ASPEK SOSIAL BUDAYA DARI TABUH RAH

Posted April 9th, 2018 by adityawiratmaja. Comment (0).

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar belakang

Bali sebagai tujuan wisata, banyak tamu asing yang kebetulan lewat dan melihat aktifitas Tabuh Rah Tajen. Ini mungkin perlu mendapatkan penjelasan yang benar dari pemandu wisatanya, agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap tradisi Tabuh Rah Tajen ini. Maraknya sabung ayam Tajen alias gocekan diseluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena belum memahami bahwa tajen yang dibarengi judi itu dilarang dalam Agama.

Tajen adalah sebuah dari kegiatan Tabuh Rah, dimana kata tajen ini diperkirakan berasal dari kata “tajian”. Taji merupakan sejenis pisau tajam  yang meiliki dua sisi mata pisau, yang panjangnya kira-kira sejari telunjuk orang dewasa dan dipasangkan pada kaki ayam jago. Tujuan dari pemasangan “taji” ini agar ayam jago yang diadu tersebut dapat melukai lawannya sehingga ada darah yang menetes ke tanah. Tetesan darah inilah yang disebut “tabuh rah” yang artinya ritual menebarkan darah suci.

“Tajen” merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau prang sata dalam masyarakat Hindu Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah menetes sebagai simbol atau syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan atau keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.

Hal ini merasa merasa menarik untuk saya teliti karena adanya sumber atau literatur yang pasti, maka dari itu saya mengangkat Tabuh Rah sebagai judul dari makalah yang saya buat ini.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Apa itu Tabuh Rah ?
  2. Bagaimana dampak pengaruh Tabuh Rah terhadap kehidupan sosial masyarakat ?

 

1.3 Tujuan

  1. Untuk mengetahui tentang Tabuh Rah di Bali.
  2. Untuk mengetahui dampak pengaruh Tabuh Rah terhadap kehidupan sosial masyarat.

1.4 Manfaat

Dengan melakukan penelitian ini saya harap pembaca bisa mengetahui apa itu Tabuh Rah, dan bisa mengetahui dampak pengaruh Tabuh Rah terhadap sosial masyarakat.

 

 

BAB II

KAJIAN SUMBER

  • Pengertian Tabuh Rah

Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara. Hanya upacara-upacara pecaruan yang layak dan pantas dibarengi dengan tabuh rah. Upacara yang boleh disertai tabuh rah adalah Caru Panca Kelud, Caru Rsi Gana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Wali Krama dan Tawur Eka Dasa Rudra. Mengenai tempat dilakukannya tabuh rah adalah di tempat upacara. Yang melakukannya sang yajamana atau mereka yang menggelar upacara bersangkutan. Pakaian yang melakukan tabuh rah diwajibkan menggunakan pakaian adat. Demikian juga dengan jenis-jenis binatang yang digunakan untuk tabuh rah, yang berarti tabuh rah tidak mesti menggunakan ayam. Jenis-jenis binatang yang dijadikan korban adalah ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya. Tabuh rah tidak bisa diidentikkan dengan adu ayam jago. Pasalnya, pelaksanaan tabuh rah bisa dilakukan dengan penyamblehan atau bisa juga dengan menggelar perang satha. Jadi ketika bicara tabuh rah tidak harus diwujudkan dengan mengadu ayam sampai salah satu mengeluarkan darah atau mati. Parisada menegaskan bahwa jalan penyamblehan bisa dilakukan sebagai bentuk tabuh rah.Penyamblehan adalah cara mengeluarkan darah binatang yang kemudian ditaburkan (tabuh rah) dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit cara ini diistilahkan dengan “Menetak gulu ayam”. Kalaupun ada sebuah desa pakraman yang mengharuskan tabuh rah dalam bentuk perang satha yang berarti ada ayam yang harus diadu, Parisada Pusat sebenarnya telah menyarankan diganti dengan penyamblehan. Sekali lagi, tidak harus mengadu ayam jago. Kalaupun memang harus menggelar perang satha, ketentuan sebagai sebuah tabuh rah harus tetap diikuti. Sudah ada uger-uger yang sekaligus menjadikannya mudah dibedakan dengan aktivitas lainnya. Uger-uger tersebut, pertama, jumlah ayam yang diadu tidak boleh lebih dari tiga parahatan (telung saet). Bilangan tiga ini mengandung makna arti magis yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir.

 

  • Dasar- dasar Penggunaan Tabuh Rah.

Dasar- dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam :

    1. Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti).
    2.  Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.
    3. Prasasti Batur Abang A 933 Çaka
    4. Prasasti Batuan 944 Çaka.

Dua Lontar- lontar antara lain :

 

  1. Fungsi Tabuh Rah:

Fungsi tabuh rah adalah runtutan atau rangkaian dan upacara atau upakara agama (Yadnya).

  1. Wujud Tabuh Rah:

Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban.

  1. Sarana :
  2. Jenis- jenis binatang yang dijadikan korban yaitu : ayam, babi, itik, kerbau, dan lain- lainnya.
  3. Cara Penaburan Darah

Penaburan darah dilaksanakan dengan menyembelih, “perang satha ” (telung perahatan) dilengkapi dengan adu- aduan  kemiri, telur, kelapa, andel- andel, beserta upakaranya

  • Pelaksanaan Tabuh Rah: 
  1. Diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana.
  2. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.
  3. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan tabuh rah

 

Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya. Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang. Penjelasan- penjelasan di bawah ini:

  1. Penyambleh Adalah penaburan darah binatang korban dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit diistilahkan dengan “Menetak gulu ayam “.
  2. Perang satha Adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai symbol daripada perjuangan (Galungan) antara dharma dengan adharma.
    • Referensi Tabuh-Rah

Dasar penggunaan tabuh rah adalah prasasti- prasasti Bali Kuna dan lontar- lontar antara lain

  1. Prasasti Batur Abang A l. tahun 933 Çaka

“…………… mwang yan pakaryyakaryya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita, tan pawwata ring nayakan saksi………….”

artinya :

“………….. lagi pula bila mengadakan upacara- upacara misalnya tawur Kasanga patutlah mengadakan sabungan ayam tiga sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin tidaklah membawa (memberitahu.) kepada yang berwenang………..”

  1. Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Çaka

“………….. kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli……………”

Artinya :

“………………. adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan 3 sehet (babak) tidak meminta ijin kepada yang berwenang, dan juga kepada pengawas sabungan tidak dikenakan cukai :………”

  1. Lontar Çiwa Tattwa Purana

“ Muah ring tileming Kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang Kala Daça Bhumi, yanora samangkana rug ikang ning madhyapada ”

Artinya :

“ Lagi pula pada tilem Kasanga Aku (Bhatara Çiwa)

mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi

ini membuat persembahan masing- masing, lalu

adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari (ketika) itu beri korban (hidangan) Sang Kala Daça

Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi ….. “

  1. Lontar Yajna Prakerti

“ ……….. rikalaning reya- reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang tlung parahatan saha upakara dena jangkep…… “

Artinya :

“ …………… pada waktu hari raya, diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan Kasanga, patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet lengkap dengan upakaranya…………… “

 

BAB III

PEMBAHASAN

  •  Pengertian Tabuh Rah

Hubungan tabuh rah dengan sabung ayam terdapat pandangan semu dari masyarakat awam, bahwa tabuh rah itu sama dengan sabung ayam (tajen). Oleh karena itu sangatlah perlu pemahaman dari kedua istilah tersebut. Tabuh rah atau perangsata dalam masyarakat Hindu di Bali yaitu mensyaratkan adanya darah yang menetes sebagai symbol atau syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan, atau kelobaan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual Bhuta yadnya yang mana darah yang menetes ke Bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya. Oleh karena itu dipandang dari filosofinya, tabuh rah mengandung arti yang penting bagi upacara-upacara dalaam agama Hindu.

Kata tabuh rah merupakan kata majemuk, yaitu rangkaian dua buah kata yang memiliki satu pengertian. Adapun kata dasarnya adalah “tabuh” dan “rah” secara etimologis kata tabuh rah berasal dari kata tawur yang berarti “bayar” sedangkan rah yang berasal dari “darah”. Dengan uraian secara etimologis tersebut, maka kata tabuh rah berarti pembayaran dengan darah yang dilakukan dengan cara menaburkan darah pada tempat-tempat tertentu misalnya di pura-pura. Upacara yang boleh disertai tabuh rah adalah Caru Panca Kelud, Caru Rsi Gana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Lubuh Gentuh, Tawur Panca Wali Krama dan Tawur Eka Dasa Rudra. Mengenai tempat dilakukannya tabuh rah adalah pada tempat upacara.

Jenis-jenis binatang yang digunakan untuk tabuh rah, yang berarti tabuh rah tidak mesti menggunakan ayam. Jenis-jenis binatang yang dijadikan korban adalah ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya. Tabuh rah tidak bisa diidentikan dengan adu ayam jago. Pasalnya, pelaksanaan tabuh rah bisa dilakukan dengan penyamblehan atau bisa juga dengan menggelar perang satha. Jadi ketika bicara tabuh rah tidak harus diwujudkan dengan mengadu ayam sampai salah satu mengeluarkan darah atau mati. Parisada menegaskan bahwa jalan penyamblehan bisa dilakukan sebagai bentuk tabuh rah.Penyamblehan adalah cara mengeluarkan darah binatang yang kemudian ditaburkan (tabuh rah) dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit cara ini diistilahkan dengan “Menetak gulu ayam”. Kalaupun ada sebuah desa pakraman yang mengharuskan tabuh rah dalam bentuk perang satha yang berarti ada ayam yang harus diadu, Parisada Pusat sebenarnya telah menyarankan diganti dengan penyamblehan. Sekali lagi, tidak harus mengadu ayam jago. Kalaupun memang harus menggelar perang satha, ketentuan sebagai sebuah tabuh rah harus tetap diikuti. Sudah ada uger-uger yang sekaligus menjadikannya mudah dibedakan dengan aktivitas lainnya. Uger-uger tersebut, pertama, jumlah ayam yang diadu tidak boleh lebih dari tiga parahatan (telung saet). Bilangan tiga ini mengandung makna arti magis yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir.

 

  1. Dampak Pengaruh Tabuh Rah Terhadap Masyarakat

Bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat budaya yang identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang harus dihapuskan, karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma dalam agama Hindu-Bali itu sendiri. Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama. Judi khususnya tajen sudah mentradisi di Bali. Dampak negatif pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya. Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar. Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”. Di zaman dahulu sering pula status sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya. Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.

Walaupun tajen telah terbukti berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian masyarakat, namun dibalik semua itu terdapat pula segi-segi positif  bagi sebagian masyarakat yang bergelut di dunia tajen tersebut. Bali sebagai tujuan wisata, banyak tamu asing yang kebetulan lewat dan melihat aktifitas tajen, ini mungkin perlu mendapatkan penjelasan yang benar dari pemandu wisatanya. Kalau kita lihat kehidupan dan aktifitas seputar tempat tajen akan banyak dijumpai orang berjualan nasi, kopi, buah-buahan, bakso dan lain-lain. Bebotoh dan penonton menikmati sekali makanan yang dijajakan oleh para pedagang tersebut. Selain pedagang, yang bisa mengais rejeki di tempat tajen adalah tukang ojek, tukang parkir, tukang sapu, dan tukang karcis. Itulah sebabnya, para pembela tajen senang mengatakan bahwa uang yang berputar di tempat tajen tidak lari keluar pulau, melainkan hanya berputar dikalangan masyarakat. Maksudnya barangkali menyindir togel (toto gelap) yang menyedot uang masyarakat dan uang tersebut lari keluar pulau. Untuk memberantas tajen memang sangat dilematis sekali, sekarang kita saja, masyarakat Bali yang harus menilai, apakah tajen ini perlu dilestarikan atau tidak.

 

BAB IV

PENUTUP

  • Simpulan

Tajen yang berkembang di Bali berpangkal dari tradisi tabuh rah yang merupakan bagian dari rangkaian upacara bhuta yadnya. Dalam perkembangannya tradisi tabuh rah tersebut disalah artikan oleh sebagian besar masyarakat Bali. Mereka menganggap tajen adalah bagian dari budaya dan juga bagian dari yadnya yang sudah sejak zaman kerajaan sudah berkembang di Bali sehingga sangat perlu dilestarikan. Selain pemahaman tersebut mereka juga menjadikan adat dan tradisi tabuh rah sebagai topeng yang selalu digunakan dalam mempertahankan tajenketika terancam akan dibubarkan oleh pemerintah. Selain alasan tersebut  para pelaku tajen juga beranggapan bahwa tajen telah mampu mebuka peluang kerja bagi masyarakat di sekitar tempat kegiatan tajen. Banyak masyarakat memperoleh keuntungan dengan adanya judi tajen tersebut, karena mereka bisa berjualan di areal tajen tersebut.

Agama Hindu sama sekali tidak membenarkan segala bentuk perjudian termasuk tajen. Dalam kitab Manawa Dharmasastra dan Rg. Vedasecara jelas disebutkan bahwa segala bentuk perjudian sangat dilarang. Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras adanya penyiksaan mahluk hidup , yang digunakan sebagai media dalam tajen dan perjudian yang menggunakan benda hidup maupun non hidup.

 

  • Saran

Sebagai umat Hindu-Bali yang mencintai budaya dan tradisi nenek moyang tidak sepantasnya mencoreng budaya yang begitu luhur dengan noda-noda perjudian yang jelas-jelas sangat dilarang oleh agama. Tabuh rah akan menjadi sebuah budaya yang indah apabila masyarakat mengerti dan tidak menjerumuskan tradisi tersebut ke ranah perjudian. Walaupun ini adalah persoalan yang sulit dan rumit, namun apabila diupayakan dengan kesucian hati, berpikir rasional dan mampu berlaku bijak maka kebiasaan tajen di Bali akan berubah menjadi tajen dalam konteks sebuah budaya yang positif yang nantinya mampu membawa masyarakat Bali kearah yang lebih sejahtera.

 

Comments are closed.