Kendang

DEVINISI KENDANG  BALI

Istilah kendang telah disebut-sebut dalam piagam Jawa Kuno yang berangka tahun821 dan 850 masehi dengan istilah padahi dan muraba. Dalam Prasasti Bebetin, sebuah prasasti Bali yang berasal dari abad ke-9, kendang disebut dengan istilah papadaha. Kendang merupakan salah satu instrumen musik yang universal, karena hampir di seluruh belahan dunia dipastikan memiliki alat musik yang tergabung dalam alat musik perkusi. Di Bali kendang tidak bisa dipisahkan dari seni karawitan dimilikinya. Instrumen kendang terdapat pada gamelan golongan madya, yang berfungsi sebagai peminpin dari sebuah barungan gamelan.

Selanjutnya terdapat pada gamelan golongan baru, yang memiliki peranan semakin menonjol dengan teknik dan improvisasi yang semakin kompleks. Di Bali instrumen kendang biasanya dimainkan secara berpasangan dan individu. Jika dimainkan secara berpasangan maka kendang itu dinamakan kendang lanang dan kendang wadon. Kendang lanang ialah kendang yang memiliki suara lebih kecil atau tinggi, sedangkan kendang wadon ialah kendang yang suaranya lebih besar ataupun lebih rendah. Pembagian Instrumen  menurut Curt Sach dan Van Boster  Kendang Bali termasuk ke dalam instrument membranophone. Dimana Sumber Bunyinya di olah dari lebar
sempitnya membran.

Kendang bebarongan adalah kendang yang secara khusus terdapat dalam barungan

gamelan Bebarongan. Jenis kendang ini mempunyai panjang sekitar 62-65cm, garis

tengah tebokan besar 26-28cm dan garis tengah tebokan kecil sekitar 21,5-23cm.

Kendang bebarongan ini termasuk dalam ukuran kendang yang tanggung

(nyalah:Bahasa Bali), karena ukurannya yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu

kecil. Ada dua cara untuk memainkan kendang bebaronganyakni bisa dengan

mempergunakan panggul dan bisa juga dimainkan tanpa menggunakan panggul.

Kendang cedugan adalah kendang yang dalam teknik permainannya menggunakan

panggul. Oleh karena itu, kendang ini juga disebut dengan nama kendang

pepanggulan. Kendang pepanggulan ini mempunyai ukuran panjang antara 69-72cm,

garis tengah tebokan besar 29-32cm dan garis tengah tebokan kecil 22-26cm.4 Jenis

kendang ini biasanya dipergunakan pada beberapa perangkat gamelan, misalnya Gong

Kebyar, Baleganjur, dan Gong Gede. Kendang pepanggulan dimainkan secara

berpasangan yang terdiri dari kendang lanang dan wadon.

Kendang gupekan merupakan salah satu jenis kendang yang cara memainkannya

adalah dengan memukul memakai tangan. Kendang ini digunakan untuk mengiringi

gamelan Gong Kebyar. Kendang ini selain dapat disajikan dengan berpasangan dapat

juga dimainkan secara mandiri atau kendang tunggal. Kendang wadon mempunyai

ukuran panjang antara 67-72cm, diameter tebokan besar 27-32cm dan diameter

tebokan kecil 21-25cm. Kendang lanang mempunyai ukuran serta suaranya lebih

kecil dari kendang wadon. Ukuran panjangnya antara 65-70cm, diameter tebokan

besar 26-29cm dan diameter tebokan kecil 19-22cm

TEHNIK PERMAINAN DALAM KENDANG BALI

  • MILPIL, Adalah Jalinan pukulan gupekan (memakai tangan) antara tangan kanan dan tangan kanan.
  • BATU-BATU, Adalah pola permainan yaitu pukulan kendang lanang atau wadon apabila kendang wadon memainkan pukulan bebas pada muka kanan sedangkan kendang lanang mengimbangi pukulan keplak pada muka kiri.
  • GEGULET, Adalah jalinan pukulan (menggunakan panggul) antara kendang lanang dan wadon.
  • CADANG RUNTUH, Adalah pukulan yang terdapat pada kendag wadon di muka kanan yang artinyya mengimbangi pukulan dari kendang lanang

PEMBUATAN KENDANG BALI

Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan KENDANG BALI adalah mencari dewasa ayu – – hari atau waktu yang baik agar mendapatkan keselamatan dalam bekerja dan kendang yang diciptakan nantinya memiliki kwalitas yang baik. Yang diawali dengan mencari waktu untuk menebang pohon yaitu sasih karo, kawulu dan kesanga yang biasanya disebut sasih berag (kurus) yang biasanya menggunakan sesaji berupa canang sari dan segehan. Umumnya kayu yang di pakai adalah kayu nangka/ketewel, kayu intaran dan beberapa jenis kayu lainnya. Setelah kayu dipotong maka tukang kendang akan mencari hari baik untuk bekerja atau nuasen. Menurut informasi dari I Putu Gede Sula Jelantik, hari tersebut adalah hari-hari yang jatuhnya bertepatan dengan dewasa : karna sula, kala geger, aswajag turun dan bojog turun.

Setelah kendang itu selesai digarap lalu di upacarai yang disebut dengan istilah ngupain atau masupati yang bertujuan untuk menghasilkan suara seperti yang diinginkan sekaligus dapat dipergunakan dalam konteks upacara. Setelah semua prosesi ini terlewati maka ada beberapa hal lagi yang harus dikerjakan seperti, membangun bantang dan nukub kendang (memasang kulit kendang).

Link : https://youtu.be/EdWZameB5Yo

Suling

Pengertian suling secara umum

Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu. Secara fisik, suling yang terbuat dari bambu memiliki 6-7 lubang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrument dalam barungan gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan . Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi, baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh, Pe-ArjanPejangeran dan Gong Suling.

Fungsi suling dewasa ini

Dewasa ini, telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi beberapa instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar. Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut,dan pada beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga kedengarannya tidak terputus. Dalam fungsinya itu, suling hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak sama sekali. Sebagai salah satu tonggak penting perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran, dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi Baru Kosalia Arini, yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Uttsawa tahun 1969,dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainan suling tunggal. Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik, suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer atau instrumen utama.

Sebagaimana terjadi dalam perkembangan komposisi tabuh kekebyaran saat ini, suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran, melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada, namun sudah dikembangkan oleh para komposer sebagai jembatan penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung, sundaren bahkan mampu memainkan nada-nada selendro. Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang tercipta pada dua dekade belakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.Adanya pengembangan fungsi instrumen suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim, dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebagai alat primer dan vital, tanpa kehadiran instrumen tersebut sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan sebagaimana mestinya.

Teknik permainan suling

Sebagai salah satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone) yang dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu. Bunyi suling dihasilkan melalui sebuah teknik pernafasan dari proses pemompaan dari rongga perut, kemudian udara disalurkan melalui rongga mulut yang diatur pengeluaranya oleh perubahan bentuk bibir yang seterusnya udara masuk melalui sebuah lubang suling yang telah dibingkai oleh seutas tali rotan yang biasa disebut “siwer” kemudian masuk ke dalam rongga bambu (resonator), yang akhirnya suara atau bunyi dapat didengar melalui lubang-lubang nada, serta lubang pembuangan. Untuk menghasilkan warna-warna suara, baik suara tinggi sedang atau rendah, sangat tergantung pada tekanan udara yang disalurkan melalui lubang sumber suara pada suling, selain itu posisi mulut dan bibir memiliki peran untuk menghasilkan perbedaan dinamika atau warna suara. Dengan demikian teknik tiup yang dilakukan dengan baik dan benar akan berpengaruh terhadap kualitas bunyi yang dihasilkan dengan baik pula.

Kalau dilihat secara umum suling tradasional Bali memiliki 3 bentuk yakni suling kecil (suling cenik), suling menengah (suling sedang), suling besar (suling gede). Memiliki 6 lubang nada tutupan serta satu lubang pemanis. Dalam permainan Gong kebyar tutupan (tetekep) suling yang umumnya digunakan adalah tetekep ndeng : ndeng, ndung, ndang, nding, ndong (laras pelog)

Adapun teknik tutupan dalam tetekep ndeng  :

  • Nada deng ( menutup semua lubang nada).
  • Nada dung ( membuka  lubang 5 dan 6 saja)
  • Nada dang ( membuka lubang 4,5,dan 6 saja)
  • Nada ding ( menutup  lubang 1 dan 3 saja yang lainnya dibuka)
  • Nada dong( membuka lubang 1 dan 4 saja yang lainnya ditutup)

Ket      : lubang 1 mulai dari lubang atas suling

Suling merupakan instrument melodis yang dalam komposisi lagu sebagai pemanis lagu. Teknik permainan bisa simetris dengan lagu atau memberikan ilustrasi gending baik mendahului maupun membelakangi melodi gendingTetekep dan cara meniup akan berubah itu tergantung kebutuhan dari pada nada lagu yang dimainkan  sebagai melodi atau ilustrasi lagu serta ketika ada suling yang dipakai memiliki saih gamelan lain, sehingga harus menyesuaikan dengan nada gamelan dengan mengubah tetekep, sepeerti menggunakan tetekep nding, ndong, dan tetekep yang lainnya

Link https://youtu.be/lWMwI1GoN-g

Petuding

Petuding berasal dari kata “tuding” yang artinya tunjuk. Dalam pelarasan gambelan petuding berarti petunjuk nada. Petuding terbuat dari bambu berbentuk segi empat panjang menyerupai bilah gangsa. Petuding biasanya memakai jenis bambu yang diBali disebut “tiing santong” dang „tiing jelempung”. Bambu yang harus kering untuk membuat nada tersebut, boleh mengunakan yang basah tapi harus yang tua(wayah) untuk mencari nada yang di inginkan oleh pemilik gamelan.
Petuding merupakan alat bantu pelarasan suara gamelan Bali yang bisa di gunakan pada instrumen Bali. Pelarasan basa ini di gunakan untuk nada pelog dan selendro. Petuding biasa di gunakan pada pembuat gamelan Bali atau di sebut pande gamelan yang berada di Bali. Dari pande gamelan disaana sudah terbiasa (peka) terhadap suara yang diinginkan oleh si pembeli, dimana petuding ini bisa di buat oleh si pembeli atau di buat oleh pande gamelan Bali.
Jenis-jenis yang bisa dilaras oleh pande gamelan

  1. Gong kebyar
    Gamelan gong kebyar merupakan tipe atau jenis musik gamelan paling umum yang ada dan paling sering dipentaskan di Bali. Secara fisik Gong Kebyar adalah penyederhanaan dari Gong Gede dengan pengurangan peranan atau pengurangan beberapa buah instrumennya
  2. Semar pegulingan
    Semar Pagulingan merupakan salah satu dari 26 jenis gamelan yang memiliki pola garap, warna suara, bentuk lagu, fungsi instrumen dan repertoar gending yang berbeda-berbeda
  3. Selonding
    Gamelan Selonding adalah alat Musik tradisional bali yang usianya lebih tua dibandingkan dengan gamelan-gamelan lainnya yang kini populer dalam kesenian maupun yang digunakan dalam upacara adat dan agama. Gamelan ini merupakan gamelan sakral yang digunakan untuk melengkapi upacara keagamaan di bali.
  4. Gender wayang
    Gender Wayang merupakan barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan Wayang Kulit dan Wayang Wong) dengan instrumen pokoknya terdiri dari 4 (empat) tungguh gender berlaras selendro (lima nada) (Dibia, 1999:108). Keempat instrumen tersebut terdiri dari 2 (dua) buah gender pemade dan 2 (dua) buah gender kantilan.
  5. Baleganjur
    Baleganjur adalah salah satu ensamble gamelan Bali. Istilah ini berasal dari kata Bala dan Ganjur. … Balaganjur kemudian menjadi Baleganjur yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan, yang kini pengertiannya lebih berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.
  6. Gamelan angklung
    Gamelan Angklung Bali merupakan gamelan khas Bali yang sering digunakan untuk mengiringi upacara kematian di Bali. Angklung Bali adalah gamelan yang berlaras selendro dan tergolong barungan madya yang dibentuk oleh instrumen berbilah.
  7. Gamelan rindik
    Rindik merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Bali. Alat musik ini, terbuat dari potongan-potonga bambu pilihan yang sudah di proses untuk disiapkan menjadi bahan pembuatan Rindik. Potongan-potongan bambu tersebut kemudian disusun dengan jarak tertentu sehingga menghasilkan suara dan nada
  8. Gamelan gambang
    Gamelan Gambang adalah salah satu gamelan Bali yang tergolong langka. Dari pengelompokan gamelan Bali, gamelan Gambang termasuk kelompok gamelan tua. Ciri-ciri gamelan tua, yakni tidak terdapatnya instrumen kendang dalam barungannya. Gamelan Gambang merupakan salah satu jenis gamelan Bali yang terbuat dari bambu.
  9. Suling
    Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu. Secara fisik, suling yang terbuat dari bambu memiliki 6-7 lubang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya.

Link https://youtu.be/BotuGF5IAvk

Rebab

Pendahuluan

Rebab merupakan salah satu nama tungguhan instrumen gesek yang digunakan dalam jenis-jenis barungan gamelan yang terdapat di daerah-daerah tertentu seperti daerah Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, dan sebagiannya. Di Jawa Barat terdapat dua benuk instrumen gesek, yaitu Rebab dan Tarawangsa. Kedua instrumen memiliki ukuran yang berbeda, yaitu relatif lebih besar instrumen tarawangsa dari pada instrumrn rebab.

Di Sumatra Barat instrumen rebab disebut dengan rebab. Ada tiga bentuk/jenis rebab yang berkembang di Minangkabau, yaitu : Rebab Darek, Rebab Pariaman, dan Rebab Pesisir.  Rebab Darek berkembang di daerah daratan Minangkabau, fungsi instrumen rebab untui mengiringi dendang. Rebab Pariaman berkembang di daerah Pesisir Barat Minangkabau, tepatnya di daerah Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat. Rebab ini menggunakan 3 senar dari benang penggesek terbuat dari rotan dan sebagai geseknya menggunakan bulu ekor kuda (budat). Rebab Pesisir berkembang di Minangkabau, khususnya di daerah Pesisir Selatan (Painan) yang menggunakan 4 senar (2 helai terbuat dari benang dan 2 helai menggunakan senar biola). Ada juga yang menggunakan 1 helai dari benang dan 3 senar biola. Dilihat dari bentuk dan segi perlengkapannya, tungguhan rebab dari daerah-daerah tersbut menggunakan alat gesek, menggunakan sejis senar atau kawat, terdapat bagian menyetel kawat untuk menimbulkan nada, dan menggunakan resonator. Perbedaannya terletak pada ukuran, penggunakan nada, garap, gesekan, dan penggunaan jumlah kawat. Pada umumnya tungguhan rebab menggunakan 2 kawat yang mempunyai nada yang berbeda, kecuali Rebab Pariaman dari Sumatra Barat dan Rebab Pesisir dari Padang Pariaman, Sumatra Barat.

Dalam menggarap gending, rebab dimainkan dengan cara kawat yang sejenis digesek dengan penggesek yang arahnya maju dan mundur secara bebas kecuali rebab di Jawa Tengah yang digunakan pada barungan gamelan ageng. Maju mundurnya gesekan rebab ditentukan oleh kedudukan nada. Tungguhan rebab Bali dalam menggarap gending tidak dibentukan baik dalam menggarap grnding-gending instrumental maupun vocal. Menurut pengamatan keberadaan rebab di Bali dapat dikatakan masih asing karena sedikitnya barungan gamelan yang menggunakan maupun jumlah penyajinya yang relatif sedikit dibandingkan dengan jenis tungguhan lainnya seperti tungguhan kendang, pemade, kantil, kempul, kajar, ceng-ceng, gang dan lain-lainnya. Jenis-jenis barungan gamelan Bali yang mengunakan tungguhan rebab adalah barungan gamelan Gong Kebyar, Gong Suling, Semar Pegulingan Saih Lima, Semar Pegulingan Saih Pitu, Pengarjaan, dan Gambuh. Konon ceritanya pada tahun 1921 barungan gamelan Pengarjaan mengguakan tungguhan rebab, barungan gamelan tersebut menggunakan jenis suling penyalah (suling kekebyaran) hal ini dimaksudkan agar suara rebab dapat terdengar.

Tungguhan rebab dalam jenis-jenis barungan gamelan tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda terutama dari segi musikal. Dengan memperhatikan peranan rebab dalam jenis-jenis barungan gamelan tersebut diatas, maka keberadaan tungguhan rebab sangat dibutuhkan. Kalau diamati kehidupan tungguhan rebab di Bali sekarang ini dapat dikatakan suatu keharusan dan tidak mendesak. Hal ini di antaranya disebabkan kurangnnya pengrebab sehingga dianggap tidak mempunyai peranan atau tidak sebagai keharusan seperti penggunaan tungguhan kendang, gong, dan jenis tungguhan lainnya. Dengan melihat kehidupan tungguhan rebab seperti itu kita, merasa prihatin sehingga tungguhan rebab di Bali posisinya terletak diambag kepunahan.

Berdasarkan hasil penelitian penulis tahun 1980-an di Bali hanya dapat ditemui beberapa orang seniman yang memiliki predikat sebagai pengerebab, yaitu:

  1. Alm. I Wayan Barug
  2. Alm. I Ketut Mertu
  3. Alm. I Made Lemping
  4. Alm. I Wayan Lotok
  5. I Wayan Sinti
  6. Alm. I Ketut Mawes

Berdasarkan pengamatan penulis minimal ada 3 faktor yang menetukan ketidaksuburan kehidupan tungguhan rebab di Bali antara Lain :

  • Sedikitnya barungan gamelan yang menggunakan tungguhan rebab, sedikitnya jumlah seniman penyaji yang dapat memainkan tungguhan rebab.
  • Jarangnya jumlah tungguhan rebab di Bali karena sudah tidak ada yang membuatnya, karena adanya anggapan bahwa tungguhan rebab merupakan tungguhan khusus disajikan oleh orang yang sudah lanjut usia.
  • Tungguhan rebab dianggap paling sukar untuk di pelajari. Adanya factor-faktor penghambat tersebut akan tidak tertarik untuk belajar memainkan rebab.

Link https://youtu.be/TzTA5qu-_AQ

MUSIK TRADISI “AGRA”

LatarBelakang

Gending Pengider Bhuwana di Kesiman ini biasanya di gunakan untuk mengiringi sebuah prosesi ngider di Pura Dalem Kesiman. Dimana pada saat prosesi berlangsung dilakukan prosesi Ngider Bhuwana atau mengelilingi penataran sebanyak 3 kali. Prosesi ini biasanya di lakukan setelah upacara berakhir atau penyinepan Ida Betara. Prosesi ini di lakukan di Pura Dalem Kesiman terletak dekat lapangan tembak Kesiman. Upacara dilaksanakan pada hari raya Sugian Bali. Ada dua prosesi dalam upacara di Pura Dalem Kesiman yang pertama ada sebuah prosesi mepedatengan dan yang kedua ada prosesi ngider bhuwana. Pada saat prosesi pedatengan hanya mengaturkan sebuah sesajen (banten) kepada Ida Betara, setelah prosesi pedatengan di lanjutkan dengan prosesi ngider bhuwana. Pada saat upacara prosesi ngider bhuwana ini adalah puncak terakhir acara pada upacara. Terinspirasi dari gending pengider ini menggugah minat penata untuk mengembangkan tabuh Pengider Bhuwana ini ke dalam bentuk tabuh telu.

Penata mencoba mengambangkan tabuh pengider itu kedalam tabuh telu karena dominan upacara keagamaan di Bali menggunakan tabuh pegongan atau lemlambatan dalam mengiringi upacara keagamaan, dari hal tersebut penata ingin mengembangkan tabuh pengider ke dalam tabuh telu dengan tujuan memperkaya dan menambah jenis-jenis tabuh telu di Bali serta agar dapat digunakan materi ngayah di pura-pura. Selain itu tujuan dari pengembangan ini adalah agar dapat memenuhi syarat untuk lulus dari mata kuliah garap musik tradisi, untuk menambah pengalaman dan wawasan dalam menggarap tabuh tradisi.

Ide Garapan

Terinspirasi dari gending ngider bhuwana, penata mencoba mengembangkan menjadi tabuh telu yang di beri judul “Agra” diambil dari kamus Sansekerta-Indonesia yang artinya pucuk atau puncak. Hubungan dengan prosesi ngider bhuwana, pada saat prosesi upacara dimulai prosesi itu bisa berada di puncak tengah atau di akhir acara. Ada arti kata puncak yang artinya suatu tujuan yang akan di capai atau mencapai kesuksesan.

Kosep Garapan

           Menggunakan tabuh Ngider Bhuwana dari Desa Kesiman untuk di jadikan tabuh telu. Dalam gending tersebut terdapat kawitan yang sangat pendek dan permainan lagu yang berulang-ulang dariawal hingga akhir. Pada gending ngider bhuwana tersebut cuman mengambil bantangnya saja. Penata mengembangkan menjadi Triangga (tabuhtelu) yang berisi Kawitan, Pengawak, dan Pengecet, pada bagian permainan gamelan menggunakan tekniknorot pada gangsa dan reyong, pada pola kendang menggunakan teknik bebatu. Pada bagian kawitan, tekniknya sama dengan kawitan pada Ngider Bhuwana. Pada bagian pengawak menggunakan melodi yang sama pada bagian kawitan tapi, cumin agak lambat dan di ulang sebanyak 3 kali. Pada bagian pengecet dengan nada yang sama pada kawitan dan pengawak tapi, disini agak di pecepat lagi sedikit untuk menandakan bahwa lagu akan selesai (berakhir). Pada instrumentnya hanya menggu nakan yaitu: 1 ugal/giying, kajar, kecek, 1 pasangkendanglangdanwadon, 4 gangsa pemade, 2 gansa kantilan, 1 pasang jublag, 1 pasang jegogan, reyong, 1 gong dan kempur,

Tujuan

  • Melestarikan tabuh lelambatan pada jaman dulu
  • Sebagai nilai akhir di semester 4
  • Memperbanyak gending-gending pegongan

Manfaat

  • Menambah luas tentang perkembangan sebuah gending lelambatan
  • Belajar dari apa yang ada terdahulu
  • Mengetahui cara mengembangkan interpretasi dari senbuah gending

Kesimpulan

Terinspirasi dari gending pengider ini menggugah minat penata untuk mengembangkan tabuh Pengider Bhuwana ini ke dalam bentuk tabuh telu. Penata mencoba mengambangkan tabuh pengider itu kedalam tabuh telu karena dominan upacara keagamaan di Bali menggunakan tabuh pegongan atau lemlambatan dalam mengiringi upacara keagamaan, dari hal tersebut penata ingin mengembangkan tabuh pengider ke dalam tabuh telu dengan tujuan memperkaya dan menambah jenis-jenis tabuh telu di Bali serta agar dapat digunakan materi ngayah di pura-pura. Selain itu tujuan dari pengembangan ini adalah agar dapat memenuhi syarat untuk lulus dari mata kuliah garap musik tradisi, untuk menambah pengalaman dan wawasan dalam menggarap tabuh tradisi.