OGOH-OGOH APIT LAWANG KREATIFITAS STT EKA BHUANA TUNGGAL BUDHI SEMINYAK KAJA, DESA ADAT SEMINYAK, SERANGKAIAN HARI RAYA NYEPI TAHUN CAKA 1940

Kamis, Mei 3rd, 2018

Masyarakat Bali memiliki sebuah hari raya besar atau hari sepesial, dimana hari itu selalu menjadi buah bibir bagi wisatawan dunia, karena semua kesan modern dapat terhenti walaupun hanya sehari, hari itu dikenal sebagai hari raya Nyepi. Nyepi merupakan hari raya umat Hindu di Bali yang dirayakan setiap satu tahun sekali, yaitu jatuh pada pinanggal apisan sasih kedasa (tanggal 1, bulan ke-10 dalam kalender Bali). Nyepi berasal dari kata sepi yang berarti sunyi atau senyap. Nyepi merupakan perayaan tahun baru Hindu di Bali yang berdasarkan penanggalan atau kalender Caka. Hari raya nyepi pertamakali dilakkukan pada tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, tahun baru Caka di Bali dirayakan dengan cara menyepi. Semua kegiatan ditiadakan termasuk pelayanan umum, kecuali rumah sakit. Tujuan utama hari raya nyepi adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia / microcosmos) dan  Bhuana Agung (alam semesta / macrocosmos). (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nyepi/). Perayaan hari raya Nyepi memiliki makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam semesta senantiasa menjadi sumber kehidupan. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil semberdaya alam untuk mempertahankan hidupnya. Maka dari itu perbuatan mengambil perlu diimbangi dengan perbuatan memberi yaitu berupa persembahaan dengan tulus iklas, dimana dalam konteks hari raya Nyepi perbuatan memberi ini disebut dengan upacara Tawur Kesanga pada hari pengerupukan, yang dilaksanakan 1 hari sebelum hari raya Nyepi (Tilem Kesanga). Tawur kesanga ini juga memiliki makna untuk melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. (http://www.hindu-dharma.org/2013/03/makna-pelaksanaan-hari-raya-nyepi/)

Dengan adanya makna Nyepi tersebut, dimana masyarakat Bali diharapkan mampu melaksanakan Catur Bratha Penyepian, dengan mengutamakan ketulusan hati, namun tak jarang juga saat ini, justru nyepi digunakan sebagai ajang pamer. Masyarakat tidak terlalu menghiraukan aturan Catur Bratha Penyepian, apakah hal tersebut berkaitan dengan hari raya pengerupukan, yang  secara makna dan fungsi dipercayai oleh sebagian besar masyarakat awam di Bali sebagai hari untuk mengusir Bhuta Kala? Apakah masyarakat yang tidak menghiraukan hari raya Nyepi justru terkontaminasi oleh sifat Bhuta Kala? Hal tersebut terkait dengan perayaan hari pengerupukan, dimana masyarakat Bali melakukan kewajiban untuk mengusir Bhuta Kala dengan menggunakan patung yang bersosok besar dan seram. Kini, hal itu menjadi bagian dari tradisi Bali yang dilakoni setiap tahunnya,  tradisi ini kian marak dan selalu menuai perkembangan yang cukup signifikan dari perspektif seni. Tradisi pengerupukan menjadi momentum yang sangat ditunggu oleh masyarakat Bali, terlihat dari antussiasnya dalam menciptakan patung besar atau yang dikenal dengan istilah ogoh-ogoh.

Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala mempresentasikan kekuatan (bhu) alam semesta dan (kala) waktu, yang tak terukur dan terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud raksasa atau digambarkan pula dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di mayapada (surga dan neraka). (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ogoh-ogoh/). Jika dikaitkan dalam hari raya Nyepi, ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan hari raya Nyepi. Ogoh-ogoh hanya merupakan kreatifitas dan spontanitas masyarakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara pengerupukan. Ogoh-ogoh menjadi salah satu kesenian faforit dikalangan masyarakat Bali, termasuk di Desa Adat Seminyak khususnya di Banjar Adat Seminyak Kaja, pada tahun 2018 memiliki ide dalam penciptaan ogoh-ogoh yang terinspirasi dari fenomena Gunung Agung degan judul Apit Lawang.

Apit lawang merupakan bagian dari arsitektur bangunan Bali yang ada pada setiap pintu masuk tempat suci di Bali (pura atau pamerajan). Secara etimologi Apit Lawang berasal dari bahasa Bali yang terdiri dari dua suku kata yaitu Apit dan Lawang. Apit berarti berhimpitan dan lawang berarti pintu atau jalan masuk. (Sri Reshi Anandakusuma, 1986 : 10, 105). Apit lawang terletak didepan sebelah kanan dan kiri kori atau candi bentar yang menghimpit jalan masuk kedalam kawasan tempat suci, Berupa pelinggih atau berupa patung raksasa (bedogol) sebagai stana dari Sang Mahakala dan Sang Nandiswara yang merupakan dewanya apit lawang. Fungsi dari apit lawang tersebut adalah sebagai penjaga lawang atau pintu masuk agar tidak ada hal negatif yang dapat masuk kedalam pura sehingga kesucian pura tetap terjaga. Filosofinya adalah setiap umat yang hendak memasuki wilayah pura hendaknya bisa menyucikan pikirannya dan menghindarkan pirikarannya yang negatif sebelum memasuki areal dalam tempat suci. Ide Apit Lawang ini terinspirasi dari cerita Ramayana yang dikutip dari kitab Uttara kanda yang memuat tentang cerita nenek moyang dari Rahwana, dan cerita tentang Rahwana. Sisi menarik dari cerita tersebut adalah, kemiripan fenomena dalam cerita dengan fenomena pada Gunung Agung yang dapat kami kaitkan satu sama lain. Adapun kisah yang kami angkat adalah sebagai berikut :

Suatu hari di khailash yang merupakan kediaman Dewa Siwa, tepat di kaki gunung adalah pintu gerbang menuju kailash. Di sana berada Dewa Indra bersama permaisuri dan para widyadarinya hendak mengunjungi Dewa Siwa, seketika datanglah Rahwana yang angkuh dengan rasa sombong akan kesaktiannya, mencoba mempora-porandakan suasana, bahkan ia berhasil mengangkat kaki gunung kailash, sehingga menimbulkan gempa yang maha dasyat. Melihat kejadian itu, Mahakala (Putra dewa Siva) dan Nandiswara (bhakta setia Dewa Siwa) yang bertugas menjaga gunung khailash tidak dapat tinggal diam, mereka murka akan ulah Rahwana, lalu dengan naik ke puncak dan menekan gunung kailash, Rahwana yang tadinya mengangkat gunung menjadi terjepit dan tidak berdaya. Hancurlah kesombongan Rahwana, merasa tidak berdaya, Rahwana memohon ampun. Karena merasa kasihan, Mahakala dan Nandiswara memberikan pengampunan dengan sebuah kutukan bahwa suatu saat nanti Rahwana akan terbunuh oleh manusia yang memiliki pasukan kera. Melihat kejadian ini, Dewa Siwa menjadi sangat terpuaskan akan pengabdian Mahakala dan Nandiswara dan menjadikan mereka sebagai dewa yang berstana pada Apit Lawang.

Menelisik kisah diatas prihal Rahwana yang mempora-porandakan Gunung Khailash, jika dikaitkan dengan fenomena pada Gunung Agung, apakah kesombongan Rahwana yang seolah menjelma pada sosok manusia, sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi dan terguncangnya Gunung Agung?

Seperti yang kita ketahui, belakangan ini telah terjadi fenomena yang mengguncang Pulau Bali yaitu erupsi Gunung Agung. Fenomena tersebut membawa dampak besar dari berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali, seperti tingkat pencemaran udara meningkat, dampak sosial, perekonomian masyarakat yang mulai melesu dan kehidupan pariwisata yang melemah, karena banyak wisatawan yang takut untuk berkunjung ke Bali diakibatkan terjadinya fenomena pada Gunung Agung. Hal tersebut menggugah keingiinan kami untuk berkarya dengan menampilkan kepedulian kami terhadap fenomena pada Gunung Agung yang kami visuallisasikan melalui ogoh-ogoh Apit Lawang.

Ogoh-ogoh Apit Lawang divisualisasikan menggunakan bahan ramah lingkungan dengan tinggi 4,5 meter. Menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan dengan alasan agar dapat meminimalisir terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi sampah-sampah yang bersifat kimia terutama sampah styrofoam. Selain itu bahan ramah lingkungan juga merupakan kriteria dalam lomba ogoh-ogoh yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Badung. Dalam proses penciptaanya dengan kurun waktu 2 bulan yaitu dari tanggal 9 januari 2018 sampai dengan tanggal 6 maret 2018, kendala yang dialami yaitu fasilitas seadanya dan minimnya jumlah peserta dalam kegiatan tersebut. Tetapi itu tidak menjadi halangan untuk tetap berkreatifitas, karena pada tahun ini kami sangat didukung penuh oleh Desa Adat dan Pemkab Badung dalam hal pendanaan, sehingga persoalan dana mencukupi. Anggaran yang dikeluarkan untuk semua proses dari proses pembuatan ogoh-ogoh, proses latihan hingga pementasan kurang lebih mencapai 20 juta rupiah. Dalam pagelaran atau pementasanya, akan menampilkan sebuah garapan tari baleganjur.

SIMPULAN

Nyepi merupakan hari sepesial yang hanya dimiliki oleh masyarakat Bali dengan ogoh-ogoh sebagai simbolisasi perayaan sebelum hari raya Nyepi. Namun kegiatan yang kami lakukan bukan sekedar untuk melaksanakan perayaan ceremonial tahunan, tetapi kegiatan ini lebih untuk memaknai suatu fenomena dalam sebuah perayaan. Dimana dalam kegiatan ini kami memaknai sebuah fenomena dengan cara menciptakan ogoh-ogoh yang mengacu pada fenomena erupsi Gunung Agung. Dalam kegiatan ini kami menyuarakan tingkat kepedulian kami atas dampak-dampak yang ditimbulkan dari erupsi Gunung Agung yang kami visualisasikan kedalam sebuah karya seni ogoh-ogoh dengan judul Apit Lawang.

 

 

YouTube Preview Image

 

 

PUSTAKAAN

Anandakusuma, Sri Reshi. 1986, Kamus Bahasa Bali, Denpasar, CV Kayumas Agung.

Bandem, I Made, 2013, Gamelan Bali Diatas Panggung Sejarah, Denpasar, BP Stikom Bali.

 

http://www.hindu-dharma.org/2013/03/makna-pelaksanaan-hari-raya-nyepi/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nyepi/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ogoh-ogoh/

Comments are closed.