Pakeliran Layar Lebar: Kreativitas Wayang berbasis Lokal berwawasan Global

05 February 2010 | Tulisan

Oleh:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

  1. Pendahuluan

Mencermati perkembangan pewayangan di Bali yang terjadi selama beberapa dekade belakangan ini, menjadi jelaslah bahwa motivasi pengembangan-nya masih diliputi rasa ketaqwaan dan rasa estetis secara alami tumbuh pada kebanyakan seniman, tetapi sekarang menjadi semacam tuntutan akademis bagi mereka yang hendak memperoleh pengakuan formalitas pedalangan dari sekolah pemerintah. Berbagai jenis wayang kulit yang telah berkembang di Bali, serta beraneka bentuk dan cerita/lakon (sering disebut “lampahan”) yang kesemuanya itu sangat akrab dengan masyarakat. Catatan yang ada,  kini sudah 8 jenis wayang kulit (tidak termasuk wayang wong dan parwa) sudah berkembang dan menyebar keseluruh pulau Bali. Sebagian tetap mampu berkembang, sebagian melemah dan ada diantaranya sudah punah, namun tidak sedikit telah tumbuh bentuk pakeliran baru seperti, wayang arja; wayang tantri; wayang babad; pakeliran layar berkembang; pakeliran layar ganda; pakeliran padat; pakeliran layar dinamis; wayang golek agung; wayang listrik; pakeliran layar bundar dan lain-lainnya. Memang tumbuh dan surutnya suatu bentuk seni budaya merupakan suatu proses yang wajar, karena masyarakat itu bergerak secara dinamis sesuai dengan tuntutan globalisasi.

Tulisan kecil ini mencoba mengamati eksistensi pakeliran layar lebar karya mahasiswa maupun dosen jurusan Pedalangan STSI/ISI Denpasar, dalam proses  kreativitasnya, masih berpijak pada pola tradisi (lokal) dengan menggunakan media ungkap modern. Eksperimen-eksperimen pewayangan tersebut merupakan bentuk penggalian kemungkinan-kemungkinan garap sebagai sebuah proses kreatif akibat dari penemuan baru dalam bidang teknologi.

II. Pakeliran Layar Lebar: Sebuah Eksperimen Wayang

Memodifikasi bentuk-bentuk cara penyajian wayang kulit Bali sebagai sebuah eksperimen, pertama kali dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa pedalangan dari ASTI/STSI Denpasar. Gagasan untuk menampilkan eksperimen seni pewayangan/ pedalangan sebagai tugas akhir semula muncul dari Prof. Dr. I Made Bandem, mantan Ketua ASTI/STSI Denpasar (sekarang rektor ISI Yogyakarta). Karena disadarinya betapa penting karya-karya inovasi itu untuk kelangsungan dari kreatifitas (karya seni) di bidang pedalangan. Sedangkan perbendaharaan jenis-jenis wayang kulit Bali dilaksanakan pertama kali oleh dalang-dalang profesional dari desa-desa di Bali. Karya-karya eksperimental pewayangan Bali yang dipersembah-kan pertama tahun 1971 oleh I Made Persib, mahasiswa angkatan pertama yang menempuh pendidikan formal jurusan pedalangan di ASTI (STSI) Denpasar, dengan karya pakelirannya berjudul Sapuhleger (Murwakala). Persib memulai penyajiannya dengan pakeliran wayang tradisi, kemudian pada klimak ceritera ketika Bhatara Kala mengejar mangsanya yang tiada lain adiknya sendiri (Rare Kumara), ia mewujudkan tokoh wayang Bhatara Kala dengan manusia tinggi besar (Bp. Sukandia). Pada tahun 1985, Sang Ketut Sandyasa dalam ujian sarjana muda (B.A.) di ASTI Denpasar, juga bereksperimen wayang kulit dengan mengusung ceritera Mitologi Dalang Buricek. Mengawali sajiannya, hadir seorang raja memerintahkan abdi dan rakyatnya untuk tidak tertawa selama dalang menggelar wayang. Segala macam antawacana dan banyol tidak disambut gelak tawa penonton, dalang menjadi sadar bahwa ia sedang “pintonin/dicoba” oleh raja, maka ia memikirkan “daya dadakan” (spontanitas). Dalang Buricek segera mengambil pengutik (pisau belati) dan merobek kelir serta menjulurkan kepalanya yang botak dengan wajah keriput sambil tolah-toleh menampakkan giginya (ngejengit). Menonton gelagat dalang Buricek yang aneh dan lucu tersebut, kontan raja tertawa terbahak-bahak dan saat yang bersamaan rakyatpun ikut tertawa. Akhirnya raja tidak jadi menghukum abdi dan rakyatnya, sekaligus memuji dan mengakui dalang Buricek akan kepintaran dan kepiawaiannya. Pada tahun yang sama, I Nyoman Sedana juga melakukan eksperimen wayang untuk memperoleh gelar sarjana muda ASTI Denpasar, dengan membawakan ceritera Kawit Dalang dengan media wayang lemah. Sedana mengawali sajiannya dengan menggarap kayonan besar (1,5 meter) terbuat dari seng yang ditatah dan ditarikan oleh satu orang. Yang menarik adalah, ia tidak menggunakan kelir dan lampu blencong, tetapi memakai panggung bingkai dengan dekorasi kain dengan ukiran prada persegi empat mengitari kayu bingkai, sehingga wayang, dalang, dan iringannya tampak dari depan.

Seiring dengan perubahan status ASTI Denpasar menjadi STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) tahun 1987, semua lulusannya membuat karya komposisi seni baik jurusan Tari, Karawitan, maupun Pedalangan. Tahun 1988, penulis bersama I Ketut Kodi (angkatan I, S1 Pedalangan) menggarap bentuk revolusioner dalam pewayangan bernama pakeliran layar berkembang dengan judul Anugrah, mengambil lakon Arjuna Tapa (Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa). Pada dasarnya garapan ini menitik-beratkan pada proses ceritera, teknik penggarapan ruang dan waktu termasuk penciptaan suasana dengan membangun layar/kelir yang sangat lebar untuk ukuran wayang tradisi disertai penerangan lampu elektrik. Istilah “berkembang” lebih berkonotasi kuantitatif artinya, mengembangkan, membesarkan, dan meluaskan seni pewayangan. Eksperimen pakeliran ini bertujuan untuk mengembangkan kreativitas untuk mewujudkan pembaharuan dalam seni pertunjukan wayang tradisi dengan membesarkan volume penyajian, meluaskan wilayah pengenalan pakeliran wayang kulit (Kodi dan Wicaksana, 1988: 1-2). Secara bentuk, pengembangan pakeliran jenis ini menggunakan aparatus yang lebih besar lagi dengan digunakannya kelir besar dan lebar (berukuran 5,5 x 3 meter), wayang-wayang dengan ukuran besar dan tinggi (berkisar antara 50 cm sampai 1,15 cm), penggunaan cahaya listrik lewat media overhead proyektor; follow sport dan sport light, iringan non-konvensional (gamelan gong gede) dengan 35 orang penabuh, beberapa orang penggerak wayang (12 orang), dalang (3 orang dalang laki-laki dan 1 orang wanita), dan gerong/sinden. Secara isi, pakeliran layar berkembang memadatkan struktur lakon untuk kepekatan alur dramatik dengan penekanan pada aspek ruang, suasana, waktu, tokoh, tema, dan pesan yang hendak disampaikan.

Pakeliran layar berkembang menjadi perintis/pionir model penggarapan wayang oleh mahasiswa jurusan Pedalangan STSI/ISI Denpasar dikemudian waktu. Pada tahun 1990, I Kadek Widnyana bereksperimen wayang dengan nama Olah Pakeliran berjudul Dhibyacaksu memakai dua kelir (besar dan kecil) ; I Made Setiaria menggarap wayang gabungan bernama Teater Sandi dengan lakon Bima dadi Caru. Berbeda halnya dengan Ni Komang Sekar Marhaeni, seorang mahasiswi pedalangan yang menyelesaikan sarjana seni pedalangannya di STSI Denpasar (1990), menggelar wayang dengan membakar kelir, yang bertajuk Pakeliran Kreasi Baru lakonnya Gopala Maya, berkisah tentang Dewi Parwati (istri Dewa Siwa) melakukan sanggama dengan Gopala untuk mendapatkan susu lembu putih. Pada tahun 1991, I Gusti Putu Sudarta menggarap pewayangan bertitel Pakeliran Padat, berjudul Kama Salah, dengan luas kelir 4 x 2,5 meter serta panggung bisa berputar-putar sehingga pada adegan tertentu bisa berfungsi sebagai dekorasi (saka/pilar). Pada tahun 1992, seniman kreatif I Made Sidia dalam karya eksperimen wayang meluaskan garapannya yang diberi label Pakeliran Dinamis, judulnya Sumbah. Sidia dalam menyajikan alur dramatiknya bersumber pada lakon Bima Swarga, mengolah wayang dua dimensi dengan tiga dimensi dalam media ungkap layar/kelir yang diatur secara dinamis. Sedangkan I Nyoman Sukerta dalam karyanya berjudul Setu Banda, menggunakan dua buah kelir wayang tradisi dipasang berjajar kesamping. Tahun 1995, I Ketut Sudiana, SSn., menciptakan wayang boneka meniru wayang golek Jawa disebut Wayang Golek Gede dengan lakon Bawalaksana, peristiwa penyerangan/ekspansi Patih Gadjah Mada ke Bali untuk menyatukan wilayah nusantara. I Ketut Murtana menata Pakeliran Tunggal bertajuk Mulat Sarira, berkisah tentang Cupak dan Grantang. Untuk membuat wayang-wayangnya, Murtana menggunakan kayu triplex (mirip wayang krucil) berukuran rata-rata tingginya 135 cm., memadukan unsur patopengan, kemudian dipantulkan ke layar/kelir berukuran 6 x 2,60 meter dengan tata cahaya lampu listrik (overhead proyektor), lampu senter, dan obor (1996).

Tahun 1997, I Wayan Meder menggarap pakeliran layar lebar dengan judul Dwi Paksa Tunggal (7.50 x 3.50 cm) dan dua layar kecil (2.50 x 1.60 cm) dipasang harmonis dengan wayang terbuat dari plastik acrylic, sehingga warna lukisan wayang tembus/kelihatan di layar depan. I Nengah Darsana menata layar lebar mengusung sejarah Puputan Badung dengan lakon Bandana Pralaya dengan iringan gamelan Salokat. Darsana mensinergikan wayang kulit hasil pahatannya dengan raja Denpasar dalam tokoh/peran manusia. I Made Sukadana mengangkat ceritera Basur dengan judul Apaksa Kuhira, karya pakelirannya dominan boneka 3 dimensi termasuk pembuatan barong dan rangda. I Ketut Ciptadi, memanfaatkan layar (wing) panggung Natya Mandala sebagai kelir untuk kemudian bermain wayang pada kelir kecil dan peran manusia. Sedangkan I Wayan Sira kembali mengangkat ceritera Calonarang berjudul Wegig Anerang dalam pakeliran layar lebar dengan iringan gong kebyar. Tahun 1999, I Wayan Mardika Bhuwana mengangkat wayang Tantri dengan lakon Kamandaka dalam layar lebar dengan iringan gamelan Semar Pagulingan saih pitu.

Setelah abad XX, tepatnya pada bulan Desember 2000, Ida Bagus Made Arjawa menggarap wayang boneka ala Bali, Wayang Prembon berjudul Budhi Satwam, transformasi dramatari prembon dalam bentuk wayang boneka dengan kostum patopengan dan paarjan (sesaputan). Bahan boneka wayang terbuat dari kayu dan spon dengan iringan gamelan campuran antara semar pagulingan, gong kebyar, kendang sunda, rebab cina. Dalam penyampaiannya menggunakan tembang-tembang (pupuh) Bali dengan bahasa Bali sebagai bentuk dialog/antawacananya. Pada tahun yang sama, seorang mahasiswi pedalangan bernama Ni Nyoman Nik Suasti menggarap wayang boneka dipadu layar lebar dengan iringan gamelan Salokat. Nik Suasti menyunting kisah Asta Basu, lahirnya delapan orang putra dari perkawinan raja Santanu dengan Dewi Gangga, yang kemudian diberi judul Pratiniyata. Tahun 2001, I Gusti Ngurah Artawan membuat layar bundar dikombinasikan dengan tokoh-tokoh tiga demensi (manusia) dengan iringan gamelan gong gede saih pitu. Artawan menguak asal-muasal jagat raya yang dipetik dari lontar Purwaka Bumi. Tahun 2002, hal yang sama juga dilakukan oleh I Nyoman Hermana yang kembali membuka tabir sejarah tradisional “Babad” dalam garapan layar lebar bertajuk Sengit Grigis dengan iringan gamelan Semarandana. Pande Made Rahajeng berangkat dari wayang wong kemudian disinergikan dalam pakeliran wayang kombinasi yang diberi judul Rajya Katunon (2002).

Perkembangan eksperimen yang paling mutakhir dalam pewayangan Bali adalah digunakannya teknologi komputer dan laser compec disc (LCD) untuk memproyeksikan wayang-wayang dan background atau dekorasi seperti hutan, istana, tempat ibadah (pura), taman/kolam dan lain-lainnya. Bentuk eksperimen pakeliran ini dilakukan oleh dosen dan mahasiswa Pedalangan STSI Denpasar ketika perayaan Siwarartri di lapangan Puputan Badung, Denpasar pada Selasa, 12 Februari 2002. Dengan kelir lebar khusus yang terbuat dari bahan plastik berukuran 8 x 4 meter dipasang mirip layar tancap dengan melibatkan crew berjumlah 75 orang, cukup berhasil menyedot ribuan penonton sampai subuh. Ide ini muncul dari keinginnan untuk mengakomodir berbagai kemampuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki kalangan para dosen dan alumnus Pedalangan STSI Denpasar. Kebetulan penulis sebagai koordinator, mengetahui bahwa masing-masing dosen pedalangan memiliki keunggulan tersendiri seperti, kemampuan sanggit/kawi dalang dan antawacana (I Ketut Kodi, SSP., I Ketut Sudiana, SSn; dan I Wayan Mardika Bhuwana, SSn.); keterampilan mengolah tetikesan/sabet (I Kadek Widnyana, SSP,. dan Dru Hendro, SSen,); kejelian menafsir background suasana dan adegan dramatik (I Made Sidia, SSP.); kemahiran visual teknik computer (Drs. Dewa Made Darmawan); kemampuan efek penyinaran dengan scenery (I Wayan Sira, SSn.); kejelian menangkap suasana dan nuansa dramatik dengan instrumen gamelan Semar Pagulingan (I Gusti Putu Sudarta, SSP., dan I Gede Arya Sugiarta, SSKar., M.Hum.); kemampuan sinsitif naratif lewat alunan gending/tembang (Ni Komang Sekar Marhaeni, SSP, dan Ni Ketut Suryatini, SSKar.). Kemampuan mereka bersinergi satu dengan yang lainnya dalam satu sajian yang bertajuk pakeliran layar lebar dengan lakon khusus Lubdaka, berkisah tentang kematian seorang pemburu bernama Lubdaka, rohnya mendapatkan sorga karena tanpa sengaja ia jagra/suntuk pada malam Siwarartri (Kakawin Siwarartrikalpa karya Empu Tanakung).

Pada tahun ini (13 Juli 2004), model penggarapan tersebut di atas, juga berhasil digarap di jurusan Pedalangan dengan melibatkan seluruh mahasiswa jurusan Pedalangan ISI Denpasar yang dibiayai oleh Semi Que V, Prodi Pedalangan ISI Denpasar. Karya pakeliran lebar ini bersetting Babad berjuluk Maling Sakti dengan iringan gamelan Jawa dikomandani oleh kreator dalang I Ketut Sudiana, SSn., dan I Gusti Putu Sudarta, SSP. (dosen jurusan Pedalangan ISI Denpasar). Berkat karya pakeliran tersebut di atas, Bupati Gianyar berkenan menyambut dengan antusias dengan menyumbangkan minansial yang cukup besar sebagai bentuk kepedulian state kepada insan wayang.

Karya-karya eksperimental yang dipersembahkan oleh para insan dalang akademis, menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit Bali sudah ditumbuh-kembangkan dalam dua aspek yakni, aspek isi dan bentuk. Aspek isi, dikembangkan dengan mengadakan penafsiran kembali terhadap plot/pembabakan ceritera-ceritera wayang yang sudah umum dikenal, sehingga dapat disusun struktur narasi baru dari lakon-lakon tradisi. Penyusunan narasi ini sudah barang tentu akan diikuti oleh perubahan alur dramatik, struktur pertunjukan, dan urutan pepeson. Dengan cara-cara seperti ini akan muncul teknik-teknik baru dalam pertunjukan wayang yang belum lazim dalam penyajian tradisi. Sebagai contoh, penggunaan teknik kilas balik (flash back) – dalam pewayangan tradisi, kilas balik biasanya hanya diceriterakan oleh para panakawan, tetapi dalam karya inovasi sering digarap keduanya baik wacana maupun visualnya. Pengembangan aspek isi juga dilakukan dengan cara mementaskan ceritera-ceritera baru yang tidak terdapat dalam repertoar tradisi wayang seperti, lakon Dalem Dukut, Maling Sakti, Sengit Grigis (Babad); Kamandaka (Tantri); Bandana Pralaya (sejarah Bali); Luh Mertalangu (Panji); Gadjah Mada (sejarah Jawa); Dalang Buricek, Murwaka Bumi, Muktipapa (tokoh-tokoh Bangsa/Masyarakat) dan lain-lainnya.

Aspek bentuk, terjadi pada teknik penyajian dan aparatusnya. Salah satu teknik yang paling menonjol ialah, adanya kecendrungan untuk memperkaya dimensi pewayangan dari dua menjadi tiga dimensi, termasuk penggunaan aparatus yang lebih besar seperti, pemakaian layar/kelir lebar, wayang besar, tata lampu modern, ansamble gamelan non-konvesional, dekorasi panggung, scenery, computer, LCD, gerong/sinden, dan jumlah dalang lebih dari satu orang sekaligus. Dengan kondisi seperti ini, peluang untuk memperbaharuhi teknik pementasan wayang kembali semakin bertambah dan berkembang. Salah satu contoh pengembangan yang sangat besar terjadi pada penabuh/pengrawit. Wayang tradisi hanya melibatkan 4 orang juru gender (Bali Utara bahkan 2 orang), wayang ramayana; cupak;calonarang; gambuh; arja; tantri, paling banyak melibatkan 15 orang pengrawit, sedangkan karya eksperimen pakeliran penabuhnya bahkan mencapai 25 sampai 45 orang. Pengrawit ini sering juga ikut bervokal sebagai “chorus” melantumkan beberapa baris paduan suara, yang tidak pernah dilakukan oleh penabuh wayang tradisi. Pengembangan ini terjadi terutama disebabkan oleh mulainya penggunaan gamelan-gamelan yang non-konvensional pewayangan seperti, gamelan gong gede; semar pagulingan; gong kebyar; angklung; palegongan; saron; geguntangan; rindik; Semarandana; gamelan Jawa; gamelan salokat dan yang lainnya. Penggunaan iringan tersebut sudah barang tentu akan mengubah pola teknik menabuh, memperbaharui repertoar gending, laras dan warna vokal pedalangan yang saling menyesuaikan. Dua orang tututan/ katengkong (asisten) secara tradisional mampu membantu dalang menyiapkan wayang dan memantau posisi kelir, kropak/gedog (kotak), dan lampu blencong, ternyata dalam penyajian karya pewayangan inovatif sudah tidak memadai lagi, sehingga beberapa orang asisten harus disediakan khusus untuk menangani wayang dan perlengkapannya. Pembengkakan jumlah katengkong/asisten dalang sejalan dengan pengembangan aparatus pertunjukan wayang eksperimentasi.

Kadek Suartaya, S.Skar., M.Si., dalam sebuah tulisannya menyebutkan, karya-karya pewayangan yang digagas oleh seniman akademis merupakan sebuah reinterpretasi estetik yang berangkat dari estetika wayang tradisi Bali dengan semangat inovasi, ditransformasikan menjadi sebongkah media komunikasi seni. Selanjutnya ia mengatakan berbagai kemungkinan teknik seni yang digali dan dieksplorasi yang pernah dilakukan (sudah dirintis hampir 16 tahunan), merupakan eksperimentasi dengan nuansa tradisi dengan cara mengkolaborasikan dari berbagai seni pertunjukan Bali lainnya (Bali Post, 17 Feb. 2002: 5). Hal senada juga dikatakan Rustopo, SKar., MS. (1991: 1), bahwa konsep garapan baru atau karya eksprementasi tersebut di atas adalah bentuk-bentuk pengembangan karya seni yang didasarkan atas konsep-konsep karya seni dari vokalbuler seni tradisi. Pengertian “baru” bukan berarti suatu perombakan secara total terhadap bentuk-bentuk seni tradisi, sifat-sifat dan warna tradisi tetap menonjol, tetapi nilai yang terkandung dan karakter ekspresinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan masa kini. Konsep-konsep pembaharuan yang mendasari karya-karya/garapan seni kampus menunjukkan adanya kelentikan, kebebasan, dan kreativitas, sehingga ciri-ciri ini identik dengan sifat kampus sebagai lingkungan dimana kebebasan mimbar-akademik menjadi ciri utama.

III. Identitas Lokal, Watak Global

Mempersoalkan identitas ditengah percaturan budaya global, secara sederhana dapat dilacak jawabannya melalui karya-karya para seniman kreatif. Peristiwa sehari-hari, persoalan kemasyarakatan, kondisi sosial, politik, atau ekonomi, atau persoalan masyarakat internasional, dapat diungkapkan dengan bahasa-bahasa lokal. Pengertian lokal/tradisi kiranya sudah diketahui secara umum sebagai salah satu tatanan nilai dari sebuah masyarakat yang berlangsung dalam perjalanan waktu yang cukup lama, sehingga menjadi sebuah kebiasaan secara turun-temurun. Kebenaran tata nilai ini diyakini sebagai hal yang baik sehingga dikerjakan dan dipertahankan dengan suka rela oleh masyarakat pendukungnya tanpa ada unsur paksaan (Kasidi, 1999: 2). Dalam hal inilah, tradisi itu dengan sendirinya menjadi pranata sosial yang menjadi salah satu unsur munculnya budaya tertentu. Salah satu pranata sosial yang berkaitan dengan masalah ini adalah fungsi keperluan masyarakat untuk menghayati rasa keindahan dan rekreasi atau disebut dengan istilah aestetic and recreational institutions.

Analogi dengan hal tersebut di atas, tidaklah aneh seni pewayangan dan jagad pedalangan begitu dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, yang bersumber dan berakar dari nilai-nila moral budaya para leluhur, serta telah dirasakan sebagai milik bersama masyarakat pendukungnya. Bentuk garap jenis kesenian tradisional ini didasarkan pada cita-cita masyarakat meliputi, tata nilai, pandangan hidup, filosofi, rasa estetik, etika dan ungkapan-ungkapan lingkungan hidup tertentu sesuai dengan lokal genius yang menopangnya. Selanjutnya dituangkan ke dalam format seni pewayangan sebagai wahana simbolik pendukungnya, oleh Ernest Cassirer seperti dikutip Kasidi menyebutnya sebagai human simbolicum (ibid.). Pijakan ini rupa-rupanya dipertahankan sesuai dengan gerak langkah maju perkembangan jaman di satu sisi dan tuntutan keinginan masyarakat di pihak lainnya.

Mencermati kondisi masa kini, para dalang baik di Jawa maupun di Bali mencoba berusaha mempertahankan habitat kesenian wayang dengan daya kreativitasnya mencoba berinovasi dengan hal-ihkwal yang berbau kekinian dengan pertimbangan bisa eksis. Mereka berhasrat menumbuh-suburkan kegairahan wayang agar tidak tercerabut bahkan punah dari generasi kini yang sudah tak lagi meliriknya. Namun, ketika ia berinovasi atau memunculkan pembaharuan-pembaharuan, dibalik itu muncullah pro dan kontra. Beberapa seniman konservatif memandang bahwa pertunjukan wayang kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri kreatif yang tumbuh pada sebagian seniman (khususnya dalang) masih terus berkembang dengan menyajikan karya-karya inovasi. Namun kalau ditelusuri lebih detail, secara emperik ada perkembangan yang signifikan sebagai dampak sikap dan proses kreatif seniman penciptanya.

Pakeliran layar lebar sebagai karya inovatif adalah sebuah proses kreatif, karenanya seniman (dalang) terdorong untuk menangkap respons-respons kreatif melalui pengalaman-pengalaman yang dapat memperkuat kreativitas antara lain, pengalaman eksploratif, improvisasi, serta forming/pembentukan atau komposisi.  Layar lebar membuktikan sinerginya budaya lokal/tradisi dan modern, walaupun keduanya masih saling tumpang tindih oleh karena masih berupa proses adaftif. Sebuah contoh, efek penyinaran listrik masih dianggap wantah/terang-benderang dibandingkan dengan efek lampu blencong yang memiliki aura magis. Dalang sebagai pemegang otoritas pertunjukan wayang perlu kerjasama dengan seorang  ahli elektrik, untuk memodifikasi efek sinar listrik mendekati sama efeknya dengan lampu blencong yakni bisa redup dan sedikit bergetar. Tidak saja dalam hal fisikal, juga wacana-wacana sebagai aspek isi yang bermuatan lokal (satyam, siwam, sundaram) ditransfomasikan kedalam menjadi nilai estetika, etika, dan logika dengan mencermati fenomena-fenomena kekinian. Bila dicermati secara mendalam tentang aspek-aspek yang dimiliki oleh wayang sebagai sebuah wujud seni tradisi, ia mempunyai kekuatan spiritual (mental) maupun material (fisikal) yang merupakan kaidah-kaidah universal yang berlaku disemua bentuk ekspresi seni pertunjukan. Sebuah kekuatan lokal yang sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global) (Bandem, 2000: 32-33).

Interaksi budaya berkembang kian cepat dan meluas, tidak saja antara budaya Bali (Indonesia), juga dengan unsur-unsur budaya asing. Keadaan ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh karena sementara budaya lokal/nasional masih belum mantap, budaya asing mengalir deras dengan segala dampaknya. Perubahan sistem sosial ekonomi, kemajuan teknologi dan cepatnya arus komunikasi mendorong masyarakat dunia memasuki era globalisasi. Pada era inilah membuka peluang luas bagi unsur-unsur budaya asing untuk masuk dan akrab dengan masyarakat Bali (Indonesia). Sudah barang tentu unsur-unsur budaya asing itu ada pula manfaatnya, disamping dampak negatif yang dapat ditimbulkannya. Wayang merupakan aktualisasi konsep kehidupan yang abstrak yang disajikan sebagai ajaran moral, oleh karena itu pakeliran layar lebar yang banyak mengadofsi teknologi modern, diharapkan tetap mematri ungkapan nilai budaya lokal disamping informatif dan edukatif dengan dua paradigma “tontonan dan tuntunan”. Dengan kemampuan semacam ini, akan membuktikan bahwa seni pedalangan/pewayangan sebagai salah satu seni tradisi mempunyai peran dalam proses globalisasi.

IV. Simpulan

Karya-karya eksperimental wayang yang dipersembahkan oleh para insan dalang akademis, dikembangkan dalam dua aspek yakni, aspek isi dan bentuk. Aspek isi, dikembangkan dengan mengadakan penafsiran kembali terhadap plot/pembabakan ceritera-ceritera wayang yang sudah umum dikenal, sehingga dapat disusun struktur narasi baru dari lakon-lakon tradisi. Aspek bentuk dikembangkan dari teknik penyajian dan aparatusnya. Salah satu teknik yang paling menonjol ialah adanya kecendrungan untuk memperkaya dimensi pewayangan dari dua menjadi tiga dimensi. Inovasi bentuk pewayangan juga terdapat pada penggunaan aparatus adalah pemakaian layar/kelir besar, wayang besar, tata lampu modern, ansamble gamelan non-konvesional, dekorasi panggung, scenery, computer, LCD, gerong/sinden, dan jumlah dalang lebih dari satu orang sekaligus. Dengan kondisi seperti ini, peluang untuk memperbaharuhi teknik pementasan wayang semakin bertambah dan berkembang.

Semakin besar minat untuk mengembangkan ide-ide pewayangan, maka semakin besar pulalah kepedulian seniman (dalang) mempertimbangkan aspek-aspek keindahan dan logikanya. Ide yang mengarah pada aspek keindahan, sekiranya sudah banyak diolah dalam struktur pertunjukannya, sedangkan dari aspek logika akan terwujud melalui kecendrungan meliput gejala-gejala sosial untuk diangkat dalam pakeliran. Munculnya lakon-lakon wayang yang bertemakan kerakyatan berpeluang besar menguak peristiwa aktual yang sedang dan akan terjadi pada masyarakat kini sebagai konskwesi globalisasi.

DAFTAR BACAAN

Bandem, I Made , 2000. “Melacak Identitas di Tengah Budaya Global”, dalam MSPI, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X/2000, Penerbit Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.

______________ dan I Nyoman Sedana, M.A., 1993. Pertunjukan Wayang Kulit Bali antara Tradisi dan Inovasi, Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Wayang Kulit, Pesta Kesenian Bali XV, Denpasar.

Djelantik, A. A. M., 1994. “Peranan Estetika dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 2, Th. II, STSI Denpasar.

Hadi, Sumandio., 1991. Pengembangan Kreativitas Tari, Seminar Nasional Pendidikan Seni dan Globalisasi Budaya, ISI Yogyakarta.

Hastanto, Dr. Sri., 1988. Wayang Kulit: Ke-Adiluhungan-nya, Profesionalisme, dan Prospek Masa Depan, Makalah disajikan pada Sarasehan Wayang Senawangi, TMII Jakarta.

Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat, PT. Sinar Harapan, Jakarta.

Kodi, B.A., I Ketut, dan I Dewa Ketut Wicaksana, B.A., 1988. Pakeliran Layar Berkembang “Anugrah”, Skrip Pedalangan, STSI Denpasar.

Kasidi Hadiprayitno, 1999. Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan Gagrag Yogyakarta, Makalah disampaikan pada Sarasehan Wayang Indonesia, Jakarta.

Marhaeni, Ni Komang Sekar., 1990. Pakeliran Kreasi Baru “Gopala Maya”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Meder, I Wayan., 1997. Dwipaksa Tunggal, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Mulyono, Ir. Sri., 1978. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.

Murgiyanto, Sal., 2000. “Koreografi dan Kreatifitas”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya STSI, no. 8, th. VIII, Denpasar.

Murtana, I Ketut., 1996. Pakeliran Tunggal “Mulat Sarira”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Sedyawati, Edi., 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.

Setiaria, I Made., 1990. Teater Sandi “Bima dadi Caru”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Soetarno, 1988. Perspektif Wayang dalam Era Modernisasi, Pidato Dies Natalis XXIV ASKI Surakarta.

Sudarta, I Gusti Putu., 1991. Pakeliran Padat “Kama Salah”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Sudiana, I Ketut., 1995. Wayang Golek GedeBawalaksana”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Wicaksana, I Dewa Ketut., 2000. “Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan/Pewayangan Bali”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, no. 8, Th. VIII, STSI Denpasar.

____________________, 1997. Wayang Sapuh Leger: Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali, Thesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Pasca-Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Widnyana, I Kadek., 1990. Olah Pakeliran “Dhibyacaksu”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.


[*]Makalah disampaikan pada Seminar Program Semi Que V,  Program Studi Pedalangan ISI Denpasar, Kemis, 14 Oktober 2004 di Kampus ISI Denpasar.


Comments are closed.