Archive for April, 2018

Konteks Seni

Senin, April 9th, 2018
  1. Seni Dan Masyarakat

Ada yang menyatakan bahwa kebudayaan padadasarnya adalah suatu system nilai. Dalam suatu system nilai selalu ada apa yang disebut dengan nilai dasar. Nilai dasar inilah yang mendominasi nilai-nilai dalin dalam kebudayaan tersebut. Dalam masyarakat dagang, misalnya, nilai daasarntya adalah bahan untuk bergadang, baik berupa modal, ketrampilan maupun sarana perdagangan. Dalam hiddup masyarakat yang demikian itu, materi sangat penting dalam kehidupan. Maka nilai seni masyarakat dagangpun mengacu kepada nilai dasar ini, yakni karya seni yang bisa memberikan kenikmatan yang kurang lebih bersifat materi, seperti tarian striptease serta nyanyian atau tarian sensual.

Secara teori memang nampaknya mudah memahami hubungan antara masyarakat dan keseniannya. Hal ini benar apabila suatu masyarakat masih merupakan suatu kesatuan monolit, keutuhan berdasarkan tempat terbatas.  Misalnya pada masyarakat suku yang terasing. Dalam masyarakat demikian itu akan segera terlihat prilaku seseorang dengan wilayah kebudayaannya. Seorang dari Kanekes (Baduy dalam) misalnya, segera akan dikenal sebagai warga kebudayaan Kenekes. Dengan demikian akan segera pula diketahui nilai-nilai dasar kebudayaan mereka dan semua sub-nilainya.

 

  1. Latar Sosial Seni

Setiap karya seni sedikit-banyak mencerminkan setting masyarakat tempat itu diciptakan. Dan seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. Kehidupan dalam masyarakat itu merupakan kenyataan yang langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas kesenimanannya. Dalam menghadapi rangsangan penciptaannya, seniman mungkin sekedar saksi masyarakat, atau bisa juga bisa sebagai kritikus masyarakat, atau memberikan alternatif dari kehidupan masyarakatnya, atau memberikan pandangan baru yang sama sekali asing dalam masyarakatnya. Dalam hal ini, seniman memainkan peran keberdayaan dirinya yang bebas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Jadi, meskipun seniman hidup dalam suatu masyarakat dengan tata nilainya sendiri, dan dia belajar hidup dengan tata  nilai tersebut, ia juga mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tata nilai masyarakatnya itu.

Sejauh mana sebuah karya seni mencerminkankan masyarakatnya harus dicermati dari asal usul sosial senimannya, pendidikan seni yang diperolehnya, dan untuk kelompol mana ia menciptakan karyanya. Dengan meneliti itu semua akan segera terlihat anasir mana dalam karyanya yang membawa dasar ideology sosial tertentu yang pernah dikenal dan dialaminya. Selain itu, masih juga harus diingat juga sikap seniman terhadap rangsangan yang menjadi objek seninya.

  1. Seni Sebagai Produk Masyarakat

Kita memang menyadari betul bahwa setiap karya seni adalah ciptaan seorang individu yang kita sebut seniman. Setiap individu memainkan peran individualitasnya dalam masyarakat. Dia seorang yang bebas mengembangkan nilai-nilainya sendiri. Seorang seniman, seperti halnya kaum intelektual pada umumnya, dapat belajar nilai-nilai diluar konteks masyarakat dan bangsanya. Sebaliknya, masyarakat umumnya belum tentu mau belajar nilai-nilai dari luar konteksnya sendiri. Seniman bebas mengembangkan nilai hidupnya sendiri.

Nilai seni, nilai estetik, seperti halnya nilai agama, etika, sosial dan lain-lain, diperoleh seorang anggota masyarakat dari lingkungan hidupnya, dari masyarakatnya. Seorang anggota masyarakat yang ingin menjadi pelukis atau sastrawan mula-mula belajar apa yang disebut lukisan dan kesusastraan dari masyarakatnya. Dia menyaksikan pameran lukisan, melihat tetangganya pelukis sedang melukis, melihat reproduksi lukisanm di buku-buku, membaca ulasan seni lukis, menyaksikan teman-teman sekolahnya mulai belajar melukis. Semua nilai estetik tentang apa yang seharusnya disebut lukisan, dipelajarinya dari masyarakat sekitarnya. Begitu pula dia belajar nilai agama, nilai moral, nilai adat, dan nilai sosial dari masyarakatnya pula.

  1. Masyarakat Sebagai Produk Seni

Pandangan disinterestedness dalam seni pada dasarnya hanya merupakan gagasan, sedangkan dalam praktik atau sejarah seni, jarang muncul seni yang hanya mementingkan aspek bentuk keindahan demi keindahan itu sendiri. Hampir setiap karya seni merupakan ekspresi isi, baik berupa pemikiran,perasaan atau nilai-nilai kehidupan. Justru hadirnya seni memperkuat makna bentuknya. Jadi pada dasarnya, sejak asal mula munculnya karya seni dalam sejarah manusia, benda seni itu selalu mempunyai isi, bukan sekedar bentuk tanpa isi. Makna bentuk itu ditentukan oleh kandungan bobot isinya. Setiap karya seni besar selalu mengandung aspek isi dalam bentuk yang memang estetis.

Seni selalu mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, bukan semata-matagungsi kenikmatan, keindahan bentuknya, melainkan juga keindahan isinya. Keindahan murni bentuk hanya terdapat dalam alam. Pemandangan laut atau pegunungan, dalam alam nyata, menampilkan kemurnian bentuk alam itu sendiri. Ini berbeda dengan lukisan. Dalam karya seni lukis pemandangan alam, selalu terselip pesan yang hendakdisampaikan si pelukis dalam lukisannya. Bahkan dalam seni music yang sama sekali tidak mengambil objek nyata kehidupan pun masih dapat dikenali isi pesannya, entah itu emosi kesedihan, kemuliaan, atau kemarahan.

  1. Seni Dalam Konteks Moral

Pembicaraan seni dan moral biasanya mengacu kepada dua kutub pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa seni itu harus bersendi kepada moral, sementara pandangan yang lain berpendapat bahwa seni dan moral itu dua tugas yang berbeda sehingga seni iut tidak harus berlandaskan moral. Golongan terakhir terknal dengan semboyan ‘seni untuk seni’. Seni itu mengabdi kepada keindahan, sedangkan moral itu kebaikan. Seni yang sejati sudah barang tentu bermoral, moralnya adalah keindahan itu sendiri, sebab keindahan adalah sebuah kebaikan dan kebenaran.

Satu satunya moralitas yang dapat dituntuk dari seniman adalah kejujurannya. Seorang yang melakukan penipuan dalam karyaseninya jelas akan runtuh namanya sebagai seorang seniman. Kalau seorang seniman mencuri ide orang lain, atau menjiplak ide seniman lain, dalam karya yang diakuinya sebagai miliknya yang otentik, maka seniman yang demikian dicoret dari dunia seni. Seniman demikian itulah yang tidak mempunyai etika seni. Bisa jadi moralitasnya seorang seniman benar-benar amburadul, tetapi selama berkarya dia jujur pada dirinya, dia otentik, asli, maka itulah moralitasnya.

  1. Seni dan Ilmu Pengetahuan

Perbedaan antara seni dan ilmu dapat bermacam ragam. Seni menyangkut penghayatan dalam sebuah struktur pengalaman estetis, sedangkan ilmu menyangkut pemahaman rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu. Seni menyangkut masalah penciptaan, sedangkan ilmu menyangkut masalah penemuan. Seni menghasilkan sesuatu yang belum ada menjadi ada. Ilmu selalu berdasarkan atas apa yang sudah ada. Pendekatan ilmu menggunakan perangkat intelegensia, analisis, dan pengamatan terhadap dunia material. Pendekatan seni mengarahkan pandangannya ke lubuk batin manusia, di sudut-sudutnya yang tersembunyi dan rahasia. Seni menghadirkan kualitas pengalaman yang unik dan spesifik, seperti soal kesepian, penderitaan, keagungan dan kemuliaan, keperkasaan, kesedihan, yang tak jelas dapat dirumuskan dalam bidang keilmuan. Dalam ilmu segalanya kuantitatif, terukur dalam parameter tertentu.

  1. Seni dan Politik

Seni adalah suatu kualitas transdental, dalam arti seni yang sejati. Sebuah karya seni merupakan ungkapan nilai seorang seniman setelah dia merenungkan suatu objek. Nilai itu amat subjektif sifatnya. Tetapi, karena renungan seniman yang sungguh-sungguh jujur dan mendalam terhadap suatu objek itu dilakukan untuk menemukan kebenaran universal, hasilnya akan diterima secara objektif oleh penangggap karya seninya.

Setiap seniman adalah seorang pencari dan pencipta. Yang dicari adalah nilai kualitas, nilai esensi, nilai emosi yang baru dan segar atas objek yang sama yang mungkin telah berkali-kali direnungkan oleh seniman lainnya. Yang diciptakan adalah hasil temuan tadi dalam wujud intrinsic benda itu sendiri. Ilayah pencarian dan penemuan seniman adalah wilayah diluar objeknya itu, namun sebenarnya muncul dari objek tersebut. Inilah wilayah diluar objek-tampak, suatu wilayah transenden.  Suatu wilayah diluar kenyataan material duniawi, wilayah luas yang tak terbatas bagi pengembaraan rohani manusia.

 

  1. Pernak Pernik Sejarah Seni

Adanya masa kini disebabkan oleh adanya masa lampau. Semua nilai yang hidup dalam masyarakat sekarang, baik yang terealisasi dalam kenyataan  maupun yang hanya merupakan idaman tertinggi, adalah kumpulan warisan nilai-nilai masyarakat tersebut dimasa lampau. Memang tidak semua nilai masa lampau (moral, religi, sosial, seni, politik, ekonomi, dan lain-lain) diterima, disetujui, dan dilaksanakan pada masa kini, tetapi sudah melalui seleksi yang memang cocok utnuk masyarakatnya yang sekarang. Mengapa demikian? Ini karena apa yang dinamakan masyarakat, kelompok manusia yang tertentu itu juga berubah oleh berbagai sebab. Masyarakat bisa berubah karena faktor pendidikanekonomi, teknologi, geografi, politik, agama dan lain-lain.

 

  1. Seni dan Jarak Ideologi

Pada akhirnya seni adalah sebuah pemikiran. Meskipun yang telah diekspresikan seniman adalah perasaannya, intuisinya, alam bawah sadarnya, semua itu dikendalikan oleh nalar atau rasionya, yakni ungkapan perasaan yang terstruktur. Struktur adalah cara menyusun unsur-unsur wujud dan non-wujudnya dalam bentuk keutuhan tertentu, dengan tujuan (pemikiran) tertentu pula. Inilah sebabnya setiap karya seni selalu punya tujuan afektif, yaitu tujuan untuk mempengaruhi sikap penanggapnya, baik secara inderawi, emosi, maupun rasional. Seni adalah suatu kosmos,suatu keteraturan dalam sistem dirinya, bukan suau chaos atau ketidakberaturan. Kesulitan utama parapenanggap seni modern adalah kebingungan dalam membentuk struktur keutuhan seninya. Akibatnya, bukan keteraturan yang diterima, melainkan suatu chaos. Dan sebagai chaos tentu saja tak punya makna, tak punya arah, tak punya tujuan. Dengan kata lain, seni modern tidak berbicara pada penanggap yang kurang terlatih.

Seni sebagai karya pemikiran adalah juga karya penilaian. Menilai adalah kerja berpikir berdasarkan konsep tertentu. Objek yang dinilai dalam seni tak terbatas. Seni dapat berbicara tentang apa saja, tapi semua itu bertolak dari konteks sosio-budaya seniman penciptanya. Kontes yang berupa kenyataan konkret empiric itu merupakan rangsangan, tantangan, stimulus  bagi seniman untuk ditanggapi, dijawab dan direnspon. Dan konteks sosio-budaya seniman menawarkan berbagai stimulus yang sesuai dengan minatnya msing-masing.

SEKILAS TENTANG ESTETIKA TIMUR

Senin, April 9th, 2018
  1. Estetika Cina

Hubungan ilmu, filsafat dan seni sangat akrab mewarnai perkembangan seni abad ke 19 di barat, dan kemudian merupakan landasan penciptaan seni modern akhir abad 19 dan20. Ekspresi, intuisi dan konsep individualitas merupakan sumber penciptaan yang didewakan seniman modern. Apabila di Yunani abad ke 5 SM sudah didapatkan karya-karya yang berpangdangan filsafat, maka di Timur khususnya Cina diketahui pada dinasti Han (206 SM – 220 AD)

Berbeda dengan perkembangan estetika barat, estetik di Negara-negara timur nampaknya sudah mulai berkembang mulai dari zaman primitive hingga munculnya berbagai agama besar sampai era modern sekarang ini. Estetika pada dasarnya dinamis dengan filsafat dan pemikiran baru, tetapi ditimur justru statis dan dogmatis, sehingga sangat lamban dan dapat dikatakan tidak berkembang. Meskipun demikian sulit mengatakan keunggulan masing-masing pihak. Hal tersebut karena pijakan atau latar belakang budaya yang masing-masing memang berbeda. Di Cina, Tao lah yang dianggap sumber dari nilai-nilai kehidupan. Tao berarti sinar tenang dan sumber dari segala sumber yang ada. Manusia dianggap sempurna apabila hidupnya diterangi oleh Tao. Bagi bangsa Cina Tao adalah kemutlakan; sesuatu yang member keberadaan, kehidupan dan kedamaian. Kong Hu Cu seorang filsuf Cina yang dianggap Nabi, mengutarakan sebuah pertanyaan; padahal barang-barang yang indah adalah penjelmaan dari Tao. Oleh karena itu tugas seoarang seniman adalah “menangkap” Tao tersebut dan mengungkapkannya dalam bentuk karya seni atau berupa barang yang indah. Sehingga seorang seniman wajib menyucikan diri agar mempunyai kesadaran Tao. Dan lewat kesadaran kontemplasi ia akan mampu menciptakan keindahan (Agus Sachari 1989:23). Filsuf Cina pada akhir abad V, Hsieh Ho menyusun enam prinsip dasar bagi para seniman yang kemudian terkenal dengan istilah canon estetika Cina, antara lain:

  1. Prinsip Pertama

Prinsip yang menggambarkan bersatunya roh semesta dengan dirinya, sehingga dengan demikian ia mampu menangkap keindahan (dari Tao) dan kemudian ditampilkan atau terwujud dalam karyanya. Prinsip ini merupakan konsep yang erat kaitannya dengan Buddhisme atau Taoisme. Konsep energy spiritual yang mewujudkan kesatuan yang harmonis atas segala sesuatu. Energi kosmis barangkali merupakan sesuatu ungkapan yang sesuai, tetapi terbatas dalam artian bahwa sesuatu dapat diperoleh dari suatu sumber yang menjiwai sesuatu, an-organik dan organik. Istilah Cina prinsip ini disebut “Ch’I yun sheng tun”.

  1. Prinsip Kedua

Prinsip ini menggambarkan kemapuan menyergap Roh Ch’I atau roh kehidupan dengan cara mengenyampingkan bentuk dan warna yang semarak, sehingga makna spiritual akan Nampak dalam karya-karyanya. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa lukisan Cina saat itu, yang penuh dengan ruang kosong dan kesunyian. Digambarkan sebagaimana pelukis Cina Tsung Ting (375-443), sebelum melukis pemandangan alam, ia melakukan meditasi terlebih dahulu, agar rohnya secara bebas menjelajahi alam semesta.

Prinsip kedua ini jika diterjemahkan secara literer berarti metode tulang dalam penggunaan kuas. Tak ada komentator barat yang menjelaskan mengapa kata “tulang” digunakan untuk member metode seni lukis, nampaknya ini untuk menyatakan secara tidak langsung pemberian kekuatan structural terhadap sapuan kuas itu sendiri. Sapuan kuas harus cukup kuat untuk membawakan energy kosmis yang dihubungkan dengan prinsip pertama. Prinsip kedua ini dalam istilah Cina disebut Ku Fa Yung Pi.

  1. Prinsip Ketiga

Prinsip yang menggambarkan merefleksikan objek dengan menggambarkan bentuknya; yaitu konsekuen terhadap objek yang dilukis atau yang disusunnya. Seperti yang dikatakan oleh Ch’eng Heng-Lo: “seni lukis barat adalah seni lukis mata, sedangkan seni lukis Cina adalahseni lukis idea.” Disini jelas bahwa seni lukis Cina mementingkan esensinya bukan eksistensinya.

Prinsip ketiga memberikan saran bahwa setiap objek mempunyai bentuk yang tepat. Seniman harus menyesuaikan antara tema pokok dan ekspresi yang memperlihatkan visi pengamat identitas objek yang dilukis didalam semua keterpisahan dan kekongkritan. Dalam prinsip ketiga ini dalam istilah Cina disebut Ying Wi Hsiang Hsing.

4.Prinsip Keempat

Prinsip yang menggambarkan keselarasan dalam menggunakan warna. Seni lukis cina dalam penggunaan warna tidak bersifat fungsional tetapi lebis bersifat simbolis. Estetika warna para pelukis Cina ditetntukan oleh tekhnik akuarel tinta monokromatis untuk membabarkan suasana hati.

Prinsip keempat menetapkan setiap objek memiliki warna yang sesuai. Warna yang digunakan dalam lukisan harus mempunyai sugesti alam  dan sifat penggambarannya. Prinsip ini dalam istilah Cina disbut Sui Lei Fu Ts’ai yang berarti suatu tipe hubungannya dengan penggunaaan warna dalam seni lukis Cina tidak bersifat fungsional tapi lebih bersifat sibolisme (Mulyadi, 1986)

  1. Prinsip Kelima

Prinsip yang menggambarkan tentang pengorganisasian, penyusunan atau perancanaan dengan pertimangan penempatan dan susunan. Seni Cina menganjurkan agar mengadakan semacam perencanaan terlebih dahulu sebelum berkarya. Dalam hal iani nampaknya rancang komposisi berbeda dengan prinsip desain seni barat. Dikatakan oleh Chang Yen-Yuan; aspek kemusiman meilbatkan pengertian irama dan pergeseran alam, membutuhkan observasi, pengetahuan, meditasi, pengertian intuit tentang Ch’I. dalam hati seseorang, ia harus sepenuhnya mengenal Ch’I empat musim—tidak hanya dalam hati, karena pengetahuan itu harus mengalir ke ujung jari kemudian menggetarkan pena/kuas dalam berkarya.

Prinsip kelima ini merupakan perencanaan atas unsur-unsur dalam komposisi. Komposisi harus dapat menunjukkan mana yang lebh penting dan kurang penting, apa yang memerlukan jarak dan yang tertutup, dan mempertimbangkan juga ruang dan kosong.  Seni Cina sama sekali tidak menghubungkan system  yang matematis antara figure individuil, misalnya dalam lukisan portret atau komposisi secara keseluruhan. Seni lukis Cina mempunyai dasar pemikirannya selalu bersumber pada Ch’I (Mulyadi, 1986).

  1. Prinsip Keenam

Prinsip ini memberikan ajaran untuk membuat reproduksi-reproduksi agar dapat diteruskan dan disebarluaskan. Semangat Tao dalam estetik di Cina rupaya begitu mendalam dan menyebar ke pelbagai Negara di sekitarnya sampai sekarang.

Prinsip ke enam ini dihubungkan dotrin Cina tentang meniru sesuatu gagasan, yang jelas ini berbeda dengan gagasan kita tentang tradisi, yang merupakan suatu inti, atau kekuatan vital yang diturunkan dari generasi ke generasi. Gagasan barat tentang tradisi lebiuh bersifat teknis dan gaya para master.  Gagasan Cina berbeda yaitu secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu jiwa yang diinformasikan dan yang diteruskan kearah yang lebih penting (mullia) dari bentuk itu sendiri. Prinsip dalam istilah Cina disebut “Chuan Mo I Hsieh”.

  1. Estetika Timur Tengah

Estetika yang berkembang di Negara-negara Timur Tengah perlu dipertimbangkan. Didalam konteks agama Islam estetika didasari sebagai sesuatu yang berbeda dengan perkembangan estetika di belahan lain. Hal ini disebabkan karena masyarakat timur tengah sebelum masuk islam menyembah patung berhala yang berwujud makhluk hidup dan bentuk-bentuk keindahan lain. Sehingga mereka yang menyembah berhala tersebut dianggap bertentangan dengan agama. Demikian juga semua yang berkaitan dengan hal tersebut seperti patung dan gambar yang menggambarkan tentang makhluk hidup. Akibatnya suatu bentuk yang mirip dengan berhala, atau suatu bentuk yang bernyata hamper tidak terdapat di Negara-negara ini. Karena ada kekhawatiran untuk dipuja atau dikultuskan. Tetapi karena larangan tersebut, justru muncul dimensi estetik simbolik yang non-naturalis.karya-karya estetik semacam kaligrafi, ornamen geometric, arsitektur masjid, permadani bermotif tumbuh-tumbuhan yang distilasi dan sejenisnya tumbuh subur dan member ciri-ciri khas kesenian timur tengah.

Estetika islam terus hidup, karena pada dasarnya  estetika adalah fitrah, hanya cara pengungkapannya yang harus disesuaikan dengan ajaran agama islam. Walau pada awalnya perkembangan estetika berkisar pada sekitar masjid dalam bentuk kaligrafi. Estetika justru kemudian berkembang dan mempengaruhi ngara sekitarnya., demikian seterusnya islam berkembang menyebar sampai india, dan asia tenggara termasuk Indonesia. Pada akhir perkembangannya estetik islam tidak lagi berdiri sendiri, tetapi mengadakan metamorfosa dengan kebudayaan asli daerah setempat.

  1. Estetika India

India mempunyai pandangan sendiri mengenai estetika yang konon ditulis oleh Bharata dalam buku Natyasastra (sekidar abad ke 5). Dalam buku tersebut ia berpandangan bahwa ‘rasa’ lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah. Pandangan Bharata seperti halnya pandangan Plato di Barat, kemudian ditanggapi dan dikembangkan secara terus-menerus, baik oleh pengikutnya, maupun oleh penentangnya. Seorang ahli piker Khasmir ; Sangkula (abad ke 10) berpendapat bahwa pengalaman estetik sebenarnya berada diluar bidang kebenaran dan ketidakbenaran.

Pendapat Sangkuta tersebut dikritik oleh Abhinavagupta, yang menyatakan bahwa bila hidup hanya ditiru, efeknya bukanlah kenikmatan estetik melainkan suatu kelucuan belaka. Artinya estetik bukanlah imitasi, melainkan cara untuk menikmati hidup nyata. Pemikir Khasmir lainnya, Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalaman estetika adalah semacam jatuhnya wahyu, artinya kebekuan rohani kita trsingkirkan sehingga kita dapat melihat kenyataan dengan cakrawala yang luas. Menurutnya; hakekat rasa bukanlah meniru, melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego seseorang dan menjadikan pengalaman ( Agus Sachari, 1989)

  1. Estetika Buddhisme

Buddhisme (hubungan manusia dengan yang mutlak). Kaum Buddhisme mengatakan bahwa pada dasarnya semua yang ada, dan kita sekarang ini adalah hasil dari sesuatu yang kita pikirkan. Pandangan Buddha terhadap benda-benda pada prinsiipnya adalah segala sesuatu yang bersifat fana; segala sesuatu itu mengandung penderitaan dan segala sesuatu itu tanpa ego. Bagi Buddha benda-benda itu tidaklah kekal, selalu berubah. Indera kita selalu saja salah dalam mengamati benda di sekitarnya. Hal ini membuat manusia hanya selalu menatap ilusi belaka, demikian segala sesuatu selalu menganadung penderitaan. Oleh karena itu pergunakan konsep kesederhanaan; mintalah segala sesuatu itu secukupnya. Konsep inilah yang kemudian mempengaruhi estetika Buddhisme yang lebih menekankan pada estetika estetika kesederhanaan. Segala sesuatu itu buatlah seminimal mungkin dan bersahaja. Maka jarang dijumpai estetika ‘kerumitan’ didalam konsep estetika Buddha.Buddha selalu menekankan bahwa manusia itu tidak memiliki kepribadian atau ego, kita tidak memiliki diri kita sendiri; kita adalah penderitaan (Agus Sachari, 1989).

Buddhisme kemudian berkembang subur di Jepang. Hal ini kemudian ternyata cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan esrtetika.  Terbukti bahwa di Jepang; hal-hal yang bersifat cemerlang, meriah, kengerian hamper tak pernah dijumpai. Estetika Jepang mengabdi pada kelembutan dan bersahaja.

I-Ching filsuf Cina Tiongkok, bahwa sumber segala eksistensi dan transformasi dalam semesta adalah Yin dan Yang. Yin adalah sesuatu yang tertutup dan tak diketahui, dan Yang adalah sesuatu yang terbuka. Yin mewakili bumi, malam, bulan, betina, air, pasir, lemah, susah, dan seterusnya…, sedangkan Yang mewakili langit, matahari, siang, gembira, jantan, api, aksi, kuat, dan seterusnya… Simbol Yin dan Yang mengandung filsafat hidup manusia, bagian putih mengandung Yang, bagian hitam mengandung Yin, keduanya lebih bersifat saling mengisi dan saling membantu daripada saling bertentangan. Didalam Yang ada titik Yin, dan didalam Yin ada titik Yang. Titik ini memiliki daya yang luar biasa yaitu adanya kontradiksi; artinya tiada yang seluruhnya baik atau jahat. Tiada seluruhnya indah dan buruk.

 

Pengaruh Gong Kebyar Pada Barungan Gamelan Lain Yang Sudah Ada Sebelumnya

Senin, April 9th, 2018

BAB I

PENDAHULUAN

 

Gong Kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari Gong Gede, memakai laras pelog lima nada, yaitu : nding, ndong, ndeng, ndung, ndang. Yang awal mulanya tidak mempergunakan instrumen terompong.Selanjutnya Gong Kebyar dapat diartikan suatu barungan gamelan gong yang didalam permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi dan tempo. Ketrampilan mengolah melodi dengan berbagai variasi permainan dinamika yang dinamis dan permainan tempo yang diatur sedemikian rupa serta didukung oleh teknik permainan yang cukup tinggi sehingga dapat membedakan style  Gong Kebyar yang satu dengan yang lainnya.

Dalam tulisan-tulisan mengenai gamelan bali terdahulu secara umum telah dikemukakan oleh masing-masing penulisnya bahwa gamelan gong kebyar ini baru muncul pada permulaan abad XX, yang pertama kali diperkirakan muncul di daerah Bali Utara tepatnya sekitar tahun 1915 di desa Jagaraga.

Setelah ditelusuri lebih mendalam, didapatkanlah beberapa data yang dapat dijadikan suatu pegangan guna mengetahui asal mula dari pada gamelan gong kebyar ini. Informasi pertama datangnya dari Bapak I Nyoman Rembang seorang guru karawitan pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia ( SMKI ) Denpasar yang dulunya bernama KOKAR Bali, mengatakan bahwa berdasarkan hasil wawancaranya dengan Bapak I Gusti Bagus Sugriwa yang berasal dari desa Bungkulan Buleleng mengatakan bahwa lagu-lagu gong kebyar diciptakan pertama kali oleh I Gusti Nyoman Panji di desa Bungkulan pada tahun 1914 dan ketika itu dicoba untuk ditarikan oleh Ngakan Kuta yang berdomisili di desa Bungkulan. Informasi ini menunjukan bahwa pada tahun 1914 di desa Bungkulan telah diciptakan lagu-lagu kekebyaran.Hanya saja belum diketahui bagaimana bentuk lagu kebyar yang diciptakan ketika di Bungkulan itu dan bagaimana pula bentuk gamelan gong kebyar yang telah menampilkan motif-motif kekebyaran itu.

BAB II

PEMBAHASAN

 

Pengaruh gong kebyar terhadap gamelan Bali yang lainnya nampaknya tidak dapat dilepaskan dengan teori akulturasi budaya.Kendatipun masih dalam satu cabang seni yakni seni pertunjukan, akulturasi budaya nampaknya menjadi sebuah fenomena distorsi budaya dengan tanpa membuang budaya aslinya.Ada beberapa segi yang bisa diamati untuk melihat pengaruh gamelan Gong Kebyar terhadap gamelan lainnya yaitu reportoar, ungkapan musikal, motif lagu, dan tata penyajian. Hal itu merupakan bentuk nyata konsep stratifikasi yang relasinya dengan sudut pandang diatas adalah stratifikasi itu tidak hanya terjadi didalam susunan sebuah masyarakat, akan tetapi juga terjadi dalam sebuah barungan gong kebyar beserta kesemua unsurnya. Baik itu unsur fisik, maupun unsur non-fisik.

Beberapa jenis gamelan yang akan dijadikan contoh nyata akulturasi Budaya adalah gamelan Agklung, Joged Bumbung, Gong Gede, dan Smar Pegulingan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode komparasi yaitu mengamati adanya kesamaan unsur, terutama ekspresi musikal, antara gamelan gong kebyar dengan gamelan Bali lainnya yang dipengaruhinya.

Barungan gamelan Gong Kebyar adalah sebuah barungan yang terdiri dari 30-40 buah instrument, dimana instrument-instrumen ini kebanyakan instrument berupa alat-alat perkusif atau alat-alat pukul. Gamelan Gong Kebyar ini memiliki sepuluh bilah gamelan yang berlaraskan pelog lima nada, susunan nada-nada yang terdapat didalam gamelan gong kebyar adalah nada ndong, ndeng, ndung, ndang, nding, ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Instrumen-instrumen dalam gamelan Gong Kebyar yang termasuk kelompok instrumen yang di pukul seperti :
–    Gong
–    Kempur
–    Terompong
–    Giying
–    Pemade
–    Kantil
–    Penyacah
–    Jublag
–    Jegogan
–    Reyong
–    Kajar
–    Kemong
–    Bende
–    Kempli dan sebagainya,
Instrument-instrumen tersebut diatas masing-masing memiliki jenis-jenis pukulan satu sama lain baik itu menggunakan tangan langsung ataupun menggunakan alat-alat tabuh atau yang sering disebut dengan panggul. Teknik-teknik pukulan tersebut dapat menimbulkan bunyi dan warna suara yang berbeda antara satu dan yang lainnya.
Gamelan Gong Kebyar yang baru muncul pada permulaan abad ke 20 pada dewasa ini sudah mampu mengalahkan gamelan bali lainnya yang sudah ada sebelumnya. Perkembangan yang begitu pesat dari pada gamelan gong kebyar ini ternyata membawa pengaruh yang cukup besar, tidak hanya terhadap jenis gamelan bali akan tetapi juga terhadap jenis seni pertunjukan bali lainnya. Dalam tabuh-tabuh gamelan gong kebyar itu sendiri dalam perkembangannya dari fase ke fase berikut juga telah banyak terjadi pembaharuan – pembaharuan sesuai dengan selera masyarakat pendukungnya.
Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa sebelum munculnya gamelan gong kebyar dibali sudah hidup dan berkembang berbagai jenis gamelan bali yang masing-masing mempunyai bentuk barungan serta fungsi tersendiri didalam kehidupan social dan agama di kalangan masyarakat. Dari barungan gamelan-gamelan itu ada yang merupakan barungan gamelan yang besar seperti : gemelan Gong Gede, gamelan Pelegongan, gamelan semar pagulingan dan lain sebagainya dan ada juga yang merupakan barungan kecil seperti : gamelan Geguntangan, gamelan Gambang, gamelan Bebonangan dan lain-lainnya. Masing-masing jenis gamelan tersebut memiliki suatu sisitim permainan yang berbeda satu sama lain, memiliki suasana yang berbeda-beda serta bahan instrumennya pun berbeda.
Dengan adanya kekhasan pada masing-masing gamelan Bali ini membuat para penikmatnya mendapat kesan yang berbeda-beda pula manakala mendengarkan lagu-lagu dari masing-masing jenis gamelan Bali ini. Munculnya gamelan gong kebyar dan kemudian berkembang dengan pesatnya hampir ke seluruh pelosok bali bahkan kini sudah sampai keluar bali/ diluar negeri, ternyata akhirnya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan gamelan bali yang sudah ada sebelum gamelan gong kebyar ini. Pengaruh-pengaruh dari pada gamelan gong kebyar ini tidak hanya tampak pada segi teknik permainan, dinamika dan tempo lagu akan tetapi juga dalam segi instrumentasi dengan segala perubahan-perubahan (peleburannya).
Gamelan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Gong Gede yang merupakan barungan gamelan Bali yang ikut membentuk Gong Kebyar ini kemudian menjadi berbalik kemasukan pengaruh Gong Kebyar. Gender Wayang yang semula sangat menonjolkan sistim gegenderan (ubit-ubitan), semar pegulingan disana yang sudah biasa dengan bentuk lagunya yang tenang namun sekarang sudah ikut ngebyar sehingga rasa lagu yang ditimbulkan menjadi sama dengan rasa kekebyaran. Dinamika gamelan gong kebyar dengan perubahan tempo cepat-lambat dilakukan secara kompak oleh seluruh instrument dalam barungan gong kebyar kini sudah diterapkan pula pada barungan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain-lainnya.
Gamelan Geguntangan atau Pengarjaan yang semula sangat menonjolkan jalinan yang rapat antara dua buah guntang, dua kendang kecil yang diikat oleh instrument suling kini sudah menampilkan system kekebyaran sekalipun dengan mempergunakan alat gamelan yang memang telah ada dalam geguntangan. Gamelan Angklung, Joged Bumbung, tingklik gebyoh kini sudah biasa dengan ngebyar dang ending-gendingnya pun banyak yang mengam bil gending-gending dalam barungan gamelan gong kebyar. Dalam hal instumentasi jenis-jenis gamelan Bali itu sudah hidup sebelum munculnya gamelan Gong Kebyar ini sangat banyak yang terkena pengaruh dari Gong Kebyar. Sudah cukup banyak gamelan-gamelan yang lainnya yang dilebur menjadi barungan gamelan gong kebyar yang mengakibatkan jumlah barungan Gong Kebyar semakin bertambah dan jumlah barungan gamelan Gong Gede, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain sebagainya semakin berkurang. Selain itu banyak para banjar atau desa yang dengan segala upayanya membeli barungan gamelan gong kebyar sekalipun sesungguhnya banjar atau desa tersebut masih memiliki barungan gamelan Bali yang lainnya.Munculnya gamelan angklung kebyar, Gong Suling adalah juga sebagai ukuran berrpa besarnya pengaruh munculnya gamelan gong kebyar.

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Gong Kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari Gong Gede, memakai laras pelog lima nada, yaitu : nding, ndong, ndeng, ndung, ndang. Yang awal mulanya tidak mempergunakan instrumen terompong.Selanjutnya Gong Kebyar dapat diartikan suatu barungan gamelan gong yang didalam permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi dan tempo.

Gong kebyar memiliki pengaruh besar terhadap barungan gamelan lainnya di Bali, mulai dari gayanya (yang menonjolkan kesan dinamis, cepat dan penuh semangat) , hingga wujud fisik gamelannya(relief ukiran, bentuk pelawah,dll). Karena besarnya pengaruh Gong Kebyar di Bali, banyak gamelan-gamelan yang lainnya yang dilebur menjadi barungan gamelan gong kebyar yang mengakibatkan jumlah barungan Gong Kebyar semakin bertambah dan jumlah barungan gamelan Gong Gede, Semar Pagulingan, Pelegongan dan lain sebagainya semakin berkurang.

Gamelan Gender Wayang, Semar Pagulingan, Gong Gede yang merupakan barungan gamelan Bali yang ikut membentuk Gong Kebyar ini kemudian menjadi berbalik kemasukan pengaruh Gong Kebyar. Gender Wayang yang semula sangat menonjolkan sistim gegenderan (ubit-ubitan), semar pegulingan disana yang sudah biasa dengan bentuk lagunya yang tenang namun sekarang sudah ikut ngebyar sehingga rasa lagu yang ditimbulkan menjadi sama dengan rasa kekebyaran.

 

 

DEFINISI KEBUDAYAAN MENURUT BEBERAPA AHLI

Senin, April 9th, 2018
  1. Ki Hajar Dewantara: “Kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat”
  2. Koentjaraningrat, guru besar Antropologi di Universitas Indonesia: “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”.
    1. Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
    2. Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
    3. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
    4. R. Linton (The Cultural Background of Personality) Kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
    5. Melville J. Herskovits, Kebudayaan adalah “ Man made part of the environment “ (bagian dari lingkungan manusia).
    6. Dawson (Age of The Gods), Kebudayaan adalah cara hidup bersama (culture is common way of life).
    7. V.H. Deryvendak, Kebudayaan adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.
    8. Sultan Takdir Alisyahbana, Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berfikir
    9. Dr. Moh. Hatta, Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa
    10. Mangunsarkoro, Kebudayaan adalah segala yang bersifat hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang seluas-luasnya
    11. Drs. Sidi Gazalba, Kebudayaan adalah cara berfikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dengan suatu ruang dan suatu waktu.
    12. 14.  Larry A. Samovar & Richard E. Porter, Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi.
    13. 15.  Levo – Henriksson, Kebudayaan meliputi semua aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup – apapun bentuknya – baik itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat.
    14. 16.  Rene Char, Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat.
    15. 17.  C. A. Van Peursen, Kebudayaan merupakan gejala manusia dari kegiatan berfikir (mitos, ideology, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.
    16. 18.  Dr. K. Kupper, Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
    17. William H. Haviland, Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.
    18.  M. Jacobs dan B.J. Stern,Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.
    19. Francis Merill, Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi social Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.
    20. Bounded et.al , Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.
    21. Mitchell (Dictionary of Soriblogy), Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar di alihkan secara genetikal.
    22. Robert H Lowie, Kebudayaan adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.
    23. Arkeolog R. Seokmono, Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.
    24. Malinowski mengatakart bahwa kebudayaan merupakan kesatuan dari dua aspek fundamental, kesatuan pengorganisasian yaitu tubuh artifak dan sistem adat istiadat.
    25. Clifford geertz, mnegartikan kebudayaan sebagai sebuah sistem berupa konsepsi-2 yang diwariskan dalam bentuk simbolik sehingga dengan cara ini manusia mampu berkomunikasi, melestarikan, mengembangkan pengetahuan serta sikapnya terhadapkehidupan.
    26. Ralph L. Beals dan Harry Hoijer menyatakan konsep kebudayaan ialah mengenal pasti kelakuan yang biasa dipraktikkan, diperolehi melalui pembelajaran oleh sesuatu kumpulan masyarakat.
    27. Lucy Mair menyatakan bahawa kebudayaan ialah milik bersama sesuatu masyarakat yang mempunyai tradisi yang sama.
    28. Djojodigono memberikan defenisi mengenai kebudayaan dengan mengatakan kebudayaan itu adalah daya dari budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa.
    29. Ralph Linton ( 1839-1953 ) memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu “ Man’s social heredi “ yang artinya sifat social yang dimiliki oleh manusia secara turun temurun.
    30. J.P.H. Dryvendaf memberikan pendapat mengenai definisi kebudayaan, bahwa kebudayaan itu adalah kumpulan dari letusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam berlaku dalam suatu mansyarakat tertentu.
    31. W.H.Kelly memberikan sebuah definisi bahwa kebudayaan itu adalah sebuah pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.
    32.  Hofstede (1984) menjelaskan budaya adalah “pemrograman kolektif terhadap pikiran yang membedakan antara kelompok satu dengan lainnya.”
    33. kroeber dan Kluckhohn Budaya terdiri dari pola, eksplisit dan implisit, dan untuk perilaku yang diperoleh dan dan ditularkan oleh simbol, yang merupakan prestasi khas dari kelompok manusia, termasuk perwujudan mereka di artefak, inti penting dari budaya terdiri dari tradisional (yaitu historis berasal dan dipilih) ide-ide dan terutama nilai-nilai yang melekat mereka, sistem kultur dapat, di satu sisi, dianggap sebagai produk dari tindakan, di sisi lain sebagai elemen pengkondisian tindakan lebih lanjut.
    34. Edward said: Kebudayaan adalah satu cara perjuangan melawan pemusnahan dan pelenyapan. Kebudayaan adalah suatu bentuk ingatan melawan penghapusan.
    35. FUAD HASSAN, 1998. Kebudayaan adalah suatu kerangka acuan bagi perikehidupan suatu masyarakat yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas.
    36. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
    37. C. Wisser, A.Davis & A. Hoebel, mereka semua mengartikan kebudayaan sebagai “Perbuatan yang pada dasarnya merupakan insting selanjutnya dimodifikasi / diperbaharui dan dikembangkan melalui suatu proses belajar”
    38. Harjoso, mengemukakan inti kebudayaan adalah 1. Kebudayaan yang terdapat didalam masyarakat berbeda antara satu dengan yang lain 2. Kebudayaan itu dapat diteruskan dan dapat diajarkan 3. Kebudayaan itu terjabarkan dari komponen-komponen biologis, psikologis, dan sosiologis dari eksistensi/keberadaan manusia. 4. Kebudayaan itu berstruktur atau mempunyai cara atau aturan tertentu 5. Kebudayaan terbagi atas berbagi aspek-aspek baik itu social, psikologis 6. Kebudayaan itu bersifat dinamis atau selalu berubah 7. Nilai-nilai dalam kebudayaan itu bersifat relative atau antara masyarakat yang satu berbeda dengan denga masyarakat yang lain
    39. Roucek & Warren, Kebudayaan itu terwujud bukan hanya seni tetapi juga terwujud dalam benda-benda yang terdapat disekeliling maupun yang dibuat oleh manusia, jadi menurut Roucek dan Warren Kebudayaan adalah ”cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunannya dan mengatur pengalaman sosialnya”.
    40. Abdul Syani, mengemukakan tiga hal yang terkandung dalam kebudayaan yakni : kebudayaan hanya dimiliki oleh masyarakat manusia, kebudayaan itu diturunkan melalui proses belajar dari tiap individu, kebudayaan merupakan pernyataan perasaan dan pikiran manusia”.
    41. Sukidin, Basrowi & Agus Wijaka, mendefenisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar.
    42. Bekker mengartikan kebudayaan sebegai penciptaan, penerbitan dan pengolahan nilai- nilai insani/manusiawi, tercakup didalamnya usaha membudayakan bahan alam mentah serta hasilnya dimana hal ini dapat dilihat dari hasil kerajinan.
    43. Haji Agus Salim, kebudayaan adalah merupakan persatuan istilah budi dan daya menjadi makna sejiwa dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
    44. Elwood Menyatakan bahwa kebudayaan itu mencakup benda-benda material dan spiritual, yang pada kedua-duanya diperoleh dalam interaksi kelompok atau dipelajari dalam kelompok, kebudayaan mencakup kekuatan untuk menguasai alam dan dirinya sendiri.
    45. Edward Spranger, Kebudayaan sebagai segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat. Sedangkan peradaban ialah perwujudan kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya.
    46. Raymond Williams (1961: 16) Budaya adalah seluruh kehidupan, materi, intelektual, dan spiritual
    47. Larson dan Smalley (1972: 39)Kebudayaan sebagai “blue print” yang memandu perilaku orang dalam suatu komunitas dan diinkubasi dalam kehidupan keluarga. Ini mengatur perilaku kita dalam kelompok, membuat kita peka terhadap masalah status, dan membantu kita mengetahui apa tanggung jawab kita adalah untuk grup. budaya yang berbeda struktur yang mendasari yang membuat bulat bulat masyarakat dan komunitas persegi persegi.
    48. Nostrand (1989: 51)Mendefinisikan budaya sebagai sikap dan kepercayaan, cara berpikir, berperilaku, dan mengingat bersama oleh anggota komunitas tersebut.
    49. Richard brisling (1990: 11) Kebudayaan sebagai mengacu pada cita-cita bersama secara luas, nilai, pembentukan dan penggunaan kategori, asumsi tentang kehidupan, dan kegiatan goal-directed yang menjadi sadar tidak sadar diterima sebagai “benar” dan “benar” oleh orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota masyarakat.
    50. Croydon (1973: 4),Budaya adalah suatu sistem pola terpadu, yang sebagian besar berada di bawah ambang batas kesadaran, namun semua yang mengatur perilaku manusia sepasti senar dimanipulasi dari kontrol boneka gerakannya.
    51. Effat al-Syarqawi yang mengartikan kebudayaan sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan waktu
    52. Parsudi Suparlan Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya
    53. Wallace, Kebudayaan adalah perilaku yang memiliki kemungkinan tertinggi dalam suatu masyarakat.
    54. Lorenz K :Jenis tradisi di mana simbol diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan pembelajaran sosial.
    55. Kamus Ilmu Sosial, Kebudayaan adalah Totalitas perilaku yang dipelajari diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
    56. J. Lewis, Kebudayaan adalah Semua yang diturunkan secara sosial dalam suatu masyarakat
    57. M. Harris, Kebudayaan adalah sebuah cara hidup
    58. Ensiklopedi Indonesia (1982) Kebudayaan merupakan istilah untuk menunjukkan segala hasil karya manusia yang berkaitan erat dengan pengungkapan bentuk.
    59. Ensiklopedi Nasional Indonesia (1990), Kebudayaan adalah himpunan keseluruhan dari semua cara manusia berpikir, berperasaan, dan berbuat, serta segala sesuatu yang dimiliki manusia sebagai anggota masayarakat, yang dapat dipelajari, dan dialihkan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
    60. Geza Roheim mengatakan bahwa Kebudayaan itu senantiasa berkaitan dengan latar belakang masa kanak-kanak seseorang yang terlambat dan berfungsi sebagai keamanan diri. Mekanisme kebudayaan manusia serupa Jaringan-jaringan yang maha besar dari percobaan-percobaan yang kurang lebih berhasil untuk melindungi kemanusiaan dari kehilangan sesuatu.
    61. White (1862) mengartikan kebudayaan sebagai tingkah laku yang dipelajari
    62. Ibnu khaldun : kebudayaan adalah kondisi-kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan
    63. Fizee (1982) memberi batasan pengertian dan cakupan kebudayaan sebagai berikut: Kebudayaan dapat bererti: (1) Tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu tempoh sejarah bangsa di puncak perkembangannya; (2) Hasil yang dicapai sesuatu bangsa dalam lapangan kesusastraan, falsafah, ilmu pengetahuan dan kesenian; (3) Dalam pembicaraan politik, kebudayaan diberi erti sebagai way of life sesuatu bangsa, terutama dalam hubungannya dengan adat istiadat, upacara keagamaan, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat. (https://coretanandrea.wordpress.com/2013/11/03/definisi-kebudayaan-menurut-beberapa-ahli/)

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. (https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya)

Unsur-Unsur Filsafat Seni Yang Terdapat Pada Tari Legong Raja Cina

Senin, April 9th, 2018

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

            Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari Gambuh. Kata Legong berasal dari kata “leg” yang berarti gerak tari yang luwes atau lentur dan “gong” artinya Gamelan. “Legong” dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi Tari Legong klasik adalah Gamelan Palegongan. Adapun berbagai jenis tari Legong di Bali antara lain: Legong Keraton, Legong Jobog, Legong Legod Bawa,  Legong Kuntul, Legong Sudarsana, Legong Raja Cina, dan banyak legong kreasi yang diciptakan oleh koreografer-koreografer masa kini.

Legong Raja Cina merupakan hasil akulturasi kebudayaan Bali dan Cina. Legong Raja Cina menceritakan tentang kehidupan rumah tangga antara Raja Sri Jaya Pangus dan Putri Kang Cin Hui yang tidak dikaruniai keturunan. Akhirnya Sri Jaya Pangus bertapa di Gunung Batur untuk memohon keturunan dan bertemu dengan Dewi Danu dan terpikat, hubungan Raja Sri Jaya Pangus dengan Dewi Danu melahirkan seorang anak. Singkat cerita, Kang Cin Hui cemas ketika mengetahui Sri Jaya Pangus sudah lama tidak kembali ke istanaya di Balingkang, lalu Kang Cin Hui mempunyai inisiatif untuk mencari keberadaan sang suami ke gunung Batur dan akhirnya mereka di sebuah hutan di Gunung Batur. Kang Cin Hui merasa sedih sekaligus senang dikarenakan Sri Jaya Pangus pergi meningkalkannya terlalu lama, di hutan terebut terjadilah suatu adegan romans. Terkejut akan melihat Sri Jaya Pangus dan Kang cin Hui ber romans, Dewi Danu merasa murka karena sang suami bercumbu dengan wanita lain yang notabene itu adalah istri Sri Jaya Pangus yang sebenarnya. Saking murkanya, Dewi Danu membinasakan Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Hui dengan mata ketiganya dan menjadikan keduanya menjadi abu.

Ketika rakyat Bali tahu bahwa Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Hui dimusnahkan, dimohonkanlah kepada Dewi Danu agar Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Hui dibangkitkan kembali karena mereka dikenal sebagai raja yang baik oleh rakyatnya. Akhirnya Dewi Danu mengabulkan permintaan rakyat Bali namun Sri jaya pangus dan Putri Kan Cing Hui dibangkitkan dalam wujud Barong Landung agar tetap dipuja oleh masyarakat Bali.

Legong Raja Cina sangat memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Dalam tarian ini kita diajarkan bahwa akulturasi budaya itu sudah ada sejak dahulu, akulturasi budaya ini mengajarkan kita arti kebersamaan tanpa memandang suku, ras, agama dan kelompok antar golongan.

 

I.2 Rumusan Masalah

I.2.1 Apa pengertian filsafat seni?

I.2.2 Bagaimana unsur filsafat seni dalam tari Legong Raja Cina?

I.2.3 Bagaimana iringan tari Legong Raja Cina?

 

 

I.3 Tujuan

            I.3.1 Mengetahui apa itu filsafat seni.

I.3.2 Mengetahui unsur filsafat seni dalam tari Legong Raja Cina.

I.3.3 Mengetahui iringan tari Legong Raja Cina.

 

I.4 Manfaat

Mencoba memberikan pendapat terhadap unsur-unsur filosofis yang terdapat pada tari Legong Raja Cina kepada para pembaca paper yang saya tulis.

BAB II

PEMBAHASAN

 

II.1 Pengertian Filsafat Seni.

                   Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Jadi, dalam filsafat objeknya tidak membatasi diri. Dalam filsafat membahas objeknya untuk sampai kedalamnya, sampai keradikal dan totalitas.

Cabang dari filsafat adalah estetika. Estetika membahas tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman dan keindahan. Dalam hal ini apa yang disebut seni itu baru ‘ada’ kalau terjadi dialog saling memberi dan menerima antara subjek seni (penanggap) dengan subjek seni (benda seni). Seni itu dikatakan indah tergantung dari penanggap seni. Tidak semua orang menganggap seni yang ia lihat itu selalu indah.

Esterika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam dan seni. Sedangkan filsafat seni hanya merupakan bagian estetika yang khusus membahas karya seni. Estetika adalah bagian dari filsafat. Dalam studi filsafat, estetika digolongkan dalam persoalan nilai, atau filsafat tentang nilai, sejajar dengan nilai etika.

Studi estetika seagai filsafat yang bersifat spekulatif, mendasar, menyeluruh dan logis ini. Filsafat seni bersangkutan dengan masalah-masalah konseptual yang muncul dari pengertian kita tentang seni. Pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini akan diajukan dalam filsafat seni: Bagaimana seni didefinisikan? Apa yang membuat karya seni itu indah, menarik, jelek? Bagaimana kita meanggapi sebuah karya seni? Apakah sebuah ungkapan artistik merupakan bentuk ungkapan yang unik? Apakah seni menyingkapkan kebenaran tentang segala sesuatu? Mengapa manusia menciptakan karya-karya seni?

 

II.2 Unsur Filsafat dalam tari Legong Raja Cina

Narasumber: Anak Agung Oka Ariwangsa

Legong Raja Cina merupakan hasil akulturasi kebudayaan Bali dan Cina. Tarian ini diciptakan untuk mengingat hubungan antara Bali dan Cina dalam bentuk tari Legong. Tari Legong Raja Cina ini diperkirakan sudah pernah ada, dan ditafsirkan tarian ini ada sejak tahun 1930-an. Ini bisa dilihat dari penarinya sudah 3 orang, kalau kurang dari 3 orang maka tidak akan bisa menarikan Legong Raja Cina tersebut, itupun ditafsirkan setelah rekonstruksi berjalan.

Alm. Ayahanda bp.Anak Agung Oka Ariwangsa mengatakan waktu itu masih ada 2 legong yang belum direkonstuksi, yaitu Legong Brahmara dan Legong Raja Cina. Namun rekonstruksi waktu itu tidak bisa berjalan dikarenakan Alm. Ayahanda bapak Anak Agung Oka Ariwangsa meninggal dunia, tetapi Anak Agung Oka Ariwangsa tetap bersikukuh untuk merekonstruksi Legong terebut karena Legong tersebut dulunya pernah ada.

Akhirnya Anak Agung Oka Ariwangsa melakukan penelitian, mencari informasi-informasi mengenai apa itu “Raja Cina”. Beberapa orang sudah sempat ditanyakan tentang Raja Cina seperti Bapak Padang, Bapak Suwe, Bapak Sinti dan banyak lagi ternyata mereka tidak mengetahui tentang keberadaan Legong Brahmara dan Legong Raja Cina. Namun, suatu ketika Anak Agung Oka Ariwangsa bertemu dengan Bapak Berata dan ditanyakanlah “apa Bapak memiliki Gending/Tabuh Raja Cina?”. Lalu P.Berata menjawab ada sebuah buku pemberian dari Agung Aji Griya yang berisikan tentang gending Raja Cina, Anak Agung Oka Ariwangsa memutuskan untuk pergi kerumah P.Berata untuk meminjam buku tersebut dan memutuskan untuk mengadakan rekonstruksi.

Namun di buku yang didapat dari P.Berata hanya berisikan gending Pengawak dan sedikit gending Pengecet, bagian-bagian yang lain dikarang oleh Anak Agung Oka Ariwangsa. Analisis cerita serta penentuan tokoh-tokohnya Anak Agung Ariwangsa Menanyakan kepada P.Dibya dan P.Bandem, namun sayangnya beliau tidak begitu mengetahui tentang keberadaan Legong Raja Cina ini, beliau hanya memberi semangat kepada Anak Agung Oka Ariwangsa untuk merekonstruksi Legong Raja Cina tersebut.

Legong Raja Cina menceritakan tentang kehidupan rumah tangga antara Raja Sri Jaya Pangus dan Putri Kang Cin Hui yang tidak dikaruniai keturunan. Akhirnya Sri Jaya Pangus bertapa di Gunung Batur untuk memohon keturunan.Setelah sekian lama bertama akhirnya Sri Jaya Pangus bertemu dengan Dewi Danu, Sri Jaya Pangus terpikat akan kecantikan Dewi Danu, setelah terjadi hubungan layaknya suami dan istri hubungan Raja Sri Jaya Pangus dengan Dewi Danu melahirkan seorang anak bernama Mayadenawa.

Kang Cin Hui cemas ketika mengetahui Sri Jaya Pangus sudah lama tidak kembali ke istanaya di Balingkang, lalu Kang Cin Hui mempunyai inisiatif untuk mencari keberadaan sang suami ke gunung Batur dan akhirnya mereka di sebuah hutan di Gunung Batur. Kang Cin Hui merasa sedih sekaligus senang dikarenakan Sri Jaya Pangus pergi meningkalkannya terlalu lama, di hutan terebut terjadilah suatu adegan romans. Terkejut akan melihat Sri Jaya Pangus dan Kang cin Hui ber romans, Dewi Danu merasa murka karena sang suami bercumbu dengan wanita lain yang notabene itu adalah istri Sri Jaya Pangus yang sebenarnya. Saking murkanya, Dewi Danu membinasakan Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Hui dengan mata ketiganya dan menjadikan keduanya menjadi abu.

Setelah itu seluruh rakyat Bali yang mendengar peristiwa itu memohon kepada Dewi Danu agar menghidupkan kembali rajanya yang dinilai baik hati kepada rakyatnya. Lalu Dewi Danu mewujudkan keinginan rakyat Bali menghidupkan Sri Jaya Pangus dan Putri Kang Cin Hui menjadi Barong Landung agar tetap dipuja oleh semua masyarakat Bali.

Ayahanda Anak Agung Oka Ariwangsa pernah berkata bahwa Legong Raja Cina ini menceritakan tentang Raja Bali menikah dengan Putri Cina, itu saja kalimat beliau. Lalu kata itulah yang dipakai pedoman oleh Anak Agung oka Ariwangsa untuk mencari cerita yang dimaksud oleh Ayahanda Anak Agung Oka Ariwangsa. Dan akhirnya Anak Agung Oka Ariwangsa menemukan cerita yang dimaksud oleh Ayahandanya lalu di analisa, dipelajari bagaimana peran-peran tokoh dalam cerita tersebut, lalu dibuatkan struktur dan gendingnya dengan menambahkan gending Pengawak dan Pengecet yang didapat dari buku milik P.Berata. Setelah semua itu dirasa sudah rampung, akhirnya Anak Agung Oka Ariwangsa mulai mengadakan proses latihan untuk tampil di Taman Budaya Art Center Denpasar. Pada saat pentas audien sangat mengapresiasi pertunjukan Legong Raja Cina tersebut dan banyak pula yang memberikan saran yang membangun, dan akhirnya lahirlah Legong Raja Cina dalam bentuk rekonstruksi.

Dari hal diatas dapat kita maknai, mengapa seniman terdahulu menciptakan Legong Raja Cina? Sang seniman ingin memberikan pesan bahwa kita harus menghormati, menghargai, memaknai nilai-nilai akulturasi budaya Bali dan Cina. Raja Bali yang pernah menikah dengan Putri Cina diiwujudkan dalam bentuk Barong Landung yaitu Jero Wayan dan Jero Luh.

 

II.3 Iringan tari Legong Raja Cina.

Tari Legong Raja Cina pada penciptaannya dahulu menggunakan Gamelan Palegongan. Gamelan Palegongan merupakan seperangkat gamelan Bali yang tergolong dalam gamelan barungan Madya. Gamelan Palegongan merupakan barungan gamelan Bali hasil pengembangan dari gamelan Gambuh. Dalam lontar Catur Muni-Muni, gamelan palegongan disebutkan dengan nama Semara Petangian. Instrumentasi Gamelan palegongan ini terdiri dari: 2 buah kendang Krumpungan, 2 tungguh gender rambat, 2 tungguh gender rambat kantilan, 4 tungguh gangsa jongkok, 4 tungguh gangsa pemade, 4 tungguh gangsa kantilan,2 tungguh jublag, 2 tungguh jegogan, 1 instrumen kempur, 1 instrumen klenang, 1 instrumen kajar krenteng, 1 instrumen gentorag dan 1 instrumen kecek. Gamelan Palegongan memiliki 5 nada pokok dalam tiap tungguh gangsanya, nada yang digunakan berlaraskan Pelog, maka dari itu gamelan Palegongan disebut gamelan Pelog saih 5 (lima). Namun pada saat pementasan di PKB tarian Legong Cina ini diiringi dengan barungan gamelan Semara Pegulingan karena tari Legong Raja Cina saat itu dipentaskan pada event parade Semara Pegulingan.

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Jadi, dalam filsafat objeknya tidak membatasi diri. Dalam filsafat membahas objeknya untuk sampai kedalamnya, sampai keradikal dan totalitas. Studi estetika seagai filsafat yang bersifat spekulatif, mendasar, menyeluruh dan logis ini. Filsafat seni bersangkutan dengan masalah-masalah konseptual yang muncul dari pengertian kita tentang seni.

Legong Raja Cina menceritakan tentang kehidupan rumah tangga antara Raja Sri Jaya Pangus dan Putri Kang Cin Hui yang tidak dikaruniai keturunan. Akhirnya Sri Jaya Pangus bertapa di Gunung Batur untuk memohon keturunan. Setelah sekian lama bertama akhirnya Sri Jaya Pangus bertemu dengan Dewi Danu, Sri Jaya Pangus terpikat akan kecantikan Dewi Danu, setelah terjadi hubungan layaknya suami dan istri hubungan Raja Sri Jaya Pangus dengan Dewi Danu melahirkan seorang anak bernama Mayadenawa.

Kang Cin Hui cemas ketika mengetahui Sri Jaya Pangus sudah lama tidak kembali ke istanaya di Balingkang, lalu Kang Cin Hui mempunyai inisiatif untuk mencari keberadaan sang suami ke gunung Batur dan akhirnya mereka di sebuah hutan di Gunung Batur. Kang Cin Hui merasa sedih sekaligus senang dikarenakan Sri Jaya Pangus pergi meningkalkannya terlalu lama, di hutan terebut terjadilah suatu adegan romans. Terkejut akan melihat Sri Jaya Pangus dan Kang cin Hui ber romans, Dewi Danu merasa murka karena sang suami bercumbu dengan wanita lain yang notabene itu adalah istri Sri Jaya Pangus yang sebenarnya. Saking murkanya, Dewi Danu membinasakan Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Hui dengan mata ketiganya dan menjadikan keduanya menjadi abu.

Setelah itu seluruh rakyat Bali yang mendengar peristiwa itu memohon kepada Dewi Danu agar menghidupkan kembali rajanya yang dinilai baik hati kepada rakyatnya. Lalu Dewi Danu mewujudkan keinginan rakyat Bali menghidupkan Sri Jaya Pangus dan Putri Kang Cin Hui menjadi Barong Landung agar tetap dipuja oleh semua masyarakat Bali.

Dari hal diatas dapat kita maknai, mengapa seniman terdahulu menciptakan Legong Raja Cina? Sang seniman ingin memberikan pesan bahwa kita harus menghormati, menghargai, memaknai nilai-nilai akulturasi budaya Bali dan Cina. Raja Bali yang pernah menikah dengan Putri Cina diiwujudkan dalam bentuk Barong Landung yaitu Jero Wayan dan Jero Luh.

Tari Legong Raja Cina pada penciptaannya dahulu menggunakan Gamelan Palegongan.