LAGU MERAH PUTIH

Nama I Gede Dharna sudah tak asing dikalangan seniman dan budayawan di Bali. Dharna juga dikenal sebagai veteran yang aktif bergiat dalam kesenian sastra, terutama sastra Bali. Dharna mempunyai tiga anak dengan enam cucu. Almarhum memang tetap tinggal di lingkungan atau kecamatan Sukasada sejak dilahirkan hingga mempunyai cucu. Dengan melahirkan segudang karya seni yang dimiliki, di kalangan masyarakat khususnya dalam seni lagu sudah tidak asing di telinga masyarakat. Ciptaan lagu yang tak asing didengar dan sering dinyanyikan oleh penyanyi Bali era sekarang seperti lagu berjudul Merah Putih. Lagu berjudul “Merah Putih” ini begitu populer dan melekat di kalangan masyarakat Bali, baik anak-anak, pemuda hingga orang tua. Di sekolah-sekolah di Bali, lagu ini kerap menjadi tembang wajib yang harus dinyanyikan siswa selain lagu-lagu perjuangan berbahasa Indonesia. Lagu “Merah Putih” ciptaan Dharna memiliki cerita khusus. Kisah di balik lagu “Merah Putih” ini dicatat di bagian “Indik Pengawi” buku kumpulan cerpen berbahasa bali karyanya, Dasa Tali Dogen yang meraih penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali tahun 2009 lalu.

Berawal dari peristiwa “Perang Bendera” di Pelabuhan Buleleng di Singaraja pada 27 Oktober 1945. Dalam peristiwa itu, seorang pejuang asal Banjar LIligundi Singaraja, Ketut Merta, gugur. Saat peristiwa itu, Dharna yang baru berusia 14 tahun mengalami luka di kaki. Namun, dia masih bisa membuat lencana merah putih dan menyerahkannya kepada para pejuang di depan rumahnya di Sukasada. Peristiwa itulah yang memperkuat rasa cinta Tanah Air-nya. Rasa sedih atas peristiwa gugurnya Ketut Mertha dituangkan dalam lagu “Merah Putih”.