Gerudug Langsat permainan ala masyarakat langsat

https://youtu.be/Dt5wDRehMqo

Gerudug Langsat merupakan permainan masyarakat yang berada di Banjar Langsat, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Permainan ini mengisahkan tentang sejarah bagi masyarakat setempat, mengapa? karena permainan ini mengisahkan tentang langkah pertama kerajaan Karangasem untuk menguasai kerajaan Nyalian (klungkung) sehingga kecamatan Rendang saat ini menjadi daerah Kabupaten Karangasem

Nama Gerudug Langsat diambil karena langkah pertama kerajaan sidemen ketika menapakkan kaki melewati perbatasan yaitu Tukad Telagadwaja (telagawaja) disisi barat kerajaan tersebut semua Magrudugan, dari sini mereka menyebar ke daerah kekuasaan baru mereka. Sehingga Gerudug Langsat adalah simbol pergolakan argumentasi dua kubu yang hanya bisa di selesaikan oleh aturan yang mengikat.

Permainan Gerudug Langsat ini di mainkan oleh dua orang yang di dalam tempat (kalangan) yang berisi tulisan “Bhakti, Bhukti, Langsat” yang berbentuk bulat dan di tulis menggunakan tepung beras

Dua orang yang di dalam kalangan mereka bertanding berpakaian adat madya dilengkapi dengan tangan yang memegang prisai/tameng yang dibuat dari ulatan bambu (ngiu)

Selama proses Gerudug Langsat ini bertanding akan diiringi suara gamelan berupa gamelan Batel, sehingga menambah ketegangan dan memacu adrenalin agar terus berlangsung bertarung. Pertarungan ini bisa diakhiri dengan salah satu peserta mengakui kekalahannya. Pertarungan ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan anak kecil, remaja, dewasa, orang tua pun bisa melakukannya.

Permainan ini dilakukan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari buda kliwon dungulan ( Hari Raya Galungan). Di akhir pertempuran setelah semua peserta sudah melakukan permainan akan ada aturan yang akan mendamaikan mereka aturan itu berupa Barong Bangkal, Pementasan Barong Bangkal ini memberi tanda bahwa semua argumentasi / pertempuran bisa diselesaikan / tidak terjadi karena adanya aturan yang mengikat mereka. Pementasan Barong Bangkal ini juga merupakan awal dari hari ngelawang (mengelilingi desa) selama Hari Raya Galungan & Kuningan.

“Amat penting bagi kita mempunyai jati diri yang khas, penting pula kita memupuk semangat menggali dan membangun. Bhakti pada Tempat berpijak adalah dengan memberikan Bhukti pada Masyarakat (Langsat) dengan demikian “Bhakti Bhukti Langsat” adalah sebagai pedoman masyarakat setempat” ~Jero Mangku I Nengah Kariasa

Bagian untuk menarikan tari “Topeng Keras”

Tari Topeng Keras adalah satu tarian putra (tunggal) memakai topeng, dengan perbendaharaan gerak yang sederhana tetapi membutuhkan kemampuan penari untuk menyesuaikan gerak dengan ekspresi topeng.

Tarian ini biasanya ditampilkan sebagai pembuka (penglembar) dari pertunjukan drama tari topeng, dilakukan dengan penekanan pada penguasaan terhadap jalinan wiraga dan wirama yang didukung kesadasan dan kepahaman akan wirasa

Menarikan Tari Topeng Keras bagian-bagian yang harus dipelajari yaitu harus mampu menarikan bagian mungkah lawang, mampu menarikan bagian nayog, mampu menarikan bagian ngopak lantang ngalih pajeng, mampu menarikan bagian malpal, mampu menarikan bagian ngawjang mampu menarikan bagian ngopak lantang penyuwud.

Gerak-gerak pokok yang harus dipelajari sebelum menarikan Tari Topeng Keras adalah sebagai berikut :

1. Mungkah langse

2. Ngagem

3. Miles

4. Nabdab kampuh

5. Nyegut

6. Ngangsel

7. Ngeseh bawak

8. Pajalan

9. Ngagem kanan-kiri

10. Nyeledet

11. Ulap-ulap

12. Nabdab gelung

13. Nepuk dada

14. Nyogok

15. Ngelier

16. Malincer dengan langkah milpil

17. Gelatik nuut papah

18. Ngigelang pajeng

19. Malpal

20. Tindak-tindak

21. Oyog-oyog

22. Matetanganan

23. Nyingsing kampuh

24. Nulih kuri

25. Nyaregseg

Pertunjukan Tari Topeng Keras

Sejarah Singkat Desa Rendang

 Sejarah Desa Pakraman Rendang

https://youtu.be/MzhGu74VG58

Desa Rendang merupakan salah satu dari enam Desa yang ada di Kecamatan Rendang, Sejarah singkat mengenai terbentuknya Desa rendang berawal dari kata RENENG yang berarti damai, secara tegas arti dari kata Reneng dimaksud adalah bahwa kehidupan masyarakat di wilayah Desa Rendang selama masa Pemerintahan Adat Bali terkenal dengan kedamaiannya, dimana masyarakatnya hidup rukun, damai serta segala kegiatan yang ada di Desa Reneng berjalan dengan lancar, aman, tertib, sesuai dengan aturan adat yang telah disepakati bersama. Selanjutnya dalam sejarah perkembangannya kata reneng secara berangsur-angsur berubah penyebutannya menjadi RENDANG yang sampai saat ini disepakati disebut Desa Rendang.

Pada mulanya Desa Rendang masuk wilayah Kerajaan Kelungkung dibawah pimpinan I Dewa Anom dari nyalian yang terkenal dengan sebutan I Dewa Anom Rendang. Dibawah pimpinan beliau Desa Rendang banyak mengalami kemajuan baik dibidang Parhyangan dengan mendirikan tempat-tempat suci maupun dibidang sarana dan prasarana seperti jalan, pengairan (irigasi) serta bidang keamanan. Kebutuhan masyarakat banyak mendapat perhatian dan penanganan serius sehingga masyarakat Rendang dapat hidup dengan tenang, dan damai. Sebagai wujud penghormatan kepada jasa I Dewa Anom akhirnya namanya diabadikan menjadi nama jalan yaitu Jalan Dewa Anom.

Selanjutnya pada tahun 1917 Desa Rendang masuk wilayah Karangasem yang wilayahnya meliputi Kubakal dan Alas Ngandang, dimana penduduknya sebagian besar berasal dari Daerah Klungkung, Bangli, Gianyar, dan Badung namun dalam tata pergaulannya sehari-hari seluruh warganya dapat hidup berdampingan secara rukun (Profil Pembangunan Desa Pakraman Rendang, 2010).

Arti Kata “Wayang Lemah”

Dalam bukunya yang berjudul Cudamani, karangan I Gusti Agung Gd. Putra Dikatakan bahwa pertunjukan wayang dipentaskan yaitu untuk meredam kemurkaan Bhatara Siva dan Bhatari Uma yang telah merubah wujud menjadi Sang Kala Yutisarana (Siva), dan Sang Kala Kalikamaya bagi Dewi Uma. Beliau berdua dengan saktinya menyebar bencana didunia ini. Sehingga manusia menjadi ketakutan, melihat periilaku Bhatara Guru yang sangat aneh, maka Sanghyang Trisemaya (Brahma, Wisnu, dan Isvara) segera membagi diri menjalankan siasat/tugas atas permohonan Bhagawan Sidayoga, untuk menyelamatkan dunia ini dari vibrasi negatif dari Dewa Siva dan Dewi Uma. Di atas tanah dihadapan bangunan agung dibuatlah panggung untuk Sang Hyang Trisemaya. Dipasanglah kelir wayang, Bhatara Isvara menjadi dalang, dibantu dengan Sang brahma dan wisnu sebagai juru gambel/pengrawit. Pementasan tersebut menceritakan tentang perilaku Sang Bhatara Kalih, yaitu Sang Hyang Kala Rudra dan Bhatari Panca Durga. Dalam pementasannya Bhatara Isvara melantunkan lagu/vokal pedalangan yang sangat indah dan merdu, serta tarian wayang yang menakjubkan. Pertunjukan tersebut membuat Bhatara Guru dan Dewi Uma menjadi senang, sehingga dunia terhindar dari kehancuran. Demikianlah permulaan adanya wayang. Mengingat akan mitologi tersebut maka sampai saat pentas wayang selalu dipentaskan pad setiap pelaksanaan upacara agama khususnya di Bali. Seperti Wayang Lemah, Wayang Sudamala, dan Wayang Sapuh Leger yang semuanya sangat disakralkan oleh masyarakat Bali.

Video wayang lemah.

Ketika berbicara tentang Wayang Lemah, hal tersebut mengingatkan kita pada arti kata Wayang Lemah. Dari pengamatan para penekun Seni Pewayangan pada masyarakat Bali, masih sangat kangka bahkan belum ada yang menuliis tentang Wayang Lemah secara rinci. Sehingga bahan atau literatur tentang wayang masih sangat sulit ditemukan, jikalaupun ada masih bersifat sangat umum. Dalam hal mengadakan pembahasan Wayang Lemah ini, penulis akan berusaha secara maksimal memberikan keterangan dengan berdasarkan sumber yang ada dan beberapa informasi dari pelaku seni pewayangaan serta dari pengalaman penulis didalam melakoni seni pedalangan sehari-hari di masyarakat.

Wayang Lemah terdiri dari dua kata dasar yaitu wayang dan lemah. Menurut W. Simpen A. B. dalam buku Serba Neka Wayang Kulit Bali (1974) yang diterbitkan oleh Listibya propinsi Bali, menyatakan pengertian wayang adalah sebagai berikut :

Kata Wayang berarti bayang atau bayanga. karena pengaruh warga aksara, maka wayang menjadi “bayang”, wesi menjadi besi, watu menjadi batu. huruf “W” dan “B” adalah huruf Ostiya (huruf bibir). Tontonan wayang adalah suatu perwujudan atau lukisan pelaku dari suatu cerita yang diperagakan. Dengan demikian, mudahlah orang mengerti / tahu tentang isi cerita itu.

Dalam Kamus Indonesia Kecik, yang disusun ole E.St.Harapan , kata wayang berarti permainan atau pertunjukan benda atau orang tentang hikayat

Dalam Bausastra Jawa oleh W.J.S Purwadarmitnta, kata wayang berarti “ringgit”, papetaning wong dengan kayu, walulang untuk mewujudkan suatu cerita.

Di Dalam Woordenboek Kawi – Balinesch – Nederlandsch Geossarium oleh Dr. H.H. Juynbol, Kata Wayang berarti Ringgit (een tooneelstnnk opvoeren). Kata Ringgit berasal dari bahasa jawa kuno/ kawi yang artinya “gerigi”. Maringgit artinya bergerigi, (yudabakti,2004;58).

Jadi sesuai dengan beberapa pendapat para ahli, maka penukius dapat menyimpulkan arti kta wayang adalah suatu bayangan yang diwujudkan dalam ggarapan kuliy/walulang atau kayu yang berbentuk bergerigi (ringgit) dengan tujuan untuk membawakan sebuah cerita.

Kata “Lemah” dalam bahasa kemasyarakatan di Bali diartikan sangat bervariasi, sehingga menimmbulkan pandangan yang berbedaa. Untuk menghindari perbedaan arti yang terlalu menjolok, maka penulis akan cuplikan beberapa pendapat dari para penulis yang mengandrungi seni Pewayangn, sebagai terurai dibawah ;

Menurut Drs.Ketut Rota, kata “Lemah” berasal dari bahasa Bali , yaitu Lemah yang berarti Siang/ Hari Galang, dan Lemah diduga berasal dari kata jawa kuno yaitu Lemah yang berarti Tanah.

Jadi dpat diberikan arti sementara bahwa kata “Wayang Lemah” megandung arti sebuah pementasan wayang yang dilaksanakan pada siang hari. Serta tempt pentasnya diletakkan ditas tanah atau lantai. Tujuan pementasan ini yaitu untuk (ngelemahang / menjabarkan) isi cerita dalam pentas yaitu ditempat ypacara dilaksanakan.

Kembali Disebutkan didalam tulisan Drs.Ketut Rota dalam bukunya yang berjudul “Pewayangan Bali Sebuah Pengantar” bahwa wayang lemah semestiny dipentaskan pada siang hari sejalan dengan adanya yajna yang diiringinya, karena fungsi utamanya adalah mengiringi Panca Yajna. Akan tetapi bila Yajna dilaksanakan pada malam hari, pentas wayang ini tetap dipentaskan pada malam itu, karena fungsinya mengiringi jalannya yajna. Berkaitan dengan hal tersebut, seolah-olah kata Wayang Lemah yang berarti wayang dipentaskan pada siang hari tidk relavan dengan praktek pentas yang dilakukan (malam hari). Karena Wayang seharusnya dipentaskan pada siang hari mengalami perubahan waktu pentas. Alasannya disebabkan oleh perubahan situasi seperti pengerjaan upacaranya belum selesai tepat pada waktunya atau Pendeta yang muput belum datang. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan waktu pentas. Namun hal ini tidak mengurangi makna dan fungsi Wayang Lemah yang sebenarnya. Karena yang dipentingkan adalah kesakralannya.

Ciri-ciri pentas wayang lemah adalah sebagai berikut : tidak memakai kelir sebagai tabirnya, akan tetapi memakai dua tiang dari kayu dadap (taru sakti) ditengahnya terbentangkan benang tukelan berwarna putih berisi sebelas uang kepeng (pis bolong) yang kedua ujungnya dibelitkan pada dahan dadap yang ditancapkan pada pohon pisang (gedebong)

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!