arthanakepakisan

July 13, 2010

Asal-usul Angklung

Filed under: Lainnya —— arthanakepakisan @ 10:02 am

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.

review 5 buku

Filed under: Lainnya —— arthanakepakisan @ 9:54 am

JUDUL          : FILSAFAT SENI SAKRAL DALAM KEBUDAYAAN BALI

OLEH             : I MADE YUDA BAKTI DAN I WAYAN WATRA

PENERBIT   : PARAMITA SURABAYA

TAHUN         : 2007

ISI                   : LONTAR TOPENG SIDAKARYA

Karena begitu pentingnya pentas topeng Sidakarya dalam setiap pelaksanaan upacara di Bali, baiklah dibawah akan diuraikan sejarah singkat tentang terjadinya Topeng Sidakarya sesuai dengan isi Lontar Sidakarya adalah sebagai berikut :

Pada masa kekuasaan Dalem Waturenggong di Gelgel, tepatnya ketika beliau mengadakan upacara atau karya “Nangluk Mrana” di Pura Besakih, tanpa diduga dan dinyana datanglah seorang Brahmana (walaka) dari Keling mencari saudaranya di Bali yang bernama Dalem Waturenggong. Tentu saja sang Brahmana tersebut dianggap gila oleh pengayah (pelayan) sehingga dengan segera diusir. Karena bersikeras ingin bertemu dengan saudaranya, maka dengan paksa para pengayah karya mengusirnya, sehingga Brahmana itu bersungut-sungut sambil mengutuk agar rakyat Bali diserang gering (penyakit). Keadaannya benar demikian sehingga karya tak bisa dilaksanakan karena semua pengayah sakit dan tanaman tidak berhasil (gagal panen).

Atas petunjuk sunya atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dititahkan oleh Dalem untuk mencari Sang Brahmana Keling tersebut di Bandana Negara untuk dibawa menghadap Dalem yang sedang berada di Pura Besakih. Dalam pada waktu itu, Dalem memohon belas kasihan Sang Brahmana Keling agar kesempurnaan pulau Bali dapat dikembalikan sebagai sedia kala. Dalem menerima Sang Brahmana Keling sebagai saudara dan diberi gelar Dalem Sidhakarya. Brahmana Keling  meminta “saksi pituhu” yang membenarkan segala yang diucapkan. Setelah karya bisa dilaksanakan atau sidhakarya, maka Dalem Waturenggong menepati janjinya memberi gelar pada Sang Brahmana Keling yaitu “Dalem Sidhakarya”. Atas ketulusan Sang Prabu Waturenggong itu, Dalem Sidhakarya mengaku sebagai Dewa segala merana (tikus, walang sangit dan lain-lainnya). Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka semenjak itu, Dalem Waturenggong memerintahkan kepada seluruh rakyat di Bali apabila melaksanakan karya / yajna, agar memohon jatu karya ke Pura Dalem Sidhakarya yang berupa catur wija, dan panca taru serta dinasehatkan pula agar rakyat jangan memaki hama / merana.

JUDUL                       : ENSIKLOPEDI TARI BALI

OLEH                         : DR. I MADE BANDEM

PENERBIT                 : AKADEMI SENI TARI INDONESIA (ASTI) DENPASAR BALI

TAHUN                      : 1983

DICETAK OLEH      : PERCETAKAB PT. “BALI POST” OFFSET

ISI                               : “ANDIR”

Andir adalah sebuah tari seni klasik yang merupakan bentuk mula dari tari Legong Kraton yang ada sekarang. Andir ditarikan oleh tiga orang laki-laki. Tetapi akhir-akhir ini Andir ditarikan oleh wanita saja. Andir dikembangkan dari tari upacara, terutama Tari Sang Hyang sebuah tari kerauhan di Bali. Gerak tari andir merupakan salah satu dari gerak tari gambuh. Gerak yang sukar dalam tari gambuh itu diperhalus disesuaikan dengan musik yang sangat dinamis sehingga ia menjadi tari andir yang sangat indah seperti yang terlihat sekarang. Adapun sekeha andir yang masih aktif sampai sekarang ialah dari Banjar Tista, Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Andir ini didukung oleh sekehe yang berjumlah seratus orang. Pementasan biasanya dilakukan untuk kepentingan upacara adat atau odalan di pura-pura yang ada disekitarnya.

Disamping sekehe Andir d Tista, masih ada pula sebuah sekehe andir yang kini aktivitasnya kurang menonjol yaitu andir di desa Blahbatuh Gianyar. Andir ini sangat aktif pada tahun 1906 dan seorang tokoh pelegongan yang bernama I Wayan Lotring dari desa Kuta Denpasar memperoleh latihan andir di Blahbatuh sebelum ia menjadi ahli tari legong kraton. Almarhum I Wayan Rindi, salah seorang penari legong kraton dari banjar Lebah (Denpasar), mendapat juga latihan tari andir sebelum ia menjadi ahli tari Legong Kraton di banjar Kelandis pada tahun 1930-an. Adapun tema yang dipakai oleh tari andir ialah :

Cerita malat           : khususnya bagian Prabu Lasem

Jobog                     : peperangan Subali dan Sugriwa

Kuntir                    : pertapaan Subali dan Sugriwa yang berakhir dengan peperangan

Semarandana         : terbakarnya Bhatara Semara dan Bhatara Ratih oleh sinar mata ketiga dari Bhatara Ciwa

Kupu-kupu tarum  : kisah percintaan dua ekor kupu-kupu

Bapang                  : suatu jenis tari abstrak yang menggunakan watak keras

Kuntul                   :  merupakan kisah burung bangau yang sedang bermain ditengah sawah.

JUDUL          : MENGENAL BUDAYA HINDU DI BALI

OLEH             : I GUSTI KETUT WIDANA

PENERBIT   : PUSTAKA BALI POST

TAHUN         : 2002

ISI                   : ARTI GARUDA DAN ANGSA DI PADMASANA

Padmasana berasal dari kata “Padma” yang berarti bunga dan “asana” yang artinya tempat duduk. Padmasana berarti tempat duduk dari bunga teratai. Dalam pandangan Hindu, padmasana merupakan simbolis dari sthana Hyang Widhi yang berbentuk bangunan menjulang tinggi. Padmasana dilengkapi dengan berbagai atribut diantaranya lukisan atau pahatan garuda dan angsa.

Burung garuda adalah lambang dari perjuangan untuk mendapatkan kebebasan dengan mencari air kehidupan (tirtha amertha). Cerita tentang burung garuda ini terungkap didalam kisah Adi Parwa, dimana garuda yang tidak lain adalah anak dari Dewa Winata berjuang untuk membebaskan ibunya dari perbudakan sang naga. Garuda ini kemudian dipergunakan sebagai simbol perjuangan manusia di alam raya ini dalam mencari amertha atau kebebasan yang abadi. Dalam bahasa agama Hindu pelinggih padmasana ini merupakan simbol pendakian umat dalam ikhtiarnya mendekatkan diri dan akhirnya dapat memperoleh kebebasan dalam persatuan dengan-Nya.

Begitupun dengan burung angsa yang keberadaannya di bagian belakang padmasana dilukiskan dalam keadaan mengembangkan kedua sayapnya. Sebagaimana disebutkan didalam lontar “Indik tetanginan”, lukisan angsa merupakan simbol “Ongkara”. Dimana kedua sayapnya mengembang melukiskan “Ardha Chandra” (bulan sabit). Lalu badannya yang bulat melukiskan “windhu” dan lebar serta kepalanya yang mendongak ke atas adalah simbol “nada”. Makna lainnya, burung angsa juga merupakan lambang kebijaksanaan dan kewaspadaan. Sebab selain angsa bisa memilah dan memilih yang terbaik juga sangat peka terhadap keadaan. Dengan demikian keberadaan burung angsa di pelinggih padmasana merupakan simbolis dimana umat Hindu dalam pemujaan kepada-Nya berharap memperoleh kebijaksanaan dan selalu bersikap waspada atas tuntunan dan lindungan-Nya. Sebenarnya, selain burung garuda dan angsa, pada bagian bawah (dasar) dari padmasana juga dilukiskan keberadaan dua ekor naga yaitu naga Anantaboga (simbol kesejahteraan) dari naga Basuki (simbol kerahayuan) yang lazim disebut dengan “Bedawangnala” dengan membelit seekor kura-kura (simbol api bumi) sehingga disebut juga “Bedawang api” (kuramegi). Secara menyeluruh padmasana itu tidak lain dari simbol alam semesta dimana Hyang Widhi bersthana guna memberikan tuntunan dan perlindungan kepada umat manusia yang bakti kepada-Nya.

JUDUL          : TINJAUAN SENI

OLEH             : SOEDARSO SP.

PENERBIT   : SAKU DAYAR SANA YOGYAKARTA

TAHUN         : 1990

ISI                   : PENGERTIAN SENI DAN SENI RUPA

Walaupun seni rupa atau seni pada umumnya sudah tua usianya, tetapi gambaran orang terhadapnya biasanya tidak jelas dan seringkali terlampau sempit. Yang demikian itu selain disebabkan oleh luasnya daerah jelajah seni, juga oleh pesatnya perkembangannya, terutama akhir-akhir ini, sehingga tidak lagi terjangkau oleh orang-orang diluarnya. Dari contoh-contoh perwujudannya dimasa lampau saja sudah cukup pusing kita dibuatnya; bahwa barang-barang yang tampaknya lain sekali baik bentuk maupun fungsinya, harus dimasukkan kedalam satu kategori, ialah seni. Marilah kita lihat betapa serbanekanya contoh-contoh yang dapat kita tarik. Sebuah lukisan pemandangan Ngarai Sianok di Minangkabau yang elok tergantung di dinding kamar tamu adalah salah satu hasil seni rupa. Demikian pula arca Buda yang dipuja, sebuah vignette kecil pengisi halaman di majalah, pencakar langit yang perkasa ataupun sebuah sendok makan yang cantik dan enak dipakai. Semuanya tampak berlain-lainan sekali fitrahnya. Lalu bagaimanakah kita mesti merangkum semuanya kedalam suatu pengertian yang tepat?

Selama ini telah banyak batasan tentang seni dibuat orang dan barangkali untuk menjawab pertanyaan diatas ada baiknya kita menelusuri batasan-batasan itu. Dengan demikian kita belajar dari apa yang pernah dirangkum orang sebagai seni, dan dengan jalan menjumlahkannya kiranya akan dapat menemukan suatu wawasan yang luas mengenai apa yang sedang kita persoalkan ini.

Definisi yang paling bersahaja dan sering terdengar menyebutkan bahwa “Seni adalah segala macam keindahan yang diciptakan oleh manusia”. Maka menurut jalan pikiran ini seni adalah suatu produk keindahan, suatu usaha manusia untuk menciptakan yang indah-indah yang dapat mendatangkan kenikmatan. Kalau kita perhatikan kesenian tradisi kita, hal itu memang nampak dengan jelas, seni kerawitan adalah paduan bunyi atau suara yang indah yang mengenakkan telinga dan demikian pula ukiran-ukiran kayu dirumah adalah lukisan yang menambah semaraknya pemandangan tetapi apabila seni modern yang kita hadapi, bukan mustahil kita akan dihadapkan pada sesuatu hal yang justru sama sekali tidak indah dan tidak mengenakkan. Seniman-seniman sekarang banyak yang tidak lagi memandang seninya sebagai proyek penciptaan keindahan dan bahkan sebaliknya, menggunakannya sebagai sarana pemecahan masalah yang sedang dihadapinya. AFFANDI, pelukis besar kita itu, sering melukis kemelaratan dan kesedihan yang diangkatnya dari keadaan sekitar sebagai refleksi gejolak jiwanya yang tersentuh oleh keadaan itu. Bentuknya jelas tidak mendatangkan kenikmatan melainkan justru menggelitik perasaan kita menjadi tidak tentram.

JUDUL          : AJARAN AGAMA HINDU

OLEH             : DRS. I.B. PUTU SUDARSANA, MBA.MM.

PENERBIT   : SAKU DAYAR SANA YOGYAKARTA

TAHUN         : 2003

DICETAK     : YAYASAN DHARMA ACARYA PERCETAKAN MANDARA SASTRA

ISI                   : BENTUK, MAKNA DAN FUNGSI PERANGKAT UPACARA

“SANGGAH TUTUAN”

Sanggah ini terbuat dari bambu juga, hanya berbentuk segi empat sama sisi, biasanya memakai atap dari kelabang atau ijuk dan pada sumbu atas dibentuk simpul menyerupai pucut (simpul rambut Pedanda).

Sanggah ini bertangkai dua sebagai kakinya yang tertancap ke tanah dan bagian atasnya masing-masing bercabang dua untuk menyangga keempat sudut sanggah. Sanggah ini memiliki makna dan sebagai simbol atau personifikasi seorang wiku (orang suci) dan mengungkap maknanya berdasarkan kajian sebagai berikut : Sanggah diartikan sebagai sumber, sedangkan kata tutuan berasal dari suku kata Tu-tu-an, dengan asal katanya “Tua” dapat akhiran an, maka menjadi Tuan untuk mendapatkan suatu pengertian maka suku kata Tu menjadi Ta menjadilah Tutuan, yang dapat diberikan arti sebagai “yang dituakan”. Di masyarakat Bali umumnya yang dituakan itu disebut pengelingsir disini diinterprestasikan sebagai seorang Maha Rsi (sang meraga putus).

Dengan demikian Sanggah Tutuan merupakan simbol stana dalam pemujaan Sang Maha Rsi.

Didalam “Lontar Medang Kemulan” disebutkan sebagai berikut :

“Om begawan mercukunda,

Tinutus denira Bethara Brahma,

Tumurun ring mercapada angawe,

Lara roga durmita, durmanggala,

Mangke manusanira sang adruwe yadnya

Amaweh tadah saji sanggraha ring prawatek

Kala wadurania Begawan mercukunda,

Dang Butha Durmita,

Sang Butha mertyunjaya, sang kalantaka

Sang kala amuk, sang kala dengen sang kala rodra”………

Melihat dari isi lontar diatas, sudah jelas bahwa sanggah tutuan tersebut simbul stananya dalam pemujaan “Begawan Mercukunda”. Contoh sanggah tutuan yang dipergunakan dalam upacara mecaru Panca Kelud, untuk sanggah upakara caru itik belang kalung yang bertempat ditengah-tengah. Untuk sanggah pengalang dewasa dalam pemujaan Begawan Wrespati dan ada juga sanggah yang dipergunakan di sawah dengan pemujaan Dewa Rare Angon, demikian juga sanggah semacam ini dipakai pada saat menanam ari-ari bagi anak yang baru lahir dalam pemujaan Sang Hyang mahayoni, sebagai dewa pelindung sang bayi.

April 6, 2010

MENGENAL BARUNGAN GONG KEBYAR

Filed under: Lainnya —— arthanakepakisan @ 9:27 am

MENGENAL BARUNGAN GONG KEBYAR

Gong Kebyar adalah sebuah barungan baru. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini (Kebyar yang bermakna cepat, tiba-tiba dan keras) gamelan ini menghasilkan musik-musik keras dan dinamis.
Gamelan ini dipakai untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuh-tabuhan instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan, kemudian dari Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Gebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkoknya yang berbilah 5 dirubah menjadi gangsa gantung berbilah 9 atau 10 . cengceng kopyak yang terdiri dari 4 sampai 6 pasang dirubah menjadi 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tangan.
Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang, Gong Gede dan Pelegongan. Rasa-rasa musikal maupun pola pukulan instrumen Gong Kebyar ada kalanya terasa Gender Wayang yang lincah, Gong Gede yang kokoh atau Pelegongan yang melodis. Pola Gagineman Gender Wayang, pola Gegambangan dan pukulan Kaklenyongan Gong Gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar.
Gamelan Gong Kebyar adalah produk kebudayaan Bali modern. Barungan ini diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915 (McPhee, 1966 : 328). Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng) yang juga memulai tradisi Tari Kebyar. Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (Buleleng). Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.
Gong Kebyar berlaras pelog lima nada dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, karena konstruksi instrumennya yang lebih ringan jika dibandingkandengan Gong Gede. Tabuh-tabuh Gong Kebyar lebih lincah dengan komposisi yang lebih bebas, hanya pada bagian-bagian tertentu saja hukum-hukum tabuh klasik masih dipergunakan, seperti Tabuh Pisan, Tabuh Dua, Tabuh Telu dan sebagainya.Lagu-lagunya seringkali merupakan penggarapan kembali terhadap bentuk-bentuk (repertoire) tabuh klasik dengan merubah komposisinya, melodi, tempo dan ornamentasi melodi. Matra tidak lagi selamanya ajeg, pola ritme ganjil muncul di beberapa bagian komposisi tabuh.
Barungan Gong Kebyar bisa diklasifikasikan menjadi 3 :
1. Utamaü = Yang besar dan lengkap
2. Madyaü = Yang semi lengkap
3. Nistaü = Yang sederhana
Barungan yang utama terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
1. 10 buah gangsa berbilah (terdiri dari 2 giying / ugal, 4 pemade, 4 kantilan)
2. 2 buah jegogan berbilah 5 – 6
3. 2 buah jublag atau calung berbilah 5 – 7
4. 1 tungguh reyong berpencon 12
5. 1 tungguh terompong berpecon 10
6. 2 buah kendang besar (lanang dan wadon).
7.  1 pangkon cengceng
8.  1 buah kajar
9.  2 buah gong besar (lanang dan wadon)
10. 1 buah kemong (gong kecil)
11. 1 buah babende (gong kecilbermoncong pipih)
12. 1 buah kempli (semacam kajar)
13. 1-3 buah suling bambu
15. 1 buah reba
Beberapa karakter dan fungsi gong kebyar dapat disampaikan sebagai berikut :
·  Bersifat praktis
·  Bisa untuk sajian gending pategak instrumental (lelambatan
maupun kakebyaran).
·  Untuk iringan tari/dramatari: patopengan, bebarongan,
palegongan, pearjan dll.
· Kususnya untuk iringan tari kakebyaran
· Sanggup mentranspormir repertoar ensamble-ensamble lain
· Mengundang aksi penampilan secara tidak terbatas.
· Sebagai sarana diplomasi kebudayaan melalui misi kesenian, yang
hampir setiap lawatan ke manca Negara memakai gong kebyar,
bahkan telah banyak Negara lainnya di dunia memiliki perangkat
ini.
· Gong Kebyar memiliki sifat pleksibelity yang tinggi.

kajian sumber :  .
.  De musica, tehnik dalam bermain gambelan.
.  I Ketut Garwa, Mengenal barungan gong kebyar

March 30, 2010

Halo dunia!

Filed under: Lainnya —— arthanakepakisan @ 1:06 am

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!

Powered by WordPress WPMU Theme pack by WPMU-DEV.