implementasi aktivitas pada interior dapur rumah tinggal

Lainnya No Comments »

I Nyoman Artayasa

Desain Interior

FSRD ISI Denpasar

Abstrak

Sebuah perancangan interior diwujudkan untuk memecahkan masalah manusia berkaitan penampungan aktivitas dalam ruang, guna tercapainya kenyamanan keamanan, efektifitas dan peningkatan produktivitas yang sesuai dengan karakter manusia dan budayanya. Manusia adalah titik tolak dalam sebuah perancangan interior, manusia merupakan tokoh utamanya, sehingga harus mendapatkan perhatian khusus, kepadanya segala sesuatu yang berhubungan dengan perancangan dikonfirmasikan untuk di aktualisasikan pada sebuah perencanaan ruang. Hal ini disebabkan karena manusialah yang akan mempergunakan dan beraktivitas di ruang tersebut. Segala kegiatan atau aktivitas manusia tersebut beragam sifatnya sesuai dengan waktu dan tempat yang juga dibatasi oleh norma dan cita-rasa serta posisi dan peranan. Demikian pula aktivitas dalam rumah tinggal sanga beragam siafatnya tergantung dari siapa pelaku aktivitas, waktu pelaksanaan, tempat, seberapa sering dan besar aktifitas tersebut diaksanakan. Salah satu aktivitas yang memiliki ciri khusus yang dilaksanakan dalam suatu rumah tinggal adalah aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup berupa pangan yaitu masak-memasak yang dilaksanakan di dapur. Kegiatan memasak merupakan kegiatan rutin setiap hari dilaksanakan, yang dilakukan sejak pagi hari hingga pada malam hari, mulai menyiapkan sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Kegiatan ini diperkirakan memakan waktu sekitar delapan jam sehari. Waktu terbanyak yang dihabiskan oleh wanita antara pukul 700 sampai 1900 adalah 378 menit  terletak di ruang dapur. Aktivitas masak memasak dapat dikatagorikan pekerjaan setengah dan merupakan pekerjaan yang melelahkan. Jika diurutkan kegiatan masak-memasak di dapur terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu persiapan, pencucian dan memasak. Dari ketiga kegiatan tersebut dapat dikebangkan lagi menjadi: meracik, mencuci, mencampur/memberi bumbu, memasak, siap dimakan, mencuci dan menyimpan. Biasanya aktivitas itu diasosiasikan dengan fasilitas yang mewadahinya seperti: meja racik, tempat cuci alat dapur, meja tungku masak, meja tempat penyajian makanan. Namun demikian tidak seluruh aktivitas dapat dituangkan atau dapat diasosiasikan dalam bentuk fasilitas. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar seluruh aktivitas di ruang dapur dapat ditampung dalam suatu fasilitas yaitu dengan memperhatikan kegiatan yang dilaksanakan dengan cermat dan memperhatikan sosial dan budaya penghuninya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif di mana pada tahun pertama akan mengungkap aktivitas tradisional pada areal dapur tradisonla. Tahun kedua akan dianalisis dan disimpulkan aktivitas-aktivitas yang perlu di tampung dalam sebuah dapur tradisional Bali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas apa saja yang sesungguhnya layak untuk ditampung menjadi sebuah fasilitas yang layak sehingga tercipta sebuah interior dapur yang aman dan nyaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas.

Kata kunci: aktivitas, dapur

DESAIN MENUJU SEBUAH PERKEMBANGAN

Lainnya No Comments »

Desain Menuju sebuah Perkembangan

Tinjauan Filsafat Ilmu

nymn Artayasa. AA Gde Bgs Udayana. Jurusan Desain FSRD ISI Denpasar

[email protected]

Abstrak

Desain berasal dari bahasa inggris yang artinya perancangan, rancang, desain, bangun. Sedangkan merancang artinya mengatur segala sesuatu sebelum bertindak, mengerjakan atau melakukan sesuatu dan perancangan artinya proses, cara, berbuatan, perbuatan merancang. Desain suatu karya yang pada dasarnya lahir dari berbagai pertimbangan pikir, gagasan, rasa, dan jiwa penciptanya (internal), yang didukung oleh faktor eksternal, hasil penemuan dari berbagai bidang ilmu, teknologi, ergonomi, lingkungan, sosial, budaya, estetika, ekonomi, dan politik, serta segala perkembangannya di masa depan. Sejarah perkembangan desain yang secara tegas,  ini bisa dikatakan bermula dari revolusi industri di Eropa. Desain modern tetap tidak terlepas di sekitar lahirnya revolusi industri, disaat manusia mempunyai kekuatan untuk mencipta mesin. Dengan mesin, produk-produk yang tadinya dikerjakan oleh tangan menjadi jauh lebih presisi dan massal. Gerakan Bauhaus dianggap sebagai titik penting perkembangan desain modern selanjutnya, karena dianggap berhasil memadukan antara seni rupa dengan industri secara harmonis. Dari gerakan Bauhaus inilah mulai dikenal profesi ‘industrial design’ yang dianggap cukup berperan dalam era pertumbuhan industri dunia kemudian hari. Di Indonesia pengembangan desain diawali dengan membentuk ‘Design Center’ oleh Fakultas perencanaan dan sipil Institut  Teknologi Bandung tahun 1968 dan pada waktu itu diperkenalkan dalam expo 70 di Osaka Jepang. Pada kekinian yang ditelisik dari dunia  internet, maka akan dapat ditemui 107 institusi pengelola desain baik pada Universitas, Institut, Sekolah dan Akademi. Dilihat dari ontologinya bahwa istilah desain berasal dari Bahasa Prancis, dessiner yang berarti menggambar kadang juga diartikan dalam pengertian perancangan. Secara epistemologi, desain mempunyai metode yang rasional, sistematis dan terencana. Dari sisi aksiologi, hasil penelitian desain bermanfaat baik secara akademis untuk kemajuan pengembangan teori dan metode desain maupun secara praktis untuk membantu mengindentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan mencoba menaggulangi dengan memberikan rekomendasi, serta menciptakan inovasi yang dapat memberikan kenyamanan maupun ketenangan bagi masyarakat. Pada akhirnya Desain patut dikembangkan menjadi sebuah institusi yang lebih besar seperti misalnya sebuah Fakultas, yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat, memiliki obyek yang jelas, serta patuh terhadap norma serta etika yang ada

Kata kunci: Desain, ontologis, aksiologis dan epistemologis

COGNITIVE ERGONOMI

Lainnya No Comments »

COGNITIVE ERGONOMI DALAM KESEHARIAN

[email protected]

Desain Interior. FSRD ISI Denpasar

Pendahuluan

Cognitive ergonomi adalah semua hal yang berhubungan dengan penerimaan informasi dan pembuatan keputusan dari informasi yang telah diterima. (MacLeod, Dan. C.P.E, 2006). Cognitive Ergonomi atau disiplin ilmu yang membantu perusahaan/perorangan untuk memaksimalkan aset kemampuan intelektual, atau kepintaran pekerja dengan mensiasati lingkungan kerja yang membantu manuasia berpikir. (Isdesingnet, 1997). Cognitive ergonomi adalah menerima dan merasakan informasi/pesan dan kemudian membuat keputusan. (MacLeod,  2006). Dalam dunia industri, cognitive ergonomi dapat membantu mendesain dari kontrol, displays, dan tanda-tanda untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamtan. Reuschel and Alexander (dalam Fishman, 1997) mengatakan COGNITIVE ERGONOMICS adalah hubungan antara lingkungan sekitar dengan cara berpikir dan lingkungan pisik dengan kemapuan untuk menjadi kreatif dan menjalin relasi. Misalnya desain interior untuk memaksimalkan komunikasi, interaksi, kreativitas, ruang untuk mengakomodasi kesibukan kerja secara umum dengan privasi dalam mengerjakan pekerjaan. Cognitive ergonomi memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan penyesuaian antara kemampuan dan keterbatasan cognitive manusia dengan alat, cara kerja dan lingkungan. (Budnick dan Michael, 2001). Hal senada juga diutarakan oleh Manuaba (2006), cognitive ergonomi adalah suatu ilmu teknologi dan seni yang menserasikan keterbatasan, kelebihan serta kemampuannya cognitive manusia dengan alat, cara kerja dan lingkungan sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya. Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa conitive ergonomi adalah penyesuaian antara keterbatasan, kelebihan serta kemampuan pikiran menerima informasi dalam  mengambil keputusan dengan alat, cara kerja dan lingkungan sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya. Berikut akan disampaikan beberapa dari implentasi dari kognitive ergonomi dalam keseharian:

1. Standardize: Ketentuan yang telah standar secara formalyang biasanya berguna untuk mengurangi ketidakkonsistena misalnya: pewarnaan tertentu yang sudah terimaji dengan hal tertentu kabel warna merah untuk aliran listrik positif dan demikian pula untuk pipa- gas, minyak, air, putaran kran air dan lain-lainnya

2. Use Stereotype: adalah suatu kebiasaan di mana pengalaman menyebabkan terjadinya suatu gerak reflek terkondisi yang berjalan secara ot omatis tanpa disadari. Hampir mirip dengan standar, tetapi tidak secara formal. Standar yang baik akan menjadi stereotype (merah untuk stop, putaran kekanan untuk menampah kcepatan). Reaksi stereotype adalah suatu kebiasaan di mana pengalaman menyebabkan terjadinya suatu gerak refleks terkondisi yang berjalan secara otomatis tanpa disadari. Reaksi stereotype sangat dipengaruhi oleh tradisi budaya, oleh karenanya perlu adanya konvensi Nasional untuk mengatur. Pada umumnya putaran searah jarum jam menunjukan pembesaran. Konsekwensi tidak mempergunakan stereotype; waktu menjawab lebih lama, kesalahan lebih besar dan lebih sering, waktu latihan lebih lama, irama kelelahan lebih tinggi. (Grandjean, 1988) Contoh: Putaran mur ke kanan untuk mengencangkan, putaran kran air ke kanan untuk membuka; Menghidupkan radio, memutar telepon.

3. Link actions with perceptions: apa yang dilaksanakan/dilakukan sesuai dengan apa yang diharapkan. Rotasi searah jarum jam secara insting menunjuk adanya peningkatan, penunjuk juga harus menunjukkan peningkatan.

1. Jarum penunjuk tekanan ban, semakin banyak tekanan ban jarum akan bergerak kekanan dan sebaliknya,

2. Jarum penunjuk gas yang dipergunakan untuk masak,

3. Pedal gas kendaraan bermotor, untuk perseneling gigi mobil atomatis: R = reserve,   P untuk parkir. ”control-P” untuk mencetak kertas.

4. Simplify presentation of information: menggunakan konsep yang paling sederhana dengan pengertian tunggal dan pasti dan sesuai dengan kebutuhan: penggunaan foto, icon, tanda, lebih bagus dari penggunaan kata-kata. Tanda-tanda dalam lalu lintas: penunjuk kecepatan kendaraan bermotor; penunjuk rem tangan – lampu menyala merah; lampu rem belakang kendaraan.

5. Present information at the appropriate level of detail: banyak opsi atau pilihan yang ditampilkan dapat meningkatkan atau malah menurunkan performen, oleh karenanya perlu diadakan pilihan yang beanar-benar tepat untuk maksud-maksud yang tepat: Penunjuk tempratur mesin pada kendaraan-pada level bahaya berwarna merah dan aman berwarna biru; penunjuk bensin; penunjuk perseneling kendaraan bermotor.

6. Present clear images: tiga hal yang harus diperhatikan: 1) Pesannya mudah dilihat: ukuran, tempat harus sesuai dengan jarak darimana pesan akan dilihat. Kontras dengan latar belakang; 2)Pesan harus dapat dibedakan dengan keadaan sekeliling.(lampu pemadam kebakaran kelipnya harus berbeda dengan kelip lampu lainnya yang ada); 3) Pesan mudah di interpretasikan, karakter yang satu dengan yang lain harus beda. (1I, B8 dan QO; 062. (361) 228-872). Dapat dimengerti dengan mudah dan cepat, gampang dilihat: Tanda-tanda dalam lalu lintas; tanda bahaya-sirena; kentungan (kul-kul); lampu sirena polisi, Pemadam kebakaran; Warna baju tim Penyelamat.

7. Use redudancies: karena manusia mempunyai batasan, sangat penting untuk memperikan infomasi dengan lebih dari satu cara: Tanda bahaya-dengan lampu menyala merah dan berkelip-kelip, tanda larangan berenang dengan bendera yang berkibar dan berwarna, tanda pembatas tengah-tengah jalan pada jalan raya-berwana putih dan dapat dirasakan oleh pengendara, Polisi menggunakan lampu berkilip, sirine dan perintah, Tanda Stop di perempatan jalan: Warna merah, silang dan tulisan ”STOP”, Kode pos dan alamat rumah.

8. Use paterns: mata manusia menangkap pola dengan baik. Informasi yang menggunakan pola/pattern lebih mudah dimengerti, lebih cepat dan lebih akurat dari yang lainnya. Gambar lebih mudah diinterpretasikan dari pada anggka-angk: Bar chart untuk membandingkan jumlah, Line chart untuk memperlihatkan trend, Penggunaan pola-pola yang sama pada panel kontrol untuk hal yang berhubungan dengan penyelamatan pada mesin, Tanda lalu lintas larangan-warna merah, perintah-warna biru; penggunaan warna merah yang berarti: error, gagal, stop, membahayakan, dengan adanya flashing berarti bahaya semakin tinggi.

9. Provide variable stimuli: manusia sudah terbiasa dengan hal-hal umum terjadi oleh karenanya perlu ada stimulus baru atau lain dari yang umum  untuk menarik perhatian. Lampu yang berkelip lebih mudah ditangkap dari yang tidak berkelip: Mobil pemadam kebakaran: lampu berkelip dengan warna merah, sirena meraung dengan pola yang berbeda-beda, suara orang memerintah; tanda kebakaran dalam gedung: ada sirena berbunyi, lampu merah berkelip, ada suara peringatan-peringatan.

10. Provide instantaneous feed back:

1. Indikator minyak diposisi mendekati ”e” berarti harus segera dibelikan; Indikator panas mesin di posisi ”hot” harus periksa sistem pendingin mesin;

2. Keyboar komputer yang berbunyi klik yang berarti huruf sudah ditekan dengan benar dan sudah tampil dilayar monitor, dan aktivitas bisa dilanjutkan.

3. Kata ”Roger” pada pilot yang berarti informasi yang disampaikan sudah diterima dengan baik.

    DAFTAR PUSTAKA

    Budnick, P dan Michael, R. 2001. What Is Cognitive Ergonomics. http://www.ergoweb.com/news/detail.cfm?id=352

    Fishman. C. 1997 (Brain of Stig) Cognitive Ergonomics. http://hackvan.com/brain/msg00075.html. Access. 02/14/06

    Grandjean, E. 1988. Fitting The Task to The Man: A Textbook of Occupational Ergonomics. 4th. Edition. London: Taylor & Francis Ltd.

    Isdesingnet.1997. Cognitive Ergonomics, Your Office and Your Brain http://www.isdesgnet.com/magazine/may’97/TakeNote_1html. Access, 02/09/06

    MacLeod, Dan. C.P.E, 2006. Cognitive ergonomics. http://sws.iienet.org/ . Access, 02-06-06

    Manuaba, A. 2006. Materi Kuliah Cognitive ergonomics. Program Doktor. Program Pascasarjana Ilmu Kedokteran. Universitas Udayana.

    ergonomi dengan pendekatan menyeluruh

    Lainnya No Comments »

    Ergonomi Menyeluruh dari Awal Sampai Kini

    Artayasa

    [email protected]

    Lahirnya Ergonomi di Indonesia

    Kata Ergonomi di tingkat nasional mulai diperkenalkan sejak tahun 1969 melalui suatu pertemuan ilmiah dengan tema ”Kesehatan dan Produktivitas” dalam suatu judul makalah ”Approach Ergonomi dalam rangka Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja Perusahaan” (Manuaba, 1987). Pada tahun ini juga untuk pertama kalinya di dalam dunia pendidikan ergonomi diberikan sebagai suatu mata kuliah. Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ergonomi disinggung dalam kaitan dengan mata kuliah ilmu faal, untuk kemudian ditempatkan dalam mata kuliah kesehatan masyarakat, yang diikuti oleh Fakultas Teknik Unud 1971, Peternakan 1972, Asmi 1981 dan desain Interior 1983. Bersamaan dengan itu, lahir Lembaga daerah Hiperkes Bali-Nusra bersama-sama Bagian Ilmu faal FK Unud berkembang menjadi Pusat Ergonomi di kawasan Asia Tenggara, dengan makalah-makalahnya yang disampaikan ke dunia Internasional. Dan juga kursus ergonomi tingkat Nasional dan tingkat daerah dimulai pada tahun ini juga.

    Pada tahun 1970, kegiatan yang berkaitan dengan masalah ergonomi semakin meningkat ditandai dengan adanya ceramah, kursus, seminar dan penelitian-penelitian. Penelitian tentang Pacul di perdengarkan di forum internasional di Jepang, penelitian yang berkaitan dengan manusia dan lingkungan. Berikutnya penggarapan di sektor industri kecil mulai digalakan, seperti industri pembuat genteng di pejaten Tabanan Bali. Pada Tahun 1973 makalah penelitian disampaikan melalui forum ilmiah seperti seminar gabungan IAIFI-Puskes ABRI, konperensi Nasional Anatomi ke-3, dan 7th Asian Conference on Occupational Helth di Jakarta (Manubaba, 1987). Sampai dengan tahun 1978, hasil-hasil penelitian ergonomi terus diinformasikan di tingkat nasional maupun internasional, seperti pertemuan-pertemuan ilmiah Man and His Environment tahun 1974, Kongres Ikatan Hiperkes Indonesia ke-2 di Surabaya tahun 1975,  kongres ke-3 IAIFI di semarang tahun 1976, Simposium Efisiensi Jam Kerja dan Waktu Kerja di Bali tahun 1976, dan juga banyak pertemuan lainnya. Penyebaran konsep dan prinsip ergonomi dimulai pada tahun ini juga, sehingga sampai dengan tahun 1986 pada TVRI Sto. Denpasar tidak kuarang dari 100 topik ergonomi telah disiarkan. Pada tahun 1978 terbit buku ”Pembangunan Bali sampai tahun 2000” di mana di dalam buku tersebut dengan jelas disebutkan ergonomi sebgai salah satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan demi berhasilnya pembangunan untuk daerah Bali. Pada tahun ini juga telah dikukuhkan Guru Besar Ilmu Faal KF Unud yaitu I B A Manuaba, yang pada pidato pengukuhan Guru Besar menekankan penting prinsip ergonomi sebagai bagian integral dari pembangunan dan mutlak diperlukan dalam perencanaan. Dengan pengukuhan I B A Manuaba ini, menjadi tokoh dan akan penguatan perkembangan ergonomi di Bali, Indonesia, Asia dan Dunia.

    Pengertian Ergonomi

    Ergonomi berasal dari dua kata Yunani yaitu ”Ergon” dan ”nomos” yang berarti kerja dan aturan. Ergonomi adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari interaksi antara manusia dan objek yang digunakan serta kondisi lingkungan. Ergonomi juga mempelajari penyesuaian antara desain peralatan dan pekerjaan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia (Mechanical Engineering/Institute of Production Engineering Work Science/ Ergonomics, 2005). Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan alat-alat, cara kerja dan lingkungan, pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia, sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya  (Manuaba, 1998).

    Tujuan Ergonomi

    Sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner, mengintegrasikan berbagai elemen keilmuan, seperti misalnya fisiologi, anatomi, kesehatan, teknologi, desain dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Tujuan ergonomi adalah (Manuaba, 1998) (a) meningkatkan kesejahtetaan fisik dan mental; (b) meningkatkan kesejahteraan sosial; (c) keseimbangan rasional antara sistim manusia atau manusia-mesin dengan aspek teknis, ekonomi, antropologi, budaya. Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh satu aspek saja, ke tiga hal tersebut harus diintegrasikan secara menyeluruh. Untuk mengimplementasikan tujuan yang ingin dicapai perlu berpijak kepada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia. Dengan tujuan yang ideal adalah mengatur pekerjaan tersebut berada dalam batas-batas di mana manusia bisa mentolerirnya, tanpa menimbulkan kelainan (Manuaba, 1998). Di sisi lain perlu pula diperhatikan aspek task, organisasi dan lingkungan, serta pengaruh yang ditimbulkan terhadap tubuh. Akibat pengaruh dari ketiga aspek tersebut, dari masing-masing aspek atau secara bersamaan dapat menimbulkan beban tambahan di luar beban dari pekerjaan yang sesungguhnya. The Joy Institute (1998) mengungkapkan tujuan akhir dari ergonomi adalah meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan dan kualitas hidup. Chavalitsakulchai dan Shahnavaz (1993) mengemukakan bahwa, ergonomi dapat menurunkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Manuaba (1998), lebih terperinci mengatakan manfaat penerapan ergonomi antara lain pekerjaan lebih cepat selesai; resiko penyakit akibat kerja kecil; kelelahan berkurang; rasa sakit berkurang atau tidak ada. Ergonomi juga diperlukan karena  adanya berbagai dampak pembangunan seperti adanya kecelakaan; adanya penyakit akibat kerja; adanya polusi; adanya ketidak puasan kerja, dan banjir dan bencana lainnya. Ergonomi dikatakan sebagai management itu sendiri, karena keberhasilan ergonomi, jika dimanfaatkan sejak perencanaan dan memperhatikan bagaimana memilih dan mengalihkan teknologi, menyusun organisasi kerja yang tepat sehingga pada akhirnya akan terjadi hubungan dan kepuasan kerja yang baik. Lebih jauh Manuaba (2001) mengungkapkan dari aspek definisi, ergonomi dan Total Quality Management (TQM) punya tujuan yang sama yaitu berorientasi kepada dipenuhinya keinginan atau kebutuhan para pelanggan. Dalam rangka kompetisi globalisasi, setiap produk yang dihasilkan hendaknya benar-benar harus kompetitif, dengan kata lain harus memiliki nilai tambah. Serta produk yang sudah diproses melalui pendekatan ergonomi akan memiliki berbagai kelebihan, misalnya lebih aman dioperasikan, lebih nyaman digunakan, lebih sehat karena tidak memiliki sumber penyakit, lebih produktif, karena tidak cepat menimbulkan kelelahan. Walaupun tujuannya sudah jelas terkadang ergonomi masih diragukan dalam operasionalnya, yang disebabkan oleh karena tidak adanya pencatatan yang baik serta tidak proaktifnya mempresentasikan keberhasilan yang telah dicapai (Hendrick, 1997). Grob dan Dong (2006) melaporkan sebagian besar penelitian yang mengungkapkan ekonomi di dalam ergonomi hanya mengungkapkan intervensi ergonomi hanya menguntungkan dalam meningkatkan keselamatan dan produktivitas atau keduannya, dan tidak melaksanakan pencatatan lain dari intervensi ergonomi yang dilaksanakan. Ada delapan aspek yang perlu diperhatikan dalam memecahkan masalah dalam ergonomi yaitu nutrisi, pemanfaatan tenaga otot, sikap kerja, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi sosial, kondisi informasi, interaksi manusia mesin (Manuaba, 2003).

    Teknologi Tepat Guna

    Teknologi Tepat Guna (TTG)    terdiri dari kata Teknologi dan Tepat Guna. Teknologi diartikan sebagai segala usaha, cara, teknik, alat atau hasil budi daya manusia pada umumnya untuk memeperoleh cara dan hasil kerja yang lebih berhasil dan berdaya guna. Tepat Guna artinya adalah tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan. Sehingga TTG adalah hasil budi daya manusia yang tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan (Manuaba, 1983). Agar hasil budi daya manusia mampu tepat dan berguna dilihat dari segala aspek kehidupan, maka harus dianalisis dari aspek-aspek:  Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya; Secara ekonomis memang menguntungkan;Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan;Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya;Tidak merusak lingkungan, danHemat energi.

    Pada tahun 1977, ketika tokoh ergonomi Prof. Adnyana Manuaba bertugas di ILO Geneve, pendekatan Tekonologi Tepat Guna telah mulai di tumbuh kembangkan (Manuaba, 2004) dan pengungkapan dalam suatu seminar ”The Phillippine PIAC Seminar” lebih mengukuhkan istilah Teknologi Tepat Guna dalam rangka memilih dan alih teknologi (Manuaba, 1977). Di era tahun 80 GBHN telah memuat tentang Teknologi Tepat Guna yang antara lain dirumuskan dengan ”Di dalam pemanfaatan ilmu dan teknologi, hendaknya berorientasi pada Teknologi Tepat Guna, lebih bersifat padat karya, tidak merusak lingkungan hidup dan hemat akan penggunaan sumber energi (Manuaba, 1983). Pada Tahun 1980 Balai Higene Perusahan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bali, mengadakan Lokakarya dengan tema Integrasi Ergonomi/Hiperkes dalam Pembangunan pada saat itu telah diungkapkan dalam rangka pemilihan teknologi harus dikaji secara Teknologi tepat Guna yang terdiri dari aspek-aspek: Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya; Dilihat dari aspek ekonomis memang menguntungkan;Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan;Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya, dalam hal ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang ada dan tidak menyebabkan problem sosial; Di samping itu teknologi baru tersebut jangan sampai merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber alam.

    Pada saat ini TTG hanya diperkenalkan dengan empat aspek sedangkan dua aspek lain sebagai persyaratan pelengkap saja. Demikian pula pada tahun 1982 diadakan kursus ”Orientasi Ergonomi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Konsultan Sektor Bangunan”, Teknologi Tepat Guna diungkapkan dengan empat aspek dan dua tambahan yang lain.

    Di dalam melaksanakan TTG tersebut agar berasil, berkelanjutan dan lestari harus pula dikaji dengan pendekatan holistik, sistemik dan interdisipliner. Pada akhir-akhir ini tiga komponen sebagai persyaratan pelaksanaan TTG agar berhasil, telah ditambahkan satu kata lagi yaitu partisipasi. TTG ini dikenal juga sebagai suatu pendekatan ergonomi holistik, yang aspek-aspeknya sama dengan kriteria Teknologi Tepat Guna dalam menangani suatu masalah atau dalam rangka alih dan pilih teknologi (Manuaba, 2003).

    Penjelasan dari komponen pendekatan TTG atau ergonomi holistik tersebut adalah sebagai berikut; Secara teknis harus bisa dipertanggung-jawabkan, artinya bahwa teknik yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, sesuai dengan standard, bahan yang biasa dipakai, komponen yang biasa dipergunakan, metode pembuatan, masukan para spesialis, mudah dirawat,  mudah didaur ulang, interface dengan lingkungan dan siklus hidup yang optimal. Secara ekonomis harus dikaji melalui pendekatan holistik, sehingga keputusan akhir sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang ada. Faktor yang diperhitungkan harus ada kaitannya dengan pasar, finansial, pengeluaran, waktu, keuntungan bagi stakeholder, kompetitis, besarnya atau tipe pasar, trend masa depan, kebijakan pelayanan, dan perhitungan akan beban dan penyimpangan. Secara ergonomis prinsip-prinsipnya harus bisa bulit-in masuk di dalam proses desain atau perencanaan, seperti memenuhi kebutuhan pengguna dan bukan pengguna, profil, prilaku, kenyamanan, kemudahan, tuntutan fisik dan mental, intruksi, umpan balik, kepuasan pengguna, pemeliharaan dan keamanan produk, produk dan pengguna serasi.Secara sosiokultural teknologi yang diterapkan harus dapat meliputi norma, nilai, kebiasaan, keinginan, impian, agama, kepercayaan, kebutuhan pemakai, taboo, estetika, fashion, gaya serta kualitas dari produk harus menjadi pertimbangan.Hemat akan energi berarti bahwa produk yang dihasilkan harus mempunyai kontribusi yang bermakna terhadap prinsip pembangunan yang berlanjut dan tidak justru menghancurkan keberadaannya.Tidak merusak lingkungan artinya agar produk tidak memberikan sesuatu kepada lingkungan, seperti kantong plastik, polusi ke segala sasaran seperti lahan, sungai, air dan udara, setiap keluaran dari produk agar tidak menyebabkan polusi sebagai polutan.

    SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipasi)

    Penerapan ergonomi di segala sektor selalu mengikuti perkembangan jaman, ketika jaman globalisasi, maka partisipasi pemakai produk ergonomi, yang dalam hal ini biasanya tenaga kerja, di dalam setiap keputusan mutlak harus didengarkan. Pendekatan semacam ini dikenal dengan sebutan pendekatan ergonomi partisipasi, pendekatan ini akan lebih berhasil jika dilakukan dengan cara bersistem (systemic), menyeluruh (holistic), interdisipliner (interdisciplinary) (Manuaba, 1999).

    Dalam suatu kesimpulan makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional Ergonomi di Surabaya tahun 1999, oleh pakar ergonomi Manuaba, pendekatan dalam ergonomi yang mengandung unsur: bersistem (systemic), menyeluruh (holistic), interdisipliner (interdisciplinary) serta partisipasi dikemas dalam suatu bentuk yang disebut dengan sebutan SHIP.

    Pada tahun ini juga pada suatu pertemuan International antara pengusaha, akademisi dan pemerintah di Manila konsep ini telah diterima secara aklamasi sebagai suatu konsep dalam ergonomi untuk melengkapi konsep-konsep yang telah ada sebalumnya.

    Pengujian konsep ini telah dilaksanakan untuk pertama kali di dalam suatu workshop ”Pembangunan Berlanjut Bali” dengan hasil yang sangat memuaskan (Manuaba, 2004).  Unsur-unsur SHIP ini terdiri dari: sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi, penjelasan unsur-unsur adalah sebagai berikut:

    Sistemik diartikan sebagai pendekatan bersistem, di mana semua usaha perbaikan atau pemecahan masalah yang ada akan mempengaruhi pekerja, pekerjaan, tempat, waktu pelaksanaan pekerjaan serta akan mempengaruhi sektor pembiayaan. Sehingga segala sesuatu yang berkaitan harus diperhitungkan dengan seksama. Hal ini dapat diupayakan dengan cara mempertimbangkan prisip-prinsip ergonomi, dalam penggalian, proses, pemecahan, serta dalam pelaksanaan dari pemecahan masalah yang ada.

    Holistik adalah intervensi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah harus dikaji lagi dari beberapa sistem yang punya hubungan signifikan dan relevan.  Di mana intervensi yang dilakukan harus dipertimbangkan secara teknis, ekonomis, ergonomis dan sosiobudaya bisa dipertanggungjawabkan, hemat energi dan tidak merusak lingkungan, serta intervensi yang diterapkan tidak sampai menimbulkan masalah baru setelah program dilaksanakan.

    Interdisipliner berarti dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh para pekerja memanfaatkan secara maksimal analisis dari disiplin yang terkait. Dalam penelitian ini akan dibentuk tim kerja yang terdiri dari: pekerja sebagai pemakai teknologi yang akan digunakan; ergonom, desainer serta disiplin lain yang terkait dengan permasalahan yang ada. Tugas dari tim kerja adalah menggali permasalahan yang ada, merencankan, melaksanakan, mengevaluasi serta melaksanakan hasil evaluasi yang dihasilkan.

    Partisipasi artinya keterlibatan setiap individu atau tim, diharapkan tidak hanya fisik saja tetapi juga pikiran dan perasaan. Sehingga akan didapatkan suatu hasil pemecahan masalah yang optimal, sistem kerja dan produk yang manusiawi, berkualitas, kompetitif dan lestari sesuai dengan keinginan semua pihak. Pekerja dilibatkan secara aktif dalam memecahkan masalah serta mendiskusikan waktu, jenis, cara terbaik dalam penerapan, jumlah serta biaya intervensi yang dilaksanakan.

    Nagamachi (1993) mengungkapkan ergonomi partisipasi adalah  pekerja berpartisipasi aktif dengan semua pihak termasuk  manajer untuk menerapkan prinsip-prinsip dan pengetahuan ergonomi di tempat kerja untuk meningkatkan kondisi kerja. Michele (2006) menjelaskan ergonomi partisipasi adalah keterlibatan pengguna dan penyelenggara dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan. Ergonomi partisipasi merupakan salah satu dari komponen pendekatan ergonomi makro yang mampu meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (Imada, 1993).

    Menurut Manuaba (1999; 2000) ergonomi partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi setiap orang dari suatu kelompok yang mendorong mereka untuk berkontribusi dan bertanggung-jawab untuk mencapai tujuan bersama. Ada tiga ide penting dalam hal ini yaitu: keterlibatan (involvement), kontribusi (contribution) dan tanggung jawab (resposibility).

    Menurut Well (2002) ergonomi partisipasi adalah suatu proses dan sistem yang melibatkan semua pihak dalam perencanaan dan kontrol dengan seluruh kemampuan kerja, dan pengetahuan untuk meningkatkan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai memiliki beberapa keuntungan yaitu: meningkatkan efektivitas, gampang dalam penerapan, meningkatkan komunikasi antar pekerja, menurunkan resiko faktor psikis.

    Sedangkan menurut pemahaman total quality mangement yang dimaksud dengan partisipasi total adalah mengusahakan partisipasi total dari seluruh pimpinan puncak, staf dan karyawan pada semua tingkat hirarki perusahaan dan seluruh kemampuan dari setiap karyawan perusahaan harus dimanfaatkan secara optimal apabila menghendaki perbaikan terus menerus untuk memenuhi kepuasan konsumen (Ibrahim,1997).

    Oleh karena itu, partisipasi dari semua pihak sangat menentukan dalam pemecahan masalah, serta pembentukan tim untuk mendukung pelaksanaannya sangat diperlukan. Jika dipandang dari sudut manajemen mutu terpadu tugas tim ini adalah membuat rencana (plan), mengerjakan atau melaksanakan (do), mengevaluasi (check), serta menindaklanjuti hasil dari evaluasi yang dilaksanakan (act) (Ibrahim,1997).

    Sehingga jika dikombinasikan dengan bagan dari Louis (1993), tentang tugas tim memecahkan masalah dengan pendekatan ergonomi partisipasi, diharapkan masalah yang ada dapat dipecahkan dengan baik.

    Ergonomi Total

    Dari tahun 1977, dalam ergonomi telah diperkenalkan konsep Teknologi Tetap Guna dalam memilih dan alih teknologi. Dalam perjalanan waktu konsep tersebut dalam penerapannya mendapatkan hambatan-hambatan, sehingga masih terdapat kecelakaan, penyakit akibat dari pekerjaan yang dilaksanakan. Oleh karenanya itu dipandang perlu untuk mengkaji lebih mendalam agar konsep tersebut dapat diterapkan dengan berhasil, berkesinambungan, aman, lestari dan dipertanggung-jawabkan. Sehingga konsep TTG tersebut dalam penerapannya harus dikaji lagi dengan sistemik, holistik, ineterdisipliner dan partisipasi. Konsep tambahan ini telah diperkenalkan sejak tahun 1999, yang dikenal denga istilah SHIP.

    Penggabungan kedua konsep ini oleh konseptor yaitu Prof. Adnyana Manuaba, kemudian disebutkan dengan istilah Pendekatan Ergonomi Total. Dan konsep ini telah memiliki aspek legal dengan masuknya di dalam GBHN era tahun 80 dan kemudian dalam GBHN 1999-2000 atau TAP MPR RI No. 4/1999, khususnya sektor pariwisata dan budaya, yang jiwanya dapat diterapkan di semua sektor pembangunan (Manuaba, 2004). Aspek Ergonomi Total ini terdiri dari 6 kriteria dari Teknologi Tepat Guna yaitu: Secara teknik memang lebih efisien di dalam pemakaian dan kemungkinan perawatannaya, Secara ekonomis memang menguntungkan, Dari segi kesehatan/ergonomi dapat dipertanggungjawabkan, Dapat diterima dan ditolerir dari sosio-budaya, Tidak merusak lingkungan, dan Hemat energi. Serta empat dari aspek SHIP yaitu: sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi. Pendekatan inilah yang dikembangkan sampai saat ini, agar pembanguna berhasil, berkesinambungan, aman, lestari dan dapat dipertanggung-jawabkan.

    Konsep ini telah diterapkan melalui lebih dari 29 lokakarya dalam rangka memberdayakan sumber daya manusia, yang terkait dengan pembangunan. Dalam dunia pendidikan dan penelitian telah pula diperkenalkan melalui mahasiswa pascasarjana Ergonomi, di mana para mahasiswa dilatih selama pendidikan untuk bisa melihat, menganalisis, membuat kebijakan dan mengambil keputusan secara ergonomi total. Demikian pula dalam tesis dan disertasi para mahasiswa terlihat dengan jelas bagaimana pendekatan Ergonomi Total ini benar-benar diusahakan implementasinya.

    Dalam dunia pengabdian pada masyarakat telah pula diperkenalkan dan disosialisasikan di dalam setiap aktivitas yang melibatkan stakeholder, demikian pula melalui artikel dalam surat kabar, ataupun dalam kesempatan sebagai pembahas atau pembawa makalah di berbagai seminar.

    Daftar Pustaka

    Chavalitsakulchai, P. dan H. Shahnavaz 1993. Ergonomics method for prevention of the muskuloskeletal discomfort among female industrial workers: Physical  characteristics and work factor. Journal of Human Ergology, 22: 95-113.

    Grob, H and Dong, X. 2006. Ergonomics and the Economic Payoff in the Construction Sector. [cited 2006 February 02]. Available at: URL: http://www.ergoweb.com/news/SubscribeNewsletter.cfm

    Hendrick, H.W.1997. Good Ergonomics is good Economics. Proceeding Asean Ergonomics 97. 5th SEAES Conference. Ed. Halimahtun M. Khalid. Kuala Lumpur: IEA Press.

    Hendrick, H.W.1997. Good Ergonomics is good Economics. Proceeding Asean Ergonomics 97. 5th SEAES Conference. Ed. Halimahtun M. Khalid. Kuala Lumpur: IEA Press.

    Manuaba,  A. 1977. Choice of Technology and Working Conditions in Rural  Area. The Philippine PIAC Seminar. Manila.

    Manuaba, A. 1983. Ergonomi/Hiperkes dan Produktivitas. Kumpulan Naskah Ceramah Kursus Orientasi Ergonomi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Konsultan Sektor Bangunan. Denpasar: Balai Higene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bali. Dirjen Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

    Manuaba, A. 1983. Teknologi Tepat Guna. Kumpulan Naskah Ceramah Kursus Orientasi Ergonomi, Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Konsultan Sektor Bangunan. Denpasar: Balai Higene Perusahaan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bali. Dirjen Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

    Manuaba, A. 1987. Menggali Potensi Ergonomi untuk Pembangunan. Proceedings Pertemuan Nasional Ergonomi. Bandung: Gedung Laboratorium Teknik III, ITB. 9-10 Oktober.

    Manuaba,  A. 1999. Penerapan Pendekatan Ergonomi Partisipasi dalam Meningkatkan Kinerja Industri. ”Makalah’ Disampaikan dalam Seminar Nasional Ergonomi Reevaluasi Penerapan Ergonomi dalam Meningkatkan Kinerja industri. Surabaya: 23 November 1999.

    Manuaba, A. 1998. Bunga Rampai Ergonomi: Vol I. Program Pascasarjana Ergonomi-Fisiologi Kerja Universitas Udayana, Denpasar.

    Manuaba, A. 2001. Persamaan Tujuan Ergonomi dan Total Quality Management. Disampaikan pada Tutorial Ergonomi. 9-10 Juli 2001. Denpasar: Bagian Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

    Manuaba, A.  2003. Holistic Ergonomic Design as a Strategy To Integrate Occupational Health – Safety System Managemant into The Enterprise Management System. Presented at 2nd NIEC (National Industrial Conference). Surabaya Indonesia.

    Manuaba, A. 2004. Pendekatan Total Perlu untuk adanya Proses Produksi dan Produk yang Manusiawi, Kompetitif dan Lestari.Makalah. Disampaikan pada Seminar Teknik Industri Universitas Atmajaya. Yogyakarta.

    Nagamachi, M. 1993, Participatory ergonomics; A unique technology science, The Ergonomics of Manual Work, Proceedings of the International Ergonomics Association World Conference on Ergonomics of Materials Handling and Infomation Processing at Work, Warsaw, Poland, 14-17 june 1993. 41-48.

    Michelle M. Robertson. 2006. Macroergonomics: A Work SystemDesign Perspective. [cited 2006 January 24]. Available from: URL: http://www.ergonomie-self.org.

    Mechanical Engineering/Institute of Production Engineering Work Science/ Ergonomics, 2005, Work Science / Ergonomics – What Is It?. [cited 2006 February 01]. Available at: URL: http://141.99.140.157/d/aws/index.htm.

    The Joyce Institute. 1998. Workplace Ergonomics. [cited 2006 November 26]. Available at: URL:   http://www.ergonomi/joyce-workergs.html.

    Imada.A.S.1993. Macroergonomic Approaches for Improving Safety and Health in Flexible, Self Organizing Systems. The Ergonomics of Manual Work, Proceedings of the International Ergonomics Association World Conference on Ergonomics of Materials Handling and Infomation Processing at Work, Warsaw, Poland, 14-17 june 1993. 477-480.

    Manuaba, A. 2000. Participatory ergonomics Improvement at The workplace. Jurnal Ergonomi Indonesia Vol. I No.1. Juni 2000: 6-10.

    Well, R. 2002.  Participatory Ergonomics Process Design Change. [cited 2006 February 16]. Available from: URL: http://www.waterloo.ca/~well/exposure-consepts.htm.

    Ibrahim, B. 1997. TQM. Panduan untuk menghadapi Persaingan Global. Jakarta: Djambatan.

    konsep, estetika dan teknis

    Lainnya No Comments »

    Menjadikan desain interior yang bertema, bermakna dan berkarakter konsep adalah   jawabannya. Sedangkan menjadikannya indah, bagus dan cantik unsur estetika yang harus dipermainkan, kemudian kemampuan memahami unsur-unsur teknis akan menjadikan hasil desain yang aman nyaman dan ergonomis. Desain interior pada prinsipnya merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian dalam dari sebuah bangunan. Konsep merupakan ide dasar dari sebuah pemikiran, sehingga masih bersifat abstrak dan tidak dapat dilihat secara fisik, namun hanya dapat dirasakan keberadaannya. Konsep desain dapat diartikan sebagai ide dasar dari suatu pemikiran yang melandasi proses perancangan sebuah desain. Dengan konsep maka seluruh permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh. Estetika adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang, yang akan dirasakan apabila terjalin perpaduan yang harmonis dari elemen-elemen keindahan yang terkandung pada suatu objek (Artini, 2000). Aesthetica adalah hal-hal yang dapat dipersepsi atau dicerap oleh pancaindera, sementara aisthesis adalah pencerapan indera atau persepsi inderawi (Gie, 1983). Dalam memahami desain sebagai seni,selalu mengolah unsur-unsur: titik, garis, pola, bentuk, tekstur, bahan dan warna dalam suatu keseimbangan, kesatuan, irama, komposisi, harmoni dan titik pusat perhatian, untuk mendapatkan keindahan. Kemampuan pemahaman teknis dalam interior akan menciptakan desain menjadi aman dan nyaman. Kemampuan teknis yang perlu dipahami misalnya, flo aktivitas dari civitas dalam ruang, pendaerahan, jumlah dan dimensi ruang,  sirkulasi, lantai, dinding, plafon, utilitas, fasilitas, dekorasi dan lain-lainya.

    Kombinasi ke 3 unsur di atas tidak bisa tidak harus diperhitungkan secara cermat dan berhati-hati, agar desain interior yang tercipta tidak hanya indah saja, tetapi juga dapat dipergunakan dengan aman dan nyaman, tentunya juga tidak hanya indah dan nyaman saja tetapi juga memiliki tema dan berkarakter.


    WordPress Theme & Icons by N.Design Studio. WPMU Theme pack by WPMU-DEV.
    Entries RSS Comments RSS Log in