Sejarah Film : Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia

Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia
(Bagian I: 1900-1970)

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi ataupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan “citra bergerak” (moving images), namun juga telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.

Fenomena perkembangan film yang begitu cepat dan tak terprediksikan membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang progresif. Bukan saja oleh negara-negara yang memiliki industri film besar, tapi juga oleh negara-negara yang baru akan menata industri filmnya. Apa yang telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay dan Hongkong dengan mengglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah subkultur di negara asalnya , setidaknya menjadi latar belakang kesadaran tersebut. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra/identitas komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan dampak negatif. Hal ini bisa dilihat dengan meningkatnya kriminalitas di suatu wilayah yang bergerak seiring dengan maraknya peredaran film-film bertema kekerasan dan kriminalitas di wilayah tersebut. Begitulah, film telah berkembang dengan pesatnya.

Bagaimana dengan film Indonesia? Topik lama ini sudah dua dekade lamanya menjadi bahan perbincangan kalangan film Indonesia. Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor (meskipun kuota film impor sudah ditekan sedemikian rupa) yang semakin diminati masyarakat. Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan jarak antara film (insan film), bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film.

Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia. Sukses penyelenggaran Jiffest memberikan arti tersendiri dalam perjalanan film Indonesia. Begitu pula karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Marseli Sumarno dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini patut disyukuri, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga seperi Iran, Meksiko, Filipina, Maroko dll., juga terjadi menjelang seratus tahun film dikenal di Indonesia pada 5 Desember 2000. Artinya film di Indoesia telah dikenal satu abad lamanya.

1900-1940

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar (paying audiences) berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905). Di Indonesia sendiri, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900) tertulis: “Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50.” Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Selain itu juga diadakan pertunjukan khusus seminggu sekali untuk anak-anak yang harus diantar oleh orangtuanya. Pemasaran film-film ketika itu cukup menarik. Selain melakukan promosi disurat kabar dengan kalimat-kalimat yang terkesan bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ditambah kelasnya menjadi 4 kelas. Kelas yang ditambah adalah Loge (VIP). Kelas III kemudian disebut kelas “kambing” yang identik dengan pribumi. Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.

Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Sementara film-film produksi pemerintah kolonial saat itu masih berupa film dokumenter. Di negara-negara lain (barat) film cerita sendiri sudah mulai diproduksi antara tahun 1902-1903. The Life an American Fireman (1903) adalah film cerita Amerika pertama yang dibuat oleh Edwin S. Porter (1869-1941). La Presa di Roma dibuat di Itali oleh Filateo Alberini tahun 1905. Kemudian India juga membuat film cerita pertama mereka yaitu Rajah Harisandra tahun 1913. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah bioskop meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Di Medan pun kemudian muncul bioskop yang pertama di luar pulau Jawa. Surat kabar Keng Po memuat sebuah iklan yang menyebutkan bahwa pada tanggal 10 September 1923 akan diputar film penerangan tentang pos dan telegraf di kota Medan.

Pada masa ini, bioskop-bioskop terbuka lebih memiliki daya tarik tersendiri. Biasanya terletak di lokasi-lokasi pasar malam. Daya tarik film dan bioskop ini mulai dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan sosial. Centrale Bioskop di Jatinegara pada tahun 1923 menyumbangkan 25% dari penjualan karcis untuk pensiunan militer. Pada tahun ini juga mulai masuk film-film dari Cina (Tiongkok) melalui China Moving Picture. Dua film Tiongkok pertama adalah Li Ting Lang yang bercerita tentang revolusi di China dan Satoe Perempoean Yang Berboedi. Film-film dari China ini mulai dibanding-bandingkan dengan film produksi Amerika (Hollywood). Satu hal yang agak unik adalah usaha promosi film yang dilakukan oleh pemilik bioskop melalui surat kabar seringkali lebih menonjolkan kemajuan-kemajuan fasilitas bioskop tempat film itu diputar. Seluruh film yang diputar hingga tahun tersebut masih berupa film bisu.

Film lokal (Indonesia) pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi. Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. De Locomotief no. 70 (30 Agustus-1 September 1926) menulis, “Pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priyayi yang berpendidikan. Pengambilan film dilakukan di suatu tempat yang dipilih dengan cermat, kira-kira dua kilometer sebelah barat kota Padalarang”. Kemudian dalam edisi no. 71 (2-4 September 1926) ditulis, “Film ini, tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian”. Film Loetoeng Kasaroeng ini diputar di Elita dan Oriental Bioskop (Majestic) Bandung, dari tanggal 31 Desember 1926-6 Januari 1927. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.

Pada tahun ini, film-film bersuara mulai beredar di Indonesia. Bahkan film dari Hollywood sudah menggunakan teks melayu. Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga dikota-kota kecil seperti Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.

1941-1970

Produksi film Indonesia mengalami masa panen pertama kali pada tahun 1941. Di tahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yang diproduksi. Terdiri dari 30 film cerita dan 11 film yang bersifat dokumenter. Nama-nama Roekiah, Rd Mochtar dan Fifi Young sangat populer pada masa itu. Film-film yang diproduksi ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga. Sayangnya, di tahun 1942, produksi film anjlok. Hanya 3 judul film yang diproduksi. Hal ini tentunya berkaitan dengan masuknya pendudukan Jepang di Indonesia yang melarang aktivitas pembuatan film.Pendudukan Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidhoso) yang di dalamnya ada Nippon Eiga Sha yang mengurusi bagian film. Selama masa pendudukan Jepang inilah, film mulai secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda politik. Film yang diputar, selain film dokumenter Jepang yang menonjolkan “kegagahan” Jepang, juga film-film Jerman yang adalah sekutu Jepang. Film Amerika dilarang beredar. Nama-nama Bioskop pun diganti ke bahasa Jepang dan Indonesia. Namun pendudukan Jepang masih sedikit berbaik hati dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mempelajari teknik pembuatan film.

Setelah kekalahan Jepang, ternyata minat masyarakat terhadap film-film Hollywood masih sangat besar. Film-film ini sendiri masuk dengan sangat mudah melalui sebuah agen pengimpor film yang dikenal dengan sebutan AMPAI (American Motions Pictures Asociation in Indonesia) yang merupakan perwakilan-perwakilan Paramount, Universal, 21Century Fox, MGM, Columbia dsb. Film-film impor ini sama sekali tak dibatasi kuota impornya. Film-film Indonesia yang beredar pada saat itu antara lain Moestika dari Djenar, Kartinah, Poetri Rimba, Elang Darat dan Koeda Sembrani.

Di tahun 1950, Usmar Ismail yang kemudian dikenal sebagai Bapak Film Indonesia mendirikan Perfini (Perusahaan film nasional Indonesia) dengan Darah dan Doa sebagai produksi pertama. Film ini punya arti penting dalam sejarah film Indonesia, sehingga Dewan Film Nasional dalam konferensinya (11 Oktober 1962) menetapkan hari pengambilan gambar pertama film ini (30 Maret) sebagai hari film nasional. Djamaludin Malik kemudian mendirikan Persari (Perseroan Artis Republik Indonesia) dan meproduksi film Marunda.

Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.

Sementara itu, PPFI masih belum bisa mengatasi serbuan film-film impor yang seperti mendapatkan angin dari kebijakan pemerintah yang tidak berusaha membatasi kuota film impor ini. Dukungan baru datang dari PARFI (berdiri 10 Maret 1956) yang berdemonstrasi di depan presiden Soekarno. PPFI sendiri, setelah mendapatkan akte resmi pendiriannya, tiba-tiba menutup seluruh studionya dengan tujuan pemerintah membatasi film-film impor. Gebrakan ini berhasil. Namun bukan berarti industri film Indonesia lepas dari masalah. Setelah FFI I yang menghasilkan 65 judul film, produksi film Indonesia anjlok kembali. Puncaknya ditahun 1965, dimana krisis politik di Indonesia mengimbas ke berbagai sektor lainya, juga industri film. Bukan cuma film lokal yang menderita, tapi film-film impor dari Hollywood yang menghidupi industri film nasional pun ikut menderita. Film-film Hollywood ini diboikot peredarannya. Aksi pemboikatan ini dimotori oleh PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Imperialis Amerika Serikat). Aksi ini benar-benar meporak-porandakan perfilman dan bioskop di Indonesia. Dari 753 bioskop yang terdaftar, cuma 350 saja yang aktif beroperasi. Selebihnya malah menutup bioskop mereka. Terbukti setelah boikot ini usai dan impor film kembali normal di tahun 1966, bioskop-bioskop baru bermunculan. Film-film Hollywood masih mendapatkan tempat utama dari penonton Indonesia. Film Indonesia sendiri masih belum bisa bangkit dari keterpurukannya. Produksi film lokal terus menurun. Meskipun sempat diadakan FFI III (Pekan Apresiasi Film Nasional) Agustus 1967, tetap belum sanggup menggairahkan produksi film lokal. Begitu pula dengan kehadiran teknologi baru cinemascope dan film berwarna di tahun 1968, belum sanggup mendatangkan gairah baru.

Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia
(Bagian II: 1970-2000)

Bagian I: 1900-1970»

Oleh Victor C. Mambor

1970-1980

Baru pada tahun 1970 industri film nasional menunjukan gairahnya kembali. Sebanyak 20 judul film diproduksi pada tahun itu. Hal ini mendorong para wartawan film yang tergabung dalam PWI Jaya mengadakan pemilihan Best Actor dan Actrees di awal 1971. Badan sensor film pun mulai melonggarkan aktivitasnya. Adegan-adegan ciuman ataupun seks dalam film-film lokal banyak yang “diloloskan” oleh gunting sensor. Tujuannya adalah untuk mendongkrak minat penonton terhadap film nasional yang sekaligus mendongkrak pula industri film lokal. Film Bernafas Dalam Lumpur setidaknya membuktikan hal ini. Pemerintah pun pada masa itu mulai menekan peredaran film impor.

Di awal tahun ‘70-an ini, mulai terjadi pergeseran tema film yang sebenarnya merupakan dampak dari longgarnya sensor terhadap film lokal. Judul-judul film nasional lebih banyak dibuat sedemikian rupa hingga terkesan “mengundang”. Sebuah film yang berjudul Hidup, Tjinta dan Air Mata bahkan mendapatkan teguran keras dari Menteri Penerangan saat itu, karena memperlihatkan adegan pornografi. Meski demikian, pada dekade ‘70-an ini film-film komedi yang dibuat selalu mencetak sukses. Nama-nama seperti Benyamin, Bing Slamet, Ateng CS sangat populer. Film-film yang bertema heroisme juga terbilang sukses, meski tidak sesukses film komedi. Selama kurun waktu ini (1970-1980) sekitar 604 judul film diproduksi. Jumlah paling besar terjadi di tahun 1977. Tak lain karena peraturan pemerintah yang mengharuskan para importir film untuk memproduksi film lokal. Jumlah penonton semakin meningkat. Selain itu, kuota film impor terus ditekan hingga 250 judul film ditahun 1980 dari 820 di tahun 1971. Bisa dikatakan bahwa film Indonesia sukses meraih penonton. Namun harus dicatat bahwa minat penonton lebih banyak termotivasi oleh tema-tema film lokal yang disebutkan tadi, akibat longgarnya sensor terhadap film-film produksi lokal. Cita rasa terhadap film Indonesia, baik oleh penonton, pembuat film dan bioskop dapat dikatakan hanya sekedar membela keuntungan bukan kualitas film tersebut. Contoh kasus ini adalah dengan diberikannya piala Antemas (untuk film terlaris dengan syarat harus dipuji dalam berbagai kesempatan sebagai film baik/bermutu) dalam FFI II tahun 1974, kepada Badai Pasti Berlalu, padahal film yang paling laris adalah Akibat Pergaulan Bebas yang ditonton oleh 311.286 penonton, 30% lebih banyak dari penonton Badai Pasti Berlalu.

1980-1990

Di tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an menjadi 721 judul film di tahun-tahun tsb. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik (dangdut) mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya. Film ini bukan cuma diputar di bioskop saja, tapi juga di layar televisi yang di tahun ‘80-an kepemilikannya semakin mudah. Tentu saja jumlah penontonnya mencapai jumlah tertentu pula. Film ini sekaligus menegaskan kembali bahwa film bisa menjadi alat tunggangan kepentingan-kepentingan tertentu.

Meskipun ditahun ‘80-an ini produksi film lokal meningkat dan jumlah penonton bertambah, perlu dicatat bahwa peningkatan ini tak lepas dari semakin banyaknya bioskop-bioskop baru yang bermunculan di daerah-daerah dan pinggiran kota besar diakhir tahun ‘70-an. Kehadiran bioskop-bioskop ini membuat penonton memiliki banyak pilihan dan semakin dewasa menilai film-film yang akan ditonton. Bioskop juga mulai terbagi-bagi berdasarkan tingkat kehidupan sosial. Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun ‘80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih di kenal sebagai bioskop 21, yang sebenarnya adalah jaringan bioskop milik Subentra Group.

Semakin dewasanya penonton dalam menilai film membuat pemilik bioskop-bioskop besar di pusat kota mengalihkan perhatiannya pada film-film Hollywood yang lebih menjanjikan profitnya karena menghadirkan hiburan yang sesungguhnya. Film-film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Film-film lokal ini harus bersaing keras dengan film-film India yang memang dari awal pangsa pasarnya adalah kelas menengah ke bawah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, meskipun jumlah penonton meningkat dan jumlah produksi film lokal meningkat, ternyata minat menonton film lokal tereduksi. Kurangnya minat penonton terhadap film-film lokal ini disebabkan oleh tema film yang cenderung monoton. Selain itu, film-film lokal cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut. Bahkan bisa dikatakan asal-asalan. Baik dari segi cerita maupun dari segi sinematografinya. Kepemilikan televisi yang semakin mudah juga memberikan dampak terhadap industri film Indonesia. Masyarakat punya pilihan lain dalam mendapatkan suatu tontonan. Fenomena ini membuat film Indonesia turun derajatnya di mata masyarakatnya sendiri. Di bioskop-bioskop daerah dan pinggiran kota besar, film-film lokal yang beredar didominasi oleh tema-tema seks, komedi, seks horor dan musik (dangdut). Film-film yang memang mendominasi produksi film nasional dewasa itu. Perbedaan karcis yang cukup tinggi antara bioskop besar dan bioskop kecil membuat sebagian besar masyarakat Indonesia yang mulai dilanda krisis ekonomi berkepanjangan, terpaksa hanya bisa mengunjungi bioskop-bioskop kecil saja. Kenyataan ini praktis tak bisa dihindari karena situsasi yang ikut dipengaruhi oleh krisis ekonomi, membuat mereka mencari hiburan yang murah, meriah dan bisa memuaskan. Namun bagi industri film lokal, tampak sekali mengalami hambatan kreativitas.

Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Sementara film lokal “dibina” oleh pemerintah. Praktek-praktek menguntungkan pihak-pihak tertentu (KKN, dsb) dalam peredaran film di Indonesia, seringkali merugikan film nasional. Bioskop-bioskop besar (21 Group) bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja. Keberadaan Cinemascope yang kemudian menjadi tren baru ini bukan saja tidak mau memutar film-film lokal, tapi sama sekali tidak memberikan peluang yang nyata bagi industri film Indonesia. Memang BP2N mengelola dana yang didapat dari peredaran film impor untuk kepentingan film nasional. Tapi manajemen yang tidak efisien dan kurang profesional, tetap saja memperburuk kondisi film nasional. Bahkan BP2N ini hanya menghasilkan 10 judul film selama 30 tahun. Dan tidak mampu memperbaiki sistem yang telah terbentuk. Dan di akhir tahun ‘80-an ini, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik (sinetron) serta telenovela.

Meskipun demikian, sejumlah film yang diproduksi di tahun ‘80-an ini menunjukan peningkatan kualitas dari segi sinematografi. Doea Tanda Mata, Matahari-Matahari dan Tjoet Nyak Dien adalah beberapa dari judul film tsb. Nama-nama Alex Komang, Marrisa Haque dan Christine Hakim menunjukan bahwa mereka benar-benar aktor dan aktris yang berbakat besar. Permainan mereka dalam film-film tersebut dipuji oleh banyak orang. Matahari-Matahari dan Doea Tanda Mata bahkan mendapatkan penghargaan di Festival Film Asia Pasifik. Marissa Haque mendapatkan penghargaan sebagai aktris terbaik (FFAP 1987) dan George Kamarulah sebagai penata fotografi terbaik dalam film Doea Tanda Mata (FFAP 1986).

1990-2000

Di awal tahun ‘90-an, kondisi film Indonesia masih belum bangkit dari keterpurukannya. Secara umum bisa dikatakan bahwa film Indonesia “pingsan”. Namun di awal tahun ‘90-an ini muncul seorang sutradara muda yang penuh bakat, Garin Nugroho. Film yang disutradarainya, Cinta dalam Sepotong Roti, seperti menghadirkan nafas baru dalam dunia film Indonesia. Karyanya ini mendapat pujian dan juga kritik dalam berbagai kesempatan, formal ataupun informal. Film ini dianggap sukses menghadirkan tema seks secara dewasa dan tidak vulgar. Sukses bukan saja dalam kualitas tapi juga dalam meraih penonton. Film lain yang mencetak sukses adalah Taxi, karya Arifin C. Noer yang memberikan piala Citra bagi Rano Karno, bintang yang sudah lama malang-melintang di perfilman Indonesia, tapi belum sekali pun mendapatkan piala Citra.

Tahun 1994, Dewan Film Nasional (DFN) berusaha mengangkat film Indonesia dari kelesuannya dengan proyek film Bulan Tertusuk Ilalang yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Selain judul filmnya yang puitis, film ini juga unik karena alur ceritanya yang tak teratur dan dituturkan secara linier. Gaya baru dalam perfilman nasional. Minim dialog dan sangat menonjolkan perjalanan kejiwaan tokoh dalam film. Film ini digarap dengan cerdas dan berani. Tapi ide dan gagasan menghadirkan gaya baru ini belum bisa diterima oleh penonton Indonesia. Dalam FFAP 1995 di Jakarta, film ini pun tidak mendapatkan sebuah penghargaan. Proyek DFN lainnya untuk FFAP adalah Cemeng 2005 yang menghadirkan aktor-aktor berbakat Indonesia. Sayangnya film ini gagal dipasaran dan FFAP. Proyek DFN ini belum bisa menyaingi film-film impor yang semakin mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia.

Daun di atas Bantal adalah film karya Garin Nugroho lainnya yang sukses di dekade ‘90-an ini. Sejauh ini, film ini adalah karya terbaik Garin Nugroho. Sukses dalam pasaran karena sanggup menembus dominasi film impor di bioskop 21 Group dan sukses secara kualitas karena memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional. Selain itu, film Sri karya Marseli Sumarno juga berhasil diputar di bioskop 21, namun tidak sesukses Daun di atas Bantal yang juga bisa menembus festival film Canes dan mendapatkan penghargaan. Pertengahan ‘90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Begitu pula pekerja film lainnya. Industri film Indonesia dilanda sepi. Namun pada saat yang sama, teknologi digital mulai merambah masuk ke Indonesia. Lagi-lagi masyarakat diberikan pilihan dalam menentukan tontonan bagi dirinya. Kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD semakin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor. Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.

Di akhir millenium ini, sukses penyelenggaraan Jiffest I & II dan film Petualangan Sherina menunjukan bahwa film Indonesia masih memiliki calon penonton yang potensial. Begitu pula antusiasme masyarakat dalam menyaksikan film-film independen. Diselenggarakannnya proyek Industri Perfilman Rakyat oleh KP2N (Komite Peduli Perfilman Nasional) juga patut disambut gembira. Proyek ini diharapkan bisa menyelaraskan pemahaman masyarakat dan insan perfilman nasional untuk suatu tatanan baru perfilman nasional. Jika proyek film rakyat ini menemukan kendala yang sama dengan film-film independen dalam peredarannya, mengapa tidak melirik Taman Budaya-Taman Budaya yang telah ada di setiap propinsi, bahkan dibeberapa kabupaten. Gedung pertunjukan Taman Budaya-Taman Budaya tersebut tidak terlalu jelek fasilitasnya untuk memfasilitasi sebuah pertunjukan film. Terutama dalam menggairahkan kembali minat masyarakat dalam menonton film nasional. Ini bisa menjadi salah satu alternatif dalam peredaran film-film independen. Tampaknya, reposisi yang sedang dialami Taman Budaya memberikan peluang untuk itu. Atau melalui televisi swasta yang mempunyai program seperti FTV (Film televisi). Namun untuk yang ini, tentu saja film-film yang dibuat harus memiliki aspek komersiil.

Selanjutnya, apakah film Indonesia akan benar-benar bangkit dari keterpurukannya yang kesekian kali itu? Peristiwa-peristiwa yang terjadi di akhir abad ini sepertinya mengarah kepada kebangkitan film Indonesia. Namun catatan sejarah film Indonesia mencatat bahwa film Indonesia selalu timbul tenggelam. Bangkit sesaat untuk kemudian terpuruk kembali. Wajar jika terselip sedikit rasa pesimis ini. Namun optimisme harus lebih dikedepankan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di akhir abad ini dan menjelang seratus tahun film di Indonesia menunjukan bahwa masalah-masalah yang timbul dari dalam insan film Indonesia, baik secara teknis dan nonteknis, sudah mulai bisa diatasi secara dewasa. Kendala-kendala seperti pendanaan dan sumberdaya bukan lagi persoalan yang utama dalam industri film Indonesia. Usaha-usaha mengatasi persoalan tersebut mulai dibangun. Masalah yang paling penting saat ini adalah kebijakan pemerintah terhadap industri film nasional. Terutama yang berhubungan dengan peredaran film, impor film-film komersil dan juga penonton. Apakah pemerintah akan termotivasi oleh perkembangan terakhir dunia perfilman nasional untuk mendukung secara positif industri film nasional? Entahlah. Tampaknya hal ini harus disikapi secara bijaksana. Karena masalah-masalah lain yang diwarisi oleh pemerintah sekarang ini belum bisa diatasi. Terlalu dini untuk berharap bahwa kebijakan pemerintah terhadap industri film nasional akan menggembirakan. Namun setidaknya—dengan kesadaran yang dimiliki oleh kita semua—bahwa film telah seratus tahun dikenal di Indonesia memotivasi kita untuk terus membangun industri film Indonesia.

Ditulis dari berbagai sumber.


Victor C. Mambor
Peneliti seni pertunjukan pada Yayasan untuk Seni dan Budaya, KELOLA, Solo.

Comments are closed.