darmayasa

22 Mei 2012

Resensi buku seklumit gambelan bali

Filed under: Tulisan —— darmayasa @ 9:50 am

Gamelan Jegog merupakan salah satu perangkat gamelan Bali yang bilah-bilahnya terbuat dari bambu. Tiap tiap tungguh instrumen yang membangun perangkat gamelan Jegog itu sendiri terdiri dari delapan bilah, digantung sedemikian rupa pada pelawahnya, dimainkan dengan dua buah panggul baik yang terbuat dari kayu maupun dari karet. Jegog memakai laras pelog empat nada dengan sruti (interval) yang khas sehingga akan menimbulkan laras yang sangat unik dan menarik.

  1. Patus barangan satu buah; berfungsi untuk memulai gending, memberi aba-aba atau memimpin seluruh penabuh, pukulannya mengikuti matra.
  2. Pengapit barangan dua buah; bertugas nyandetin patus barangan
  3. Patus kancil satu buah; bertugas untuk memberi variasi, pepaketan, oncang-oncangan, bermain polos.
  4. Pengapit kancil dua buah; fungsinya nyandetin patus kancil.
  5. Patus suwir satu tungguh; fungsinya sama dengan patus kancil, menguatkan suasana lagu karena nadanya tinggi.
  6. Pengapit Suwir dua tungguh; fungsinya nyandetin patus suwir.
  7. Kuntung atau Celuluk dua buah; sebagai pembawa melodi.
  8. Pemada atau Undir dua tungguh; fungsinya juga sebagai pembawa melodi hanya saja pukulannya lebih jarang dari Kutung.
  9. Jegog satu tungguh; fungsinya sama dengan Undir atau Pemada hanya saja pukulannya lebih jarang, dan dimainkan oteh dua orang penabuh.

Perkembangan Genggong Sebagai Seni Pertunjukan

Genggong yang semula merupakan instrumen tunggal dalam perjalanan sejarahnya kemudian berkembang menjadi sebuah barungan (ensembel). Adapun perubahan seperti ini merupakan suatu bakti bahwa seniman kita tetap menginginkan adanya kemajuan, dan selanjutnya akan memberikan dampak tertentu baik kepada instrumentasi, komposisi gending, teknik dan sebagainya.

Khususnya pada Genggong, perubahan ini disebabkan karena adanya motivasi dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Faktor dorongan dari dalam terjadi karena adanya keinginan dari anggota sekaa atau masyarakat setempat, sedangkan faktor luar itu terjadi berkat adanya motivasi dari luar sekaa atau masyarakat itu sendiri. Sebagai salah satu contoh dari adanya dorongan dari luar ini dapat kami kemukakan berdirinya sakaa Genggong Catur Wangsa Budaya Ubud.

 

Kehidupan Gamelan Gandrung Di Bali Dewasa Ini

Gamelan Gandrung merupakan salah satu barungan gamelan Bali yang memakai taras pelog lima nada. Gamelan ini juga sering disebut gamelan Joged Pingitan, Rindik Gandrung, gamelan Joged Udegan, gamelan Joged Gudegan, dan gamelan Joged Gandang. (Selanjutnya akan disebut gamelan Gandrung).

Sacara etimologi, kata gandrung berarti “cinta” atau “rindu”. Kata ini mengandung makna erotik pada seni pertunjukan gandrung. Di Bali, Gandrung merupakan sebuah tari pergaulan yang dilakukan oleh pria (dan kini juga wanita) dan menjadi lambang cinta kasih atau kerinduan (Bandem, 1996: 62).

Berdasarkan data sementara dari hasil pemetaan kesenian Bali yang dilakukan oleh STSI Denpasar di tiga kabupaten dan satu kotamadya di Bali (kabupaten Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Kodya Denpasar, 1996 dan 1997), dewasa ini masih tercatat 14 sekaa Gandrung yang masih aktif. Salah satu diantaranya adalah sekaa Gandrung Ketapian yang tampil sebagai wakil provinsi Bali dalam Festival Musik Tradisi Indonesia 1997 di Surabaya ini. Sekaa Gandrung Ketapian mil berasal dari Kotamadya Denpasar.

Barungan (ensamble) gamelan Gandrung terdiri dari beberapa buah rindik dan beberapa instrumen lainnya. Rindik terbuat dari bambu, berbentuk bilah (Xylophone), dan dimainkan dengan dua buah panggul yang dipegang kedua tangan penabuh (musisi). Adapun instrumentasi gamelan Gandrung itu adalah sebagai berikut :

  1. Rindik pengugal (2 tungguh), berfungsi untuk memulai gending, menjalankan gending, membuat kotekan (polos dan sangsih).
  2. Rindik barangan (4 tungguh), berfungsi untuk membuat kotekan (interlocking fioguration).
  3. Rindik jegogan (2 tungguh), untuk memainkan bantang (pokok) gending.
  4. Sebuah kendang nyalah, sebagai pemimpin barungan (pengatur irama, memberi aba-aba peralihan gending, mengatur tempo, dan sebagainya).
  5. Sepangkon cengceng, memberi hiasan ritmis dan mengikuti pola kendang
  6. Sebuah kempur pulu, sebuah kemplung/kemong, dan sebuah kempli untuk mematok ruas-ruas gending (colotomic).
  7. Suling, memberi hiasan dan tekanan pada suasana suatu gending.

Teknologi adalah kemampuan teknik yang berlandaskan ilmu pengetahuan eksakta yang berdasarkan proses teknis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: hal 916). Teknologi akan membuat perubahan yang sangat pesat, makin canggih teknologi itu maka makin cepatlah perubahan yang terjadi. Hal itu memang tidak bisa dihindari, namun yang harus dijaga hendaknya kita harus bisa memanfaatkan produk-produk teknologi itu ke arah yang positif.

Dolanan, sering disebut gending rare, sekar rare, merupakan salah satu warisan budaya kita yang harus kita jaga kelestariannya di jaman teknologi mutakhir ini. Dolanan memiliki ciri-ciri antara lain: berlaras slendro atau pelog (ada juga menggunakan laras lain karena pengaruh dari luar), diikuti permainan, teksnya berbahasa Bali lumrah atau kasar, isinya bermacam-macam seperti menceritakan kehidupan binatang, porno, bahkan hinaan.

Produk-produk teknologi canggih dewasa ini akan sangat membantu kita dalam usaha penyelamatan dan pengembangan dolanan pada masa-masa mendatang. Tape recorder, film, video hendaknya dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Komputer akan dapat membantu kita dalam mencatat bahkan menotasinya secara lengkap.

 

Baro, Bero dan Pemero

Baro adalah nama salah satu patet (mode) dalam gamelan Gambuh. Teknik memainkannya dalam suling maupun rebab disebut dengan tetekep Baro, dan merupakan satu diantara lima patet yang dikenal dalam gamelan Gambuh. Keempat patet lain yang sering dimainkan dalam gamelan Gambuh masing-masing: patet/tetekep Selisir, Sunaren, Tembung dan Lebeng. Tiap patet di atas memiliki karakter yang berbeda dan hal ini tergambar dalam penggumaannya pada gending-gending khususnya gending iringan tari. Sebagai sebuah patet dalam gamelan Gambuh, patet Baro biasanya dimainkan pada gending-gending putra keras, misalnya gending Sekar Gadung.

Kalau Bero, lain lagi masalahnya, Bero berarti tidak cocok dengan laras tertentu (false). Kita sering mendengar kata-kata ‘beh sulinge bero’ (wah suara sulingnya tidak cocok/bero). Dalam hal ini mungkin sekali bahwa suling tersebut sedikit lebih tinggi atau lebih rendah dari suara gamelan/vokal yang diiringinya. Dalam dramatari Arja misalnya, dimana suling itu memegang peranan yang sangat penting terutama sebagai pengiring vokal, maka pemain suling haruslah benar-benar tanggap terhadap laras dari tiap penari. Maka dari itu tidaklah mengherankan kalau seorang pemain suling Arja membawa beberapa suling dengan harapan dapat mengiringi vokal dengan tepat alias tidak bero. Tidak hanya terbatas pada vokal saja, melainkan kalau mau membuat suling untuk gamelan tertentu, Gong Kebyar misalnya, suara suling itu haruslah benar-benar tepat baik untuk suara pengumbang maupun pengisep. Kalau tidak niscaya akan sangat merusak suatu pertunjukan.

Bagaimana kalau gamelan yang bero? Ini berarta bahwa laras gamelan itu sendiri sudah rusak. Hal ini tidak akan bisa hanya dibantu dengan suling saja melainkan gamelan itu sendiri harus ‘dipangur’ (dilaras kembali) sehingga larasnya kembali baik.

Lain lagi kalau ada yang mengatakan ‘gendinge bero’ (nyanyiannya bero). Masalah yang terjadi di sini adalah penyanyi misalnya kurang tandak, tukang gerong, dan lain-lain, atau paduan suara  (Sandyagita) tidak bisa mengikuti laras gamelan dengan baik/tepat, sehingga terjadilah laras yang tidak harmonis antara laras gamelan dengan laras penyanyi.

Sedangkan yang terakhir, Pemero, merupakan sebuah istilah untuk menyebutkan suatu nada. Ada dua jenis pemero yang kita kenal dalam karawitan Bali yaitu : Pamero Pokok (sering disebut hanya Pemero saja) dan yang kedua adalah Pemero Cengkok.

Incep. Dalam hal menabuh gamelan Bali, istilah ini sering dipakai untuk menyebutkan hasil tetabuhan yang kompak dan rapi. Tabuh yang incep biasanya dihasilkan oleh sekaa yang memiliki teknik menabuh yang baik seperti megegebug memukul) dan matetekep (menutup/damping), dan ditunjang oleh rasa kebersamaan yang tinggi pula.

Resik. Merupakan incep-incepan pada tingkat yang paling baik. Sebuah hasil tetabuhan akan dikatakan resik apabila sebuah sekaa mampu menghasilkan tabuh yang bersih dalam artian kompak, rapi jiwa gendingnya (rasa gendingnya) cocok, ditambah dengan penampilan sekaa yang betul-betul harmonis dengan gending yang sedang dimainkannya. Dengan kata lain, resik berarti segala-galanya sudah pas/harmonis.

Rontog, artinya kurang rapi. Beberapa hal yang biasa menyebabkan hasil tetabuhan itu rontog, misalnya kemampuan teknik dari penabuh yang kurang merata, mungkin salah seorang penabuh membuat kesalahan pada saat menabuh bersama, atau kekuatan pukulan yang taidak merata pada saat gending itu keras atau lemah dan lain-lainnya. Sering sekali kita mendengar ucapakn “beh sekaane ene suba ja dueg magedig, kewala metabauh tonden bisa” (Waah sekaa ini sudah memiliki teknik menabuh yang baik, akan tetapi penjiwaan gendingnya yang masih kukrang). Dalam hubungan ini mungkin sekali terjadi bahwa tempo gendingnya sedikit lebih cepat atau lebih lambat, misalnya seberapakah kecepatan tabuh Jaya Semara, Teruna Jaya, Baris atau Legong Keraton, dan lain-lain, haruslah dikuasai dengan baik. Dalam hubungan ini tidak perlu terjadi penampilan yang berlebihan (overacting), misalnya mengiringi tari Teruna Jaya, mengiringi Legong Keraton dan seterusnya.

 

Gamelan Semara Dana Perkaya Khasanah Karawitan Bali

Kini Khasanah Karawitan Bali betambah lagi dengan munculnya sebuah gamelan baru yang bemama Semara Dana. Ide penciptaannya dicetuskan oleh           I Wayan Beratha, seorang seniman kawakan pensiunan guru SMK 1 Denpasar yang kini juga salah satu dosen luar biasa pada ASTI Denpasar. Latar belakang tercetusnya ide tersebut bermula dari pengalaman-pengalaman yang didapat oleh  I Wayan Beratha dan kawan­kawannya terutama dalam penggarapan Sendratari kolosal pada Pesta Kesenian Bali. Pada mulanya Sendratari itu digarap dengan hanya menggunakan satu barung gamelan saja, yaitu gamelan Gong Kebyar. Dalam perkembangan selanjutnya, gamelan pengiring Sendratari itupun berkembang; kadang-kadang menggunakan dua barung gamelan seperti gamelan Gong Kebyar dan Semara Pegulingan Saih Pitu, dan tidak jarang menggunakan tiga barung gamelan sekaligus misalnya Gong Kebyar, Semara Pegulingan Saih Pitu dan Gong Gede. Adanya beberapa barung gamelan ini tentu memberikan tantangan berat baik kepada komposer maupun penabuh itu sendiri. Komposer dituntut untuk dapat menciptakan gending-gending baru sesuai dengan kebutuhan Sendratari itu sendiri. Sedangkan di pihak lain penabuh dituntut untuk menunjukkan teknik permainan yang tinggi terutama dalam memainkan gamelan yang masing­masing membutuhkan teknik yang berbeda. Karena adanya tiga jenis gamelan ini, maka dalam memainkannya, penabuh itu harus berpindah­-pindah atau bergeser ke arah gamelan yang akan dimainkan. Hal ini memang dapat dilakukan namun hal ini nampaknya kurang praktis. Dalam perpindahan suatu lagu dari barungan yang satu ke barungan yang lain penabuh sering mendapat hambatan kecil misalnya terlambat atau salah memukul nada yang tepat. Mlelihat kenyataan ini maka timbul ide dari I Wayan Beratha untuk membuat gamelan menjadi satu, sehingga dari segi teknis akan memudahkan.

Sebagai sebuah seni tari klasik, diduga bahwa Legong sudah muncul di Bali pada abad ke 19 (Bandem, 1980 : 8) dan tidak kurang dari 15 tema atau ceritera legong yang sudah berhasil diketahui. Satu diantara tema yang akan dibahas pada hari ini adalah Kuntir atau Kutir, yang mengisahkan tentang Aribanga dan Arikuning sedang berebut cupu Manik Astagina sehingga wujud mereka berubah menjdi kera yang kemudian bernama Subali dan Sugriwa.

Bagawadghita

Filed under: Tulisan —— darmayasa @ 9:37 am

Bagawadghita artinya ‘nyanyian tuhan’. Amanat  luhur ini merupakan inti spiritualitas india. Kitab yang suci ini mengajar manusia agar mengatasi naluri rendahnya dan mewujudkan potensi sepenuhnya sebagai manusia, yaitu untuk mengethui dirinya sebagai atma yang kekal, suatu dengan Tuhan. Lima ribu tahun yang lalu  Bhagawan Sri Krisna  mengajarkan pengetahuan ini kepada Arjuna  dalam medan pertempuran tepat sebelum peperangan yang dasyat dimulai yaitu pertarungan antara kemampuan baik dan kemampuan jahat. Peperangan itu melambangkan pertempuran yang berlangsung dengan tiada putusnya  dalam hati manusia untuk melakukan hal yang benar dan membrantas yang salah, suatu perjuangan batin yang berlangsung hingga hari ini. Gita berbicara kepada manusia yang berjuang, amatnya abadi dan universal diunjukan kepada orang dari berbagai orang dari berbagai macam latar belakang dan berbagai zaman, dari Arjuna hingga manusia modern pembaca yang belum mengenal Bhagawad gita, disini kami sertakan kutipan yang berisi tentang ringkasan cerita dan ajarannya.

Pada bulan agustus dan September tahun 1984 Bhagawan Sri Sathya. Sai Baba memberikan 34 kotbah mengenai Bhagawad Gita. Dalam bahasa telugu kepada para pelajar dan mahasiswa ashram beliau, prasati nilayam di india selatan. Pembicaraan yng beliau berikan itu dipusatkan pada dua bab dari gita yaitu bab 12 yang menekankan jalan pengabdian, bab 2 yang menekankan jalan kebikjasanaan nserta kegiatan. Setiap percakapan ini saling berkesinambungan, meskipun demikaian masing- masing merupakan darma wacana yang lengkap. Pembaca dapat mulai dengan percakapan yang mna saja dan dengan menempuh hidupnya dengan amanat ini, ia dapat menikmati keindahan peningkatan spiritual yang memenuhi hidupnya.

 

 

Sloka 1-14

Tatah svetair hayair yukte

Mahati syandane sthitau,

Madhavah pandavas caiva

Divyau sankhau pradadhmatuh

Artinya :

Kemudian setelah berdiri diatas kereta yang megah yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, Krsna dan Arjuna meniup Terompet Devata mereka.

RESENSI BUKU TARI BARIS KETEKOK JAGO

Filed under: Tulisan —— darmayasa @ 9:33 am

Menurut informasi para sesepuh dan penglingsir yang ada di wilayah Br.tanggun titi,tonja, menyebutkan sekitar tahun 1938  masyarakat/krama Br.tanggun tii,akan mengadakan upacara memungkah,pemlaspas dan pedudusan agung di Pura Kebon Boni,

Maka pada saat itulah,awal terbentuk nya sekaa Baris ketekok jago,dan untuk lebih cpatnya para pnari memahami tarian baris ketekok jago,maka diadakan upacara ritual keagamaan yaitu mengadakan penuuran (nuur) atau memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dilakukan dipura peti tenget krobokan badung.

Dengan mengadakan upacara ritual sperti itu maka apa yang diinginkan oleh masyarakat tanggun titi untuk memahami tari ketekok jago benar-benar menjadi kenyatan . maka terbukti sampai saat ini tari baris ketekok jago yang ada di Br.tanggun titi,tonja tetap bisa lestari .

Beberapa tokoh dan para pemuka masyarakat juga menyebutkan keberadaan Sekaa Baris Ketekok Jago sampai saat ini sudah memasuki 5 generasi dan tentu juga sama dengan kesenian yang lain dimana dalam perkembangannya mengalami suatu pasang surut, begutu juga yang terjadi di Sekaa Baris Ketekok Jago.

Dengan perasaan senang dan bangga para penari baris tetap melakoni kewajibannya mengadakan suatu persembahan yang suci yang di aktualisasikan dalam suatu pergelaran (sesolahan) yang dilaksanakan setiap enam bulan (6bulan) sekali tepatnya pada hari Buda Manis Wuku Medangsia yang jugs bertepatan dengan pujawali di Pura Dalem Kebon Buni Br.Tanggun TIti,Tonja.

Tarian ini wajib di persembahkan kehadapan Sang Hyang Siwa dan Dewi Durga yang beristana di Pura Dalem Kebon Boni Tonja, karena menurut kepercayaan masyarakat yang ada di wilayah Br.Tanggun Titi Tonja, di Pura Dalem Kebon Boni Tonja juga beristirahat “Dewa/Dewi Seni”. Hal ini bisa dibuktikan lewat peningalan-peningalan suci berupa beberapa buah tapel (topeng) yang sangat disucikan oleh masyarakat Br. Tanggun Titi dan memang benar apa yang disampaikan. Jadi suatu kenyataan Tari Baris Ketekok Jago bisa lestari samapi sekarang.

Pada suatu ketika Tari Baris Ketekok Jago ini pernah tidak dipentaskan,(mesucian) entah apa sebab musababnya sehingga bhatara/bhatari yang bersthana di Pura Dalem Kebon Buni murka dan hal ini dapat dibuktikan untuk mengutus “ancangan bliau” yang berupa ular. “Ular Poleng” mendatangi rumah salah seorang penari Baris Ketekok Jago itu. Berdasarkan fakta seperti itu maka, bagaimanapun situasi dan kondisi yang ada pada para penari , harus menyaipkan diri dan waktu untuk ngaturang sesolahan Tari Baris Ketekok Jago “ di Pura Dalem Kebon Buni dan ini wajib dilakukan oleh para penari Baris Ketekok Jago tersebut.

Di samping sebagai sarana pokok dalam pujawali di Pura Dalem Kebon Buni, Disisi lain Baris Ketekok Jago juga mempunyai fungsi dan tujuan adalah sebagai sarana yang utama yang di dalam pelaksanaan upacara Pitra Yadnya (Ngaben), di mna Baris Ketekok Jago posisinya pada saat prosesi upacara tersebut , pasti menempati posisi di depan Bade (Wadah). Kenapa demikian sesuai dengan informasi yang ditrima dari masyarakat pendukung , Tari Baris Ketekok Jago ini berpungsi untuk  “membuka (ngeruak)” jalan supaya orang yang meninggal , yang diupacarai  itu perjalannya lebih cepat untuk menuju sorga.

 

Pada umumnya Tari Baris Ketekok Jago ini diiringi dengan gambelan gong kebyar yang mempunyai struktur tabuh secara khusus , yang sampai saat ini tari dan tabuh Ketekok Jago ini belum diperjualbelikan (dikomersilkan). Kenapa demikian? Karena Tari Baris Ketekok Jago merupakan salah satu yang tergolong Tari Wali/Sakral.

Adapun struktur tabuh iringan tari Baris Ketekok Jago adalah sebagai berikut :

1.Pengawit : dengan tabuh bebarisan.

2.Pengadeng : dimainkan sebnyak 2 kali.

3.Tabuh penyelah menuju ke pengawak sebanyak 5 kali.

4.Pengawak : biasanya dipakai gending , Dengan gending-gending pengipuk tabuh ini disesuaikan dengan penari sampai selesai adegan tersebut.

5.Tabuh Kale : Tabuh Kale dimana struktur Kendangnya , memakai pukulan  batu-batu sebanyak 2 kali dan dilanjutkan dengan Tabuh Kale sebagai tabuh penutup.

Powered by WordPress WPMU Theme pack by WPMU-DEV.