Makna Kerakyatan dalam Ceritera Aji Saka

Makna Kerakyatan dalam Ceritera Aji Saka

Oleh:

IDewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

Diceriterakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Kemudian negeri itu termasyur sampai kemana-mana. Kabar kemasyuran Medangkemulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengetahuan Sembada, ia pergi ke Medangkemulan. Di  hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut. Dora lalu diperintahkan untuk menjemput Sembada, jika Sembada tidak mau, keris dam perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkemulan. Namun, Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan mempertahankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka. Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya. Oleh karena seimbang kesaktiannya, mereka akhirnya mati ber-sama-sama. Ketika mendapatkan laporan tentang kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke pulau Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, Aji Saka menciptakan sastra dua puluh yang dinamakan sastra sarimbangan atau sering disebut sastra hanacaraka, terdiri dari: ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga.

Berdasarkan persepsi dan penafsiran, ceritera tersebut di atas meng-ungkapkan tiga makna yaitu: (1) makna fiktif, (2) makna simbolik, dan (3) makna filosofis. Makna fiktif “ha-na-ca-ra-ka” adalah makna aksara tersebut dalam kaitannya dengan ceritera kawian (rekaan), yang dihubungkan dengan kisah atau legenda Aji Saka. Sesungguhnya makna fiktif ceritera tersebut diungkapkan cukup sederhana sekali dan biasanya dikutip untuk bahan bacaan anak-anak. Walaupun kisah ini memperlihatkan penggalan suatu riwayat (ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga: ada utusan, sesudah itu bertengkar dan berkelahi, keduanya sama kuat, hingga menjadi bangkai). Namun, ungkapan tersebut memberi kesan dan isyarat hingga kehidupan kenegaraan (yang dipimpin oleh seorang raja, ada wilayahnya, dan ada rakyatnya). Makna simbolik kisah Aji Saka dan kedua abdinya, Dora dan Sembada sebagai raja yang mempunyai pembantu, punggawa, dan menteri sebagai nayaka, serta prajurit sebagai penjaga keamanan dan ketentraman negara termasuk olah keprajuritan bagi semua aparat, amatlah penting sehingga mereka memiliki tingkat kemampuan dalam kepamongprajaan dan keprajuritan. Pada suatu ketika di antara mereka ada yang diserahi tugas tertentu dan ada yang diserahi tugas lain. Namun, tugas-tugas itu saling bersentuhan sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang hebat, berakibat akan membawa perselisihan tanpa ada pelerainya, akibatnya kedua belah pihak bentrok.

Makna ungkapan di atas memberikan pelajaran yang mengharuskan seorang pemimpin untuk (a) bertindak arif dan bijaksana, berwawasan luas dan tepat dalam memilih pembantu-pembantunya; (b) membagi tugas dengan jelas sehingga tidak  menimbulkan salah tafsir; (c) menunjuk petugas yang layak; (d) selalu mengontrol pelaksanaan tugas; (e) membimbing dan memperbaiki kekeliruan; dan (f) menghindari jatuhnya korban akibat ke-lalaian. Demikian pula sebagai seorang pembantu/bawahan, mereka harus: (a) setia kepada perintah; (b) berdisiplin; (c) bersikap ksatria atau perwira; dan (d) siap meningkatkan kemampuan dan siap menanggung resiko.

Ditinjau dari huruf dan cara penulisannya, aksara “ha-na-ca-ra-ka” (yang ditulis dengan aksara Jawa atau Bali) bermakna simbolik. Pada dasarnya aksara Jawa atau Bali adalah huruf hidup. Ia menjadi mati apabila dipangku karena aturan penulisannya menggatung pada lapisan atas dan tidak terletak pada lapisan bawah. Hal ini merupakan simbol yang mengingatkan orang, terutama kalangan atas, agar tidak lupa diri, terlena oleh pangkuan derasnya arus globalisasi budaya yang datang melanda dengan berbagai sosok dan atributnya. Makna filosofisnya adalah makna yang berdasarkan pada filsafat yakni pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Berfilsafat berarti melakukan kegiatan analitis, normatif, evaluatif, fenomenologis, dan simplikasi dari kehidupan yang amat kompleks. “Ha-na-ca-ra-ka” oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai karya susastra, syair yang memiliki keindahan khusus, selain bermakna fiktif dan simbolis, juga bermakna filosofis. Sehubungan dengan itu ada beberapa orang menafsirkan atau mengungkapkan filsafat “Ha-na-ca-ra-ka” berdasarkan persepsi mereka masing-masing. Persepsi yang beranekaragam itu adalah wajar-wajar saja karena “Ha-na-ca-ra-ka” memang merupakan ide yang terbuka sehingga mampu menampung interpretasi baru mengenai kandungan makna dari berbagai aspeknya.

Secara kerata basa (Jarwa dasa), yakni dengan cara menelusuri suatu ungkapan dari bagian suku katanya, “ca-ra-ka” bermakna cipta, rasa, dan karsa karena keduanya memiliki unsur (fonem) yang sama, yakni /c/, /r/, dan /k/. Sebagai sebuah karya sastra, “Ha-na-ca-ra-ka” bermakna hukum kodrat sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup). Soenarto Timoer, seorang pakar pedalangan memformulasikannya kedalam untaian kalimat Jawa Kuna sebagai berikut : Ha-na-ca-ra-ka: hananing cipta rasa karsa; da-ta-sa-wa-la: ndatan salah wahyaning lampah; pa-dha-ja-ya-nya: padhang jagate yan nyurupang; ma-ga-ba-tha-nga: marang gambaraning bhatara ngaton. Keseluruhan kalimat di atas dapat diartikan bahwa, manusia hidup yang dilengkapi dengan cipta, rasa, dan karsa itu sudah digariskan secara kodrati, tidak menyalahi laku kehidupan. Manusia diciptakan dengan kasih Tuhan, namun sebagai manusia harus menyadari kepentingan sesama hidup lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, makna kerakyatan dalam ceritera Aji Saka adalah kebijaksanaan lebih tinggi dari sebuah keputusan.

HAPRASIKA adalah kependekan dari:

Hana sira ratu dibya rengen;

Prasasta ring rat;

Sida para ratu prajaya;

Kadga kagenog ya sewa;


Wayang Kulit Bali: Masa Kini dan Masa Datang

Wayang Kulit Bali:

Masa Kini dan Masa Datang[1]

Oleh:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.[2]

I. Pendahuluan

Mencermati kondisi masa kini, para dalang di Bali mencoba berusaha mempertahankan habitat kesenian wayang dengan daya kreativitasnya mencoba berinovasi dengan hal-ihkwal yang berbau kekinian dengan pertimbangan bisa eksis. Mereka berhasrat menumbuh-suburkan kegairahan wayang agar tidak tercerabut bahkan punah dari generasi kini yang sudah tak lagi meliriknya. Namun, ketika ia berinovasi atau memunculkan pembaharuan-pembaharuan, dibalik itu muncullah pro dan kontra. Beberapa seniman konservatif memandang bahwa pertunjukan wayang kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri kreatif yang tumbuh pada sebagian seniman (khususnya dalang) masih terus berkembang dengan menyajikan karya-karya inovasi.

Meneropong masa depan kesenian wayang di dalam konteks arus globalisasi dewasa ini, menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan berbagai optimisme, sekaligus pesimisme. Optimisme itu muncul, disebabkan globalisasi dianggap dapat memperlebar `cakrawala` kebudayaan dan kesenian, yang kini hidup di dalam sebuah `pergaulan` global, sehingga semakin terbuka peluang bagi penciptaan berbagai bentuk, gagasan, atau ide-ide kebudayaan dan kesenian yang lebih kaya dan lebih bernilai bagi kehidupan itu sendiri. Akan tetapi pesimisme itu muncul, mengingat bahwa proses globalisasi dianggap tidak dengan sendirinya menciptakan pemerataan dan kesetaraan dalam setiap bentuk perkembangan, termasuk perkembangan kebudayaan dan kesenian (wayang).

II. Ideologi Seniman (Dalang)

Globalisasi sering diterjemahkan sebagai gambaran dunia yang lebih seragam dan terstandar melalui teknologi, komersialisasi, dan sinkronisasi budaya yang dipengaruhi oleh Barat. Oleh karena itu, globalisasi erat kaitannya dengan modernitas. Namun dalam perkembangannya, konsep globalisasi masih menjadi perdebatan karena dipahami secara bervariasi, karena setiap pakar mempunyai cara pandang dan argumentasinya sendiri tentang globalisasi. Menurut Jan Nederveen Pieterse, seperti dikutip M. Jazuli menyebutkan bahwa konsep globalisasi sebagai hibridisasi yakni budaya baru sebagai hasil saling silang atau pencangkokan dari berbagai budaya, transisi dari berbagai sumber budaya, dan pengemasan baru dari budaya lama (2000: 91-98). Analogi dengan hal tersebut di atas, ada masalah mendasar selain pergeseran nilai yang disebabkan oleh perubahan kondisi struktural, yakni semakin berkembangnya cara pandang dan kepentingan seniman (dalang) dalam kerangka global. Perkembangan tersebut terkait dengan ideologi seniman meliputi 3 (tiga) varian yakni, konservatif, progresif, dan pragmatis. Setiap kategori akan dilihat dari beberapa indikator yaitu, orientasi, format sajian, hubungan dengan penikmat, profesionalisasi, tantangan, dan strategi seniman (Jazuli, ibid).

Pertama, seniman (dalang) berideologi konservatif, cendrung berorientasi pada masa lampau dengan tujuan preservasi. Kelompok dalang ini mempunyai kepentingan untuk memperoleh prestise dengan format sajian pakelirannya masih tampak konservatif atau tradisional (relatif sederhana) dengan memanfaatkan teknologi yang relevan dalam jangkauan lokal. Posisi ini terjadi pada dalang tradisional (otodidak) yang banyak bertebaran di desa-desa di Bali. Dalang dalam hubungan dengan penonton sebagai akomodator yaitu, mengkomunikasikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan (sering ritual dan agama) serta menyesuaikan dalam kesatuan sosial (menghindari konflik). Tingkat profesionalismenya cendrung defensif, persaingan terjadi dalam tataran internal. Tantangan yang dihadapinya adalah tuntutan perubahan yang mengakibatkan krisis vitalitas dan intensitas, sedangkan jaringan (sistem) yang ada tidak berfungsi, tak mampu mengeliminasi keadaan. Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantangan oleh kelompok dalang ini, di antaranya adalah tetap mengikuti konvensi yang berlaku, mengadakan kaderisasi (pembinaan) secara terus menerus, melakukan pergelaran secara rutin, dan memanfaatkan teknologi yang relevan. Positifnya, dalang-dalang konservatif yang banyak melestarikan keberadaan wayang kulit Bali sehingga bisa utuh sampai saat ini, seperti wayang kulit parwa, wayang kulit ramayana, wayang kulit gambuh, wayang kulit calonarang, dan wayang kulit cupak.

Kedua, berideologi progresif adalah kategori seniman/dalang yang berorientasi masa depan, dengan tujuan menawarkan alternatif. Kepentingan dalang seperti ini adalah pengenalan dan reputasi. Munculnya wayang kulit arja, wayang kulit tantri, wayang kulit babad, dan pakeliran layar lebar merupakan produk pakeliran dengan format sajian karyanya lebih bersifat inovatif dan hibrid. Format penyajiannya berbeda, namun prototipe wayangnya (kecuali wayang kulit arja) mendekati sama dengan wayang tradisi karena berupa vokabuler yang bersifat konvensional, sedangkan yang baru adalah repertoarnya (lakon dan iringannya). Sekalipun penggagas genre wayang tersebut di atas (I Made Sidja, I Wayan Wija, dan I Ketut Klinik) adalah dalang otodidak, namun mereka itu adalah sosok seniman dengan wawasan sangat luas dan profesional, serta banyak bersentuhan dengan dunia luar. Kehadiran wayang itu mendapat sambutan yang sangat presentatif dari masyarakat Bali yang selalu respon terhadap kesenian tradisi yang inovatif. Tantangan yang dihadapinya adalah belum memiliki jaringan yang kuat, artinya belum banyak dalang di Bali yang menekuni jenis wayang tersebut, dan wilayah penyebarannya masih terbatas. Sekalipun state (Dinas Kebudayaan Propinsi Bali) memplopori dengan event festival wayang arja (1998), festival wayang tantri (1999), dan parade wayang babad (2000), namun ia hanya sebatas pengenalan. Hal yang sama juga terjadi pada penyajian pakeliran karya seniman akademis. Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut, baik pemerintah maupun penggagas yakni proaktik dan kreatif, mencari alternatif lain atau penafsiran baru dari karya yang sudah ada. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan eksperimen secara terus menerus sebagai bentuk penawaran dari sejumlah kemungkinan, meningkatkan wawasan, menjalin dan membangun relasi, memanfaatkan berbagai kekuatan produksi (sumber daya manusia), serta berupaya menguasai teknologi yang ada.

Ketiga, berideologi pragmatis, dalang yang cendrung berorientasi masa kini. Kelompok seniman ini selalu mencari keseimbangan (moderat) dan melayani kepentingan serta selera massa/pasar (ambivalen). Adapun tujuan kelompok dalang moderat adalah prestise dan komersial, sedangkan seniman ambivalen adalah reputasi dan komersial. Format sajian (moderat dan ambivalen) cendrung glamor, spektakuler, sensasional, hibrid (pencangkokan berbagai unsur), asal beda, asal laku (Jazuli, op. cit: 99). Sekitar tahun 1970-an di Bali, sempat geger dengan kehadiran pakeliran gaya dalang I Ketut Rupik (70 tahun) yang disebut nyeleneh/soleh (lain dari kebiasaan/tradisi) dalam mementaskan wayang baik tempat pementasannya maupun tuturan/antawacananya. Rupik yang terkenal dengan julukan “dalang wakul”, adalah dalang otodidak namun melek dengan kondisi kini, penyajian pakelirannya teradopsi oleh aneka budaya dari pop hingga klasik. Rupik sadar bahwa, wayang sudah menjadi barang komoditi, ia melihat dan berfikir tentang gejala pangsa pasar, maka ia berusaha terus bersinggungan dengan budaya-budaya global yang sangat amat deras menjejali ruang dan waktu saat ini. Ia mengangkat isu-isu aktual disela-sela ceriteranya yang kontekstual dengan masyarakat penonton, maka sajian pakelirannya disebut `berita dunia II` setelah berita dunia pertama pada layar kaca (TV). Ia tidak menampik bahwa, sajian pewayangannya rada nyeleneh, mengeksploitasi sex dan humor, menyalahi pakem/wimba dan lain sebagainya. Baginya “biarkan anjing mengonggong kafilah tetap berlalu, yang penting penonton tidak berlalu” (Wicaksana, 1999: 1-3).

Dalang I Wayan Nardayana (39 tahun) yang dikenal `dalang Cenk Blonk` juga yang dianggap kesenian `ngepop` dalam tradisi pewayangan di Bali, karena pakelirannya dikemas ringan petuah/tutur dan lebih menonjol-kan humor yang sifatnya menghibur. Sesungguhnya struktur pementasan-nya tradisi, namun yang membedakan adalah musik pengiringnya merupakan gabungan dari instrumen non-konvensional seperti, gamelan batel suling dipadu dengan gemelan gender rambat (unsur palegongan); cengceng kopyak (unsur balaganjur); rebab (unsur gambuh); dan kulkul bambu (unsur tektekan). Untuk mencapai kualitas sajiannya, ia merangkul seniman-seniman akademis ikut menggarap komposisi karawitan, panggung kelir dirancang knout down dengan ukiran kayu gaya Bali, efek sinar listrik, teknik tetikesan (sabet), dengan harapan pagelarannya menjadi semarak dan memikat. Tak cukup suara gamelan yang dipikirkan, ia memasukkan gerong (Jawa, sinden), suara vokal `chourus` yang ditembangkan oleh empat wanita sebagai fungsi narasi baik saat mulai pertunjukan (pategak/talu), adegan petangkilan (sidang), rebong (adegan romatis) tangis/mesem (sedih), dan akhir pertunjukan (ending). Yang menonjol penyajiannya, Nardayana mengangkat isu sosial aktual masa kini mendominasi gaya pakelirannya lewat tokoh rakyat bernama Nang Klenceng dan Pan Keblong, dua panakawan `sisipan` dengan dialek (logat/aksen) khas daerah Tabanan. Pada awalnya banyak mengeksploitasi humor yang bernada pornografi seperti halnya dalang Wakul pendahulu-nya, sehingga penonton hanya menanti-nantikan panakawan (Ceng-Blong) yang akan memainkan berbagai strategi humor semisal sex dan per-selingkuhan. Namun begitu terkenal, ia tidak larut dan mulai mengurangi unsur pornografi dengan cara mengemas humor-humor isu sosial pilitik yang tengah aktual di masyarakat. Secara intensitas, ia melakukan sistem paket dalam kemasan penyajiannya, dengan struktur dan isi serta waktu yang ketat dan tepat. Maka tak heran Nardayana bisa pentas dua kali dalam semalam dan penonton selalu membanjirinya, terutama anak muda (Wicaksana, 2000: 61-63). Model yang sama juga dilakukan oleh `dalang Joblar` (I Made Nuada), dalang muda dari daerah Badung. Kehadiran kedua dalang muda berbakat ini dianggap sebagai kesenian “pinggiran”, sebagai media alternatif untuk menggairahkan kembali seni pewayangan di Bali yang lesu dan sepi penonton.

Mengamati penyajiannya, ada kecenderungan para dalang tersebut sangat kondusif dan sinergi yaitu, mengimbangkan antara tuntutan situasi dengan norma dan komitmennya, namun senantiasa merespon fenomena yang nge-trend, asal beda. Tantangan yang dihadapinya diantaranya, harus selalu mempertahankan vitalitas dan intensitas sesuai tuntutan, harus produktif dan menarik penggemar agar laku, piawai mencari dan mengantisipasi peluang pasar, menjalin relasi, dan memanfaatkan berbagai sumber kekuatan produksi. Strategi yang dilakukan oleh kelompok dalang ini adalah menjawab tantangan tersebut, terutama lewat pemanfaatan berbagai bidang keahlian serta memanfaatkan teknologi sesuai perkembangan jaman bagi proses produksinya. Sekalipun moderat dan ambivalen, mereka berkomitmen untuk tetap mengutamakan nilai keseimbangan, sambil melayani berbagai kepentingan dan selera pasar.

III. Dialektika Wayang

Wayang sebagai karya seni kolektif mempunyai hubungan dialektika antara tradisi, inovasi, partisipasi, dan profesi. Hal tersebut menandakan bahwa keberadaan wayang dan dalang tak terlepas dengan bidang kehidupan lainnya. Dalam konteks kehidupan tradisional dapat dijabarkan sebagai berikut, (1) hubungan antara seni tradisi dan inovasi memerlukan pengaturan atau sistem manajemen; (2) hubungan antara inovasi dan partisipasi membutuhkan pengkayaan dan rekayasa; (3) hubungan antara partisipasi dengan profesi dijembatani oleh legalitas; (4) hubungan antara tradisi dengan profesi dimediasi oleh tatanan etis dan normatif; (5) hubungan antara tradisi dengan partisipasi memerlukan subsidi; dan (6) hubungan antara inovatif dengan profesi memerlukan proaktif dan kreatif. Penentuan tersebut didasarkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah orientasi, tujuan, kemampuan memformat sajian, respons terhadap penonton (konsumen), profesionalisasi, tantangan yang dihadapi dan strategi untuk mengatasinya (Jazuli, op. cit: 100).

Terjadinya kolaborasi dan penggunaan teknologi modern dalam pewayangan, merupakan salah satu bentuk kreativitas dengan tidak mengurangi nilai yang dikandung oleh karya tersebut sebagai hasil karya cipta seni karena pedoman budayanya tetap berakar pada seni budaya Bali. Penggunaan teknologi modern dalam penggarapan atau penciptaan karya seni dianggap hanya sebagai salah satu elemen dalam memberikan suasana estetik terhadap karyanya. Dengan demikian penyelamatan dan pengembangan kesenian Bali memang menyatu antara kebutuhan masyarakat, pemerintah, dan konsumen seni di Bali. Menyatunya dukungan tersebut telah terbukti sampai sekarang Bali tetap dikenal oleh masyarakat dunia sebagai daerah seni yang memiliki aneka ragam kesenian dari yang berfungsi ritual dan seni yang bersifat hiburan sampai pada seni kontemporer (Seramasara, 2004: 88).

Bila dicermati secara mendalam tentang aspek-aspek yang dimiliki oleh wayang sebagai sebuah wujud seni tradisi, ia mempunyai kekuatan spiritual (mental) maupun material (fisikal) yang merupakan kaidah-kaidah universal yang berlaku disemua bentuk ekspresi seni pertunjukan. Idealnya, pertunjukan wayang melibatkan 4 (empat) sifat seperti, emosional (rasa); fisikal (indra); spiritual (jiwa); dan intelektual (pikiran). Sebuah kekuatan lokal yang sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global) (Bandem, 2000: 32-33). Wayang merupakan aktualisasi konsep kehidupan yang abstrak yang disajikan sebagai ajaran moral, karenanya pakeliran yang banyak mengadopsi teknologi modern dan atau pakeliran masa depan, diharapkan tetap mematri ungkapan nilai budaya lokal disamping informatif dan edukatif yakni “identitas lokal, watak global”

Sebuah anjuran yang arif nan bijaksana dari seorang seniman birokrat, Sri Hastanto mengatakan, melihat globalisasi, industrialisasi, modernisasi sebagai suatu kesempatan bukan sebagai suatu ancaman. Bahkan kita harus menggunakan teknologi modern itu untuk wahana mempersiapkan calon-calon anggota masyarakat pewayangan itu untuk mengembangkan lembaga kritik pedalangan/pewayangan yang harus disosialisasikan secara nyata. Masyarakat kini sudah membutuhkan hal-hal yang membumi, yang riil, bukan sekedar hal-hal yang normatif saja (1998 : 6-8).

IV. Simpulan

Semakin besar minat untuk mengembangkan ide-ide pewayangan, maka semakin besar pulalah kepedulian seniman (dalang) menimbang aspek-aspek keindahan dan logikanya. Ide yang mengarah pada aspek keindahan, sekiranya sudah banyak diolah dalam struktur pertunjukannya, sedangkan dari aspek logika akan terwujud melalui kecendrungan meliput gejala-gejala sosial untuk diangkat dalam pakeliran. Munculnya lakon-lakon wayang yang bertemakan kerakyatan berpeluang besar menguak peristiwa aktual yang sedang dan akan terjadi pada masyarakat kini sebagai konskuensi globalisasi. Kekuatan yang ada pada seni pewayangan, telah memberikan nilai sejarah dan sumber penggarapan seni untuk dikembangkan sebagai kekayaan budaya yang dapat menata kehidupan masyarakat baik secara moral maupun material. Pengembangan seni pewayangan diharapkan akan tetap mempunyai arah karena memiliki pedoman budaya yang hidup dan dapat dijadikan sumber penciptaan atau penggarapan karya seni.

Sebagai seniman, dalang memiliki posisi ganda, yakni sebagai aktor yang bermain dan sebagai agen yang berperan. Dalang sebagai aktor dapat berpikir dan bertindak atas kehendak bebas, sedangkan dalang sebagai agen selalu terkonstruksi oleh norma dan nilai tertentu dalam lingkungannya. Dengan kata lain, bahwa dalang bukanlah hamba struktur yang pasif melainkan agen yang aktif, karena setiap pilihan tindakannya melibatkan interpretasi kesadaran dan makna subyektif tertentu.

Semoga tulisan kecil ini bermanfaat adanya, terima kasih…


Daftar Pustaka

Bandem, I Made. “Melacak Identitas di Tengah Budaya Global”, dalam MSPI, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X/2000, Penerbit Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung, 2000.

______________ dan I Nyoman Sedana, M.A. Pertunjukan Wayang Kulit Bali antara Tradisi dan Inovasi, Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Wayang Kulit, Pesta Kesenian Bali XV, Denpasar, 1993.

Djelantik, A. A. M. “Peranan Estetika dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 2, Th. II, STSI Denpasar, 1994.

Hastanto, Dr. Sri. Wayang Kulit: Ke-Adiluhungan-nya, Profesionalisme, dan Prospek Masa Depan, Makalah disajikan pada Sarasehan Wayang Senawangi, TMII Jakarta,1988.

Kasidi Hadiprayitno. Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan Gagrag Yogyakarta, Makalah disampaikan pada Sarasehan Wayang Indonesia, Jakarta, 1999.

Kodi, B.A., I Ketut, dan I Dewa Ketut Wicaksana, B.A. Pakeliran Layar Berkembang “Anugrah”, Skrip Pedalangan, STSI Denpasar, 1988.

M. Zajuli. “Seni Pertunjukan Global: Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman”, Global-Lokal, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Penerbit MSPI, Bandung, 2000.

Murtana, I Nyoman. Kiwa-Tengen: Dua Hal yang Berbeda dalam Pertunjukan Wayang Kulit Bali, Sebuah Kajian Baik-Buruk terhadap Pertunjukan Wayang Kulit Tantri lakon Batur Taskara sajian I Dalang Wija, Laporan Penelitian STSI Surakarta, 1996.

Seramasara, I Gusti Ngurah. “Usaha-usaha Menyelamatkan Wayang Kulit dalam Goncangan Modernisasi” dalam Wayang, Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan, Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, 2004.

Soetarno, 1988. Perspektif Wayang dalam Era Modernisasi, Pidato Dies Natalis XXIV ASKI Surakarta.

Wicaksana, I Dewa Ketut. Dalang Wakul dalam Menyikapi Pewayangan Masa Kini, Makalah disampaikan dalam diskusi “Gelar Dalang Wakul” serangkaian HUT Warung Budaya Bali, di Taman Budaya “Art Centre” Denpasar, Selasa 16 Februari 1999.

________________. “Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan/Pewayangan Bali”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, no. 8, Th. VIII, STSI Denpasar. 2000.


[1]Makalah disampaikan pada Kongres Pewayangan Internasional 2005, diselenggarakan oleh Widita Jawa Foundation, di Hotel Inna Garuda-Yogyakarta, 14-18 September 2005.

[2]Tenaga Pengajar di Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar.


Jaipongan Erotik Terhegemoni

Jaipongan Erotik Terhegemoni

Oleh

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.


Tulisan ini mengamati Jaipongan dari dekat, ketika penulis mendapat kesempatan menjadi peserta “Penelitian Lapangan” yang diselenggarakan oleh MSPI pada bulan Agustus-September 1997. Peserta yang berjumlah 21 orang dari berbagai disiplin ilmu, dibagi menjadi empat (4) kelompok tersebar di wilayah “pantura” (Jawa Barat). Sedangkan penulis beserta empat orang masuk pada kelompok IV dengan medan penelitian di wilayah Karawang. Masing-masing kelompok diasuh oleh seorang pembimbing, dan kami di Karawang dibimbing oleh Bapak Bisri Effendi dari kantor LIPI Jakarta. Beragam kesenian memang ada di daerah Karawang, akan tetapi kesenian Jaipongan termasuk genre seni tradisi dengan frekwensi pentasnya laris manis. Apa dan bagaimana Jaipongan itu diapresiasi oleh komunitas Karawang, berikut akan dicoba untuk mengurai-beraikannya.

Dahulu di Karawang, kesenian Wayang Golek mendapat tempat dihati masyarakat, karena jenis kesenian ini sangat potensial sebagai media informasi, edukasi, ritualisasi, hiburan, serta pembinaan watak dan kepribadian. Namun belakangan ini wayang golek mulai tergusur walau tidak usur dalam blantika seni etnis, justru sekarang kesenian Jaipong memiliki ratting teratas diantara jumlah kesenian di Karawang. Hal itu terbukti dengan frekwensi pementasannya cukup tinggi, rata-rata sebulan penuh siang dan malam[1]. Berkembangnya Jaipong begitu pesat bak jamur dimusim hujan, tak lepas dari dukungan masyarakat dan golongan-golongan yang mempunyai kekuatan ekonomis atau politis ataupun keduanya. Semakin relevannya kekhawatiran para kritikus seni bahwa kelompok dominan, dimanapun dan dengan sistem perintah apapun adanya kecendrungan memaksakan visi hegemoni mereka melalui berbagai institusi seperti lembaga kebudayaan, agama, dan berbagai praktek kehidupan sehari-hari. Dalam kajian budaya khususnya kesenian dalam konteks hegemoni akan dipinjam konsepsi hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, hubungan antara power dan practice, dimana hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis satu atau kelompok dalam masyarakat sipil yang dianggap lebih tinggi dari yang lainnya[2]. Lantas bagaimana peradaban hegemoni budaya mengkomunikasikan konsepsinya terhadap kesenian (khususnya Jaipong) yang lagi “ngetop” dan “ngepop” itu bisa dijelaskan ? Menurut Gramsci yang dikutip oleh Idi Subandy Ibrahim, ada tiga aspek utama yang bisa dijadikan pertimbangan antara lain: pertama, harus mempelajari seni, media massa, dan budaya sehari-hari sebagai proses persuasi tempat kita senantiasa digiring untuk memahami dunia berdasarkan cara-cara tertentu, tidak dengan cara lain; kedua, cara menghayati dan mengalami kehidupan sehari-hari memiliki konskuensi-konskuensi politik yang mendalam; dan ketiga, harus memahami sebagian besar keberhasilan hegemoni budaya karena ia fleksibel, responsif terhadap kondisi-kondisi yang sedang berubah, dan bersifat adaptif[3].

Lembaga Kebudayaan mencanangkan program lewat petunjuk teknis tentang pembinaan dan pengembangan kesenian yang pada hakekatnya adalah kegiatan menjaga dan mempertahankan kelangsungan keberadaan kesenian baik materi seni maupun kondisi berkesenian agar tetap terpelihara dengan cara penggalian, pendokumentasian dan pelestarian seni[4]. Adanya tedensi berkembangnya intervensi pemerintah dalam masyarakat (seniman), teristimewa dalam ruang lingkup budaya (kesenian) yang ditangani oleh Depdikbud, dengan mengharuskan pembuatan surat izin pendirian sebuah organisasi/group kesenian dan pembuatan kartu tanda anggota kesenian. Secara tradisional pertunjukan kesenian yang diselenggarakan oleh masyarakat Karawang, selalu diadakan sehubungan dengan adanya pesta hajatan, seperti: perkawinan, khitanan, atau hanya hiburan semata. Pesta hajatan dan kesenian yang digunakan untuk memeriahkan pesta itu dapat diketahui baik dari group kesenian maupun dari daftar rame-rame yang ada di kantor kecamatan. Karena setiap orang yang ingin menyelenggarakan pesta hajatan harus mendapat izin dari kantor Kecamatan dan Koramil setempat.

Para seniman yang mengusung kesenian tradisional (dalam kasus Jaipong) rata-rata berpendidikan rendah[5] hanya mampu menyesuaikan diri karena takut akan konskuensi-konskuensi bila tidak menyesuaikannya. Di sini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sangsi-sangsi yang menakutkan. Suatu ketika Rian Aspuri manggung Jaipong dalam rangka hajatan “pernikahan” di Depok, tiba-tiba ia didekati oleh dua orang anggota Kepolisian untuk memberhentikan hiburannya hanya karena ia lupa membawa surat ijin yang memang sudah dikantonginya. Oknum polisi itu memaksa supaya memberinya uang sebanyak Rp 200.000,-. Rupanya Rian Aspuri lihai juga dengan menyodorkan kuitansi untuk ditandatangi, tapi kedua oknum itu malah ketakutan dan bisik-bisik padanya, minta sepuluh ribu rupiah.[6] Kasus yang sama juga dialami Namin Group, dimana ia didatangi oleh Penilik/Pengawas kebudayaan dengan dalih mengawasi, yang ujung-ujungnya minta komisi.[7] Dalam kasus tersebut menurut Femia muncul hegemoni yang ditandai dengan tipe konformitas dari tingkah laku dengan tingkat-tingkat kesadaran dan persetujuan dengan unsur tertentu di masyarakat.[8] Tipe ini terkait dengan legitimasi, dengan keyakinan bahwa tuntutan-tuntutan korformitas benar lebih dahulu. Secara budaya dominasi hegemoni berlangsung pada tahap sadar maupun tidak sadar, dengan kata lain, orang harus melihatnya sebagai alat dari sistem hubungan yang terkait yang dilakukan secara sadar dan terang-terangan melalui penetapan peraturan dan pengucilan yang dinyatakan melalui bahasa atau wacana. Jaipong secara formal belum diakui oleh hegemoni kekuasaan yang membidangi masalah kebudayaan, khususnya kesenian. Hal ini terbukti dalam data kesenian daerah Karawang tidak tercantum nama Jaipong, demikian juga surat ijin yang diharuskan untuk membentuk perkumpulan kesenian yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Depdikbud Kab. Karawang.[9] Tapi yang ada hanya Kliningan, sebuah genre yang dikategorikan dalam karawitan dalam kasanah kesenian tradisional Jawa Barat. Secara emperik menunjukkan bahwa kesenian Jaipong itu eksis, merebak bagaikan jamur di musim hujan dan sangat disenangi oleh masyarakat Karawang, bahkan kuantitas serta intensitas perkumpulan (sering disebut “group”) Jaipong jauh melampui jenis kesenian lainnya yang ada di daerah Karawang.[10] Bahwa jelaslah Jaipong adalah sebuah genre kesenian tradisi, hadir secara sangat problematis. Di satu pihak ia ditolak bahkan lebih sering dilecehkan, namun dipihak lain baik dalam komunitas maupun telaah kajian budaya, tak terelakkan, ia menjadi salah satu acuan.

Jaipong yang semula lahir sebagai kreativitas estetik dari kejenuhan tradisi seni yang mengungkungnya, kemudian disebarkan dan dibesarkan oleh hegemoni yang memiliki kekuatan “bawah” sering disebut Bajidor yang memiliki kemampuan ekonomis “lebih” untuk nyawer dengan memberikan uang sampai ratusan ribu rupiah[11] setiap kali kegiatan-kegiatan seni itu dilaksanakan. Menguatnya daya-daya hegemonik lewat tangan-tangan bajidor dalam kesenian Jaipong, pada gilirannya tidak hanya mengalihkan perhatian masyarakat Karawang dari problema riil ke hal-hal yang bersifat sloganistik seperti bajidor dijabarkan sebagai ungkapan sinisme “barisan jiwa dorhaka”, tapi mereka secara terus-menerus menciptakan diskursus baru sambil berusaha mengabaikan nilai-nilai etika dan estetika yang ada dan dijunjung komunitasnya. Perilaku bajidor di luar “teks Jaipong” kalau sudah kepinsut dengan salah satu sinden, sering memaksakan kehendaknya untuk menggaet primadona panggung untuk digunakan mengumbar nafsu birahinya. Eka Novianti (13 tahun) menceritakan pengalamannya sebagai sinden (penari Jaipong) yang diminati oleh bajidor, seorang pengusaha galian tanah dari Cibitung dengan mendatanginya ke rumah, kemudian mengutarakan niatnya serta memberi perhiasan, mobil kijang, dan uang empat puluh juta rupiah. Bapaknya menolak dengan tegas dengan mengancam mengadu kepada istri bajidor.[12] Banyak perilaku bajidor (sering dari bos-bos Jakarta) memiliki WIL (wanita idaman lelaki) dari sinden-sinden hanya karena tergiur dengan duitnya banyak dan kaya. Peranan hegemonik (bajidor) yang semula ikut mempunyai andil membesarkan Jaipong, pada kenyataannya ada udang dibalik batu, sehingga padanya “dituduh” bagaikan pagar makan tanaman. Kehadiran bajidor di luar “teks Jaipong” menjadi bagian tak terpisahkan – sehingga mereka ikut memperkisruh dunia perjaipongan, namun ironisnya, bajidor adalah “jantungnya” Jaipong. Bayangan atau hayalan sinden ada diantara dunia rekaan (dunia panggung) dan dunia nyata (keseharian) telah berbaur membentuk persepsi sosial tersendiri.

Kita mencatat, di tengah gegap gempita iringan (gamelan) dengan bantuan perangkat sound system, kemolekan dan nyaringnya kidung dari sinden serta menggeliatnya gelinjang “goyang karawang” Jaipong, tidak hanya mendistorsi tetapi juga menciptakan karakternya sendiri serta melenyapkan unsur yang orisinil. Gerak tarian Jaipong lebih merupakan budaya pemujaan kemolekan dan goyang tubuh erotis seperti yang dipresentasikannya dalam dunia simbol, telah menarik pesona penonton. Gerakan erotis yang dilakukan oleh penari Jaipong tampak visualisasinya, baik pada tari rampak maupun pada ibingan dengan menampilkan hasrat-hasrat erotik yang mengarah pada pornografi di hadapan penonton dan tak dapat diterima oleh masyarakatnya (terutama kaum muslim). Kesan erotis itu bermuara dari suara sumbang masyarakat dengan menyebut genre kesenian ini sebagai “goyang karawang”. Kalau pinggul sebagai titik kunci khas Jaipong digoyang kesamping kanan dan kiri masih bisa ditolerir, akan tetapi apabila di goyang ke depan-belakang dan semua arah, gerakan ini jelas-jelas mengekploitasi perilaku seksual yang dikemas dalam bingkai estetik, demikian komentar Hartono[13]. Kalau Jaipong lebih dominan memperagakan gerakan erotis kiranya dapat ditelusuri dari berbagai faktor seperti, iringannya secara musikal, gamelan Jaipong dengan tempo ajeg semakin lama semakin cepat mirip pada tempo musik dangdut/rok dengan hentakan drum (gendang) dibantu dengan simbal (kecrek) memungkinkan goyangan pinggul, pinggang, dan dada bereaksi serta klop dengan ekspresi wajah mendesah – ah-ah…aahhh! Dan itu juga diikuti oleh para bajidor dan simpatisan jaipong dengan menggoyang-goyang pinggul, pinggang, kepala bereaksi di lantai bawah panggung. Hal tersebut dapat dimengerti karena secara geografis Karawang berbatasan dengan ibu kota Jakarta yang memang permissiveness di bidang seks, sehingga dapat dimengerti bahwa dalam situasi sekularisasi urbanisasi justru akan mengurangi dimensi moral dan frekuensi keagamaan.

Kekuatan sosial politik sebagai hegemoni “samping” tak kalah bersaingnya dengan hegemoni kekuatan “atas” (lembaga Kebudayaan) dan hegemoni kekuatan “bawah” (bajidor) yang menopang eksistensi Jaipong. Penerapan dan penyerapan kekuatan sosial politik menyusup lewat simbol uniform, dengan seragam “kuning” yang dipakai baik para sinden/kawih maupun nayaga. Dalam mengkomunikasikan program-program partainya, hegemoni politik ini merasuk dalam teks sastra kidung seperti, Kidungan AMS (nyanyian Angkatan Muda Siliwangi). Kungkungan hegemonik yang mengitarinya membuat gerak-langkah aktivitas seniman menjadi terbatas yang mestinya merefleksikan realitas hidup masyarakat dan kreativitas kesenimanannya. Hegemonik itu dimungkinkan meluas dan merasuk sampai ke alam bawah sadar masyarakat (seniman dan kesenian), dengan kontrol power kepada practice dengan mengambil peran melalui interaksi antara sistem pemeritahan dan masyarakat seniman, yang mana pasang surutnya ditentukan oleh derajat kesepakatan hegemonik.

Perubahan yang meluas, mendalam dan sangat cepat dari masyarakat tani desa ke masyarakat industri kota membawa berbagai dampak yang positif maupun negatif pada berbagai sektor. Bidang kesenian berada di dalam masa interragnum (perubahan) yaitu, pada waktu pranata-pranata atau nilai-nilai lama/kondisi yang bernilai dan telah memasyarakat tidak lagi dihandalkan, sementara pranata-pranata baru belum cukup siap untuk berfungsi. Akibat masa interragnum ini bergejolak pada kenyataan bahwa dewasa ini etnik tradisional memudar bahkan tergusur, sementara seni-seni baru masih terasing. Menghadapi keadaan demikian perlu dilaksanakan upaya-upaya, disatu pihak revitalisasi (menghidupkan kembali) seni-seni etnik, sementara seni-seni baru dikemas dengan manajemen modern untuk disajikan kepada masyarakat. Seni-seni yang baru muncul melalui proses kreatif yang terbuka sehingga lahir karya baru, karya inovasi sesuai tuntutan jaman dengan tetap memegang teguh nilai-nilai lama. Semoga.

Catatan:

Tulisan ini, hasil studi lapangan yang disponsori oleh MSPI (1977), dan saya persembahkan kepada para Jaipongan di Karawang.


[1]Jadwal pentas Jaipongan “Rama Medal Mandiri Jaya Namin Group” Karangmulya, Desa Karangsinom, kec, Klari, Karawang pada bulan Agustus dan September 1997, tercuali hari Jumat Kliwon; “Cahaya Ligar Oding Group”, Krajan III, desa Pulo  Kalapa, kec. Lemahabang, Wadas, Karawang, pada bulan September 1997.

[2]Ibrahim, Idi Subandy dan Dedy Djamaluddin Malik, Ed., Hegemoni Budaya, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997, p. xiii

[3]Ibid.

[4]Direktorat Kesenian, Petunjuk Teknis Pembinaan dan Pengembangan Kesenian di Daerah, Depdikbud, Jakarta, 1996/97, p. 3

[5]Data lapangan menyebutkan bahwa seniman-seniman tradisional di Karawang (khususnya Jaipong) tingkat pendidikan lebih banyak SD, SMP, dan SMA. Yang terakhir ini hanya segelintir saja. Wawancara dilakukan secara acak dari sejumlah group Jaipong di daerah Karawang selama penelitian lapangan dari tanggal 1- 15 September 1997.

[6]Wawancara dengan Rian Aspuri (25 tahun) pimpinan Jaipong “Layung Asih Group”, Desa Kedaung, Kec. Lemahabang, Karawang, tanggal 14 Sepetember 1997.

[7]Wawancara dengan Bp. Namin (45 tahun) pimpinan Jaipongan “Rama Medal Mandiri Jaya Namin Group” diselah-selah kesibukannya manggung di Dusun Jarong, Desa Pulo Kalapa, Kec. Lemahabang, Karawang, tanggal 7 September 1997.

[8]Magnis-Suseno SJ., Dr. Franz, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, p. 80

[9]Kasi Kebudayaan DT II Karawang, Rekapitulasi Data kesenian Daerah Tk. II Karawang, 1997.

[10]Ibid. Data itu menunjukkan terdapat 110 organisasi/group “Jaipong” Kliningan dengan melibatkan 1.540 seniman yang tersebar di seluruh kecamatan tingkat II Kabupaten Karawang.

[11]Informasi dari Didin (27 tahun), mantan mahasiswa smt III Fisip UNPAS Jawa Barat. Ia anak tukang jagal kerbau di pasar Cibitung, mantan bajidor yang sudah kehabisan artanya malang-melintang dalam dunia Jaipong dengan menghambur-hamburkan uangnya antara Rp 500.000, – Rp 1.000.000,- semalam. Wawancara di rumah Bp. M. Enja Miharja saat Jumat Kliwon, tanggal 12 September 1997.

[12]Wawancara dirumahnya, Dusun Pundong, Desa Blendung, Kec. Klari, Karawang, tanggal 11 September 1997. Bapaknya (M. Enja Mihardja) juga menceritakan hal yang sama ketika anaknya sedang menari Jaipong di Dusun Teulungasem, Desa Cilamaya, Kec. Lemahabang, Karawang, 9 Sepetember 1997.

[13]Wawancara, ketika ia bertandang di tempat penulis tinggal tak jauh dari rumahnya di Lemahabang, Wadas, Minggu, 14 September 1997. Hartono (32 Tahun) adalah Sekretaris Yayasan Pendidikan Islam Annur, Desa Lemahabang, Wadas, Kec. Lemahabang, Karawang.


Selamat Datang di Blog Wayang Bali

Blog ini saya dedikasikan untuk kampus tercinta, ISI Denpasar, khususnya di Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, dan masyarakat Bali yang mencintai wayang Bali. Semoga bermanfaat


Pakeliran Layar Lebar: Kreativitas Wayang berbasis Lokal berwawasan Global

Oleh:

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

  1. Pendahuluan

Mencermati perkembangan pewayangan di Bali yang terjadi selama beberapa dekade belakangan ini, menjadi jelaslah bahwa motivasi pengembangan-nya masih diliputi rasa ketaqwaan dan rasa estetis secara alami tumbuh pada kebanyakan seniman, tetapi sekarang menjadi semacam tuntutan akademis bagi mereka yang hendak memperoleh pengakuan formalitas pedalangan dari sekolah pemerintah. Berbagai jenis wayang kulit yang telah berkembang di Bali, serta beraneka bentuk dan cerita/lakon (sering disebut “lampahan”) yang kesemuanya itu sangat akrab dengan masyarakat. Catatan yang ada,  kini sudah 8 jenis wayang kulit (tidak termasuk wayang wong dan parwa) sudah berkembang dan menyebar keseluruh pulau Bali. Sebagian tetap mampu berkembang, sebagian melemah dan ada diantaranya sudah punah, namun tidak sedikit telah tumbuh bentuk pakeliran baru seperti, wayang arja; wayang tantri; wayang babad; pakeliran layar berkembang; pakeliran layar ganda; pakeliran padat; pakeliran layar dinamis; wayang golek agung; wayang listrik; pakeliran layar bundar dan lain-lainnya. Memang tumbuh dan surutnya suatu bentuk seni budaya merupakan suatu proses yang wajar, karena masyarakat itu bergerak secara dinamis sesuai dengan tuntutan globalisasi.

Tulisan kecil ini mencoba mengamati eksistensi pakeliran layar lebar karya mahasiswa maupun dosen jurusan Pedalangan STSI/ISI Denpasar, dalam proses  kreativitasnya, masih berpijak pada pola tradisi (lokal) dengan menggunakan media ungkap modern. Eksperimen-eksperimen pewayangan tersebut merupakan bentuk penggalian kemungkinan-kemungkinan garap sebagai sebuah proses kreatif akibat dari penemuan baru dalam bidang teknologi.

II. Pakeliran Layar Lebar: Sebuah Eksperimen Wayang

Memodifikasi bentuk-bentuk cara penyajian wayang kulit Bali sebagai sebuah eksperimen, pertama kali dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa pedalangan dari ASTI/STSI Denpasar. Gagasan untuk menampilkan eksperimen seni pewayangan/ pedalangan sebagai tugas akhir semula muncul dari Prof. Dr. I Made Bandem, mantan Ketua ASTI/STSI Denpasar (sekarang rektor ISI Yogyakarta). Karena disadarinya betapa penting karya-karya inovasi itu untuk kelangsungan dari kreatifitas (karya seni) di bidang pedalangan. Sedangkan perbendaharaan jenis-jenis wayang kulit Bali dilaksanakan pertama kali oleh dalang-dalang profesional dari desa-desa di Bali. Karya-karya eksperimental pewayangan Bali yang dipersembah-kan pertama tahun 1971 oleh I Made Persib, mahasiswa angkatan pertama yang menempuh pendidikan formal jurusan pedalangan di ASTI (STSI) Denpasar, dengan karya pakelirannya berjudul Sapuhleger (Murwakala). Persib memulai penyajiannya dengan pakeliran wayang tradisi, kemudian pada klimak ceritera ketika Bhatara Kala mengejar mangsanya yang tiada lain adiknya sendiri (Rare Kumara), ia mewujudkan tokoh wayang Bhatara Kala dengan manusia tinggi besar (Bp. Sukandia). Pada tahun 1985, Sang Ketut Sandyasa dalam ujian sarjana muda (B.A.) di ASTI Denpasar, juga bereksperimen wayang kulit dengan mengusung ceritera Mitologi Dalang Buricek. Mengawali sajiannya, hadir seorang raja memerintahkan abdi dan rakyatnya untuk tidak tertawa selama dalang menggelar wayang. Segala macam antawacana dan banyol tidak disambut gelak tawa penonton, dalang menjadi sadar bahwa ia sedang “pintonin/dicoba” oleh raja, maka ia memikirkan “daya dadakan” (spontanitas). Dalang Buricek segera mengambil pengutik (pisau belati) dan merobek kelir serta menjulurkan kepalanya yang botak dengan wajah keriput sambil tolah-toleh menampakkan giginya (ngejengit). Menonton gelagat dalang Buricek yang aneh dan lucu tersebut, kontan raja tertawa terbahak-bahak dan saat yang bersamaan rakyatpun ikut tertawa. Akhirnya raja tidak jadi menghukum abdi dan rakyatnya, sekaligus memuji dan mengakui dalang Buricek akan kepintaran dan kepiawaiannya. Pada tahun yang sama, I Nyoman Sedana juga melakukan eksperimen wayang untuk memperoleh gelar sarjana muda ASTI Denpasar, dengan membawakan ceritera Kawit Dalang dengan media wayang lemah. Sedana mengawali sajiannya dengan menggarap kayonan besar (1,5 meter) terbuat dari seng yang ditatah dan ditarikan oleh satu orang. Yang menarik adalah, ia tidak menggunakan kelir dan lampu blencong, tetapi memakai panggung bingkai dengan dekorasi kain dengan ukiran prada persegi empat mengitari kayu bingkai, sehingga wayang, dalang, dan iringannya tampak dari depan.

Seiring dengan perubahan status ASTI Denpasar menjadi STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) tahun 1987, semua lulusannya membuat karya komposisi seni baik jurusan Tari, Karawitan, maupun Pedalangan. Tahun 1988, penulis bersama I Ketut Kodi (angkatan I, S1 Pedalangan) menggarap bentuk revolusioner dalam pewayangan bernama pakeliran layar berkembang dengan judul Anugrah, mengambil lakon Arjuna Tapa (Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa). Pada dasarnya garapan ini menitik-beratkan pada proses ceritera, teknik penggarapan ruang dan waktu termasuk penciptaan suasana dengan membangun layar/kelir yang sangat lebar untuk ukuran wayang tradisi disertai penerangan lampu elektrik. Istilah “berkembang” lebih berkonotasi kuantitatif artinya, mengembangkan, membesarkan, dan meluaskan seni pewayangan. Eksperimen pakeliran ini bertujuan untuk mengembangkan kreativitas untuk mewujudkan pembaharuan dalam seni pertunjukan wayang tradisi dengan membesarkan volume penyajian, meluaskan wilayah pengenalan pakeliran wayang kulit (Kodi dan Wicaksana, 1988: 1-2). Secara bentuk, pengembangan pakeliran jenis ini menggunakan aparatus yang lebih besar lagi dengan digunakannya kelir besar dan lebar (berukuran 5,5 x 3 meter), wayang-wayang dengan ukuran besar dan tinggi (berkisar antara 50 cm sampai 1,15 cm), penggunaan cahaya listrik lewat media overhead proyektor; follow sport dan sport light, iringan non-konvensional (gamelan gong gede) dengan 35 orang penabuh, beberapa orang penggerak wayang (12 orang), dalang (3 orang dalang laki-laki dan 1 orang wanita), dan gerong/sinden. Secara isi, pakeliran layar berkembang memadatkan struktur lakon untuk kepekatan alur dramatik dengan penekanan pada aspek ruang, suasana, waktu, tokoh, tema, dan pesan yang hendak disampaikan.

Pakeliran layar berkembang menjadi perintis/pionir model penggarapan wayang oleh mahasiswa jurusan Pedalangan STSI/ISI Denpasar dikemudian waktu. Pada tahun 1990, I Kadek Widnyana bereksperimen wayang dengan nama Olah Pakeliran berjudul Dhibyacaksu memakai dua kelir (besar dan kecil) ; I Made Setiaria menggarap wayang gabungan bernama Teater Sandi dengan lakon Bima dadi Caru. Berbeda halnya dengan Ni Komang Sekar Marhaeni, seorang mahasiswi pedalangan yang menyelesaikan sarjana seni pedalangannya di STSI Denpasar (1990), menggelar wayang dengan membakar kelir, yang bertajuk Pakeliran Kreasi Baru lakonnya Gopala Maya, berkisah tentang Dewi Parwati (istri Dewa Siwa) melakukan sanggama dengan Gopala untuk mendapatkan susu lembu putih. Pada tahun 1991, I Gusti Putu Sudarta menggarap pewayangan bertitel Pakeliran Padat, berjudul Kama Salah, dengan luas kelir 4 x 2,5 meter serta panggung bisa berputar-putar sehingga pada adegan tertentu bisa berfungsi sebagai dekorasi (saka/pilar). Pada tahun 1992, seniman kreatif I Made Sidia dalam karya eksperimen wayang meluaskan garapannya yang diberi label Pakeliran Dinamis, judulnya Sumbah. Sidia dalam menyajikan alur dramatiknya bersumber pada lakon Bima Swarga, mengolah wayang dua dimensi dengan tiga dimensi dalam media ungkap layar/kelir yang diatur secara dinamis. Sedangkan I Nyoman Sukerta dalam karyanya berjudul Setu Banda, menggunakan dua buah kelir wayang tradisi dipasang berjajar kesamping. Tahun 1995, I Ketut Sudiana, SSn., menciptakan wayang boneka meniru wayang golek Jawa disebut Wayang Golek Gede dengan lakon Bawalaksana, peristiwa penyerangan/ekspansi Patih Gadjah Mada ke Bali untuk menyatukan wilayah nusantara. I Ketut Murtana menata Pakeliran Tunggal bertajuk Mulat Sarira, berkisah tentang Cupak dan Grantang. Untuk membuat wayang-wayangnya, Murtana menggunakan kayu triplex (mirip wayang krucil) berukuran rata-rata tingginya 135 cm., memadukan unsur patopengan, kemudian dipantulkan ke layar/kelir berukuran 6 x 2,60 meter dengan tata cahaya lampu listrik (overhead proyektor), lampu senter, dan obor (1996).

Tahun 1997, I Wayan Meder menggarap pakeliran layar lebar dengan judul Dwi Paksa Tunggal (7.50 x 3.50 cm) dan dua layar kecil (2.50 x 1.60 cm) dipasang harmonis dengan wayang terbuat dari plastik acrylic, sehingga warna lukisan wayang tembus/kelihatan di layar depan. I Nengah Darsana menata layar lebar mengusung sejarah Puputan Badung dengan lakon Bandana Pralaya dengan iringan gamelan Salokat. Darsana mensinergikan wayang kulit hasil pahatannya dengan raja Denpasar dalam tokoh/peran manusia. I Made Sukadana mengangkat ceritera Basur dengan judul Apaksa Kuhira, karya pakelirannya dominan boneka 3 dimensi termasuk pembuatan barong dan rangda. I Ketut Ciptadi, memanfaatkan layar (wing) panggung Natya Mandala sebagai kelir untuk kemudian bermain wayang pada kelir kecil dan peran manusia. Sedangkan I Wayan Sira kembali mengangkat ceritera Calonarang berjudul Wegig Anerang dalam pakeliran layar lebar dengan iringan gong kebyar. Tahun 1999, I Wayan Mardika Bhuwana mengangkat wayang Tantri dengan lakon Kamandaka dalam layar lebar dengan iringan gamelan Semar Pagulingan saih pitu.

Setelah abad XX, tepatnya pada bulan Desember 2000, Ida Bagus Made Arjawa menggarap wayang boneka ala Bali, Wayang Prembon berjudul Budhi Satwam, transformasi dramatari prembon dalam bentuk wayang boneka dengan kostum patopengan dan paarjan (sesaputan). Bahan boneka wayang terbuat dari kayu dan spon dengan iringan gamelan campuran antara semar pagulingan, gong kebyar, kendang sunda, rebab cina. Dalam penyampaiannya menggunakan tembang-tembang (pupuh) Bali dengan bahasa Bali sebagai bentuk dialog/antawacananya. Pada tahun yang sama, seorang mahasiswi pedalangan bernama Ni Nyoman Nik Suasti menggarap wayang boneka dipadu layar lebar dengan iringan gamelan Salokat. Nik Suasti menyunting kisah Asta Basu, lahirnya delapan orang putra dari perkawinan raja Santanu dengan Dewi Gangga, yang kemudian diberi judul Pratiniyata. Tahun 2001, I Gusti Ngurah Artawan membuat layar bundar dikombinasikan dengan tokoh-tokoh tiga demensi (manusia) dengan iringan gamelan gong gede saih pitu. Artawan menguak asal-muasal jagat raya yang dipetik dari lontar Purwaka Bumi. Tahun 2002, hal yang sama juga dilakukan oleh I Nyoman Hermana yang kembali membuka tabir sejarah tradisional “Babad” dalam garapan layar lebar bertajuk Sengit Grigis dengan iringan gamelan Semarandana. Pande Made Rahajeng berangkat dari wayang wong kemudian disinergikan dalam pakeliran wayang kombinasi yang diberi judul Rajya Katunon (2002).

Perkembangan eksperimen yang paling mutakhir dalam pewayangan Bali adalah digunakannya teknologi komputer dan laser compec disc (LCD) untuk memproyeksikan wayang-wayang dan background atau dekorasi seperti hutan, istana, tempat ibadah (pura), taman/kolam dan lain-lainnya. Bentuk eksperimen pakeliran ini dilakukan oleh dosen dan mahasiswa Pedalangan STSI Denpasar ketika perayaan Siwarartri di lapangan Puputan Badung, Denpasar pada Selasa, 12 Februari 2002. Dengan kelir lebar khusus yang terbuat dari bahan plastik berukuran 8 x 4 meter dipasang mirip layar tancap dengan melibatkan crew berjumlah 75 orang, cukup berhasil menyedot ribuan penonton sampai subuh. Ide ini muncul dari keinginnan untuk mengakomodir berbagai kemampuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki kalangan para dosen dan alumnus Pedalangan STSI Denpasar. Kebetulan penulis sebagai koordinator, mengetahui bahwa masing-masing dosen pedalangan memiliki keunggulan tersendiri seperti, kemampuan sanggit/kawi dalang dan antawacana (I Ketut Kodi, SSP., I Ketut Sudiana, SSn; dan I Wayan Mardika Bhuwana, SSn.); keterampilan mengolah tetikesan/sabet (I Kadek Widnyana, SSP,. dan Dru Hendro, SSen,); kejelian menafsir background suasana dan adegan dramatik (I Made Sidia, SSP.); kemahiran visual teknik computer (Drs. Dewa Made Darmawan); kemampuan efek penyinaran dengan scenery (I Wayan Sira, SSn.); kejelian menangkap suasana dan nuansa dramatik dengan instrumen gamelan Semar Pagulingan (I Gusti Putu Sudarta, SSP., dan I Gede Arya Sugiarta, SSKar., M.Hum.); kemampuan sinsitif naratif lewat alunan gending/tembang (Ni Komang Sekar Marhaeni, SSP, dan Ni Ketut Suryatini, SSKar.). Kemampuan mereka bersinergi satu dengan yang lainnya dalam satu sajian yang bertajuk pakeliran layar lebar dengan lakon khusus Lubdaka, berkisah tentang kematian seorang pemburu bernama Lubdaka, rohnya mendapatkan sorga karena tanpa sengaja ia jagra/suntuk pada malam Siwarartri (Kakawin Siwarartrikalpa karya Empu Tanakung).

Pada tahun ini (13 Juli 2004), model penggarapan tersebut di atas, juga berhasil digarap di jurusan Pedalangan dengan melibatkan seluruh mahasiswa jurusan Pedalangan ISI Denpasar yang dibiayai oleh Semi Que V, Prodi Pedalangan ISI Denpasar. Karya pakeliran lebar ini bersetting Babad berjuluk Maling Sakti dengan iringan gamelan Jawa dikomandani oleh kreator dalang I Ketut Sudiana, SSn., dan I Gusti Putu Sudarta, SSP. (dosen jurusan Pedalangan ISI Denpasar). Berkat karya pakeliran tersebut di atas, Bupati Gianyar berkenan menyambut dengan antusias dengan menyumbangkan minansial yang cukup besar sebagai bentuk kepedulian state kepada insan wayang.

Karya-karya eksperimental yang dipersembahkan oleh para insan dalang akademis, menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit Bali sudah ditumbuh-kembangkan dalam dua aspek yakni, aspek isi dan bentuk. Aspek isi, dikembangkan dengan mengadakan penafsiran kembali terhadap plot/pembabakan ceritera-ceritera wayang yang sudah umum dikenal, sehingga dapat disusun struktur narasi baru dari lakon-lakon tradisi. Penyusunan narasi ini sudah barang tentu akan diikuti oleh perubahan alur dramatik, struktur pertunjukan, dan urutan pepeson. Dengan cara-cara seperti ini akan muncul teknik-teknik baru dalam pertunjukan wayang yang belum lazim dalam penyajian tradisi. Sebagai contoh, penggunaan teknik kilas balik (flash back) – dalam pewayangan tradisi, kilas balik biasanya hanya diceriterakan oleh para panakawan, tetapi dalam karya inovasi sering digarap keduanya baik wacana maupun visualnya. Pengembangan aspek isi juga dilakukan dengan cara mementaskan ceritera-ceritera baru yang tidak terdapat dalam repertoar tradisi wayang seperti, lakon Dalem Dukut, Maling Sakti, Sengit Grigis (Babad); Kamandaka (Tantri); Bandana Pralaya (sejarah Bali); Luh Mertalangu (Panji); Gadjah Mada (sejarah Jawa); Dalang Buricek, Murwaka Bumi, Muktipapa (tokoh-tokoh Bangsa/Masyarakat) dan lain-lainnya.

Aspek bentuk, terjadi pada teknik penyajian dan aparatusnya. Salah satu teknik yang paling menonjol ialah, adanya kecendrungan untuk memperkaya dimensi pewayangan dari dua menjadi tiga dimensi, termasuk penggunaan aparatus yang lebih besar seperti, pemakaian layar/kelir lebar, wayang besar, tata lampu modern, ansamble gamelan non-konvesional, dekorasi panggung, scenery, computer, LCD, gerong/sinden, dan jumlah dalang lebih dari satu orang sekaligus. Dengan kondisi seperti ini, peluang untuk memperbaharuhi teknik pementasan wayang kembali semakin bertambah dan berkembang. Salah satu contoh pengembangan yang sangat besar terjadi pada penabuh/pengrawit. Wayang tradisi hanya melibatkan 4 orang juru gender (Bali Utara bahkan 2 orang), wayang ramayana; cupak;calonarang; gambuh; arja; tantri, paling banyak melibatkan 15 orang pengrawit, sedangkan karya eksperimen pakeliran penabuhnya bahkan mencapai 25 sampai 45 orang. Pengrawit ini sering juga ikut bervokal sebagai “chorus” melantumkan beberapa baris paduan suara, yang tidak pernah dilakukan oleh penabuh wayang tradisi. Pengembangan ini terjadi terutama disebabkan oleh mulainya penggunaan gamelan-gamelan yang non-konvensional pewayangan seperti, gamelan gong gede; semar pagulingan; gong kebyar; angklung; palegongan; saron; geguntangan; rindik; Semarandana; gamelan Jawa; gamelan salokat dan yang lainnya. Penggunaan iringan tersebut sudah barang tentu akan mengubah pola teknik menabuh, memperbaharui repertoar gending, laras dan warna vokal pedalangan yang saling menyesuaikan. Dua orang tututan/ katengkong (asisten) secara tradisional mampu membantu dalang menyiapkan wayang dan memantau posisi kelir, kropak/gedog (kotak), dan lampu blencong, ternyata dalam penyajian karya pewayangan inovatif sudah tidak memadai lagi, sehingga beberapa orang asisten harus disediakan khusus untuk menangani wayang dan perlengkapannya. Pembengkakan jumlah katengkong/asisten dalang sejalan dengan pengembangan aparatus pertunjukan wayang eksperimentasi.

Kadek Suartaya, S.Skar., M.Si., dalam sebuah tulisannya menyebutkan, karya-karya pewayangan yang digagas oleh seniman akademis merupakan sebuah reinterpretasi estetik yang berangkat dari estetika wayang tradisi Bali dengan semangat inovasi, ditransformasikan menjadi sebongkah media komunikasi seni. Selanjutnya ia mengatakan berbagai kemungkinan teknik seni yang digali dan dieksplorasi yang pernah dilakukan (sudah dirintis hampir 16 tahunan), merupakan eksperimentasi dengan nuansa tradisi dengan cara mengkolaborasikan dari berbagai seni pertunjukan Bali lainnya (Bali Post, 17 Feb. 2002: 5). Hal senada juga dikatakan Rustopo, SKar., MS. (1991: 1), bahwa konsep garapan baru atau karya eksprementasi tersebut di atas adalah bentuk-bentuk pengembangan karya seni yang didasarkan atas konsep-konsep karya seni dari vokalbuler seni tradisi. Pengertian “baru” bukan berarti suatu perombakan secara total terhadap bentuk-bentuk seni tradisi, sifat-sifat dan warna tradisi tetap menonjol, tetapi nilai yang terkandung dan karakter ekspresinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan masa kini. Konsep-konsep pembaharuan yang mendasari karya-karya/garapan seni kampus menunjukkan adanya kelentikan, kebebasan, dan kreativitas, sehingga ciri-ciri ini identik dengan sifat kampus sebagai lingkungan dimana kebebasan mimbar-akademik menjadi ciri utama.

III. Identitas Lokal, Watak Global

Mempersoalkan identitas ditengah percaturan budaya global, secara sederhana dapat dilacak jawabannya melalui karya-karya para seniman kreatif. Peristiwa sehari-hari, persoalan kemasyarakatan, kondisi sosial, politik, atau ekonomi, atau persoalan masyarakat internasional, dapat diungkapkan dengan bahasa-bahasa lokal. Pengertian lokal/tradisi kiranya sudah diketahui secara umum sebagai salah satu tatanan nilai dari sebuah masyarakat yang berlangsung dalam perjalanan waktu yang cukup lama, sehingga menjadi sebuah kebiasaan secara turun-temurun. Kebenaran tata nilai ini diyakini sebagai hal yang baik sehingga dikerjakan dan dipertahankan dengan suka rela oleh masyarakat pendukungnya tanpa ada unsur paksaan (Kasidi, 1999: 2). Dalam hal inilah, tradisi itu dengan sendirinya menjadi pranata sosial yang menjadi salah satu unsur munculnya budaya tertentu. Salah satu pranata sosial yang berkaitan dengan masalah ini adalah fungsi keperluan masyarakat untuk menghayati rasa keindahan dan rekreasi atau disebut dengan istilah aestetic and recreational institutions.

Analogi dengan hal tersebut di atas, tidaklah aneh seni pewayangan dan jagad pedalangan begitu dikenal sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, yang bersumber dan berakar dari nilai-nila moral budaya para leluhur, serta telah dirasakan sebagai milik bersama masyarakat pendukungnya. Bentuk garap jenis kesenian tradisional ini didasarkan pada cita-cita masyarakat meliputi, tata nilai, pandangan hidup, filosofi, rasa estetik, etika dan ungkapan-ungkapan lingkungan hidup tertentu sesuai dengan lokal genius yang menopangnya. Selanjutnya dituangkan ke dalam format seni pewayangan sebagai wahana simbolik pendukungnya, oleh Ernest Cassirer seperti dikutip Kasidi menyebutnya sebagai human simbolicum (ibid.). Pijakan ini rupa-rupanya dipertahankan sesuai dengan gerak langkah maju perkembangan jaman di satu sisi dan tuntutan keinginan masyarakat di pihak lainnya.

Mencermati kondisi masa kini, para dalang baik di Jawa maupun di Bali mencoba berusaha mempertahankan habitat kesenian wayang dengan daya kreativitasnya mencoba berinovasi dengan hal-ihkwal yang berbau kekinian dengan pertimbangan bisa eksis. Mereka berhasrat menumbuh-suburkan kegairahan wayang agar tidak tercerabut bahkan punah dari generasi kini yang sudah tak lagi meliriknya. Namun, ketika ia berinovasi atau memunculkan pembaharuan-pembaharuan, dibalik itu muncullah pro dan kontra. Beberapa seniman konservatif memandang bahwa pertunjukan wayang kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri kreatif yang tumbuh pada sebagian seniman (khususnya dalang) masih terus berkembang dengan menyajikan karya-karya inovasi. Namun kalau ditelusuri lebih detail, secara emperik ada perkembangan yang signifikan sebagai dampak sikap dan proses kreatif seniman penciptanya.

Pakeliran layar lebar sebagai karya inovatif adalah sebuah proses kreatif, karenanya seniman (dalang) terdorong untuk menangkap respons-respons kreatif melalui pengalaman-pengalaman yang dapat memperkuat kreativitas antara lain, pengalaman eksploratif, improvisasi, serta forming/pembentukan atau komposisi.  Layar lebar membuktikan sinerginya budaya lokal/tradisi dan modern, walaupun keduanya masih saling tumpang tindih oleh karena masih berupa proses adaftif. Sebuah contoh, efek penyinaran listrik masih dianggap wantah/terang-benderang dibandingkan dengan efek lampu blencong yang memiliki aura magis. Dalang sebagai pemegang otoritas pertunjukan wayang perlu kerjasama dengan seorang  ahli elektrik, untuk memodifikasi efek sinar listrik mendekati sama efeknya dengan lampu blencong yakni bisa redup dan sedikit bergetar. Tidak saja dalam hal fisikal, juga wacana-wacana sebagai aspek isi yang bermuatan lokal (satyam, siwam, sundaram) ditransfomasikan kedalam menjadi nilai estetika, etika, dan logika dengan mencermati fenomena-fenomena kekinian. Bila dicermati secara mendalam tentang aspek-aspek yang dimiliki oleh wayang sebagai sebuah wujud seni tradisi, ia mempunyai kekuatan spiritual (mental) maupun material (fisikal) yang merupakan kaidah-kaidah universal yang berlaku disemua bentuk ekspresi seni pertunjukan. Sebuah kekuatan lokal yang sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global) (Bandem, 2000: 32-33).

Interaksi budaya berkembang kian cepat dan meluas, tidak saja antara budaya Bali (Indonesia), juga dengan unsur-unsur budaya asing. Keadaan ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh karena sementara budaya lokal/nasional masih belum mantap, budaya asing mengalir deras dengan segala dampaknya. Perubahan sistem sosial ekonomi, kemajuan teknologi dan cepatnya arus komunikasi mendorong masyarakat dunia memasuki era globalisasi. Pada era inilah membuka peluang luas bagi unsur-unsur budaya asing untuk masuk dan akrab dengan masyarakat Bali (Indonesia). Sudah barang tentu unsur-unsur budaya asing itu ada pula manfaatnya, disamping dampak negatif yang dapat ditimbulkannya. Wayang merupakan aktualisasi konsep kehidupan yang abstrak yang disajikan sebagai ajaran moral, oleh karena itu pakeliran layar lebar yang banyak mengadofsi teknologi modern, diharapkan tetap mematri ungkapan nilai budaya lokal disamping informatif dan edukatif dengan dua paradigma “tontonan dan tuntunan”. Dengan kemampuan semacam ini, akan membuktikan bahwa seni pedalangan/pewayangan sebagai salah satu seni tradisi mempunyai peran dalam proses globalisasi.

IV. Simpulan

Karya-karya eksperimental wayang yang dipersembahkan oleh para insan dalang akademis, dikembangkan dalam dua aspek yakni, aspek isi dan bentuk. Aspek isi, dikembangkan dengan mengadakan penafsiran kembali terhadap plot/pembabakan ceritera-ceritera wayang yang sudah umum dikenal, sehingga dapat disusun struktur narasi baru dari lakon-lakon tradisi. Aspek bentuk dikembangkan dari teknik penyajian dan aparatusnya. Salah satu teknik yang paling menonjol ialah adanya kecendrungan untuk memperkaya dimensi pewayangan dari dua menjadi tiga dimensi. Inovasi bentuk pewayangan juga terdapat pada penggunaan aparatus adalah pemakaian layar/kelir besar, wayang besar, tata lampu modern, ansamble gamelan non-konvesional, dekorasi panggung, scenery, computer, LCD, gerong/sinden, dan jumlah dalang lebih dari satu orang sekaligus. Dengan kondisi seperti ini, peluang untuk memperbaharuhi teknik pementasan wayang semakin bertambah dan berkembang.

Semakin besar minat untuk mengembangkan ide-ide pewayangan, maka semakin besar pulalah kepedulian seniman (dalang) mempertimbangkan aspek-aspek keindahan dan logikanya. Ide yang mengarah pada aspek keindahan, sekiranya sudah banyak diolah dalam struktur pertunjukannya, sedangkan dari aspek logika akan terwujud melalui kecendrungan meliput gejala-gejala sosial untuk diangkat dalam pakeliran. Munculnya lakon-lakon wayang yang bertemakan kerakyatan berpeluang besar menguak peristiwa aktual yang sedang dan akan terjadi pada masyarakat kini sebagai konskwesi globalisasi.

DAFTAR BACAAN

Bandem, I Made , 2000. “Melacak Identitas di Tengah Budaya Global”, dalam MSPI, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X/2000, Penerbit Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.

______________ dan I Nyoman Sedana, M.A., 1993. Pertunjukan Wayang Kulit Bali antara Tradisi dan Inovasi, Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Wayang Kulit, Pesta Kesenian Bali XV, Denpasar.

Djelantik, A. A. M., 1994. “Peranan Estetika dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 2, Th. II, STSI Denpasar.

Hadi, Sumandio., 1991. Pengembangan Kreativitas Tari, Seminar Nasional Pendidikan Seni dan Globalisasi Budaya, ISI Yogyakarta.

Hastanto, Dr. Sri., 1988. Wayang Kulit: Ke-Adiluhungan-nya, Profesionalisme, dan Prospek Masa Depan, Makalah disajikan pada Sarasehan Wayang Senawangi, TMII Jakarta.

Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat, PT. Sinar Harapan, Jakarta.

Kodi, B.A., I Ketut, dan I Dewa Ketut Wicaksana, B.A., 1988. Pakeliran Layar Berkembang “Anugrah”, Skrip Pedalangan, STSI Denpasar.

Kasidi Hadiprayitno, 1999. Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan Gagrag Yogyakarta, Makalah disampaikan pada Sarasehan Wayang Indonesia, Jakarta.

Marhaeni, Ni Komang Sekar., 1990. Pakeliran Kreasi Baru “Gopala Maya”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Meder, I Wayan., 1997. Dwipaksa Tunggal, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Mulyono, Ir. Sri., 1978. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.

Murgiyanto, Sal., 2000. “Koreografi dan Kreatifitas”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya STSI, no. 8, th. VIII, Denpasar.

Murtana, I Ketut., 1996. Pakeliran Tunggal “Mulat Sarira”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Sedyawati, Edi., 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.

Setiaria, I Made., 1990. Teater Sandi “Bima dadi Caru”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Soetarno, 1988. Perspektif Wayang dalam Era Modernisasi, Pidato Dies Natalis XXIV ASKI Surakarta.

Sudarta, I Gusti Putu., 1991. Pakeliran Padat “Kama Salah”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Sudiana, I Ketut., 1995. Wayang Golek GedeBawalaksana”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.

Wicaksana, I Dewa Ketut., 2000. “Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan/Pewayangan Bali”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, no. 8, Th. VIII, STSI Denpasar.

____________________, 1997. Wayang Sapuh Leger: Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali, Thesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan, Pasca-Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Widnyana, I Kadek., 1990. Olah Pakeliran “Dhibyacaksu”, Skrip Pedalangan STSI Denpasar.


[*]Makalah disampaikan pada Seminar Program Semi Que V,  Program Studi Pedalangan ISI Denpasar, Kemis, 14 Oktober 2004 di Kampus ISI Denpasar.