Pengertian Tabuh lelambatan

Tabuh lelambatan pegongan merupakan salah satu komposisi klasik dalam seni karawitan Bali. Dari berbagai bentuk komposisi yang ada, komposisi ini memiliki spesifikasi dan ciri khas tersendiri dimana penekanan pada istilah ”lelambatan” mencerminkan sebuah identitas yang kuat. Lelambatan berasal dari kata Lambat yang berarti pelan yang mendapat awalan Le dan akhiran an kemudian menjadi lelambatan yang berarti komposisi lagu yang dimainkan dengan tempo dan irama yang lambat/pelan. Tambahan kata Pegongan pada bagian belakang kata Lelambatan sebagai penegasan pengertian bahwa gending-gending lelambatan klasik pagongan adalah merupakan repertoar dari gending-gending yang dimainkan dengan memakai barungan gamelan Gong. Gamelan Gong yang dimaksud adalah gamelan-gamelan yang tergolong dalam kelompok barungan yang memiliki Patutan Gong. Patutan adalah merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan tangga nada (laras) gamelan Bali yang mempergunakan laras pelog 5 (lima) nada.

Diantara barungan gamelan yang berlaras pelog lima nada, yang biasanya dipergunakan untuk menyajikan tabuh-tabuh lelambatan adalah gamelan Gong Gede dan Gamelan Gong Kebyar. Dari kedua barungan tersebut secara khusus tabuh-tabuh lelambatan adalah merupakan repertoar dari barungan Gamelan Gong Gede.

Sebagai sebuah komposisi karawitan klasik, keberadaannya sudah cukup lama dalam blantika musik tradisional Bali. terkait dengan keberadaannya itu, hingga saat ini belum ada data akurat yang mengungkap awal mula keberadaan tabuh-tabuh lelambatan klasik pegongan. Namun demikian, sebagai bagian dari repertoar gamelan Gong Gede, keberadaan gamelan tersebut dapat dipakai acuan sementara terkait dengan awal mula keberadaan komposisi-komposisi tabuh lelambatan tersebut.

Gamelan Gong Gede diduga mengalami puncak perkembangannya pada abad ke XVI-XVII yaitu pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Raja sebagai patronase pada waktu itu menunjukkan supremasinya melalui pembinaan berbagai bentuk kesenian termasuk diantaranya gamelan Gong Gede (Astita dalam Mudra, 1995:120). Abad tersebut dianggap sebagai jaman keemasan kesenian Bali, dimana pada waktu itu banyak bermunculan berbagai jenis seni pertunjukan tradisional baik berupa tari, karawitan dan pewayangan.

Secara filosifis, tabuh sebagaimana diuraikan dalam prekempa (Bandem, 1986:65) bait ke 36 ada disebutkan:

”Iti pretyakaning tabuh. Tabuh kang inaran tata ing buh. Tata ngaran prawerti. Prawerti ngaran kasusilan, susila ngaran sesana mwang penglaksana. Apan wiwiting hana wyaktinya sangkaning tiga, apan Sang Hyang Tri Wisesa angadakaken salwiring tumuwuh mwang salwiring maurip. Iti hana Sang Hyang Buh loka yaika sangkaning payoganira Sang Hyang Tri Wisesa kang gumawe utpeti, sthiti pralina….”.

Artinya:

”…Inilah keterangan dari susunan tabuh. Tabuh berasal dari tata dan buh. Tata yang disebut prawerti, prawerti artinya kesusilaan, susila yang berarti sesana dan pelaksana. Karena asal mula yang sebenarnya berasal dari tiga, karena Sang Hyang Tri Wisesa yang mengadakan segala yang tumbuh dan segala yang  berjiwa…”

Dari uraian tersebut dapat dicermati bahwa tabuh mengandung pemaknaan yang cukup dalam mengenai ajaran tata susila serta konsepsi tentang kelahiran, kehidupan dan kematian yang merupakan siklus kehidupan manusia di dunia. Di dalam konteks seni karawitan, tabuh diuraikan sebagai suatu bentuk komposisi karawitan yang disajikan melalui media seperangkat gamelan Bali baik intrumentalia dan sebagai musik pengiring tari, drama, prosesi dan sebagainya (Kamus Bali-Indonesia (1978:555).

Di lain pihak, I Nyoman Rembang (1984/1985:8-9) secara spesifik memberikan penjelasan bahwa tabuh bila dilihat sebagai suatu estetika teknik penampilan adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoir hingga sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Sedangkan, tabuh sebagai suatu bentuk komposisi, juga dapat diartikan sebagai kerangka dasar gending-gending lelambatan tradisional Misalnya tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, tabuh pat dan sebagainya.

Karawitan di Era Modern

Sejak tahun 1950an, Karawitan digunakan untuk menyebut seni suara berkembang di Nusantara, yang kedudukannya sejajar dengan musik. Karawitan tidak bisa dipandang sebelah mata jika dibandingkan dengan musik pada era modern ini, karena karawitan bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh musik pada era modern ini. Sebagai contoh, musik dalam jumlah banyak seperti orkestra, memerlukan seorang orang konduktor untuk menyamakan irama, tetapi sebaliknya, pada karawitan tidak diperlukan konduktor untuk menyamakan irama. Bisa dikatakan, karawitan adalah salah satu maha karya kebudayaan dari Nusantara.

Ironis memang, jika kita melihat perkembangan karawitan di era modern ini, abad 21. Andai dilakukan survei dalam bentuk tanya jawab pada anak-anak muda sekarang ini, bisa ditebak, “bisa dihitung dengan jari” anak-anak muda yang mengerti tentang karawitan.

Namun, hal terbalik malah terjadi di luar negeri. Karawitan berkembang pesat ! Sebuah fakta menggembirakan sekaligus mencengangkan, sebuah acara menempatkan gamelan sebagai menu utama festival diselenggarakan di Vancouver Kanada, bukan di Jawa yang merupakan daerah asal kebudayaan karawitan.

Hal tersebut tidak lepas dari “semakin jauhnya” generasi muda di Indonesia terhadap karawitan. Karawitan tidak lagi menjadi menu sehari-hari anak muda. Karawitan menjadi hal yang langka dan “terlarang” bagi kalangan muda. “Enggak gaul loe, anak muda selera musiknya kayak embah-embah” Sebuah celetukan yang mungkin didapatkan bagi penggemar muda karawitan di tengah anak-anak band.

Akses yang sulit juga berpengaruh terhadap perkembangan karawitan di Indonesia. Sedikit bercerita, pada pertengahan bulan Desember lalu, saya menjadi pendamping karya wisata yang umumnya disebut dengan piknik di sebuah SD di Kecamatan Nogosari. Pada awal keberangkatan, tidak terjadi hal yang aneh, biasa-biasa saja, anak-anak masih menyanyikan bersama-sama lagu anak-anak yang dipandu oleh guru di bus. Ketika perjalanan sudah cukup jauh, aktivitas menyanyi pun dihentikan, karena sudah capek juga. Dan lagu anak-anak pun digantikan dengan musik dangdut sesuai permintaan dari anak-anak. Ayah, satu dua lagu saya cukup mengerti, karena memang sudah familia. Anak-anak pun dengan senangnya ikut menyanyi menirukan lagu yang diputar di VCD.

Hal “aneh” pun terjadi, selama kurang lebih 3 jam non stop anak-anak masih menyanyi menirukan lantunan musik dari VCD ! Dan mereka hafal sebagian besar liriknya, yang bahkan saya sendiri pun tidak tahu lagu apa yang sedang diputar !

Hal yang cukup mencengangkan bukan ? Dan kita bisa menebak, di rumah dan di lingkungan anak-anak tersebut pasti musik-musik dangdut itu mudah sekali ditemukan dan sering kali diputar, yang berdampak membudayanya musik dangdut di kalangan anak-anak.

Tetapi hal tersebut tidak terjadi di karawitan pada era sekarang ini. Sekali lagi, karawitan begitu jauh dan begitu langka bagi generasi muda bangsa Indonesia. Padahal, jika dilihat dari segi kebermanfaatan dan nilai-nilai yang dikandung dalam karawitan jauh sekali lebih tinggi dibandingkan dengan musik dangdut. Andaikan saja musik karawitan yang membudaya, bukan musik dangdut, mungkin mental generasi muda bangsa ini menjadi lebih baik.

Selanjutnya, tentang fungsi. “Selama masih mempunyai fungsi, bisa dikatakan hidup dan berkembang”, kata Bapak Joko Daryanto. Karawitan sendiri mempunyai dua yaitu fungsi sosial dan fungsi musikal. Fungsi sosial karawitan yaitu digunakan untuk mendukung peristiwa atau kejadian di luar kesenian atau berkaitan dengan adat, contohnya digunakan ketika pernikahan, sekatenan, dll. Sedangkan fungsi musikal karawitan yaitu digunakan untuk mendukung kesenian yang lain, contohnya digunakan dalam pewayangan, karawitan teater, karawitan tari, konser karawitan mandiri dll.

Dalam perkembangannya, fungsi sosial dari karawitan mulai tergantikan dengan seni musik yang lebih “simpel”. Jika zaman dahulu ketika sunatan, kalau syukurannya belum anggap wayang, yang di dalamnya ada karawitan, belum marem rasanya. Tetapi, zaman sekarang ini, syukuran sudah marem hanya dengan memutar rekaman VCD. Fungsi kesenian dari karawitan di Indonesia pun berjalan kurang optimal, masih kalah dengan konser-konser band.

Dengan melihat potensi-potensi dari karawitan, karawitan harus tetap dilestarikan dan dibudayakan di kalangan anak muda, meskipun banyak permasalahan dan kendala.

Upaya yang bisa dilakukan, terutama sebagai calon guru sekolah dasar, adalah dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang karawitan. Sebuah upaya yang mainstream, tetapi cukup efektif menjawab pertanyaan tentang apa yang haru dilakukan.

Upaya yang lain yaitu mengajak anak-anak menonton konser karawitan, wayang kulit, wayang orang, sendra tari, atau sekatenan. Dengan intensitas yang lumayan rutin, diharapkan kecintaan siswa semakin meningkat.

Tetapi upaya-upaya tersebut hanyalah upaya untuk mempertahankan ke eksisan karawitan secara sementara. Jika ingin karawitan lebih eksisi lagi, dukungan total dari pemerintah sangat berpengaruh sekali, seperti pembuatan peraturan tentang wajibnya setiap sekolah terdapat ekstrakulikuler karawitan, mengadakan perangkat karawitan bagi setiap sekolah, dll.

Keberhasilan dalam mempertahankan karawitan harus dilakukan bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah. Maka, kita sebagai bagaikan dari masyarakat akademis, mari kita mulai melangkahkan kaki mengawali upaya regenerasi dan transfer of knowledge kebudayaan karawitan kepada generasi muda bangsa Indonesia.

 

SEJARAH GAMBELAN/MUSIK GAMBANG DI BALI

Gamelan Gambang

Timbulnya Gambelan Gambang di Banjar Sembuwuk Desa Pejeng Kaja ini sudah ada sejak dahulu, yang merupakan warisan leluhurnya (tetamian). Pada jaman kerajaan Tabanan, salah seorang dari keluarga “Arya Simpangan” (sekaa gambang sekarang) tinggal di kerajaan Tabanan. Setelah terjadi perebutan kekuasaan, maka kerajaan Tabanan dibagi menjadi dua. Atas petunjuk Dalem Watu Renggong (Raja Gelgel, Gusti Ngurah Klating adik Gusti Ngurah Tabanan diberi tugas oleh Dalem untuk membuat Gambelan Gambang yang gending-gendinya diambil dari lontar pemberian “wong gamang” (orang halus).

Gambelan ini oleh petunjuk Dalem dipergunakan sebagai sarana perlengkapan di dalam upacara Ngaben (Pitra Yadnya). Maka sejak saat itu atau petunjuk I Gusti Ngurah Klating, mulailah orang-orang mempergunakan Gambelan Gambang didalam pelaksanaan upacara Ngaben.

Salah seorang keluarga Arya Simpangan, merasa tertarik untuk ikut membuat Gambelan Gambang tersebut, kemudian pulang ke Sembuwuk memberitahukan keluarganya tentang adanya gembelan tersebut dan sepakat untuk membuatnya.

Maka sejak saat itu mulailah di Banjar Sembuwuk ada gambelan Gambang yang pada mulanya hanya dipergunakan untuk upacara Ngaben (Rundah, wawancara, tanggal 5-11-1986, dalam Saptanaya, I Nyoman, 1986:13).

Keterangan ini diperkuat oleh Cokorda Agung Suyasa dari Puri Saren Ubud, yang menyimpan sebuah lontar tentang sejarah gambelan Gambang. Cokorda Agung Suyasa menerangkan sebagai berikut: Disebutkan pada jaman kerajaan Dalem Watu Renggong (1460 – 1550) di Tabanan ada sebuah kerajaan. Pada waktu itu raja mempunyai dua orang putra yaitu I Gusti Ngurah Tabanan dan adiknya I Gusti Ngurah Klating. Karena beliau sudah tua, maka kedudukan beliau diberikan kepada putranya yang pertama yaitu I Gusti Ngurah Tabanan. Oleh adiknya I Gusti Ngurah Klating hal itu tidak mau diterima, karena beliau juga menginginkan kedudukan tersebut. Maka terjadilah perang antara kakak dan adik dalam memperebutkan kedudukan sebagai raja. Kejadian itu lalu didengar oleh Dalem Watu Renggong, dan Gusti Ngurah Klating dipanggil untuk diminta keterangannya. Dalam keterangan itu Gusti Ngurah Klating mengakui bahwa dirinya memang menginginkan kedudukan itu, sehingga terjadilah perang.

Oleh Dalem permintaan Gusti Ngurah Klating bisa dipenuhi, dengan syarat Gusti Ngurah Klating harus menyelesaikan dulu tugas yang akan diberikan kepadanya. Kemudian Gusti Ngurah Klating diberi tugas oleh Dalem untuk mencari lontar milik wong gamang, yaitu lontar “tanpa sastra“ (tanpa tulisan) dan hanya diberi waktu selama tujuh hari. Kalau tidak berhasil maka Gusti Ngurah Klating akan dikenakan hukuman mati, dan seandainya berhasil nantinya akan diberi kedudukan sebagai raja. Dalem berkeyakinan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi, karena hal itu hanya merupakan hukuman saja.

Dengan perasaan ragu-ragu Gusti Ngurah Klating berangkat mememnuhi permintaan Dalem. Gusti Ngurah Klating juga berkeyakinan bahwa hal itu tidak mungkin untuk dipenuhi. Segala tempat yang keramat dikunjunginya, tetapi dari sekian tempat yang sudah dikunjungi satupun tidak ada menunjukan tanda bahwa itu ada lontar yang dimaksud oleh Dalem.

Pada hari terakhir (hari ketujuh) siang hari saat matahari dengan teriknya memancarkan sinar, Gusti Ngurah Klating merasa kepanasan, sehingga timbul niatnya untuk mencoba berteduh yang kebetulah pada waktu itu menjumpaui pohon kepuh yang sangat besar terletak disebuah kuburan. Kemudian sambil merebahkan diri, Gusti Ngurah Klating mencoba untuk tidur. Pada saat itu entah dari mana datanglah burung gagak yang jumlahnya sangat banyak mengitari pohon kepuh tersebut sambil mengibas-ngibaskan sayapnya. Gusti Ngurah Klating kemudian terbangun dan melihat burung gagak yang sangat banyak itu. Dari kerumunan burung gagak itu kemudian jatuh sebuah lontar tepat dihadapan Gusti Ngurah Klating. Lontar tersebut lalu diambil dan setelah digenggam, kembali Gusti Ngurah Klating mencari-cari dimana burung gagak tersebut berada, tetapi ternyata sudah hilang.

Dengan didapatnya lontar tersebut, Gusti Ngurah Klating kembali ke Gelgel untuk menghadap Dalem tanpa memeriksa apa isinya. Di Gelgel Dalem menyambut kedatangan Gusti Ngurah Klating dengan dugaan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi. Gusti Ngurah Klating menghadap dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, serta menghaturkan lontar yang telah didapatnya.

Dalem kemudian memeriksa isi lontar tersebut, dan betapa terkejutnya karena lontar lontar tersebutlah yang sebenarnya diminta oleh Dalem. Karena janjinya untuk menobatkan Gusti Ngurah Klating sebagai raja, maka kerajaan kaka Gusti Ngurah Klating (I Gusti Ngurah Tabanan) lalu dibagi menjadi dua. Sebelum dinobatkan menjadi raja, Gusti Ngurah Klating disuruh oleh Dalem untuk membuat seperangkat gambelsn yang gending-gendinya diambil dari lontar tersebut.

Karena gending-gending tersebut diambil dari lontar milik wong gamang, maka barungan gambelan tersebut oleh Dalem diberi nama gambelan gambang yang dipergunakan untuk mengiringi jalannya upacara.

Sebelum dimainkan gambelan tersebut diberikan sesajen dengan tujuan untuk dihaturkan kepada wong gamang agar tidak menggagu jalannya upacara. Maka sejak saat itulah di Bali berkembang Gambelan Gambang yang dipergunakan sebagai sarana pelengkap di dalam melakukan upacara atau yadnya.

Pura petitenget

Pura Petitenget Bali

Dulunya Hanya Sebuah Hutan Angker

Seminyak perlahan tapi pasti mengikuti jejak terkenal yang telah diambil oleh Kuta dan Legian dimana keramaian perlahan-lahan mulai mengisi wilayah tersebut dan beberapa tempat yang menarik menawarkan kualitas bintang lima di Petitenget, daerah yang dekat dengan Seminyak. Petitenget adalah sebuah pura berbau magis di daerah pantai nan eksotis berpasir emas di Banjar Batu Belig, Kerobokan, Kuta Utara, Bali.

Sejarah tempat ini tidak begitu terkenal seperti yang kita bayangkan dari cerita-cerita saat ini. Peti memiliki artian dari peti yang sebenarnya dan Tenget berarti angker. Pura ini dibangun pada abad ke-15, dan sejarah menyebutkan bahwa tempat ini merupakan wilayah alam liar yang dipenuhi semak dan pohon-pohon besar.

Sejarah Pura dimulai ketika Pendeta yang bernama Dang Hyang Dwijendra meninggalkan Pulau Serangan dan tiba di sebuah desa yang sekarang dikenal sebagai Kerobokan. Di desa beliau melihat bayangan berukuran raksasa bersembunyi di balik semak-semak. Beliau menyebut bayangan tersebut Bhuta Ijo, anak dari Bhatara Labuhan Masceti. Bhuta Ijo adalah roh yang diyakini memiliki wajah yang sangat menakutkan.

Sebelum Pendeta tersebut meninggalkan desa, ia memberi Bhuta Ijo kotak seperti peti dan memintanya untuk menjaga kotak tersebut. Setelah beberapa saat selama meditasi di Pura Uluwatu, Dang Hyang Dwijendra memiliki pengunjung dari Desa Kerobokan yang datang untuk meminta bantuan. Orang-orang dari desa mengatakan kepada Dang Hyang Dwijendra tentang tanah di dekat desanya yang sangat misterius karena setiap kali seseorang mencoba memasuki tanah tersebut, orang yang bersangkutan akan jatuh sakit. Sebagai solusinya, Dang Hyang Dwijendra kepada orang tersebut agar membangun Pura dan melakukan persembahan di Pura tersebut. Jadi Pura dibangun di daerah tersebut dan ajaibnya berhasil membuat daerah itu menjadi lebih ramah terhadap penduduk. Pura itu kemudian disebut Pura Petitenget Tidak ada suasana menyeramkan lagi, terutama saat ini, ketika Pura ini dikelilingi oleh villa, hotel, dan restoran.

Di depan Pura sendiri tempat parkir luas yang dijaga oleh pecalang (komunitas keamanan lokal). Tempat parkir mobil banyak digunakan oleh pengunjung yang datang ke pantai berpasir putih ini di depan Pura untuk jogging, berjemur, atau hanya sekedar melihat-lihat. Warga desa Kerobokan sebagai warga utama dari pura ini. Pura ini dibangun di sebidang tanah yang lebih tinggi dari pada tanah di sekitarnya.

Di sebelah Barat pura terbentang pantai Petitenget yang indah. Karena ombak di pantai Petitenget cenderung tinggi, banyak para peselancar yang merasa tertantang menaklukkan gulungan ombak yang ada di pantai ini. Disini Anda dapat melihat serunya para peselancar baik peselancar lokal maupun asing menyatu dengan gulungan ombak. Anda juga dapat menikmati pantai dengan berenang ataupun bermain air. Lokasi pantainya pun sangat bersih sehingga para wisatawan menjadi lebih nyaman menikmati keindahan pemandangan pantai.

Di pantai ini anda juga dapat menikmati keindahan matahari terbenam yang indah. Pada Hari Melasti/Mekiyis, pantai ini merupakan tempat untuk Melis bagi warga desa adat Kerobokan, Padangsambian serta Dalung. Upacara Piodalan di Pura Petitenget jatuh pada hari Rabu, Wage, wuku Merakih . Piodalan ini datangnya setiap 6 bulan (210 hari) sekali menurut perhitungan kalender Bali.

 

 

 

 

 

 

 

INSTRUMEN REBAB

     Alat musik tradisonal rebab adalah jenis alat musik yang di gesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu nangka dan berongga di bagian dalam ditutup dengan kulit lembu yang dikeringkan sebagai pengeras suara.Alat ini juga digunakan sebagai pengiring gamelan, sebagai pelengkap untuk mengiringi sinden bernyanyi bersama-sama dengan kecapi. Dalam gamelan Jawa, fungsi rebab tidak hanya sebagai pelengkap untuk mengiringi nyanyian sindhen tetapi lebih berfungsi untuk menuntun arah lagu sindhen. sama juga yang di pake tradisi musiksunda.Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih. Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan. Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing. Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.

Rebab merupakan salah satu nama tungguhan atau instrumen gesek yang digunakan dalam jenis-jenis barungan gamelan yang terdapat di daerah-daerah tertentu seperti di daerah bali, jawa timur, jawa tengah, jawa barat, sumatra, dan sebagainya.Di jawa barat terdapat 2 bentuk instrumen gesek, yaitu Rebab dan Tarawangsa. Kedua instrumen gesek tersebut mempunyai ukuran yang berbeda, yaitu relatif lebih besar instrumen tarawangsa dari pada instrumen rebab. Selain ukuran yang berbeda, warna suaranya juga berbeda karena menggunakan membran yang bahannya berbeda.Tungguhan rebab dalam jenis-jenis barunganV  gambelan tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda terutama dari segi musikal. Misalnya dalam barungan gamelan pegambuhan , tungguhan rebab merupakan salah satu tungguhan yang menggarap atau menyajikan melodi atau gending pada seluruh sajian gending/repertoar.

Dalam barungan gamelan pegambuhan selain tungguhan rebab yang menggarap atau menyajikan juga tungguhan suling yang berukuran besar atau sering disebut suling pegambuhan (suling gambuh). Sedangkan tungguhan rebab pada jenis-jenis barungan gamelan lainnya, peranan rebab tidak seperti barungan gamelan pegambuhan, yaitu lebih menekankan pada pemantapan hasil sajian suatu gending atau sering juga disebut oleh masyarakat luas adalah untuk memaniskan sajian gending (wawancara Wayan Berata tanggal 26 juni 1998). Dalam barungan gamelan ini (selain barungan gambelan pegambuhan) tidak semua sajian gending atau bagian gending yang menggunakan tungguhan rebab seperti dalam gending-gending gong kebyar, pada bentuk atau bagian gending kebyar, bebelat, sajian tabuhan tunggal. Meskipun peranan tungguhan rebab dalam jenis-jenis barungan gamelan tersebut hanya terbatas untuk memaniskan sajian gending tapi dapat mentukan kualitas sajian gending secara menyeluruh.dengan memperhatikan peranan rebab dalam jenis-jenis barungan gamelan tersebut di atas, maka keberadaan tungguhan rebab sangat dibutuhkan. Kalau diamati kehidupan tungguhan rebab di bali sekarang ini dapat dikatakan  suatu keharusan dan tidak mendesak. Anggapan ini dapat dibuktikan bahwa jenis-jenis barungan gamelan tersebut diatas sering tidak atau jarang menggunakan tungguhan rebab. Hal ini diantaranya disebabkan  kurangnya pengrebab sehingga dianggap tidak mempunyai peranan atau tidak sebagai keharusan seperti penggunaan tungguhan kendang, gong, dan jenis tungguhan lainnya. Dengan melihat kehidupan tungguhan rebab seperti itu, kita merasa prihatin sehingga tungguhan rebab di bali posisinya terletak diambang kepunahan.

Instrumen melodis lain dalm gamelan Pegambuhan adalah rebab. Rebab merupakan satu-satunya warga cordophone dalam gamelan Pegambuhan, instrumen melodis yang dimainkan secara unisono dengan suling. Alat gesek sejenis biola ini bentuk fisiknya terbagi menjadi lima bagian pokok yaitu kepala (bagian atas), bantang (badan penghubung), batok (badan utama), dongkrak (bagian bawah), dan sebuah pengaradan (penggesek).

Bagian kepala terdiri dari menur dan puntja (hiasan), kuping rebab yang terdiri dari klengan, kembang wong (alat pengatur ketegangan senar), dan irung-irung (lobang tempat memasukan senar dari kebagian kepala). Bantang merupakan yang menghubungkan badan utama dan kepala, dan bagian ini tempat memainkan nada dengan mengatur tutupan senar-senar yang melaluinya. Sementara senar yang berada pada bantang dimainkan dengan melepas dan menekan, senar yang berada pada bagian badan utama digesek dengan alat gesek (pengaradan). Badan utama atau batok biasanya terbuat dari batok kelapa ditutupi dengan membran yang terbuat dari babad kebo (kulit usus kerbau), direntangkan pada bagian depan badan utama. Sekarang ini rebab Bali yang terbuat dari batok kelapa sudah jarang digunakan, rebab Pegambuhan selalu didatangkan dari jawa. Rebab jawa badan utamanya terbuat dari kayu dan ukurannya relatif besar, yang ini tentu berdampak pula terhadap kualitas suara yang dihasilkan. Dongkrak adalah tangkai bagian bawah yang berfungsi sebagai kaki, sedangkan pengaradan terdiri dari batang dan arad (bulu-bulu plastik)

Senar rebab terbuat dari kuningan (biasanya dua buah) dipasang merentang dari bagian badan bawah hingga kepala. Senar ini ditegangkan dengan sebatang kayu yang disebut penyanteng, sedangkan untuk mengatur ketegangan yang berhubungan dengan tinggi rendahnya suara diatur dengan memutar kuping rebab.

 

 

 

BENTUK DAN NAMA-NAMA BAGIAN REBAB

 

Dilihat dari segi bentuknya, tungguhan rebab bali terdapat kekhususan dalam hal bebetan, ukuran dan pontang. Di bali terdapat beberapa bentuk rebab yang perbedaanya terdapat pada bebetannya dan juga bagian batoknya yang berfungsi sebagai resonator. Perbedaan batok rebab terletak pada bentuk maupun bahan yang di gunankan. Batok dibuatb dari kayu atau tempurung kelapa.

Nama-nama bagian rebab di bawah ini :

  1. Menur
  2. Kuping
  3. Irung-irung
  4. Bantang
  5. Kawat
  6. Bebetan
  7. Penyanteng
  8. Jejebug
  9. Batok
  10. Babad
  11. Batis
  12. Gegemelan
  13. Pengaradan
  14. Gondorukem / harpus