PENGENALAN PENINGGALAN SEJARAH KEBUDAYAAN SAKRAL: TARI BARIS PENDET DI DESA ADAT TANJUNG BUNGKAK DENPASAR BALI

Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan Sakral:

Tari Baris Pendet sebagai Pelengkap Upacara Keagamaan

Di Desa Adat Tanjung Bungkak Kota Denpasar.

Oleh:

Ni Wayan Wajar Febriani

Jurusan Tari

I Kadek Bhaswara Dwitya

Jurusan Pedalangan

Komang Yuliarta

Jurusan Tari

 

ABSTRAC

 

Pengenalan peninggalan sejarah kebudayaan sakral melalui pertunjukan Tari Wali Baris Pendet, merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan pengetahuan tentang sejarah, fungsi, makna, dan pembentukan jiwa. Terutama mengenai faktor apa yang memotivasi atau mendorong pelestarian tarian ini, dan bagaimana caranya, serta mampukah mengapresiasikan nilai-nilai kesakralan itu kepada generasi penerus pada jaman era globalisasi ini ? Hal ini penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui jawaban atas pertanyaan itu diharapkan dapat pula diketahui sejauhmana minat dan kemampuan masyarakat kota mempertahankan, peranan, dan kontribusinya terhadap keberadaan tarian sakral sebagai pembentukan karakter bangsa.

        Pelestariannya diawali dengan pengenalan bentuk Tari Baris Pendet melalui turun-temurun dari generasi ke generasi. Dibalik itu pelestarian itu terkandung nilai-nilai ritual, spiritual yang amat sarat dengan filosofi bagi masyarakat di dalam tujuannya berbhakti  kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konsep filsafat Hindu, hal yang paling mendasar dari tujuan memahami dharma adalah memahami tentang kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai kesakralan Desa. Konteks inilah yang dikenalkan kepada generasi yang ada di lingkungan kota besar, sehingga tercipta generasi yang memiliki moral dan spiritual yang santun.

       Pengenalan ini melalui metode konservasi atau pemeliharaan terhadap bentuk, sejarah, fungsi, makna, dan managemen. Melalui pengenalan dan pemahaman tentang Tari Baris Pendet diharapkan terciptanya suatu pelestarian tari sakral. Dikawatirkan dengan adanya pengaruh globalisasi, pendapat masyarakat modern, dan kreatif yang bablas, sehingga memberikan pengertian yang memudarkan identitas Desa.

       Penari sakral yang hanyut dalam upacara ritual akan menimbulkan rasa keindahan dalam diri. Rasa keindahan ini akan memberikan kesadaran pribadi, kesadaran sosial dan kesadaran tanggung jawab yang menimbulkan rasa tenang, kebahagiaan, dan kepuasan dalam diri si penari. Jika penari sudah merasakan keindahan dalam menari, maka secara tidak langsung nilai spiritual tersambung secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Harapan agar spiritualisasi yang memiliki etika, logika, estetika yang baik terhadap generasi untuk menghadapi pengaruh globalisasi.

 

 Key words: Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan Sakral: Tari Baris Pendet.

       The introduction of a sacred cultural heritage through dance performances Tari Wali Baris Pendet, is one attempt to gain knowledge about the history, function, meaning, and the formation of the soul. Especially about what factors motivate or encourage the preservation of this dance, and how, as well as to appreciate the values ​​can the sanctity of it on to future generations in the era of era of globalization? It is important to note, because by knowing the answer to that question is expected to be well known how far the interest and ability to maintain urban society, the role and contribution to the existence of sacred dance as the formation of the nation’s character.

       Preservation begins with the introduction of Baris Pendet Dance through hereditary from generation to generation. Behind it was the preservation of the values ​​embodied ritual, so laden with spiritual philosophy for the people inside the goal dutiful presented to God Almighty. In the concept of Hindu philosophy, the most fundamental of understanding the purpose of dharma is understood about the obligation to preserve and defend the values ​​of the sanctity of the Village. Context is introduced to the existing generation in the big city, so as to create a generation which has a moral and spiritual manners.

       This introduction is through methods of conservation or maintenance of forms, history, function, significance, and management. Through the recognition and understanding of the Baris Pendet Dance expected creation of a sacred dance preservation. Worried by the influence of globalization, the opinion of modern society, and creative thus providing a sense of village identity tarnish.

       Sacred dancer who lost in the ritual will cause a sense of beauty in themselves. This will give you a sense of the beauty of personal awareness, social consciousness and awareness of responsibility that lead to a sense of calm, happiness and satisfaction in the person of the dancer. If the dancer has to feel the beauty in dancing, then it implies that spiritual values ​​are connected vertically to God Almighty. Hope so spiritualized that has ethics, logic, aesthetics are both of the generation to face the impact of globalization.

 

 

Key words: Introduction to Cultural Heritage Sacred: Baris Pendet Dance.

 

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, semuanya itu adalah pengetahuan manusia guna memahami lingkungan serta pengalaman yang dijadikan pedoman tingkah lakunya yang bertujuan untuk kesejahtraan hidupnya. Kebudayaan berkembang sesuai dengan peradabannya, sehingga nampak perbedaan kebudayaan diantara bangsa-bangsa di Dunia ini. Kesenian dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian salah satu diantaranya adalah seni tari. Tari adalah sebuah cabang kesenian yang paling konservatif dalam perkembangannya. Menurut R.M Soedarsono seni tari merupakan ekspresi manusia yang diungkapkan melalui gerak anggota tubuh yang halus atau ritmis dan mengandung unsur seni.

Seni tari yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seni tari yang berkembang di Bali, mengingat daerah ini memiliki berbagai jenis kalsifikasi tari menurut fungsinya. Tari Bali dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu tari Wali, Bebali, Balih-balihan. Tari Wali merupakan salah satu aspek terpenting dari kesenian Bali yang mempunyai fungsi amat penting terutama di dalam kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali.  Dimana seni tari memegang peranan yang sangat penting bahkan nilainya hampir sama dengan sesajen. Hampir semua upacara adat dan agama di Bali memerlukan tari sehingga sifat tari Bali hampir semuanya religius. Di antaranya yaitu tari Baris yang merupakan salah satu dari tari wali. Tari Baris adalah tari klasik atau tradisional Bali yang sudah tua umurnya yang hingga kini masih tetap mempunyai fungsi yang amat penting terutama dalam upacara keagamaan masyarakat Hindu-Bali.

Di Pura Dalem Tanjung Sari Desa Adat Tanjung Bungkak terdapat Tari Wali yang sakral yaitu Tari Baris Pendet yang telah ada sejak pura itu didirikan. Berdasarkan atas uraian di atas, penulis berkeinginan untuk mencoba meneliti fenomena budaya yang terjadi dalam masyarakat kota dengan judul Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan Langka: Tari Baris Pendet sebagai pelengkap Upacara keagamaan di Desa Adat Tanjung Bungkak, Kota Denpasar.

 

RUMUSAN

Berdasarkan uraian diatas maka kami dapat rumuskan beberapa permasalahan seperti berikut:

Bagaimana sejarah munculnya serta caranya melestarikan Tari Baris Pendet, mengingat tarian ini berada dalam masyarakat Kota yang rentan dengan pengaruh budaya luar ?

Apa fungsi dan makna Tari Baris Pendet dalam menjaga keutuhan rangkaian upacara yang ada di Desa Adat Tanjung Bungkak?

 

 

TUJUAN

Sesuai dengan perumusan masalah diatas, adapun tujuan yang hendak dicapai dari program ini, yaitu:

Untuk mendapat pengetahuan tentang sejarah dan cara melestarikan Tari Baris Pendet di Desa Adat Tanjung Bungkak.

Untuk memahami fungsi dan makna Tari Baris Pendet dalam menjaga keutuhan rangkaian upacara yang ada di Desa Adat Tanjung Bungkak.

 

SUMBER LITERATUR

Dalam buku Landasan Kebudayaan Bali oleh. I.B Mantra diterbitkan oleh Yayasan Dharma Sastra Denpasar tahun 1996, buku ini mengupas tentang strategi dan relitas budaya yang ada di Bali. Bali yang telah terkenal dengan kebudayaannya oleh karena keunikannya, kekhasannya yang tumbuh dari jiwa agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya, dalam masyarakat yang berciri sosial religius.

Dalam Buku Tari Wali (Sanghyang, Rejang Baris) oleh I Wayan Dibia, diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali pada tahun 1997, buku ini mengupas tentang perkembangan tari wali dewasa ini yang tersebar di seluruh Bali tengah memudar. Secara kuantitas, jumlah tari-tarian Wali sudah banyak berkurang karena sejumlah tari Wali sudah semakin jarang dipentaskan. Ada juga  yang masih bertahan karena keberadaannya masih terikat oleh upacara keagamaan. Secara kualitas, masih perlu ditingkatkan lagi. Semua itu disebabkan oleh kesulitan penari, sedikit minat para generasi muda untuk mempelajari tari-tarian upacara dan karena sudah tidak dianggap perlu oleh warga masyarakatnya.

Dalam buku Lintas Budaya oleh David Matsumoto yang diterbitkan atas kerjasama Pustaka Pelajar, mengupas tentang definisi tentang budaya yang “kabur”. Artinya, tidak ada aturan yang baku dan cepat untuk menentukan sebuah budaya atau siapa-siapa yang termasuk dalam budaya tersebut. Para peneliti seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, Geert Hofstede dan yang lainnya telah menawarkan definisi yang menarik tentang budaya definisi budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang harus dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lainnya.

 

METODE

Metode  yang digunakan dalam Penelitian ini:

Metode Observasi

Dilakukan dengan cara mengamati langsung kegiatan latihan di banjar dan pentas di Pura Dalem Tanjung Sari Desa Adat Tanjung Bungkak

Metode Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara mengambil gambar dan merekamnya melalui kamera video

Metode kepustakaan

Cara pengmbulan data dengan cara mempelajari buku-buku yang ada kaitannya dengan topic pembahasan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

SEJARAH TARI BARIS PENDET

Sejarah dari tari Baris masih “kabur”. Banyak literature yang mengungkapkan asal mula dari tari baris. Dalam buku Tari Wali (Sanghyang, Rejang, Baris) oleh I Wayan Dibia menyebutkan bahwa sejarah tari Baris, oleh para ahli, banyak dikaikan dengan Kidung Sunda, sebuah puisi seni sejarah yang dikarang pada tahun 1550, oleh Claire Holt disebutkan bahwa pada waktu upacara pemakaman raja terbesar Majapahit, yaitu Hayam Wuruk ada dipentaskan tujuh macam tari perang (bebarisan) yang salah satu diantaranya disebut tari baris “Limping”. Jika kita berpegangan pada waktu meninggalnya Hayam Wuruk, yakni pada tahun 1389, maka ini berarti bahwa di Jawa Timur telah ada bebarisan sejak abad XIV. Kemudian ketika jatuhnya Kerajaan Majapahit ke tangan Islam diamana banyak bangsawan “wwang” Majapahit yang lari ke Bali, maka tidak mustahil seni bebarisan inipun ikut terbawa.

Tari Baris sebagai salah satu kesenian yang bercorak Hindu sampai saat ini belum dapat dijelaskan dengan pasti kapan timbulnya, karena beberapa literatur yang ada tidak memberikan gambaran yang jelas. Namun demikian dari beberapa literatur dengan keterangan dari para ahli dan penglingsir, maka dapat ditarik suatu argumentasi mengenai asal mula Tari Wali Baris Pendet. Literatur tertua yang menyinggung tentang tari baris adalah lontar Usana Bali sebagai berikut: “Setelah mayadenawa dapat dikalahkan, Batara Indra dan para Dewata lainnya berkumpul di Manukraya dan kemudian didirikan empat buah khayangan yaitu Kedisan, Tihingan, Manukraya dan Keduhuran. Setelah pertemuan itu diadakan keramaian selama tiga hari, Widyadari menari Rejang, Widyadara menari Baris, dan para Gandara menjadi penabuh”. Jika dikaitkan dengan sejarah Mayadenawa adalah seorang raja Bali, anak dari Begawan kasiapa dengan istrinya Dewi Danu yang memerintah dikerajaan Balingkang pada tahun 850 Masehi. Dengan demikian kurang lebih pada abad IX (Sembilan) menurut lontar Usana Bali dinyatakan sudah ada Tari Baris, yang selanjutnya setiap upacara dibeberapa khayangan di Bali selalu di pertunjukkan Tari Baris dan Tari Rejang.

Tari Baris dan Tari Rejang sudah ada di Bali sejak dulu, begitu juga Tari Baris Pendet yang memang sudah ada sejak Pura Dalem Tanjung Sari ini didirikan. Pura Dalem Tajung Sari belum bisa dipastikan kapan pura itu didirikan. Mengingat di daerah Semerta Denpasar terdapat Pura Dalem yaitu Pura Dalem Sumerta Di wilayah Banjar Abiankapas Kaja Desa Pekraman Sumerta wilayah Utara dan Pura Dalem Tunjung Sari yang terletak di Desa Aadat Tanjung Bungkak wilayah Selatan. Keduanya memiliki kaitan yang erat dalam wilayahnya dan menguasai dua setra atau kuburan yang terbagi atas pengemponnya. Dengan keterangan Lontar Usana Bali, literatur tertua dari asal mula tari Baris ini, setidaknya masyarakat setempat mampu menjelaskan asal mula keberadaan tari sakral ini.

 

CARA MELESTARIKAN TARI BARIS PENDET

Pelestarian seni Tari Wali seperti Tari Baris Pendet di Desa Adat Tanjung Bungkak menggunakan managemen tradisional yeng terorganisasi melalui struktur prajuru Desa Adat. Struktur yang diterapkan dengan cara seperti:

­Tugas Prajuru Banjar

Penari dipilih oleh Klihan/prajuru banjar yang mendapat giliran ngayah sebanyak 8 (delapan) orang anak laki-laki yang berumur 10 (sepuluh) sampai dengan 13 (tiga belas) tahun.

Pelatihan

Latihan di lakukan di Banjar yang mendapat giliran ngayah yang dimulai dari 2 (dua) minggu sebelum odalan di Pura Dalem dengan upacara mepejati. Pelatihya dari anggota Banjar tersebut. Latihan dilengkapi dengan iringan/gamelan gong kebyar terdiri dari 2 (dua) gangsa, kajar, gong, kempur, dan 2 kendang lanang dan wadon.

Penglamur/upah

Pada hari pementasan, sebelumnya seluruh penari pendet diberikan penglamur/upah berupa 1 (satu) bayuh/tanding daging dan 1 (satu) tanding nasi. Semuanya itu disiapkan dan diberikan oleh prajuru Desa Adat.

Busana/Tata Rias

Perlengkapan busana dan property Tari Baris Pendet dipersiapkan oleh mangku Dalem.

 

PROPERTY

Property merupakan perlengkapan yang dibawa oleh penari Tari Baris Pendet yaitu:

Canang Oyod yang terdiri dari hiasan janur dengan bunga, rokok, dan dupa.

Arak Berem yang terdiri dari minuman arak yang ditempatkan dalam gelas dengan tutupnya.

Kepet/Kipas yang berwarna putih.

Canang Penamprat yang terdiri dari bokor, canang, dan sab/tutup canang.

 

TEMPAT PEMENTASAN

Tempat pementasan Tari Baris Pendet di Pura Dalem Tanjung Sari disebut kalangan  (arena) dengan batas-batas pelinggih dan bangunan lainnya yang ada di jeroan pura. Lebih jelasnya, untuk itu dibuat denah kalangan/arena pertunjukan Tari Baris Pendet.

 

FUNGSI DAN MAKNA TARI BARIS PENDET

Tari Wali merupakan Tarian sakral yang berfungsi sebagai sarana upacara Dewa Yadnya. Cenderung tarian ini disakralkan karena fungsi dan maknanya dikeramatkan, terbukti dari penarinya yang berumur dibawah 15 tahun, waktu, tempat pementasan, dan jarang dipertunjukan untuk hal lain selain fungsi ritual pura. Fungsi dari Tari Baris Pendet adalah sebagai tari wali untuk mendak sesuhunan Ida Bhatara Dalem. Tarian ini mengungkapkan pengabdian yang tinggi nilainya, untuk menghormati dewa-dewi  sebagai menifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Proses ritual dalam Agama Hindu, umat membuat pementasan tari, gamelan maupun pekerjaan lain yang bersangkutan dengan upacara itu. Pada tari Baris Pendet  terdapat 3(tiga) stuktur pertunjukan yang masing-masing mempunyai makna tersendiri tetapi menjadi satu kesatuan yang bertujuan untuk nedunang Ida Bhatara Dalem yaitu:

Bagian Pertama Penglembar

Pada bagian awal tari Baris Pendet ini, penarinya berjumlah 4 (empat) orang laki-laki. Bagian ini property yang digunakan yaitu canang Oyodan. Selesainya bagian ini diakhiri dengan kembalinya penari dan tetap membawa Canang Oyodan. Bagian penglembar ini ditarikan sebanyak 2 (dua) kali oleh penari yang berbeda atau ditampilkan kembali 4 (empat) penari dengan sturktur pementasan yang sama. Bagian ini mempunyai makna bukti bakti kerama/masyarakat terhadap sesuwunan Bhatara Dalem. Bhakti itu dipertunjukan melalui bentuk tarian yang bersifat sakral dan hanya dipentaskan 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau 210 hari.

Bagian Kedua Pemendak

Pada bagian ini dibagi lagi menjadi 2 (dua) struktur yaitu bagian memendak dan bagian nedunan. Bagian inilah yang menjadi makna utama dari tarian Baris Pendet. Pada bagian memendak penari berjumlah 6 (enam) orang diantaranya membawa 2 (dua) canang mendak, 2 (dua) Arak dan 2 (dua) berem. Bagian mendak ini penari menghadap kearah timur pura atau menghadap pelinggih, yang melambangkan bahwa penari bermaksud untuk mendak Ida Bhatara untuk menyaksikan prosesi upacara piodalan berlangsung. Bagian mendak ini diakhiri dengan satu persatu penari  ngayabin/menghaturkan sesajen di depan pelinggih Bhatara Dalem seperti: canang mandak, arak, dan berem yang dibawa oleh menari.

Setelah penari selesai menghaturkan sesajen, ke-6 (enam) penari tersebut menarikan tarian pengecet yang bermakna sebagai simbol Ida Bhatara Dalem tedun/turun menyaksikan piodalan. Bagian ini penari menghadap ke Barat yang artinya Ida Bhatara turun bercengkrama dilambangkan dengan tarian kupu-kupu yang menggunakan kipas sebagai propertynya dengan gerakannya mearas-arasan. Kupu-kupu melambangkan keindahan yang ada dialam khayangan. Saat tarian kupu-kupu dilangsungkan berarti Ida Bhatara sudah tedun dan menyaksikan upacara yang dilangsungkan oleh masyarakat Desa Adat. Bagian ini diakhiri dengan kembalinya penari ke Bale Pendet. Bale Pendet merupakan tempat dimana para penari Baris Pendet berias serta tempat untuk beristirahat dan menaruh properti yang akan digunakan oleh para penari.

Bagian Ketiga Penamprat

Pada bagian ini, Tari Baris Pendet ditarikan oleh 8 (delapan) penari dengan pembagian yaitu: 4 (empat) penari dengan membawa canang penamprat, dan 4 (empat) penari lainnya sebagai penamprat. Bagian penamprat ini adalah klimak dari koreografinya, yang disimbolkan dengan tarian perang diantara ke 8 (delapan) penari yaitu antara 4 (empat) penari membawa canang penamprat dengan penari penamprat. Simbolisasi pada bagian ini adalah mengungkapkan nilai-nilai rwa bineda (baik-buruk) yang bergejolak pada alam ini. Baik-buruk, hidup-mati, kaya-miskin tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Rwa bineda ini agar dimaknai oleh kerama/masyarakat Desa Adat Tanjung Bungkak sebagai suatu yang pasti dialami oleh manusia.

PEMENTASAN TARI BARIS PENDET

Tari Baris Pendet dipentaskan di nataran jeroan atau halaman utama di ajeng gedong dan tajuk Pelinggih Ida Bhatara Dalem Tanjung Sari, Desa Adat Tanjung Bungkak. Pementasan dilaksanakan saat piodalan di Pura Dalem Tanjung Sari saja yaitu pada hari Anggara Kasih, Wuku Medangsia, yang jatuh setiap 6 (enam) bulan dalam perhitungan bulan Bali atau 210 hari sekali.

Pada saat hari piodalan itu, seluruh pratima, arca, barong, dan benda sakral lainnya  yang ada di wilayah Desa Adat Tanjung Bungkak tangkil/datang ke Pura Dalem. Seluruh pratima, arca, barong, benda sakral dan masyarakat mengikuti pelaksanaan upacara lebar dateng atau ngider bhuwana yaitu suatu upacara selamat datang dengan berjalan mengelilingi sesajen secara bersama-sama sebanyak 3 (tiga) kali yang tepat dilaksanakan pada waktu sanikaon atau menjelang matahari terbenam + jam. 18.00 – 18.30 WITA disesuaikan dengan waktu. Ngider Bhuwana ini dilaksanakan kurang lebih selama 2 (dua) jam hingga seluruh rangkaian upacara tersebut tuntas selesai. Semua pratima, arca, barong, dan benda sakral tersebut di tempatkan disuatu pelinggih/tajuk sesuai dengan tempat yang telah ditentukan oleh mangku.

Setelah upacara ngider bhuwana selesai dan pratima melinggih/duduk di tajuk, dilanjutkan dengan upacara ngaturan piodalan kehadapan Ida Bhatara Dalem. Prosesi upacara odalan dimulai yang diawali dengan mempertunjukkan Tari Baris Pendet selama kurang lebih 1 ½ (satu setengah) jam hingga selesai. Kemudian baru dilanjutkan dengan ngaturan piodalan yang identik dengan kerawuhan (kesurupan) dan tarian-tarian ritual lainnya yang berkaitan dengan piodalan.

 

KESIMPULAN

Menyimak uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tari Baris pendet sudah ada abad ke IX menurut lontar Usana Bali dinyatakan sudah ada Tari Baris, yang selanjutnya setiap upacara dibeberapa khayangan di Bali selalu di pertunjukkan Tari Baris dan Tari Rejang. Tari Baris Pendet memang sudah ada sejak Pura Dalem Tasnjung Sari ini didirikan. Pura Dalem Tanjung Sari belum bisa di pastikan kapan pura itu didirikan. Pengenalan itu lebih cenderung melalui konservasi atau pemeliharaan secara berkesinambungan terhadap Tari Baris Pendet dapat dilakukan melalui:

Mememlihara atau melestariakan gerak tarinya agar tidak dipengaruhi oleh gerak-gerak tari kreasi yang berkembang pada saat ini. Telah diketahui bahwa gerak-gerak tari Baris Pendet di Desa Adat Tanjung Bungkak sangat sederhana yang mengidentifikasi bahwa kesederhanaan gerak membuat ciri khas dan kewibawaan dari tari sakral.

Dari segi pemeliharaan kostum dan warnanya menambah kesan ritual dan makna dari warna tersebut.

Iringan tarinya agar dapat dilestarikan seperti semula dan tidak mengadopsi gending-gending lain ke dalam tari Baris Pendet.

Semangat tari Wali yang bersifat ritual terkandung didalannya spiritual pembentukan jiwa.

Fungsi dan maknanya memberikan motivasi/dorongan kepada generasi agar selalu mengingat dan mempertahan tari Baris Pendet sebagai wujud bukti bhakti kepada sesuwunan. 

Managemen pelestariannya menggunakan struktur tradisional Desa Adat adalah suatu cara kekrabatan yang terimplisit di dalamnya pengetahuan, persaudaraan, belajar-mengajar demi pengenalan karakterisasi Desa.

Melalui pengenalan dan pemahaman tentang Tari Baris Pendet terciptanya suatu pelestarian tari sakral dan secara otomatis memperkenalkan bentuk kesenian sakral. Dikawatirkan dengan adanya pengaruh globalisasi, pendapat masyarakat modern, dan kreatif yang bablas, sehingga ada pendapat bahwa beberapa dekade terakhir ini dibeberapa tempat terdapat sejumlah tari wali sudah mengalami perubahan fungsi misalnya dari bentuk sajian upacara keagamaan ke sajian untuk turist.

Pengenalan Peninggalan Sejarah Kebudayaan sakral sangat penting bagi generasi yang akan melanjutkan kebudayaan bangsa. Melalui Tari Baris Pendet sebagai pelengkap upacara keagamaan dapat mengenalkan bentuk kebudayaan sakral dan memberikan pemahaman dan makna dari suatu kesenian. Mengenal budaya bangsa sendiri berarti mengenal aspirasnya dalam aspek kehidupan. Pemahaman dan makna dari suatu kesenian sakral yang mengutamakan nilai spiritual bertujuan untuk pembentukan jiwa generasi penerus bangsa. Tarian yang bersifat ritual ini mengungkapkan pengabdian yang tinggi terhadap sesuhunan  yang merupakan menifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penari sakral yang hanyut dalam upacara ritual akan menimbulkan rasa keindahan dalam diri. Rasa keindahan ini akan memberikan kesadaran pribadi, kesadaran sosial dan kesadaran tanggung jawab yang menimbulkan rasa tenang, kebahagiaan, dan kepuasan dalam diri si penari. Jika penari sudah merasakan keindahan dalam menari, maka secara tidak langsung nilai spiritual tersambung secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dibia, I Wayan, 1979, Sinopsis Tari Bali, Denpasar, Sabggar Tai Bali Waturenggong.

 

_______, 1997, Tari Wali (Sangahyang, Rejang, Baris), Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

 

Mantra, I.B, 1996, Landasan Kebudayaan Bali, Denpasar, Yayasan Dharma Sastra Denpasar.

 

Matsumoto, David, 2004, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

 

Suastika Neteg, I Putu, 2007, Pelaksanaan Acara Agama Hindu dilihat dari Tattwa dan Etika Ajaran Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Buleleng, Singaraja.

 

Soedarsono, 1972, Djawa dan Bali Dua Pusat Perkembangan DramatariTrdisional di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.

 

Van Peursen, C.A, 1988,  Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.

Bambang Erawan Kepastu

Bambang Erawan

Bambang Erawan

Berita timbulnya perang besar diantara keluarga Barata yang dinamakan Perang Baratayuddha telah tersiar keseluruh negari, bahkan sampai ke Sapta Petala.

Dikisahkan di Sapta Petala, Sang Erawan, Anak dari Sang Arjuna dengan Dewi Ulupui, minta ijin kepada ibu dan kakeknya, Sang Hyang Anantaboga, untuk ikut berperang melawan musuh-musuh orang tuanya. Dewi Upului tidak mengijinkan namun didesak oleh Sang Erawan guna membuktikan baktinya kepada orang tua. Sebelum berangkat, Sang Erawan dianugrahi senjata yang bernama Arda Chandra. Senjata ini amat sakti bisa membunuh semua orang, kecuali Panca Pandawa, Sang Kresna dan Sang Baladewa, yang merupakan penjelmaan dewa tidak bisa dibunuhnya. Dengan senjata itu Sang Erawan merasa aman.

Dalam perjalanan, Erawan bertemu dengan 3 (tiga) raja dari Kerajaan Malawa yaitu Durcara, Wiacara dan Paricara. Ketiganya akan membantu Duryudana, karena leluhurnya dulu pernah dibunuh oleh Panca Pandawa. Atas perbedaan tujuan ini Erawan menentang raja Malawa tersebur , maka terjadilah perang.

Perang terjadi semakin ramai karena Sang Erawan dengan senjatanya it6u bisa meminta bantuan para binatang untuk berperang melawan pasukan Melawa. Dalam waktu yang tidak begitu lama ketiga satria itu dapat dibunuh oleh Erawan.

Pada saat itu datanglah Kresna diiringi oleh Setyaki pulang dari Hastina menjalankan tugas sebagai delegasi Pndawa dalam mencari bagiab negara. Erawan mengira yang datang itu adalah musuhnya maka Erawan menentangnya, maka keluarlah kutuk (pastu) Kresna agar Erawan dimangsa oleh Sang Hyang Kala. Ketika Erawan mengakui anak Arjuna, Kresna sangat menyesal telah mengutuknya, turunlah Sang Hyang Kala mau memakan Erawan, namun ditunda Ooleh Kresna hingga Bhisma Parwa.

PANDAWA DAN KORAWA

PANDAWA DAN KORAWAPANDAWA DAN KORAWA

 

PANDAWA

1. Yudistira

2. Bima

3. Arjuna

4. Nakula

5. Sahadewa

 

KORAWA

1. Duryodana (Suyudana)

2. Dursasana

3. Abaswa

4. Adityaketu

5. Aloba

6. Anadresya (Hanyadresya)

7. Anudara (Hanudara)

8. Anurada

9. Anuwinda (Anuwenda)

10. Aparajita

11. Aswaketu

12. Bahwasi (Balaki)

13. Balawardana

14. Bagadatta (Bogadenta)

15. Bima

16. Bimabala

17. Bimadewa

18. Bimarata

19. Carucitra

20. Citradarma

21. Citrakala

22. Citraksa

23. Citrakunda

24. Citralaksya

25. Citrangga

26. Citrasanda

27. Citrasraya

28. Citrawarman

29. Darpasanda

30. Dreksetra

31. Dirgaroma

32. Dirghabahu

33. Dirgacitra

34. Dredahasta

35. Dredawarman

36. Dredayuda

37. Dretapara

38. Duhpradarsana

39. Duhsa

40. Duhsah

41. Durbalaki

42. Durbarata

43. Durdarsa

44. Durmada

45. Durmarsana

46. Durmukha

47. Durwimocana

48. Duskarna

49. Dusparajaya

50. Duspramana

51. Hayabahu

52. Jalasanda

53. Jarasanda

54. Jayawikata

55. Kanakadwaja

56. Kanakayu

57. Karna

58. Kawacin

59. Kratana

60. Kundabedi

61. Kundadara

62. Mahabahu

63. Mahacitra

64. Nandaka

65. Pandikunda

66. Prabata

67. Pramati

68. Rodrakarma (Rudrakarman)

69. Sala

70. Sarua

71. Satwa

72. Satyasanda

73. Senani

74. Sokarti

75. Subahu

76. Sudatra

77. Suda

78. Sugrama

79. Suhasta

80. Sukasananda

81. Sulokacitra

82. Surasakti

83. Tandasraya

84. Ugra

85. Ugrasena

86. Ugrasrayi

87. Ugrayuda

88. Upacitra

89. Upanandaka

90. Urnanaba

91. Weda

92. Wicitrihatana

93. Wikala

94. Wikatanana

95. Winda

96. Wirabahu

97. Wirada

98. Wisakti

99. Wiwitsu (Yuyutsu)

100. Wyudoru (Wiyudarus)

 

 

SINOBSIS LAKON CARANGAN “BIMA KUNJARA”

                       

BIMA KUNJARA

BIMA KUNJARA

                        Diceritakan Bima telah berhasil dipenjarakan oleh Wimurca di kerajaan Menawa Ratna. Hal ini terjadi atas permintaan Sang Duryudana, yang dengan akal liciknya memberikan Bima minuman keras sampai mabuk. Sementara itu Yudistira, Nakula dan Sahadewa disiksa dan dianiaya oleh ratusana algojo kerajaan menawa Ratna.

                        Arjuna yang sedang melakukan yoga semadi di Gunung Nimantaka tidak tahu tentang kejadian tersebut. Untung saja Abdi setianya Twalen dan Werdah menenmukan tempat dimana Sang Arjuna bertapa dan memberitahu arjuna bahwa saudara-saudaranya sedang dipenjara dan disiksa di Kerajaan Menawa Ratna. Mendengar semua itu Arjuna marah dan berangkatlah Arjuna menuju kerajaan Menawa Ratna.

                        Ditengah perjalanan Arjuna beruntung bertemu dengan rombongan Kresna yang telah mendengar bahwa Catur Pandawa telah di tawan dikerajaan Menawa Ratna. Arjuna segera bergabung dengan rombongan Sri Kresna Menuju ke kerajaan Menawa Ratna.

                        Sesampainya Arjuna dan Kresna di kerajaan Menawa Ratna, mereka mencari akal agar dapat menyelinap memasuki istana tanpa ada yang mengetahui kedatangannya. Dengan cara itu Arjuna dengan mudah menjumpai Bima yang sedang diikat rantai besi. Arjuna mengingatkan pada kakaknya bahwa rantai-rantai yang mengikat tubuh Bima tidak sebanding dengan kekuatan yang dimikili oleh Bima. Saat itu Bima teringat dengan “ Aji Angkus Prananya” seketika putus rantai-rantai yang mengikat tubuh Bima. Tentu saja para penjaga penjara terkejut Bima lepas dari rantai-rantai tersebut. Dan dalam waktu sekejap Bima sudah dikroyok oleh prajurit-prajurit Menawa Ratna.

                        Perang antara Bala tentara Kresna dengan bala tentara Menawa Ratna yang dipimpin oleh Wimurca segara berkecambuk hebat. Akhirnya kekalahan di pihak Menawa Ratna dan Wimurca sendiri mati ditangan Bima . Melihat kejadian itu Korawa lari tunggang-langgang dan akhirnya Panca Pandawa terbebasa dari mara bahaya dan kembali ke Indraprasta.

 

A.    TEMA

Tema yang bisa saya tangkap di lakon Bima Kunjara ini adalah kurangnya pengendalian diri dalam diri Sang Bima. Sehingga Yudistira, Nakula dan Sahadewa tertangkap dan dianianya oleh pasukan Menawa Ratna. Musuh yang paling berat untuk kita musnahkan adalah musuh yang ada di dalam diri kita. Musuh yang ada di dalam diri kita itu adalah Sad Ripu. Dalam situasi ini, bima tidak bisa mengendalikan sifat Mada (dalam ajaran Sad Ripu). Dalam ajaran Sad Ripu, Mada artinya kemabukan. Misalnya mabuk karena minuman keras. Bila minuman ini diminum secara berlebihan, maka akan menimbulkan kamabukan. Kemabukan dapat berakibat jelek seperti merusak tubuh, merusak urat syaraf, mencelakakan diri sendiri dan orang lain yang berada di sekitarnya.

 

 B.    AMANAT

Amanat yang bisa petik dari lakon tersebut yaitu adalah harus adanya pengendalian diri. Jika pengendalian diri kita kurang maka mara bahaya akan dating pada kita. Bukan diri sendiri saja terkena mara bahaya, tetapi orang lain yang berada di sekitar kita. Kita sebagai manusia harus saling menjaga satu sama lain. Maka dari itu pengendalian diri itu penting untuk mawas diri.

 

C.    ALUR

Alur yang terdapat dalam lakon Bima Kunjara ini ialah adnya aalur mundur. Itu dapat dilihat dari peristiwa yang selalu melihat kedepan, artinya lakon ini tidak adanya cerita yang menceritakan kilas balik cerita lain. Adapun sisipan alur selain alur maju dalam lakon ini yaitu alur tunggal. Alur tunggal dalam lakon ini yaitu menceritakan Sang Bima saat di perjara dan disadari oleh sodaranya yaitu arjuna, Sang Bima pun menyesal dan menolong saudaranya yang ikut di penjara.

 

D.    PENOKOHAN

Tokoh utama atau tokoh sentral dalam lakon Bima Kunjara ini adalah Sang Bima. Itu bisa di lihat dari perjuangan Bima saat bima mabuk dan di penjara oleh Wimurca di kerajaan Menawa Ratna atas perintah Korawa, sampai dengan ia mampu menyelamatkan sodara-sodaranya yang di siksa. Setelah ia sadar akan sifat buruknya, Ia langsung menyelamatkan saudaranya yaitu Yudistira, Nakula dan Sahadewa yang di bantu oleh Kresna dan Arjuna. Adapun peraan tokoh dalam lakon Bima Kunjara ini, yaikni:

  1. Protagonis:
  1. Yudistira   : dalam lakon ini, yudistira merupakan tokoh yang bijaksana dan taat akan dharma. Tetapi atas kelalaian Sang Bima, Yudistira di tangkap dan dianiaya oleh Wimurca.
  2. Arjuna       : Dalam lakon ini Arjuna merupakan tokoh yang agung dan peduli akan keadaan suadara-saudaranya. Maka dari itu Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Nimantaka dan mendengar keadaan saudara-saudaranya yang terkena musibah, Arjuna langsung bangkit dan menolong. Arjuna lah yang membantu membuat Bima sadar akan kesalahan yang di perbuatnya.
  3. Nakula dan Sahadewa      : Dalam lakon ini, tokoh Nakula dan Sahadewa  tidak terlalu terlihat perannya.
  4. Kresna       : Dalam lakon ini Kresna merupakan tokoh yang agung dan yang paling disegani oleh pandawa, ide-ide dan taktik dari Sang Kresna untuk Pandawa tidak pernah gagal.

 

  1. Antagonis
  1. Korawa     : dalam lakon ini, Duryudana yang paling berperan penting menyusun rencana liciknya yang di bantu oleh saudara-saudaranya.
  2. Wimurca   : dalam lakon ini wimurca merupakan raja yang iri melihat Pandawa yang begitu tentram, maka dari itu Wimurca mau untuk melaksanakan perintah licik dari Korawa atau Duryudana.

 

  1. Tokoh Sentral
  1. Bima         : Dalam lakon ini, tokoh Bima merupakan tokoh sentral. Bima merupakan sosok yang kuat, gagh perkasa. Dalam perannya dalam lakon ini, Bima belum mampu mengendalikan sifat buruk yang ada padanya.

 

E.    LATAR

Lokasi atau tempat kejadian dalam lakon Bima kunjara ini adalah:

  1. Kerajaan Menawa Ratna. Latar ini dapat dilihat di semua paragraph.
  2. Gunung Nimantaka. Latar ini dapat dilihat di paragfa ke 2. Tempat ini merupakan temapt semadi sang Arjuna.
  3. Kerajaan Indraprasta. Latar ini dapat dilihat di paragraph terakhir. Tempat ini merupakan kerajaan dari Pandawa.

 

F.     STRUKTUR ALUR DRAMATIK

  1. Eksposisi:

Eksposisi dalam lakon Bima Kunjara adalah saat Sang Duryudana, yang dengan akal liiciknya memberikan Bima minuman keras sampai mabuk. Sementara itu Yudistira, Nakula dan Sahadewa disiksa dan dianiaya oleh ratusana algojo kerajaan menawa Ratna. Adengan ini terdapat dalam paragraph pertama.

  1. Konflik

Konflik yang terdapat dalam lakon Bima kunjara adalah konflik fisik. Konflik fisik yang pertama terdapat dalam paragraph pertama saat Catur Pandawa disiksa. Konflik fisik yang kedua yaitu terdapat dalam paragraph ke 4 saat Sang Bima mampu melepaskan dirinya dari rantai-rantai yang mengikat tubuh nya. Bima mengeroyok para penjaga penjara Menawa Ratna. Konflik fisik yang ke tiga terdapat dalam paragraph yang terakhir yaitu paragraph ke 5 yang menceritakan saat perang antara pasukan Panca Pandawa yang di bantu oleh pasukan kresna, melawan pasukan Wimurca dari Menawa Ratna.

  1. Komplikasi

Komplikasi atau penggawatan dalam lakon Bima kunjara ini dalah terdapat dalam paragraph ke 3 yaitu sadarnya bima akan keslahan yang di perbuatnya dan mampunya bima melepaskan diri dari rantai-rantai yang mengikat tubuh bima.

  1. Klimaks/puncak permasalahan

Klimaks dalam lakon ini dalah terjadi perang di penjara saat bima mampu melepas rantai-rantai yang mengikat tubuhnya, adegan ini terdapat dalam paragraph ke 4. Bukan itu saja tapi klimaks juga terdapat dalam paragraph terakhir. Pada paragraph terakhir menceritakan tentang perang antara Pandawa dengn Winurca

  1. Resolusi

Resolusi atau peleraian yang terdapat dalam lakon carangan ini adalah kalahnya pasukan wimurca dan larinya korawa setelah tahu bahwa wimurca kalah radi pandawa. Adegan ini terdapat dalam paragraph ke 5 atau paragraph terakhir.

 

G.   KESIMPULAN

Kesimpulan yang saya dapat ambil dari lakon Bima Kunjara ini adalah kesadaran Sang Bima akan dirinya. Tapi walaupun Bima telah lalai melindungi saudaranya tapi Ia mempu menyelamatkan saudaranya dari mara bahaya. Dan seperti biasa, pandawa selalu menang dari kelicikan korawa, karena kejahatan tidak akan pernah menang melawan kabaikan.

 

TAMAT

 

SINOBSIS LAKON “SUMANTRI MADEG PATIH”

 

PATIH SUMANTRI

 

Dikutip dari: Dalang Ketut Merta

Berasal dari: Desa Br Tegeha, Kec Banjar, Kab buleleng.

 

SINOPSIS : Dikisahkan perjalanan Sumantri sebelum menjadi Patih Suwanda. Sejak awal, anak muda ini memang telah menyiapkan masa depannya. Di pagi hari yang belum sempuna, ia pergi meninggalkan adiknya Sukasrana bocah bajang yang buruk rupa, keriting, cebol, dan agak hitam itu. Dengan penampilan pisik seperti itu, mungkin Sumantri merasa adiknya hanya akan menjadi perintang. Meski ia tahu, kesaktian Sukasarana  satu tingkat di atasnya. Sumantri menuju ke Mayespati untuk mengabdi pada Prabu Arjuna Sasrabahu.

 

BABAK I : Perjalanan Sang Sumantri bersama abdinya Lambri kesetiap Negara    untuk mencari  pekerjaan.

Adegan ke- I

Begitu banyak Negara yang dikelilinginya, namun belum juga mendapatkan pekerjaan. Akhirnya Sumantri pun bingung mesti kemana lagi mencari pekerjaan. Pada akhirnya ia sampai di jagat Maespati yang dipimpin oleh raja bernama Prabu Arjuna Sasrabahu, Arjuna Sasrabahu adalah Kesatria titisan Bhatara Wisnu. Merupakan raja yang disembah oleh sesame raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri yang di taklukannya.

Adegan ke- II

Sumantri menghadap kepada Prabu Arjuna Sasrabahu untuk mengabdikan diri di negeri Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna sasrabahu menerima pengabdian Sumantri dangan satu syarat, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi negeri Maespati.

Adegan ke- III

Sumantri diutus untuk melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negeri maespati. Tapi itu tidak gampang, karena Dewi Citrawati, putri negeri Magada itu kini dalam pinangan raja raja yang lebih dari seribu negara ada disana untuk memperubutkan Dewi Citrawati. Untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negeri Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa…!!!

Adegan ke- IV

Demi mendapatkan suatu pekerjaan yang sudah lama dinantikannya, akhirnya Sumantri pun menerima syarat tersebut, dan segera  berangkat ke Negeri Magada, untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh Beliau. 

 

BABAK II : Diceritakan perjalanan Sumantri menuju negeri Magada untuk melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negeri maespati.

Adegan ke-V

Sesampainya Sumantri di negeri Magada, ia menyaksikan sekian banyak raja raja dari berbagai Negara ikut memperebutkan Dewi Citrawati. Dari sekian banyaknya orang ia melihat Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluhlimaraja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negeri Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas, bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.  

Adegan ke-VI

Walaupun demikian tak sedikit pun Sumantri merasa gentar, justru sebaliknya ia tertarik dengan hal itu, kini ia dapat menguji kesaktian dirina dengan kesatria lainnya. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukkan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. Ia berhasil memenuhi persyaratan tersebut dengan membondong Dewi Citrawati beserta 800 putri ke Maespati.

Adegan ke-VII

Tapi Sumantri tak segera pulang. Di perbatasan, ia justru mengutus abdinya Lamri untuk mengirimsuratke Mayaspati dan menantang Arjuna Sasrabahu perang tanding.Adakesombongan yang tiba-tiba melonjak. Juga ketidak percayaan akan kekuatan dan kesaktian Sang prabu. Setidaknya ada dua tafsir tentang sikap itu. Pertama, Sumantri sekedar ingin lebih meyakinkan diri tentang keputusan raja yang ia abdinya. Kedua, ia tengah mabuk kemenangan.

 

BABAK III : K  etika Sang Prabu Arjuna Sasrabahu menerimasurat sang Sumantri.

 Adegan ke- VIII

Setelah mengetahui isi surat itu, Sang prabu pun menanggapinya dengan lapang dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan.Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.

Adegan ke-XIIII

Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan yang lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.

Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.

Adegan ke-X

Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.

Adegan   XI

Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.

Adegan ke XII

Sumanrti pun minta maaf berkali-kali kepada Sang Prabu, agar ia dapat keluar dari tubuh Sang Prabu dalam keadaan masih hidup. Mendengar rintihan itu, sang Prabu tidak tega membunuh musuh yang sudah tidak berdaya.

Adegan ke XIII

Akhirnya beliau mamaafkannya dan mengeluarkan Sumantri dari tubuhnya.  Sumantri pun akhirnya keluar dari tubuh Sang Prabu. Karena merasa bersalah Sumantri bersujud menyembah sang Prabu, ia pun berjanji akan menyerahkan jiwa, raganya untuk mengabdi di Jagat Mayaspati.

Adegan ke-XIV

Sang Prabu Arjuna Sasrabahu pun bermurah hati dan memberinya kesempatan. Tapi karena Sumantri melakukan kesalahan ia pun kembali diberi hukuman: untuk memindahkan Taman Sriwidari dari Kayangan Wisnu Loka ke istana. Dengan perasaan ragu ia menyanggupi persaratan itu. karena sebuah tugas yang mustahil dan tidak mungkin bisa ia kerjakan, membuat sumantri hamper putus asa. 

 

BABAK IV : Diceritakan perjalanan Sumantri di tengah hutan yang tidak jelas kemana arahnya untuk mencari Taman Sriwidari.

Adegan keXV

Di tengah hutan Sumantri menangis karena Ia merasa tidak akan mampu mencari dan membawa Taman Sriwidari ke Jagat Mayaspati.

Adegan ke XVI

Namun di saat itu, Sukasarana adiknya datang dan menghampiri kakaknya. Ia memeluk kakaknya sambil mengatakan bahwa ia sangat merindukan kakaknya sang Sumantri. Ia  bertanya, kenapa kakaknya menangis. Sumantri pun member penjelasan kepada adiknya. setelah mendengar penjelasan kakaknya, Sukasarana menertawai kakaknya, Sukasarana mengucapkan bahwa itu soal gampang, ia menyuruh kakaknya untuk berhenti menangis dan menenangkan diri,

Adegan ke-XVII

Karena sakeng sayangnya Sukasarana pada kakaknya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Wisnu Loka mencari dan membawakan Taman Sriwidari yang ditugaskan oleh Prabu Arjuna Sasrabahu kepada kakaknya. Dengan kesaktiannya, Akhirnya Sukasarana berhasil  membawa pulang Tamansriwidari dan kakanya pun diangkat menjadi Patih Agung di Jagat Mayaspati dengan panggilan Patih Suwanda.

 

TAMAT

←Older