TRADISI SIAT SARANG DI DESA SELAT

Maret 14th, 2018

Tradisi Siat Sarang Di Desa Selat

Ritual yang digelar serangkaian upacara Usaba Dimel ini bermakna untuk membuang musuh-musuh yang bersarang dalam diri. Ritual siat sarang ini ditandai aksi saling lempar bersenjatakan sarang. Kedua kelompok pemuda saling serang dan melempar sekuat tenaga, hingga sarang yang dipakai senjata hancur berantakan. Selain untuk memuang mala (musuh atau kotoran dalam diri secara niskala), ritaul siat sarang ini juga bermakna untuk menyomiakan (menetralisasi) pengaruh jahat bhuta kala di areal sekitar.

Siat berarti = Pemukul,Perang,Berkelahi

Sarang berarti = Daun Enau yang di anyam dan dipakai dari bekas pembuatan sarang.

Tradisi Siat Sarang ini rutin dilaksanakan krama Desa Pakraman Selat setahun sekali, tiga hari sebelum upacara Usaba Dimel. Kali ini, upacara Usaba Dimel akan dilaksanakan saat Penyajaan Galungan pada Soma Pon Dunggulan.

Menurut Kelian Desa Pakraman Selat, Jro Mangku Wayan Gede Mustika, ritual Siat Sarang merupakan satu rangkaian aci petabuhan (upacara pacaruan) dengan kurban godel (anak sapi) dan anjing blangbungkem (loreng coklat). “Ini rutin dilaksanakan setahun sekali jelang upacara Usaba Dimel,” jelas Jro Mangku Mustika. Prosesi siat sarang sendiri berawal dari rumah masing-masing krama pagi harinya, di manba mereka ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge (berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) yang dihias bergambar makhluk bhuta kala. Kemasan itu dipersembahkan di pekarangan rumah masing-masing.

Menjelang sore, beberapa tenge yang terpasang di pekarangan rumah dikumpulkan lagi oleh keluarga bersangkutan, lanjut dimasukkan ke dalam sarang. Nah, sarang tersebut selanjutnya ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah). Esensinya, untuk memancing agar kekuatan bhuta kala masuk ke dalam sarang. Selanjutnya, sarang dibawa ke Pura Bale Agung untuk mendapatkan labaan (pemberian kepada makhluk yang lebih rendah tingkatannya) berupa banten pacaruan, sekaligus menyomiakan sifat-sifat bhuta kala.

Setelah dipersembahkan di Pura Bale Agung, maka sarang tersebut diambil kalangan teruna (pemuda) Desa Pakraman Selat untuk dijadikan sarana perang.Kalangan teruna yang terlibat dalam ritual Siat Sarang ini mengenakan kain dengan saput poleng, berpakaian adat madya mereka terbagi dalam dua kelompok mereka mencari klompoknya masing-masing.Instruksi untuk mulai berperang diberikan langsung Kelian Desa Pakraman Selat, Jro Mangku Mustika. Sesaat sebelum kedua kelompok teruna saling serang, Jro Mangku Mustika mengingatkan mereka agar bersemangat mengusir sifat-sifat bhuta kala yang melekat di dalam diri.

Musuh-musuh dalam diri yang harus dibuang sebagaimana dimaksudkan antara lain, Tri Mala, Tri Mala Paksa, Catur Mada (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma (madat, mabuk, mamotoh, madon, maling), Sad Ripu (enam musuh dalam diri: kama, lobha, krodha, moha, mada, dan matsarya).

Selain itu, ritual Siat Sarang ini juga bermakna mengusir kekuatan Sad Atatayi (enam pembunuh kejam), Sapta Timira (tujuh macam kegelapan), Asta Dusta, Dasa Mala (sepuluh kotoran), dan Asuri Sampat (sifat keraksasaan.) Makanya, selama berperang (Siat Sarang) tidak ada peserta yang emosi, karena yang diperangi sesungguhnya kekuatan bhuta kala dalam diri.

Propesi siat sarang ini bukannya di lakukan di satu Desa saja,tetapi di lakukan di masing- masing banjar yang ada di Desa Pekraman Selat.Hampir sama dengan Perang Pandan desa Tenganan bedanyan, siat sarang menggunakan sebagai senjata.Sedangkan di desa Tenganan menggunakan daun Pandan untuk berperang.

Setiap tradisi pasti memiliki makna.Siat sarang sendiri melambangkan penolak bala atau memerangi bhuta kala dan roh-roh jahat.Sebagai warga Indonesia ataupun Bali patutnya kita bangga dengan peninggalan leluhur khususnya di bidang kebudayaan,kewajiban bagi kita menjaga dan meneruskan ke cucu-cucu kita.

Comments are closed.