Awal Mula Gamelan Gender Wayang di Banjar Pande, Tamanbali

This post was written by desimuliartana on Januari 9, 2012
Posted Under: Tulisan

Awal mula Gamelan Gender Wayang

di Banjar Pande, Tamanbali

 

Awal mula adanya gamelan gender wayang di Banjar Pande, Tamanbali yaitu bermula dari pengalaman seorang seniman yaitu Bapak Pande Ketut Cakri yang ketertarikan Beliau kepada sebuah gamelan gender wayang. Beliau merupakan alumnus KOKAR pada tahun 1976. Setelah tamatnya Beliau dari KOKAR pada tahun 1976, Beliau mendapatkan sebuah tawaran untuk ikut disebuah yayasan seni di Jakarta yang bernama Yayasan Gingsir yang diprakarsai oleh Jhoni Gingsir dari Jakarta. Beliau bersama teman-temannya seperti : Bapak Westra, Bapak Santra, Bapak Suirta, Bapak Kasna Tarwa dan Bapak Gede Winarta diundang dan diikutsertakan untuk masuk yayasan seni ini yang bertujuan untuk melestarikan budaya dan seni nusantara khususnya kesenian Bali, karena suatu halangan tertentu Beliau bersama teman-temannya tidak jadi berangkat ke Jakarta ke yayasan tersebut, karena adanya alasan tertentu jadi keberangkatan Beliau bersama taman-temannya ke Jakarta ditunda.

Pada tahun 1981 Beliau bekerja di sebuah lembaga pendidikan di SMP Negeri 1 Bangli. Pada tahun 1983, Beliau melanjutkan kuliah di ASTI Denpasar. Pada saat itu Beliau membuat sebuah sanngar seni drama yang bernama Sanggar Sancaya Dwipa, dimana Beliau sebagai kordinatornya. Sembilan tahun lamanya Beliau menggeluti di sanggar drama ini yang dimana selama sembilan tahun tersebut Beliau jarang untuk mendapatkan istirahat siang ataupun  malamnya. Oleh sebab itu Beliau sering sakit-sakitan. Keluhan istri Beliau maka Beliau berhenti untuk melakukan sebuah pagelaran drama gong bersama sanggar Sancaya Dwipa ini. Kemudian, Beliau beranggapan bahwa melakukan sebuah pertunjukan untuk upacara Yadnya adalah sebuah keikhlasan untuk lebih meningkatkan atau mendekatkan iman kepada Sang Pencipta atau istilah Balinya ngayah.

Kira-kira pada tahun 1992, Beliau kenal dengan seorang dalang dari Banjar Jelekungkang, Taman bali, Bangli. Seorang seniman dalang tersebut bernama Bapak Mangku Karsa. Bapak Mangku Karsa adalah seorang seniman yang serba bisa. Dalam keseharinnya sebagai seorang dalang, Beliau juga berprofesi segai pembuat wayang dan pembuat gamelan khususnya gamelan gender wayang. Pada saat pembuatan gamelan gender wayang yang dibeli oleh Bapak Pande Ketut Cakri, adanya kesalahan dalam pelarasan atau salahnya penyesuaian nada dari gender wayang tersebut. Biasanya Bapak Mangku Karsa  membuat saih atau larasnya disesuaikan dengan suara Beliau. Saih atau laras gender wayang tersebut adalah saih gede yaitu saih pudak setegal atau umumnya saih gender wayang Kayu Mas. Suara Beliau yang saihnya atau ukurannya kecil, Beliau menggunakan saih menengah saja karena menurut Beliau tidak begitu bagus kedengeran suara yang kecil atau tinggi. Saih yang digunakan Beliau adalah saih menengah yaitu saih sekar kemoning. Karena tidak sesuai dengan suara Beliau, kemudian Beliau menjualnya kepada Bapak Pande Ketut Cakri pada tahun 1992 yang dijual seharga Rp 800.000,00/ dua tungguh pemade. Karena pada saat itu Bapak Pande Ketut Cakri menginginkan gamelan gender wayang. Uniknya gemelan ini yaitu ukiran yang digunakan sangat sederhana dan memakai cat yang didominasi oleh warna merah dan warna pradenya hanya digunakan pada daerah tertentu saja. Namun anehnya seperti halnya gamelan lain prade yang digunakan adalah prade yang berwarna keemasan tetapi pada gamelan ini prade yang digunakan adalah prade silver atau perak. Menurut Bapak Pande Ketut Cakri, menggunakan warna merah karena merah adalah simbol dari seorang yang berkasta pande (soroh Pande).

Saking kerasnya kemauan Beliau, Beliau belajar memainkan gamelan ini pada Bapak Mangku Karsa kurang lebih 1 tahunan. Dalam satu tahun itu, Beliau hanya mendapatkan sebuah tabuh iringan pertunjukan wayang gedog saja.

Setelah lamanya, Beliau merasa ilmu yang didapatkan hanya sedikit, padahal Beliau menginginkan gending yang tidak hanya dipakai sebagai iringan wayang saja tetapi untuk iringan orang yang sedang potong gigi (Mepandes), iringan pada saat orang meninggal (ngender di bade/wadah) dan teknik yang digunakan pemegangan panggul tidak begitu efektif untuk dihunakan pada saat gending yang cepat (batel). Kemudian Beliau kenal dengan seorang ahli gender dari Desa Manuk, dimana di Desa Manuk banyak terdapat gending-gending kuno. Kemudian Beliau belajar teknik dan gending yang digunakan sampai sekarang.

Teknik cara memainkan instrument ini sanagt berbeda pada umumnya. Teknik secara umum biasanya menggunakan sebuah teknik tetekepan atau cara memegang panggul seperti mannggang sate, tetapi disini yang ditekankan adalah teknik permainan dengan menggunakan tetekep atau pemegangan panggul secara bungan cicang. Kelebihan dari teknik ini yaiyu pada saat permainan gending atau lagu yang cepat akan terasa lebih mudah dan bisa memainkan secepat seperti memainkan gangse pada instrument gong kebyar..

Setelah adanya perbekalan ilmu atau teknik yang digunakan, barulah Beliau menuangkannya atau mengajarkan kepada anak dan murid-muridnya. Di beberapa tempat pernah melakukan ayahan tetabuhan seperti di daerah Karangasem seperti di Sidemen, Tenganan, di Buleleng, Trunyan dan dari desa ke desa lainnya, dimana hasil atau sesari dari ngaturang ayah ini biasanya berupa uang senilai Rp 350.000,00 saja.

Gending-gending yang pernah dicari adalah :

1.      Merak Angelo
2.      Alas Arum
3.      Sekar Gendot
4.      Cekcek Megelut
5.      Tulang Lindung
6.      Lasan Megat Yeh, Tetangisan, dan masih banyak lagi lainnya.

Foto dari instrument Gamelan Gender Wayang.

 

 

 

 

Comments are closed.