Cara Menyikapi Dampak Globalisasi Terhadap Situs Kebudayaan Pura Tirta Empul

Cara Menyikapi Dampak Globalisasi Terhadap Situs Kebudayaan Pura Tirta Empul

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan generasi muda. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita tidak tahu tentang kebudayaannya sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan ketidak tahuan generasi muda tentang situs kebudayaan Bali kususnya Pura Tirta Empul. Agar dampak globalisasi tidak merusak kehidupan masyarakat dan melupakan kebudayaan itu sendiri, kita harus mengetahui sisi positifnya, sehingga kita dapat memanfaatkannya dalam kehidupan khususnya di bidang kebudayaan.

Beberapa contoh sikap untuk menghadapi dampak negatif dari globalisasi  di bidang kebudayaan, di antaranya

  1. Menumbuhkan rasa cinta terhadap kebudayaan kita
  2. Bangga akan kebudayaan yang kita miliki
  3. Mengetahui asal-usul dan situs tempat-tempat kebudayaan yang kita miliki
  4. Ikut berpartisipasi dalam kebudayaan warisan dari leluhur kita
  5. Mempunyai rasa tanggung jawab akan pelestarian kebudayaan

Dengan adanya langkah – langka tersebut diharapkan masyarakat Bali mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai kebudayaan terhadap masyarakat Bali khususnya tentang situs kebudayaan Pura Tirta Empul, sehingga masyarakat tidak akan melupakan kebudayaannya. Nah untuk mewujudkan hal tersebut perlu keikut sertaan dari semua pihak baik itu pemerintah ataupun masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran kepada generasi muda akan pentingya situs kebudayaan di Bali, ini sangat penting untuk masa depan kebudayaan Bali terutama kesadaran tentang pentingnya kebudayaan Bali oleh generasi muda itu sendiri karena generasi muda adalah generasi penerus bangsa.

Dampak Globalisasi Terhadap Situs Kebudayaan Pura Tirta Empul

Dampak Globalisasi Terhadap Situs Kebudayaan Pura Tirta Empul

Seperti yang kita tau di masa ini kita tidak lepas dengan yang namanya globalisasi. Globalisasi sudah menjadi bagian dari hidup kita, bahkan globalisasi sudah mencangkup di segala bidang seperti di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial kebudayaan. Di bidang kebudayaan globalisasi sudah menjadikan orang-orang malas untuk belajar kebudayaannya sendiri, itu karena globalisasi memberikan kebudayaan modern dan globalisasi juga mendatangkan kebudayaan luar kepada kita, akibatnya kita lebih memperhatikan kebudayaan asing dari pada kebudayaan kita sendiri, jika hal ini terus terjadi maka lama kelamaan kita akan melupakan kebudayaan kita, padahal di Indonesia sangat banyak memiliki warisan kebudayaan dan situs-situsnya khususnya di Bali yang salah satunya adalah situs kebudayaan Pura Tirta Empul. Banyak orang yang belum tau tentang sejarah Pura Tirta Empul ini, khususnya untuk generasi muda. Langkah yang sesuai dan harus dilakukan oleh semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat Bali khususnya kaum muda di Bali adalah dengan mulai mempelajari situs-situs kebudayaan yang ada di Bali yang salah satunya adalah situs kebudayaan Pura Tirta Empul. Di harapkan generasi penerus Bali bisa mempertahankan warisan leluhur dari kepunahan dan bisa menjaga situs-situs kebudayaan yang ada di Bali supaya Bali tetap terkenal dengan seribu kebudayaannya dan supaya kebudayaan di Bali tidak hanya tinggal sebuah cerita.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Kelestarian Situs Kebudayaan Pura Tirta Empul

Pengaruh Globalisasi Terhadap Kelestarian Situs Kebudayaan Pura Tirta Empul

Bali terkenal dengan kebudayaannya yang sangat indah, namun tidak sedikit masyarakat Bali yang tidak mengetahui kebudayaannya sendiri. Salah satu faktor kuat yang terus mengikis kebudayaan adalah globalisasi. Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial kebudayaan, pertahanan keamanan dan lain-lain. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan masyarakat khususnya di bidang kebudayaan. Globalisasi mempunyai pengaruh yang positif dan juga pengaruh negatif, dimana pengaruh-pengaruh tersebut tidak secara langsung berpengaruh terhadap masyarakat. Pengaruh Globalisasi terhadap nilai Kebudayaan di kalangan masyarakat begitu cepat merasuk khususnya untuk generasi muda. Pengaruh negatif dari globalisasi tersebut telah membuat generasi muda tidak tahu tentang sejarah budaya Bali khususnya sejarah kebudayaan Pura Tirta Empul. Padahal situs kebudayaan Pura Tirta Empul sudah terkenal sampai ke seluruh dunia. Ditakutkan akibat dari globalisasi generasi muda Bali tidak mengetahui sejarah kebudayaannya khususnya situs kebudayaan Pura Tirta Empul karena masuknya kebudayaan-kebudayaan dari barat. Betapa lucunya jika generasi muda Bali tidak tahu tentang sejarah kebudayaannya sendiri. Tapi jika generasi muda Bali bisa memanfaatkan globalisasi terhadap situs  kebudayaan Bali, dampak positifnya adalah generasi muda Bali bisa menyebar luaskan sejarah kebudayaan Bali khususnya sejarah Pura Tirta Empul melalui globalisasi terutama di bidang teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, tv, radio, koran, dan majalah mungkin akan lain ceritanya, tentunya generasi muda akan membuat budaya Bali khususnya situs kebudayaan Pura Tirta Empul akan semakin tersohor di seluruh dunia.

Sejarah Desa Singapadu

Sejarah
Riwayat Desa Singapadu yang diterima oleh warga masyarakat pendahulunya menyebutkan Desa Singapadu cikal bakal dari jaman kerajaan Ida Dalem Jambe yang bertahta di Keraton Suweca Pura, Klungkung. Beliau memiliki 3 (tiga) orang putra yaitu:
1. Ida Sri Dewa Dimadya, bertahta di Puri Klungkung
2. Ida Sri Dewa Anom Wirya bertahta di Timbul Sukawati
3. Ida Sri Dewa Ketut jertahta di Gelgel
Pada tahun Caka 1632 atau 1710 M diceritakan Ida Sri Dewa Anom Wirya atau Ida Sri Dewa Agung Anom Wirya Wijaya Tanu bertahta di Keraton Timbul Sukawati dengan gelar Ida Sri Dalem Maha Sirikan atau Ida Dalem Sukawati. Pemerintahan Ida Dalem Sukawati juga didukung oleh I Dewa Kaleran, putra dari I Dewa Kaleran Prabu, keturunan dari I Dewa Agung Artha yang berasal dari Kaliaiget, Buleleng. Keberadaan I Dewa Kaleran di Sukawati berkaitan dengan terjadinya kekacuan di daerah Kalianget. Ketika itu Prabu I Dewa Kaleran yang menderita gangguan jiwa dibunuh oleh rakyatnya yang mengamuk dan membakar keraton. Setelah peristiwa tersebut, anak-anak beserta keluarganya mengungsi dari Kalianget menuju daerah Bali Tengah, antara lain menuju Kerambitan dan Kutul (Tabanan). Sedangkan I Dewa Kaleran mengungsi ke Desa Kuta yang merupakan daerah Kerajaan Mengwi.
Keberadaan I Dewa Kaleran di Desa Kuta diketahui Ida Dalem Sukawati. teringat akan asal-usul kekerabatan antara Satria Kaleran dengan Ida Dalem Sukawati, maka Dalem Sukawati mohon kepada Ki Agung Anglurah Made Agung yang bertahta di Mengwi pada saat itu agar rnengijinkan mengajak I Dewa Kaleran menetap di Sukawati untuk dijadikan Jan-Banggul (pemangku) di Pura Penataran Agung Sukawati.
I Dewa Kaleran akhirnya diijinkan menetap di Sukawati dengan bertempat tinggal di sebelah utara Pura Penataran Agung Sukawali didampingi oleh seorang istri dan dua orang anak. Permaisuri dari Ida Dalem Sukawati yaitu Ida Sri Bahtari Mutering Jagat telah rnelahirkan seorang putra. Ketika itu I Dewa Kaleran menyerahkan putranya yang bernama I Desak Made Oka untuk mengabdi kepada Permaisuri Ida Dalem Sukawati sebagai inang pengasuh.
Penampilan dari Desak Made Oka yang anggun dan simpatik membuat Ida Dalem Sukawati berpikir untuk menjodohkannya dengan salah satu ipar beliau yang ada di Puri Mengwi. Namun Dalem Sukawati mengalami kesulitan menentukan kepada siapa sepantasnya gadis itu dijodohkan mengingat ipar beliau ada tiga yaitu:
1. Ki Gusti Putu Panji
2. Ki Gusti Made Banyuning
3. Ki Gusti Ketut Munggu
Agar tidak dianggap memihak terhadap salah satu diantaranya maka akhirnya Ida Dalem Sukawati memutuskan untuk mengundang ke tiga ipar beliau tersebut dengan catatan siapa yang datang paling awal berhak mempersunting Ni Desak Made Oka. Diceritakan bahwa yang datang paling awal adalah I Gusti Ketut Munggu, dengan demikian sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan maka Ida Dalem Sukawati kemudian merestui I Gusti Ketut Munggu mempersunting Ni Desak Made Oka. Kedua mempelai kembali ke Mengwi, dan sesampainya disana I Gusti Putu Panji betul-betul terkejut dan terpesona menyaksikan kecantikan dan keanggunan Ni Desa Made Oka. Tanpa diduga muncul rasa dendam dan sakit hati dari I Gusti Putu Panji terhadap Ida Dalem Sukawati yang dianggap tidak adil dan pilih kasih. Akibatnya muncul niat dari Ki Gusti Putu Panji untuk menyerang dan menggempur Kerajaan Sukawati.
Rencana penyerangan tersebut sudah didengar oleh Ida Dalem Sukawati dengan memerintahkan kepada pasukannya untuk siap siaga. Menyadari situasi kerajaan Sukawati yang dalam bahaya maka I Dewa Kaleran menghadap dengan memohon kepada beliau agar diperkenankan untuk turut serta dalam pertempuran, namum tidak diijinkan oleh Ida Dalem Sukawati, karena I Dewa Kaleran sudah berstatus sebagai Jan-Panggul (pemangku) di Pura Penataran Agung Sukawati. Namun karena I Dewa Kaleran tetap bersikeras, maka Ida Dalem Sukawati akhirnya mengijinkan turun ke medan peperangan untuk memimpin pasukan Sukawati. Dalam menghadapi pertempuran, pasukan Sukawati dibawah pimpinan I Dewa Kaleran beristirahat di hutan Jagaraga yang terletak di tepi barat wilayah Kerajaan Sukawati. Di tempat tersebut para pasukan ngabas hutan untuk mendirikan Pakubon (kubu-kubu pertahanan). Lambat laun kawasan hutan yang telah di rabas dikenal dengan nama Banjar Abasan, sedangkan tempat pasukan Sukawati mendirikan pakubon dikenal sebagai Banjar Kebon (Kubu-an).
Pasukan Sukawati dan Mengwi saling berhadap-hadapan, sorak sorai pasukan kedua pihak terdengar bergemuruh di medan perang. Ketika itu I Dewa Kaleran memerintahkan I Made Nusa untuk mengibarkan kober putih. Ternyata setelah melihat kibaran kober putih tersebut pasukan Mengwi lari tunggang langgang. Hal ini mengakibatkan Ki Gusti Putu Panji marah dan mengamuk membabi buta menghadapi pasukan Sukawati, Akhirnya Ki Gusti Putu Panji tewas di tangan pasukan Sukawati dengan kondisi jenasah yang dekdek lidek (hancur lebur). Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Pura Padekdekan yang terletak di kawasan Subak Kalangan Kebon. Mendengar kakaknya tewas di medan perang maka Ki Gusti Made Banyuning kemudian turun ke medan perang untuk membela Mengwi. Namun Ki Gusti Made Banyuning pun berhasil dibunuh oleh pasukan Sukawati setelah anusnya ditusuk dengan besi panas yang membara. Kawasan tempat meninggalnya Ki Gusti Made Banyuning dibangun sebuah Pura yang disebut Pura Anggar Besi, dan medan perternpuran antara Mengwi dan Sukawati disebut Kalangan Kebon (Subak Kalangan Kebon).
Singkat cerita, pasukan Kerajaan Mengwi telah berhasil dikalahkan dan perang pun berakhir. Ida Dalem Sukawati kemudian memerintahkan I Dewa Kaleran tinggal menetap di Jagaraga dan mengangkatnya sebagai Manca untuk mengawasi dan menjaga wilayah tepi barat Kerajaan Sukawati. Disamping itu Ida Dalem Sukawati memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk memperkuat pertahanan dibeberapa wilayah yaitu:
1. I Pasek Nesa, rnemperkuat pertahanan di wilayah Singapadu
2. I Pasek Pretara, rnemperkuat pertahanan di wilayah Negari
3. I Pasek Gaduh dan I Pasek Penataran, memperkuat pertahanan di wilayah Jagaraga
4. I Pasek Selat memperkuat pemerintahan di Desa Celuk
5. I Pasek Bangbang Pulasari memperkuat di Desa Samawanggon
6. I Pasek Puaji memperkuat di Batuaji
7. Ki Bendesa Gde Nusa diperkenankan nyungsung Pura Pepantian Mayun
8. I Pasek Mundung Tawal diperkenankan nyungsung Pura Pepantian Maospahit
Setelah sekian lama menetap di Jagaraga, I Dewa Kaleran belum juga dikaruniai putra. Karena rnerasa dirinya sudah tua, maka muncul keinginan untuk pulang ke Sukawati agar dapat berkumpul kembali bersama putranya yang tinggal di Sukawati. Oleh sebab itu ia menghadap kepada Ida Dalem Sukawati dan menyampaikan niatnya untuk kembali ke Sukawati. Sehubungan dengan itu ia memohon agar Ida Dalem Sukawati berkenan menempatkan salah seorang putranya untuk bertahta di Jagaraga. Keinginan I Dewa Kaleran untuk kembali ke Sukawati ternyala tidak direstui oleh Ida Dalem Sukawati karena beliau masih tetap menaruh kepercayaan kepada I Dewa Kaleran sebagai manca di Jagaraga untuk mempertahankan wilayah tepi Barat Kerajaan Sukawati tersebut. Oleh karena tatkala itu belum ada putra yang dapat diangkat untuk bertahta di Jagaraga, maka Ida Dalem Sukawati menyerahkan putranya yang masih sedang dalam kandungan istrinya. I Dewa Kaleran patuh terhadap perintah Ida Dalem Sukawati dan kembali ke Jagaraga diiringi para Pasek, undagi, dan rakyat lainnya.
Diceritakan bahwa sang jabang bayi pun kemudian lahir ke dunia. Namun keahiran bayi tersebut membuat orang-orang kaget karena buruk rupa dan sedikit pun tidak mirip dengan wajah Ida Dalem Sukawati. Rakyat Merasa sangsi atau kurang percaya bahwa bayi tersebut adalah putra dari Ida Dalem Sukawati, sehubungan dengan peristiwa tersebut maka tempat dimana bayi tersebut dilahirkan kemudian lebih dikenal sebagai Banjar Sangsi, dan rumah I Dewa Kaleran pun akhirnya disebut Jero Sangsi. Keberadaan bayi tersebut kemudian dilaporkan oleh I Dewa Kaleran kepada Ida Dalem Sukawati. Namun ditengah perjalanannya ia dihadang atau dihalang-halangi oleh penduduk dari Selat. Untuk mengenang peristiwa tersebut kemudian di tempat itu didirikan bangunan yang disebut Bale Malang.
Setelah I Dewa Kaleran melaporkan tentang keberadaan sang jabang bayi tersebut kehadapan Ida Dalem Sukawati, maka untuk menjawab kesangsian rakyatnya terhadap sang jabang bayi, beliau bermaksud untuk menguji sang jabang bayi dengan kobaran api. Apabila dengan cara demikian ternyata sang jabang bayi masih tetap hidup, maka itu berarti bahwa bayi tersebut memang benar putra Ida Dalem Sukawati.
Diceritakan bahwa sang jabang bayi telah ditaruh dalarn kobaran api yang sedang membesar. Tak lama kemudian kobaran api tersebut semakin redup dan akhirnya padam. Ketika itu I Dewa Kaleran bersama rakyat terkejut dan terheran-heran menyaksikan bahwa sang jabang bayi ternyata masih dalarn keadaan hidup seperti sediakala. Sejalan dengan peristiwa itu akhirnya I Dewa Kaleran dan rakyat seluruhnya percaya bahwa sang jabangbayi itu adalah benar putra Ida Dalem Sukawati. Sejak peristiwa itu pula sang jabang bayi tersebut mendapat sebutan I Dewa Agung Api. Selanjutrtya sang jabang bayi diajak ke jeroan oleh I Dewa Kaleran serta diupacarai sebagaimana tatakrama upacara yang berlaku bagi keturunan Ida Dalem Sukawati. Selain itu, untuk Mengantisipasi agar pasidikaran
sang jabang bayi tidak bercampur-baur dengan keturunan I Dewa Kaleran, maka khusus untuk sang jabang bayi tersebut dibuatkan sebuah tempat pemujaan atau pelinggih pamuspan yang terletak di dalam areal pamerajan Jero Sangsi. Setelah sekian tahun lamanya menetap di Jero Sangsi akhirnya I Dewa Kaleran dikaruniai lagi seorang putra. Pada suatu ketika dimana putra I Dewa Kaleran dan I Dewa Agung Api sama-sama telah beranjak dewasa, tatkala itu I Dewa Kaleran menyampaikan pendapatnya kepada anaknya:
“Pada kemudia hari jika nanda telah cukup dewasa, tidaklah pantas tinggal bersama I Dewa Agung di rumah ini, karena akan kelihatan berbaur. Jika nanda mencari tempat pekarangan yang baru juga tidaklah pantas, karena nandalah yang memang sepantasnya menjadi pewaris di rumah ini. Nah, sebaiknya I Dewa Agung dibuatkan puri agar kita tidak berbaur dengan beliau”.

Singkat cerita, agar kedudukan I Dewa Agung Api tidak berbaur dengan keturunan I Dewa Kaleran, maka I Dewa Agung Api akhirnya dibuatkan puri tersendiri yang diberi nama Puri Agung Singapadu, disamping itu I Dewa Kaleran juga menghaturkan sebuah pajenengan di Pamerajan Agung Singapadu sebagai perwujudan bukti kesetiaannya terhadap keturunan Ida Dalem Sukawati, terutama Ida Dewa Agung Api. Semenjak dibangunnya puri tersebut keseluruhan wilayah Jagaraga lebih dikenal dengan sebutan Singapadu. Mengenai asal-usul nama Singapadu ini diperkirakan berkaitan dengan peristiwa dahsyat yang pernah terjadi antara Kerajaan Sukawati dengan Mengwi. Pertempuran tersebut sebagai perang tanding antara dua singa. Dalam Bahasa Bali, makna kata “Singa” juga berarti manggala atau raja dan kata “Padu” berarti perang tanding atau pertempuran (Profil Desa Singapadu, 2009: 1-5).

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!