“UPACARA PERANG KETUPAT DI PURA DESA ADAT KAPAL KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG

Bagi masyarakat awam dengan yadnyalah salah satu cara mereka untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Melalui sarana-sarana inilah watak manusia dibentuk untuk menanamkan rasa terimakasih kepada para Dewa, Rsi dan para leluhur (Tri Rna). Upacara Perang Ketupat termasuk dalam upacara Dewa Yadnya khususnya pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Dewi Sri sebagai lambang Dewi Kemakmuran.

Upacara Perang Ketupat di Pura Desa Adat Kapal Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung merupakan suatu tradisi keagamaan yang dilaksanakan menjelang pada masa tiap-tiap satu tahun sekali yaitu pada sasih yang ditentukan dari sasih kapat sampai sasih kalima dan harinya dipilih hari yang paling baik seperti anggara umanis sasih kalima. Upacara Perang Ketupat tersebut berawal dari keresahan-keresahan yang timbul di masyarakat, akibat semua tanaman di areal persawahan diserang wabah penyakit. Dan dalam kehidupan masyarakat Hindu khususnya desa Kapal, sangat erat hubungannya dengan alam. Setiap perubahan alam menunjukkan suatu tanda bahwa telah terjadi ketidakseimbangan alam yang disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran terhadap alam tersebut.

Guna menetralisir atau menyeimbangkan hal tersebut, upacara ritual dan persembahan akan dilakukan yang disampaikan melalui perantar,a dengan tujuan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu dengan melaksanakan upacara yadnya sebagai perlambangan kekuatan manusia terhadap Tuhan sehingga kehidupan manusia penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan. Umat Hindu mengenal Upacara Perang Ketupat sebagai salah satu upacara Dewa Yadnya yang mengandung kekuatan magis, dimana kekuatan magisnya sebagai penetralisir  kekuatan-kekuatan alam. Upacara Perang Ketupat bagi umat Hindu di Bali, sebagai sebuah upacara penguat identitas kehidupan menjadi sangat penting sebagai sebuah upacara penguat identitas yang beranekaragam. Akhirnya para subak dan masyarakat Desa Adat Kapal mengadakan pesangkepan (rapat desa) untuk mempersembahkan upacara yadnya yang diwujudkan ke dalam Upacara Perang Ketupat. Lewat pelaksanaan Upacara Perang Ketupat inilah mulai kelihatan adanya kesuburan tanaman, sehingga sampai sekarang tertanam suatu keyakinan di masyarakat Kapal untuk tidak menjual ketupat, ketupat yang dimaksud bahannya terbuat dari daun kelapa (janur) yang dibentuk sedemikian rupa.

Proses Upacara Perang Ketupat memiliki suatu keistimewaan tersendiri bagi masyarakat desa adat Kapal. Karena pada pelaksanaannya masyarakat setempat bisa berkumpul sebagai suatu bentuk interaksi sosial kemasyarakatan. Keunikan tersendiri dari Upacara Perang Ketupat ini dapat dilihat dari adanya masayarakat yang hadir pada upacara tersebut saling “timpug” (lempar) dengan menggunakan ketupat dan bantal. Masyarakat saling lempar bukan menunjukkan perselisihan paham tetapi penggunaan media ketupat dan bantal adalah sebagai simbol bertemunya Dewa Rare Anggon dengan Dewi Hyang Bhogawati sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran yang merupakan manifestasi dari Dewi Sri.

Demikianlah upacara yadnya yang dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Adat Kapal. Melalui upacara tersebut masyarakat diharapkan dapat mengakrabkan sesama dengan dasar kasih sayang, hormat menghormati, untuk membentuk lingkungan alam yang sejahtera dan untuk membentuk lingkungan sosial yang rukun dan damai, karena situasi seperti inilah yang akan mengantarkan manusia untuk dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud bhakti.  Pentingnya Upacara Perang Ketupat di Pura Desa Adat Kapal Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, menjadi latar belakang perlunya penelitian mengenai upacara tersebut. Penelitian sendiri menjadi penting sebagai salah satu bentuk pengkajian secara akademis mengenai suatu jenis upacara, terlebih lagi dengan adanya penelitian mengenai upacara perang ketupat, diharapkan mampu menjadi salah satu bentuk pelestarian.

Comments are closed.