya adalah beruk (batok kelapa) yang berlubang diatasnya yang disusun sedemikian rupa masing-masing susunan sebagai berikut :

(ndeng)(ndung)(ndang)(nding)(ndeng)(ndung)(ndang)(nding)(ndung)

Jadi dalam satu tungguh ada dua oktaf dengan system

Satu barung atau satu set lengkap gamelan Terompong Beruk terdiri dari Terompong Beruk, Gangsa, Curing, Riong, Jublag, Kemplung, Kempil, dan sejumlah alat lainnya. Semua alat itu juga dibuat dari bilah-bilah kayu yang resonansi suaranya berasal dari beruk. Sedangkan untuk Gong dibuat dari waluh (buah labu besar) yang telah dikeringkan.

Untuk menambah semarak suara gamelan, Terompong Beruk dilengkapi dengan Suling, Kendang, Cengceng, dan lain sebagainya. Namun kini Terompong Beruk telah diganti dengan bilah-bilah besi, meski sumber gemanya masih menggunakan beruk. Mungkin untuk mendapat suara yang lebih keras dan alunannya panjang.

 

 

 

Sejarah Terompong Beruk

 

Sejak kapan Terompong Beruk dikenal di Bangle? Belum ditemukan peninggalan tertulis (prasasti) yang menyebutkan sejarah kelahiran Terompong Beruk. Pak Wati (1955) sebagai pelatih Terompong Beruk pun tidak mengetahui sejarah keberadaan alat musik unik itu. “Saya kurang tahu sejak kapan Terompong Beruk ada di dusun kami. Menurut orang tua, itu warisan leluhur kami,” jelas Pak Warti. Bahkan Pak Sanu (1938), seorang pinisepuh Bangle, juga mengatakan tidak tahu kapan Terompong Beruk pertama kali dibuat. “Leluhur kami yang dulu membuatnya, kami hanya mewarisi apa yang ada sekarang,” kata Sanu.

Secara sekilas, kisah keberadaan Terompong Beruk bisa ditelusuri dari cerita para tokoh masyarakat dan pinisepuh Bangle. Cerita tersebut diwariskan secara turun temurun hingga generasi sekarang. Ida Made Giur Dipta, tokoh masyarakat dari Desa Culik yang pernah lama mengajar di sebuah SD di Bunutan, telah menyusun sekelumit sejarah kelahiran Terompong Beruk berdasarkan cerita pinesepuh Bangle.

Giur menuliskan bahwa keberadaan Terompong Beruk berkaitan dengan pembangunan Pura Pemaksan Bangle. Ketika pura selesai dibangun, digelarlah Upacara Dewa Yadnya, diantaranya Melaspas, Ngenteg Linggih, berlanjut Pujawali atau Piodalan. Pada saat melaksanakan upacara tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari pementasan tari sakral sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Namun tari tanpa gamelan belumlah sempurna. Kebetulan saat itu ada seorang warga Bangle memiliki sebuah Terompong Beruk yang dipakai hiburan di waktu senggang.

Terompong Beruk itu kemudian dilengkapi dengan suling, sejenis kendang (berupa dua ruas bambu yang dipukulkan di tanah), ricik atau cengceng dari besi bekas singkal dan kejen (alat membajak sawah). Dari alat-alat itu terbentuklah sebuah perangkat gamelan  yang masih sangat sederhana namun sangat bermakna dalam mengiringi pementasan tarian sakral pada saat itu.

Seusai upacara besar itu, para pinisepuh Bangle kemudian berembug dengan para prajuru Pura. Mereka mulai berpikir membuat seperangkat gamelan Terompong Beruk yang lebih lengkap dengan bahan-bahan yang ada di dusun mereka. Sebab mereka belum mampu membeli satu perangkat gamelan perunggu yang harganya sangat mahal.

Seperangkat gamelan Gong Beruk pun dibuat oleh warga Bangle. Terompong Beruk itu kemudian dilengkapi dengan Gangsa, Curing, Jublag, Jegog, yang semuanya dibuat dari bilah-bilah kayu lengkap dengan beruk sebagai resonansi suara dan nada. Sedangkan gongnya dibuat dari bilah bambu petung atau kayu lekukun, sedangkan pelawahnya dibuat dari waluh (labu besar) agar menghasilkan suara yang mengalun panjang. Cengcengnya dibuat dari besi bekas singkal dan kejen (alat membajak tradisional).

Menurut Pak Wati, ada beberapa tabuh atau gending yang sering dimainkan dengan menggunakan perangkat Gong Beruk. Nama-nama tabuhnya juga khas dan unik, seperti: Tabuh Gelagah Manis, Tabuh Nem Cenik, Tabuh Nem Gede, Tabuh Kutus Cenik, Tabuh Kutus Gede. Jenis-jenis tari yang sering diiringi dengan Gong Beruk adalah Tari Pendet, Gandrung, Legong Sambeh Bintang, Rejang Lilit, dan Igel Des
Pada mulanya tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan Gong Beruk, hanya dikenal di sekitar Dusun Bangle. Bahkan dusun-dusun di sekitar Bangle pun tidak mengetahui atau mengenal gamelan unik itu. Terompong Beruk mulai dikenal masyarakat luas pada tahun 1979. Saat itu Sekaa (Grup) Terompong Beruk Bangle mewakili Kabupaten Karangasem tampil untuk pertama kalinya dalam Pesta Kesenian Bali di Denpasar.

Keberadaan Terompong Beruk di Bangle tentu membuat bangga warga Bangle karena alat musik itu hanya ada di wilayah mereka. Hal itu diakui oleh Kelian Adat Banjar Bangle, I Nyoman Panda. “Kami bangga mewarisi alat gamelan unik yang hanya ada di Bangle. Kami terus mendorong anak-anak belajar menabuh Terompong Beruk untuk melanjutkan warisan leluhur kami,” ujar Panda.

Sampai saat ini ada sekitar 30-an anak-anak dari Bangle yang ikut pelatihan menabuh Terompong Beruk. Anak-anak tersebut sangat antusias mengikuti pelatihan. Seorang peserta, I Wayan Putu, mengatakan ikut pelatihan Terompong Beruk untuk melestarikan kesenian tersebut. Hal itu ditegaskan oleh I Wayan Suastama dan I Ketut Subawa yang sama-sama ingin memajukan dusunnya dengan tekun berlatih Terompong Beruk. “Kami ingin melestarikan warisan leluhur,” ujar Suastama.

Comments are closed.