Konteks Seni

April 9th, 2018
  1. Seni Dan Masyarakat

Ada yang menyatakan bahwa kebudayaan padadasarnya adalah suatu system nilai. Dalam suatu system nilai selalu ada apa yang disebut dengan nilai dasar. Nilai dasar inilah yang mendominasi nilai-nilai dalin dalam kebudayaan tersebut. Dalam masyarakat dagang, misalnya, nilai daasarntya adalah bahan untuk bergadang, baik berupa modal, ketrampilan maupun sarana perdagangan. Dalam hiddup masyarakat yang demikian itu, materi sangat penting dalam kehidupan. Maka nilai seni masyarakat dagangpun mengacu kepada nilai dasar ini, yakni karya seni yang bisa memberikan kenikmatan yang kurang lebih bersifat materi, seperti tarian striptease serta nyanyian atau tarian sensual.

Secara teori memang nampaknya mudah memahami hubungan antara masyarakat dan keseniannya. Hal ini benar apabila suatu masyarakat masih merupakan suatu kesatuan monolit, keutuhan berdasarkan tempat terbatas.  Misalnya pada masyarakat suku yang terasing. Dalam masyarakat demikian itu akan segera terlihat prilaku seseorang dengan wilayah kebudayaannya. Seorang dari Kanekes (Baduy dalam) misalnya, segera akan dikenal sebagai warga kebudayaan Kenekes. Dengan demikian akan segera pula diketahui nilai-nilai dasar kebudayaan mereka dan semua sub-nilainya.

 

  1. Latar Sosial Seni

Setiap karya seni sedikit-banyak mencerminkan setting masyarakat tempat itu diciptakan. Dan seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. Kehidupan dalam masyarakat itu merupakan kenyataan yang langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas kesenimanannya. Dalam menghadapi rangsangan penciptaannya, seniman mungkin sekedar saksi masyarakat, atau bisa juga bisa sebagai kritikus masyarakat, atau memberikan alternatif dari kehidupan masyarakatnya, atau memberikan pandangan baru yang sama sekali asing dalam masyarakatnya. Dalam hal ini, seniman memainkan peran keberdayaan dirinya yang bebas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Jadi, meskipun seniman hidup dalam suatu masyarakat dengan tata nilainya sendiri, dan dia belajar hidup dengan tata  nilai tersebut, ia juga mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tata nilai masyarakatnya itu.

Sejauh mana sebuah karya seni mencerminkankan masyarakatnya harus dicermati dari asal usul sosial senimannya, pendidikan seni yang diperolehnya, dan untuk kelompol mana ia menciptakan karyanya. Dengan meneliti itu semua akan segera terlihat anasir mana dalam karyanya yang membawa dasar ideology sosial tertentu yang pernah dikenal dan dialaminya. Selain itu, masih juga harus diingat juga sikap seniman terhadap rangsangan yang menjadi objek seninya.

  1. Seni Sebagai Produk Masyarakat

Kita memang menyadari betul bahwa setiap karya seni adalah ciptaan seorang individu yang kita sebut seniman. Setiap individu memainkan peran individualitasnya dalam masyarakat. Dia seorang yang bebas mengembangkan nilai-nilainya sendiri. Seorang seniman, seperti halnya kaum intelektual pada umumnya, dapat belajar nilai-nilai diluar konteks masyarakat dan bangsanya. Sebaliknya, masyarakat umumnya belum tentu mau belajar nilai-nilai dari luar konteksnya sendiri. Seniman bebas mengembangkan nilai hidupnya sendiri.

Nilai seni, nilai estetik, seperti halnya nilai agama, etika, sosial dan lain-lain, diperoleh seorang anggota masyarakat dari lingkungan hidupnya, dari masyarakatnya. Seorang anggota masyarakat yang ingin menjadi pelukis atau sastrawan mula-mula belajar apa yang disebut lukisan dan kesusastraan dari masyarakatnya. Dia menyaksikan pameran lukisan, melihat tetangganya pelukis sedang melukis, melihat reproduksi lukisanm di buku-buku, membaca ulasan seni lukis, menyaksikan teman-teman sekolahnya mulai belajar melukis. Semua nilai estetik tentang apa yang seharusnya disebut lukisan, dipelajarinya dari masyarakat sekitarnya. Begitu pula dia belajar nilai agama, nilai moral, nilai adat, dan nilai sosial dari masyarakatnya pula.

  1. Masyarakat Sebagai Produk Seni

Pandangan disinterestedness dalam seni pada dasarnya hanya merupakan gagasan, sedangkan dalam praktik atau sejarah seni, jarang muncul seni yang hanya mementingkan aspek bentuk keindahan demi keindahan itu sendiri. Hampir setiap karya seni merupakan ekspresi isi, baik berupa pemikiran,perasaan atau nilai-nilai kehidupan. Justru hadirnya seni memperkuat makna bentuknya. Jadi pada dasarnya, sejak asal mula munculnya karya seni dalam sejarah manusia, benda seni itu selalu mempunyai isi, bukan sekedar bentuk tanpa isi. Makna bentuk itu ditentukan oleh kandungan bobot isinya. Setiap karya seni besar selalu mengandung aspek isi dalam bentuk yang memang estetis.

Seni selalu mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, bukan semata-matagungsi kenikmatan, keindahan bentuknya, melainkan juga keindahan isinya. Keindahan murni bentuk hanya terdapat dalam alam. Pemandangan laut atau pegunungan, dalam alam nyata, menampilkan kemurnian bentuk alam itu sendiri. Ini berbeda dengan lukisan. Dalam karya seni lukis pemandangan alam, selalu terselip pesan yang hendakdisampaikan si pelukis dalam lukisannya. Bahkan dalam seni music yang sama sekali tidak mengambil objek nyata kehidupan pun masih dapat dikenali isi pesannya, entah itu emosi kesedihan, kemuliaan, atau kemarahan.

  1. Seni Dalam Konteks Moral

Pembicaraan seni dan moral biasanya mengacu kepada dua kutub pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa seni itu harus bersendi kepada moral, sementara pandangan yang lain berpendapat bahwa seni dan moral itu dua tugas yang berbeda sehingga seni iut tidak harus berlandaskan moral. Golongan terakhir terknal dengan semboyan ‘seni untuk seni’. Seni itu mengabdi kepada keindahan, sedangkan moral itu kebaikan. Seni yang sejati sudah barang tentu bermoral, moralnya adalah keindahan itu sendiri, sebab keindahan adalah sebuah kebaikan dan kebenaran.

Satu satunya moralitas yang dapat dituntuk dari seniman adalah kejujurannya. Seorang yang melakukan penipuan dalam karyaseninya jelas akan runtuh namanya sebagai seorang seniman. Kalau seorang seniman mencuri ide orang lain, atau menjiplak ide seniman lain, dalam karya yang diakuinya sebagai miliknya yang otentik, maka seniman yang demikian dicoret dari dunia seni. Seniman demikian itulah yang tidak mempunyai etika seni. Bisa jadi moralitasnya seorang seniman benar-benar amburadul, tetapi selama berkarya dia jujur pada dirinya, dia otentik, asli, maka itulah moralitasnya.

  1. Seni dan Ilmu Pengetahuan

Perbedaan antara seni dan ilmu dapat bermacam ragam. Seni menyangkut penghayatan dalam sebuah struktur pengalaman estetis, sedangkan ilmu menyangkut pemahaman rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu. Seni menyangkut masalah penciptaan, sedangkan ilmu menyangkut masalah penemuan. Seni menghasilkan sesuatu yang belum ada menjadi ada. Ilmu selalu berdasarkan atas apa yang sudah ada. Pendekatan ilmu menggunakan perangkat intelegensia, analisis, dan pengamatan terhadap dunia material. Pendekatan seni mengarahkan pandangannya ke lubuk batin manusia, di sudut-sudutnya yang tersembunyi dan rahasia. Seni menghadirkan kualitas pengalaman yang unik dan spesifik, seperti soal kesepian, penderitaan, keagungan dan kemuliaan, keperkasaan, kesedihan, yang tak jelas dapat dirumuskan dalam bidang keilmuan. Dalam ilmu segalanya kuantitatif, terukur dalam parameter tertentu.

  1. Seni dan Politik

Seni adalah suatu kualitas transdental, dalam arti seni yang sejati. Sebuah karya seni merupakan ungkapan nilai seorang seniman setelah dia merenungkan suatu objek. Nilai itu amat subjektif sifatnya. Tetapi, karena renungan seniman yang sungguh-sungguh jujur dan mendalam terhadap suatu objek itu dilakukan untuk menemukan kebenaran universal, hasilnya akan diterima secara objektif oleh penangggap karya seninya.

Setiap seniman adalah seorang pencari dan pencipta. Yang dicari adalah nilai kualitas, nilai esensi, nilai emosi yang baru dan segar atas objek yang sama yang mungkin telah berkali-kali direnungkan oleh seniman lainnya. Yang diciptakan adalah hasil temuan tadi dalam wujud intrinsic benda itu sendiri. Ilayah pencarian dan penemuan seniman adalah wilayah diluar objeknya itu, namun sebenarnya muncul dari objek tersebut. Inilah wilayah diluar objek-tampak, suatu wilayah transenden.  Suatu wilayah diluar kenyataan material duniawi, wilayah luas yang tak terbatas bagi pengembaraan rohani manusia.

 

  1. Pernak Pernik Sejarah Seni

Adanya masa kini disebabkan oleh adanya masa lampau. Semua nilai yang hidup dalam masyarakat sekarang, baik yang terealisasi dalam kenyataan  maupun yang hanya merupakan idaman tertinggi, adalah kumpulan warisan nilai-nilai masyarakat tersebut dimasa lampau. Memang tidak semua nilai masa lampau (moral, religi, sosial, seni, politik, ekonomi, dan lain-lain) diterima, disetujui, dan dilaksanakan pada masa kini, tetapi sudah melalui seleksi yang memang cocok utnuk masyarakatnya yang sekarang. Mengapa demikian? Ini karena apa yang dinamakan masyarakat, kelompok manusia yang tertentu itu juga berubah oleh berbagai sebab. Masyarakat bisa berubah karena faktor pendidikanekonomi, teknologi, geografi, politik, agama dan lain-lain.

 

  1. Seni dan Jarak Ideologi

Pada akhirnya seni adalah sebuah pemikiran. Meskipun yang telah diekspresikan seniman adalah perasaannya, intuisinya, alam bawah sadarnya, semua itu dikendalikan oleh nalar atau rasionya, yakni ungkapan perasaan yang terstruktur. Struktur adalah cara menyusun unsur-unsur wujud dan non-wujudnya dalam bentuk keutuhan tertentu, dengan tujuan (pemikiran) tertentu pula. Inilah sebabnya setiap karya seni selalu punya tujuan afektif, yaitu tujuan untuk mempengaruhi sikap penanggapnya, baik secara inderawi, emosi, maupun rasional. Seni adalah suatu kosmos,suatu keteraturan dalam sistem dirinya, bukan suau chaos atau ketidakberaturan. Kesulitan utama parapenanggap seni modern adalah kebingungan dalam membentuk struktur keutuhan seninya. Akibatnya, bukan keteraturan yang diterima, melainkan suatu chaos. Dan sebagai chaos tentu saja tak punya makna, tak punya arah, tak punya tujuan. Dengan kata lain, seni modern tidak berbicara pada penanggap yang kurang terlatih.

Seni sebagai karya pemikiran adalah juga karya penilaian. Menilai adalah kerja berpikir berdasarkan konsep tertentu. Objek yang dinilai dalam seni tak terbatas. Seni dapat berbicara tentang apa saja, tapi semua itu bertolak dari konteks sosio-budaya seniman penciptanya. Kontes yang berupa kenyataan konkret empiric itu merupakan rangsangan, tantangan, stimulus  bagi seniman untuk ditanggapi, dijawab dan direnspon. Dan konteks sosio-budaya seniman menawarkan berbagai stimulus yang sesuai dengan minatnya msing-masing.

Comments are closed.